Chapter : 8

2463 Words
  “Wow,” desis Astrid sambil beranjak dari kursi yang sedari tadi didudukinya. “Entahlah, kejutan luar biasa yang terasa aneh,” timpal Tessa dengan perasaan waspada yang entah dari mana dirinya rasakan saat ini. Tessa menatap ke arah dinding kaca ruang kerjanya yang tertutup tirai. Bayangan dua orang melangkah mendekat, dengan mudah Tessa dapat menebak bayangan milik siapa yang kemudian terbukti dengan ketukan. “Tamu untukmu, Kawan,” celetuk Astrid bersamaan dengan ketukan pada pintu ruang kerja yang terdengar sebanyak tiga kali yang kemudian memunculkan Kimi yang menjulurkan kepalanya lebih dulu. “Mrs. Wagner, tamu Anda,” ucap Kimi. “Biarkan dia masuk,” ucap Tessa yang terdengar datar meski dirinya perlu bersusah payah untuk melakukan hal itu. Perasaan Tessa sedang kacau dan kemunculan Gemma tidaklah tepat rasanya. Menekan perasaan curiga yang tak mampu dipecahkan oleh Tessa menjadi siksa. Gemma muncul setelah Kimi mendorong pintu ruangan terbuka lebih lebar. Gemma dengan segala perangainya yang terlihat senang dan centil. “Hi, adik iparku,” sapa Gemma sambil melangkah masuk, menatap Tessa dan Astrid bergantian. Gemma muncul dalam balutan gaun pendek super ketat dengan belahan d**a rendah, menenteng sebuah tas tangan dengan warna yang sama. Langkahnya anggun dengan tumit sepatu yang mengetuk-ngetuk permukaan lantai. Berjalan mendekat pada Tessa yang melirik ke arah Astrid beberapa detik sebelumnya. “Bagaimana kabarmu?” tanya Gemma lagi dengan kecupan yang mendarat di kedua belah pipi Tessa. “Aku... aku baik.” Tessa tak mampu menjawab pertanyaan Gemma dengan hal lainnya. Tessa tak suka dengan keadaan yang terjadi dalam ruang kerjanya. Tampak Kimi yang telah menghilang, begitu juga dengan Astrid yang melambaikan tangan memberi tanda pada Tessa jika dirinya akan kembali ke meja kerjanya sambil melangkah keluar. Astrid juga dengan berbaik hati menutup pintu ruang Tessa di belakang langkahnya.   Bagai sengatan lebah bagi Tessa. Sikap Gemma yang sangat tidak disukai oleh Tessa sejak awal perte.muan keduanya dalam keluarga Wagner. Tessa tidak memiliki alasan kenapa dirinya memiliki perasaan seperti itu pada Gemma. “Aku terkejut dengan kunjunganmu, Gemma,” ungkap Tessa tanpa basa-basi dan Gemma telah duduk di kursi yang sebelumnya diduduki oleh Astrid. Gemma duduk dengan salah satu kaki ditumpangkan ke kaki lainnya hingga membuat gaun ketat merah yang dikenakannya naik, menampakkan pahanya yang mulus. Tessa merasa mulai tak nyaman dengan kehadiran Gemma dalam ruang kerjanya. “Aku suka kejutan dan aku baru saja mampir ke kantor suami-suami kita.” Suara Gemma terdengar antusias. Tessa telah duduk kembali di kursinya. Duduk berhadapan dengan Gemma Handler atau kini menjadi Gemma Wagner. Tessa terdiam, hanya menatap dan tak berniat untuk menanggapinya. Tessa telah tahu kenyataan yang dikatakan oleh Gemma barusan. Gemma mendekatkan kursinya pada meja. Meletakkan tas tangannya di atas meja kerja Tessa yang tampak sedikit berantakan. “Aku mendengar kau menghubungi Melisa dan menayakannya pada Melisa,” ucap Gemma dengan suaar pelan yang seakan dirinya sedang berbisik pada Tessa. Kenyataan yang seharusnya tak perlu dilakukan oleh Gemma mengingat jika mereka berdua sedang berada di ruang tertutup dalam gedung tempat Tessa bekerja. Tessa belum menyahut, hanya menatap dan masih mengamati Gemma. “Bagaimana mungkin dia tahu?” gumam Tessa sambil menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman segaris. “Kau tak bertanya bagaimana aku mengetahui jika kau ingin membuat kejutan untuk suamimu, Tess,” ungkap Gemma yang terdengar menyelidik. Tessa masih bungkam sementara tangannya meraih gelas air yang ada di sisi kanan dari tempat Tessa duduk. “Kau ingin minum apa?” tanya Tessa mengalihkan. “Aku datang bukan untuk minum kopi atau yang lainnya,” seloroh Gemma yang terdengar kesal dengan cara yang halus. Wajahnya tidak menunjukkan hal itu. Gemma menyandarkan punggungnya ke belakang sambil menatap Tessa yang baru saja mengembalikan gelas yang digenggamnya untuk kembali ke atas meja seperti sebelumnya. “Aku cukup terkejut dengan kemunculanmu di sini, Gemma. Dan aku---” “Aku memang suka membuat kejutan untuk siapa pun. Dan kau adalah istri dari Darek yang merupakan adik iparku, dan tidak ada salahnya jika---” “Sayangnya aku tidak menyukai kejutan apa pun,” sambar Tessa yang terdengar menahan kesal. Mimik wajah Tessa telah berubah masam. Tessa menghela napas dengan begitu dalam seakan Tessa membutuhkan banyak oksigen untuk tetap bisa berhadapan dengan Gemma yang tiba-tiba menoleh ke arah sofa di belakangnya. Kantung belanjaan yang Tessa letakkan di sana beberapa menit yang lalu bersama Astrid. Tessa menatap dengan menyelidik saat tatapan mata Gemma tertuju ke balik bahunya, ke arah kantung-kantung itu sebelum kembali menoleh ke arah Tessa yang telah tersenyum lagi. Senyum yang penuh kepalsuan, senyuman yang terasa menyiksa. “Kau habis berbelanja?” tanya Gemma sebelum dirinya beranjak dari kursi yang kemudian melangkah ke arah sofa di mana kantung-kantung itu berada. “Aku membeli beberapa makanan dan keperluan untuk Mom,” jawab Tessa polos tanpa menaruh curiga apa pun. Gemma terlihat memeriksa kantung itu satu per satu sedangkan Tessa hanya menatap dari mejanya. “Hmmm.. kau membeli banyak keperluan rumah tangga. Kau juga membeli kebutuhan pria,” ujar Gemma yang mulai terdengar menyebalkan di telinga Tessa. Wanita berusia 30 tahun bertubuh mungil itu mulai merasa kenyamannya terusik hingga membuatnya menarik napas lalu membuang semua kesal yang mulai terasa menyiksa seakan menjadi solusi terbaik. Mengenyahkan kekesalan dan menarik semua pertahanan diri. Gemma membuka tutup botol shampo yang dibeli Tessa untuk Darek dengan begitu santainya, tanpa peduli pada tatapan Tessa yang mulai menajam. Gemma mendekatkan permukaan atas botol yang telah dibuka ke depan hidungnya. “Aku suka aromanya. Kau pandai memilih kebutuhan suamimu, Tess,” ujar Gemma yang terlihat santai meski Tessa bergeming dan banyak memilih diam. “Apa yang sesungguhnya kau inginkan dari kedatanganmu menemuiku, Gemma?” Pertanyaan tanpa basa-basi yang meluncur dengan begitu saja dari mulut Tessa. Suara Tessa yang terdengar tegas, bahkan Tessa telah beranjak dari kursi kebesarannya, berdiri di sudut meja kerjanya dengan kedua tangan bersedekap di depan d**a. Tatapan tertuju sepenuhnya pada sosok Gemma yang perlahan tersenyum seakan tak terjadi apa pun. Gemma meletakkan kembali botol shampo untuk Darek yang dibeli Tessa ke dalam kantung belanjaan itu. Gemma tersenyum. “Aku hanya ingin mengetahui kejutan apa yang biasanya kau berikan untuk suamimu?” Suara yang terdengar centil bagi Tessa. “Apa maksudmu?” selidik Tessa dengan mengangkat alis sebelah. Menatap dengan curiga arah percakapan dirinya dengan Gemma. Perasaan Tessa perlahan menuju ke arah kesal yang mungkin hanya akan bertahan beberapa menit lagi. Gemma terkekeh sebentar lalu berjalan kembali ke arah kursi beroda yang ia tinggalkan beberapa menit lalu. Kursi yang ada tak jauh dari tempat Tessa berdiri saat ini. Langkah Gemma terlihat anggun. Pinggang rampingnya bergerak ke kanan dan ke kiri, senyuman yang mengambang. “Aku ingin membuat kejutan untuk Tom. Aku hanya merasa jika Tom sedang mengalami masalah di kantornya,’ ungkap Gemma yang terdengar serius. Tatapan matanya juga berubah, tampak ada kesedihan di sana. Gemma kembali menduduki kursinya. “Aku tahu kau suka membuat---” “Kau bisa memulainya dengan mencari tahu apa yang menjadi kesukaan suamimu, Gemma,” potong Tessa yang terdengar cepat. Gemma menatap dengan terkejut untuk beberapa detik sebelum senyumannya kembali terbit. “Aku yakin kau memahami suamimu. Mengetahui hal atau barang yang menjadi kesukaannya,” ungkap Tessa apa adanya tanpa perlu membuat Gemma berpikir keras. Tessa menarik napas lagi, menarik banyak oksigen. “Aku melakukan hal itu pada Darek. Hanya itu yang bisa aku katakan padamu,” imbuh Tessa yang mencoba untuk menekan perasaan tak nyamannya dengan kehadiran Gemma di kantornya yang selama ini tak pernah terjadi. Untuk pertama kalinya Gemma muncul di kantor Tessa. “Jika aku menanyakannya pada Tom, itu bukanlah kejutan, Tess,” seru Gemma yang membuat Tessa menatap apatis. Tessa menaikkan sebelah alisnya, lalu kembali melangkah mendekati kursi kebesarannya kembali. Tessa sedang mencoba untuk menilai seorang Gemma Wagner yang sedang menatapnya. Tessa memulai dengan mengamati bagaimana Gemma berbicara, gaya bicara yang centik, seakan terasa antusias namun tetap terlihat bodoh dengan hal yang seharusnya tak perlu dipikirkan terlalu rumit. “Aku ingin membuat kejutan yang---” “Kau bisa menanyakannya atau... mencari tahu semua itu melalui Mom,” saran Tessa pada akhirnya. “Apa?!” Suara Gemma terdengar lebih meninggi dengan memekik spontan. Mata lebar Gemma juga membesar seakan terkejut luar biasa, sedangkan Tessa hanya menatap dengan kening yang berkerut, penuh keheranan. “Aku harus ber---” “Ya itulah saranku. Mom lebih tahu anak-anaknya, Tom dan Darek.” “Kau melakukan itu pada---” “Ya,” sahut Tessa singkat dan enggan untuk melanjutkan. Tessa mengetuk-ngetukkan ujung jarinya pada permukaan meja sampai kemunculan kembali Astrid dari balik pintu dengan menjulurkan kepalanya. “Tess.” Astrid memanggil dan Tessa seketika menoleh ke arah pintu, begitu juga dengan Gemma yang memutar kursinya. “Aku ingin mengingatkan dirimu jika kita memiliki pertemuan dengan salah satu klien,” ujar Astrid yang membuat Tessa terdiam sambil mengingat. Gemma kini menatap Tessa yang kebingungan sampai Tessa mendapati kerlingan sebelah mata dari Astrid. “Aku harap kau tak melupakan hal itu, Tess,” tandas Astrid dengan suara yang dibuat sealami mungkin tanpa ada maksud apa pun bagi Gemma. Tessa tersenyum ke arah Gemma usai melirik ke arah Astrid yang masih berada di ambang pintu yang telah didorong untuk terbuka lebih lebar. “O ya, aku baru ingat hal itu,” ucap Tessa yang mengubah suaranya menjadi lebih ceria. “Maafkan aku, Gemma. Aku harus---” Tessa mamasang wajah kecewa di hadapan Gemma yang menatap dengan menyelidik. “Aku senang kau datang mengunjungiku dan kita membicarakan tentang suami-suami kita. Tapi aku---” “Ayo lah, Tess. Kita sudah terlambat beberapa menit,” sela Astrid yang terdengar mulai kesal. Gemma beranjak dari duduk. “Baiklah, aku akan pergi,” kata Gemma bersamaan dengan Tessa yang juga bangun dari duduk, menyambar buku catatatan, ponsel dan juga tablet miliknya yang tergeletak bersisian dengan laptop. “Senang bertemu denganmu, Gemma,” ungkap Tessa sambil berjalan meninggalkan ruangannya. Meninggalkan Gemma yang melangkah di belakang Tessa dan Astrid. Langkah Tessa berhenti tepat di tikungan koridor menuju salah satu ruang pertemuan. Tessa berbalik dan langsung menatap Gemma. “Sampai bertemu lagi di acara makan malam, Gemma,” ungkap Tessa tulus. Tampak Gemma yang tersenyum masam lalu pergi. “Ayo,” ajak Astrid sambil menarik tangan Tessa untuk bergegas meninggalkan Gemma tanpa menoleh lagi. Terdengar bisik-bisik antara Tessa dan Astrid di antara langkah keduanya yang kian menjauh dari Gemma yang masih berdiri mengamati keduanya. “Kau benar-benar menyebalkan, Tess,” gumam Gemma sambil kembali melangkah. Bukan untuk meninggalkan kantor Tessa menuju ke parkiran tapi untuk kembali ke ruangan kerja yang mereka tinggalkan. Gemma melangkah dengan santai menghampiri sofa, meraih dua buah kantung belanjaan milik Tessa dan setelahnya kembali berjalan keluar. Langkah Gemma anggun di bawah tatapan beberapa pasang mata dan salah satunya sepasang mata milik Kimi yang menatap heran sosok Gemma. “Bukan kah itu....”   ***   Tiga puluh menit yang lalu... “Bisakah kau membantuku untuk menerima barang-barang ini, Adikku Sayang?” sindir Matheo yang muncul dari balik pintu bersamaan dengan Christa yang baru meletakkan gagang pesawat telepon lalu berputar di atas kursi bulat dengan kaki tinggi yang menyerupai kursi bar. Christa nyaris berjingkat dan langsung bangun dari kursi untuk menerima semua barang yang dibawa oleh Matheo. “Kau sudah kembali. Tentu saja aku akan membantumu, Tampan,” balas Christa yang membuat Matheo tersenyum lebar lalu merengut kesal setelahnya di hadapan Christa. Namun gadis manis yang masih berstatus single itu tak tersinggung. Christa terkekeh sambil meletakkan semua barang di atas meja makan yang kosong “Aku tak tahu apakah masih ada yang kurang atau tidak. Aku sudah---” “Aku percaya padamu,” sambar Christa. Matheo menyeringai miring lalu berjalan ke arah lemari es dua pintu. Membuka salah satu pintunya yang seketika udara dingin menyerbu keluar, terasa sejuk di tengah rasa haus yang menerjang tenggorokan Matheo. “Aku telah mengundang semua orang yang memang harus hadir karena aku tahu Ibu memiliki kedekatan dengan orang-orang itu,” ucap Christa sambil mengeluarkan barang-barang yang dibeli Matheo dari dalam kantung. Deretan kaleng minuman yang tampak menggoda dan Matheo meraihnya satu lalu menutup pintu lemari es. Menarik kait kaleng cola dibagian atas hingga menimbulkan bunyi pssssttt. Christa menoleh saat sang kakak meneguk minumannya. “Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya Matheo setelahnya. Ia telah meneguk minuman dalam kaleng dengan menyisakan setengah dari isinya. “Aku hanya merasa senang kau kembali ke rumah ini, Theo,” ungkap Christa bersama dengan langkah Matheo yang mendekat, menghapus jarak di antara mereka. “Apa kau akan menetap di sini?” tanya Christa saat Matheo telah mendudukan tubuh berototnya di salah satu kursi yang berseberangan dengannya. Keduanya saling menatap satu sama lain. Matheo meletakkan kaleng minumannya di atas meja. Menatap sepenuhnya pada sosok Christa. “Aku belum tahu. Tapi aku mungkin akan sedikit lebih lama dari biasanya, Chris.” Matheo kembali mengangkat kaleng minumannya untuk menghabiskan sisa cola di dalamnya. “Aku berharap kau tetap di sini. Kita sama-sama menjaga Ibu sekembalinya dari London besok malam,” ungkap Christa sambil melipat kedua tangannya di atas meja. “Aku tahu kau memiliki kehidupan yang---” “Tidak,” sangkal Matheo cepat, menyingkirkan kaleng minuman di tangannya dengan melemparnya ke tempat sampah hingga terdengar bunyi benturan. Tembakan yang tepat dan tidak meleset. Kaleng masuk dengan sempurna. “Aku sedang memikirkan kehidupanku yang baru,” ungkap Matheo yang membuat Christa menatap dengan terkejut. Terdengar Matheo yang menarik napas lalu mengembuskannya dengan keras. “Aku ingin memulai kehidupanku yang baru. Aku merasa---” “Lakukan lah,” sambar Christa singkat dan Matheo tersenyum lebar. “Lakukan yang terbaik menurutmu, Theo,” imbuh Christa dengan suara yang penuh ketulusan. Christa meraih telapak tangan sang kakak yang kemudian digenggamnya dengan erat. Keduanya bertatapan. “Aku tahu kau sedang patah hati karena---” Matheo terkekeh hingga membuat Christa menghentikan kalimatnya lalu menatap Matheo dengan bingung. “Kau---” “Kau salah,” sanggah Matheo sambil mempererat genggaman tangannya pada telapak tangan sang adik. Matheo menundukan kepalanya sebentar, menatap pada genggaman tangan dirinya dan Christa sebelum kembali bertatapan. “Aku tak merasakan apa yang baru saja kau katakan, Sayang,” ungkap Matheo seakan menjadi sebuah pengakuan paling jujur. Chris menaikkan alisnya. Menatap sang kakak dengan bingung. Sikap Matheo yang menyiratkan kesakitan bahkan tampak seperti orang yang depresi dengan tidur sepanjang hari dan terbangun hanya untuk ke kamar mandi telah membuat Christa berpikir jika Matheo tidaklah baik-baik saja. Mathoe mencoba menilai asumsi Christa. “Aku hanya kelelahan dan aku kembali karena aku memiliki sebuah rencana untuk masa depanku, Christa.” “Lantas bagaimana dengan---” Matheo mengembuskan napasnya dengan kasar lalu tersenyum. “Aku tidak terkejut dengan keputusan Annabelle tentang hubungan kami,” ucap Matheo. Jeda dua detik. Matheo tersenyum di bawah tatapan Christa yang menyelidik meski didominasi dengan tatapan yang cemas. “Tenanglah. Aku baik-baik saja,” ujar Matheo disusul dengan senyuman yang mengambang di wajahnya bersama dengan bayangan sesosok wanita bertubuh mungil yang bertemu dengannya beberapa jam lalu di super market. “Siapa dia?” batin Matheo seorang diri tanpa menyadari jika Christa masih menatap.     ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD