Chapter : 9

2337 Words
 Astrid membawa Tessa bukan menuju ke ruang pertemuan yang seakan-akan tampak sibuk. Gadis cantik dengan rambut hitam yang dipotong pendek menyerupai potongan sosok Dami Moore dalam film Ghost itu membawa Tessa Wagner ke dalam sebuah ruangan yang lainnya. Menutup pintu di belakangnya dengan cepat. “Aku lupa jika kita memiliki pertemuan dengan seorang klien, Astrid,” ucap Tessa dengan santai dan polos. Sementara Astrid terdiam sambil bersandar di balik pintu yang telah tertutup kembali di belakangnya. Tessa menatap dengan bingung. “Di mana mereka?” selidik Tessa yang mulai menyadari jika tak ada klien atau hal lain yang berhubungan dengan pekerjaan. Astrid tersenyum aneh dan membuat Tessa seketika berubah curiga. “Jangan katakan jika kau-telah---” Astrid menjawab dengan anggukan. “b******k kau, Astrid,” seloroh Tessa sambil berbalik dan meletakkan semua barang yang dibawanya ke atas meja bulat yang ada di dalam ruang pertemuan yang diperuntukkan bagi dua orang saja. Astrid kerkekeh bersamaan dengan Tessa yang menarik salah satu dari dua kursi yang ada. Menatap Astrid denan bibir yang dimanyunkan, membiarkan Astrid menyelesaikan kekehannya. “Maafkan aku,” ungkap Astrid sambil beranjak lalu menarik kursi lainnya yang kemudian ia duduki berhadapan dengan Tessa. “Aku hanya ingin menyelamatkanmu dari wanita itu. Maksudku dari Gemma Wagner,” ucap Astrid dengan jujur dan mengakui kebenaran di hadapan Tessa. Tessa menaikkan kedua alisnya beberapa detik sambil melipat kedua tangannya di atas meja. “Aku tahu kondisimu dan dengan kemunculan wanita itu aku rasa bukan lah waktu yang tepat,” ungkap Astrid setelahnya yang kemudian meraih telapak tangan Tessa, menggenggam telapak tangan sahabatnya untuk rasa simpatik yang tulus dari seorang sahabat dekat. Astrid menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman. “Aku tahu kau pemeran watak yang handal, Tess. Kau mampu bersikap seolah tak terjadi apa pun di hadapan semua orang meski setelahnya kau akan menangis hingga kedua matamu bengkak dengan perasaan yang hancur lebur,” tukas Astrid panjang lebar yang tak ditampik atau disanggah oleh Tessa. Keduanya bertatapan dan menghadirkan jeda bagi mereka untuk menarik napas dengan begitu dalam. “Kau teman yang terlampau mengenal diriku, Astrid Baker,” timpal Tessa yang kemudian disusul dengan kekehan keduanya yang memenuhi seisi ruangan. Tessa menghela napas lagi dan keduanya telah melepaskan genggaman tangan mereka. “Aku berterima kasih padamu yang begitu pengertian pada keadaanku dan kau---” “Hey, kita berteman bukan baru kemarin. Aku tahu semua kisahmu,” sambar Astrid dengan lugas dan wanita bermanik mata hitam itu ingin mengingatkan pada Tessa akan masa pertemanan keduanya yang telah terjadin sejak beberapa tahun lalu. “Aku juga tahu jika sesungguhnya kau tidak bahagia dengan pernikahanmu, Tess. Tapi aku....” Astrid menelan ludahnya. “Aku hanya bisa menjadi tempatmu untuk membuang semua keluhanmu yang terasa bagai racun kehidupan seorang Tessa Madison. Kau yang sesungguhnya tidak lah seperti ini, Tess.” Astrid mengatakannya dengan apa adanya tanpa ada yang dirinya sembunyikan. Astrid merupakan gadis yang suka sebuah kejujuran. Persahabatannya dengan Tessa bertahan karena keduanya saling jujur sebagai teman. “Aku beruntung memiliki sahabat sepertimu, Astrid,” ungkap Tessa sambil mencondongkan tubuhnya ke depan dan menggeser kursi berodanya untuk mendekat pada sosok Astrid. Keduanya kemudian berpelukan dengan erat. “Aku sangat menyayangimu, Astrid.” “Aku juga menyayangimu, Tess,” balas Astrid. Keduanya saling mengusapkan telapak tangan mereka di punggung dengan gerakan naik turun, mengantarkan perasaan tenang dan hangat dalam jiwa masing-masing. Saling memberikan pengaruh positif dalam penguatan jiwa keduanya. “Apa yang kau rencanakan setelah ini?” tanya Astrid saat pelukan mereka telah lepas dan keduanya kembali saling menatap satu sama lain. “Aku memiliki acara makan malam bersama keluarga Wagner dan karena itu juga dia---” “Kakak iparmu,” sambar Astrid yang membuat Tessa mengangguk. “Dia datang untuk itu.” Jeda digunakan oleh Tessa untuk menarik mundur kembali kursinya sambil menarik napas tanpa melepaskan tatapannya dari Astrid yang menatapnya lurus. “Aku juga heran kenapa dia datang dan---” “Apa yang dikatakannya?” Suara Astrid terdengar menyelidik, membuat Tessa menatap dengan kelopak mata yang sedikit lebih lebar dari sebelumnya. Tessa tersenyum masam. “Aku tak benar-benar mengenal siapa Gemma Wagner selain dia wanita yang telah dinikahi oleh Tom Wagner kakak dari suamiku.” “Aku merasa wanita itu sangatlah menyebalkan,” seloroh Astrid memberikan pendapatnya tentang sosok Gemma. Tessa hanya tersenyum dan ujung jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Tampak nyata ketidak senangan Astrid pada Gemma. “Aku... bukan kah Tom dan wanita itu menikah setelah dirimu dan Darek?” Tessa menjawab dengan anggukan. “Terasa aneh,” desis Astrid yang duduk bersandar pada sandaran kursi di belakangnya. “Apa yang menurutmu aneh?” selidik Tessa spontan. Astrid tidak langsung menjawab, ia masih menatap Tessa yang berubah penasaran. Astrid tidak pernah mengenal Gemma Wagner, selama dua tahun pernikahan antara sahabatnya Tessa Madison dengan Darek Wagner, baru kali ini mereka membicarakan tentang wanita itu. Namun perasaan Astrid terganggu dengan kehadirannya. Astrid tenggelam dalam lamunan. “Hey, kau melamun?” tanya Tessa sambil menyenggol lengan Astrid yang tergeletak di atas meja, membuat wanita cantik itu mengerjap yang disertai dengan senyum apatis. “Apa yang sedang dirimu pikirkan?” tanya Tessa. Terdengar Astrid menarik napas lalu mengembuskannya. “Aku tidak suka dengan wanita itu. Maksudku Gemma Wagner,” seloroh Astrid yang membuat Tessa terkekeh. “Aku tahu kau juga memiliki pendapat yang sama denganku, iya kan?” Astrid bertanya sambil menatap Tessa dengan kerlingan sebelah matanya yang terasa jenaka. Keduanya tertawa bersama dalam ruang pertemuan yang sempit itu untuk beberapa saat.   ***   Christa telah meninggalkan ruang makan beberapa menit lalu usai sebuah panggilan menderu dari ponselnya. Menyisakan keberadaan Matheo sendirian di sana. Keheningan yang menyelinap seketika. Matheo sedang berpikir tentang semua pembicaraannya dengan sang adik beberapa menit lalu. Christa memiliki asumsi dalam kepala tentang keadaannya. Tapi tidak lah salah juga menurut Matheo yang tahu jika sang adik begitu menyayanginya.  Perasaan patah hati karena seorang wanita bukan lah sepenuhnya yang menjadi penyebab bagi Matheo. Pria bertubuh kekar itu telah memutuskan untuk mengencani gadis belia yang usianya terlampau jauh. Tak hanya itu, Annabelle juga sedang dalam fase kehidupan yang penuh gairah dengan ambisi untuk menjadi seorang model terkenal dunia. Ambisi yang memang harus dimiliki oleh gadis seumur Annabelle. Semua berbanding terbalik dengan Matheo yang tak lagi memikirkan sebuah ambisi. Ia telah berada di puncak karir yang pernah dirinya bayangkan. Berada di kesatuan khusus, menangani banyak kasus yang dirahasiakan selama beberapa tahun terakhir rasanya cukup. Pertemuannya dengan Annabelle di sebuah klub juga tanpa sengaja. Hanya sekedar menjadi pelipur dari rasa sepi saat jeda tanpa kasus yang ditanganinya. Pekerjaan yang mengandung risiko besar. Karena itu juga Matheo tak ingin melibatkan keluarga Andrew yang telah mengadopsi Matheo dari sebuah panti asuhan di kota Roma, Italia. Bayangan masa lalu itu perlahan kembali hadir, menyelinap masuk untuk membuka kotak kenangan di dalam ingatan Matheo. Lorong waktu itu kembali terbuka dan menyeret Matheo dalam lamunan yang panjang.   Di suatu siang di sebuah ruas jalan di Roma Matheo Andrew yang memiliki nama nama lahir Matheo Moretti ingat jika hari itu hari Minggu dan kota selalu ramai dengan arak-arakan pendukung sepak bola yang berduyun-duyun menuju stadion. Menyaksikan pemain sepak bola kesayangan berlaga dengan begitu menegangkan. Begitu juga dengan Matheo yang baru saja memenangkan sebuah lotre dengan hadiah tiket menonton pertandingan secara langsung. Matheo yang tinggal di sebuah panti asuhan di pinggiran kota harus menempuh perjalanan dengan berkendara untuk bisa tiba tepat waktu sebelum pluit dibunyikan. Kebahagiaan Matheo dengan lotre yang didapatkannya membuatnya bingung untuk meminta izin pada pengurus panti hingga salah satu kawan Matheo membocorkan hal itu pada kepala panti. Matheo remaja yang saat itu bimbang dan juga takut jika tindakannya akan berakhir dengan hukuman. Namun yang terjadi malah sebaliknya. “Kau tak perlu takut jika aku akan menghukummu, Theo.” Suara kepala panti yang masih berusia muda usai menggantikan kepala panti sebelumnya yang telah didera sakit hingga tak mampu melakukan tugasnya di panti. Matheo menatap pria bernama August Ricci itu dengan tatapan bingung. “Aku suka suka memasang lotre. Bukan hal yang mudah kau mendapatkan keberuntungan selain takdir yang memang diperuntukkan bagimu. Theo>’ Pria berkumis lebat itu menepuk bahu Matheo sebanyak dua kali dan menatap dengan lurus sambil tersenyum. Matheo masih mencoba menebak arah pembicaraan siang itu. “Aku akan mengizinkanmu pergi ke pertandingan sepak bola itu.” “Sungguh?!” Suara Matheo memekik lantang hingga membuat dua pasang mata penghuni panti lainnya menatap heran. Dua orang anak panti yang kebetulan melewati ruangan milik August. Matheo dan August langsung bersikap biasa di hadapan kedua anak itu dan membiarkan mereka berlalu. “Anda benar-benar mengizinkan saya untuk pergi ke---” “Ya, aku mengizinkanmu tapi dengan syarat.” Alis Matheo naik sebelah, menatap dengan terkejut sosok August yang menjulang di hadapannya. “Apa maksud Anda dari---” “Bukan syarat yang memberatkan, mungkin aku hanya butuh bantuanmu untuk mengantarkan sebuah keperluan sehari-hari ke sebuah panti lain.” August terdiam sebentar sambil berjalan ke arah meja kerjanya lagi dan membiarkan Matheo menatap dengan bingung. “Sebuah panti yang malang karena kepala panti mereka baru saja meninggal dunia dan semua anak-anak penghuni panti dikhawatirkan akan tidak terurus.” “Apakah mereka akan---” “Kami semua pengurus panti belum memutuskan apa-apa, Theo.” Mimik wajah August terlihat serius. “Entah mengapa aku menceritakan masalah ini padamu. Seharusnya aku---” “Aku akan membantu mereka jika Anda mengizinkan saya dan---” “Kau bisa membawa truk s**u di belakang.” August mengatakannya dengan santai. “Kau antarkan lebih dulu s**u itu sebelum kau---” “Ya tentu, aku akan mengantarkan s**u lebih dulu ke panti itu dan setelahnya aku akan pergi ke stadion untuk menyaksikan pertandingan,” ucap Matheo dengan suara senang dan penuh antusias hingga mimik wajahnya berubah menjadi semeringah. Senyuman mengembang yang membuat wajah tampan Matheo mudah kian terlihat tampan. August hanya mengangguk dengan senang. August tahu jika Matheo anak yang berbeda, anak yang cerdas dan penuh simpatik selain dapat dipercaya meski masih ada anak panti lain yang usianya jauh di atas Matheo, namun August telah membuktikan perkataan kepala panti sebelumnya yang mengatakan jika Matheo Moretti layak mengemban kepercayaan dalam panti. Matheo pergi dengan mengenakan baju yang baru saja ia ambil dari lemari pakaian yang berdiri tegak di sudut kamar. Mengenakan pakaian baru hasil dari uang tabungan yang berhasil dirinya kumpulkan. Membeli pakaian tanpa tahu akan digunakan kapan dan kemana. Matheo belia yang tampak modis sejak kecil namun tetap sederhana dan tidak memaksakan diri dengan keinginannya. Matheo sadar jika dirinya hanya anak panti yang dititipkan oleh ibunya yang meninggalkan karena terserang malaria. Matheo yang masih balita dititipkan ke panti asuhan usai kepolisian kota Roma tidak berhasil menelusuri jejak keluarga dari mendiang ibu Matheo. Matheo beranjak dari panti tiga jam sebelumnya. Matheo telah menghitung waktu tempuh dengan segala kemungkinan hal yang tak diinginkan bisa saja terjadi. August Ricci telah mengisi truk pickup dengan beberapa kontainer s**u yang terbuat dari stainless steel berukuran besar. “Ini alamat panti yang harus kau datangi, Theo,” ucap August sambil memberikan secarik kertas yang bertuliskan alamat panti yang ditulis dengan tangan. Guratan tangan August yang tampak tajam dan rapat. Matheo memandangi kertas yang diterimanya, mencoba untuk membacanya dengan benar dan mengingat. “Kau tahu tempatnya?” tanya August yang mendapati mimik wajah ragu Matheo. “Aku akan tetap mencarinya. Percayakan padaku,” jawab Matheo dengan percaya diri. Matheo pergi dengan perasaan suka cita. Bukan hanya karena dirinya yang akan dapat dengan langsung menyaksikan jagoan sepak bolanya akan berlaga sore nanti dalam laga tahunan dan bertemu dengan lawan yang tangguh. Matheo juga akan melakukan hal baik lainnya. Menjalankan tugas untuk menyampaikan amanat adari August yang dipercayakan pada dirinya. Panti asuhan di kota Roma bukan hanya panti asuhan yang menjadi tempat Matheo kini. Tapi masih memiliki beberapa panti lainnya. Namun Matheo merasa beruntung karena panti asuhan tempatnya bernaung jauh lebih baik dari panti asuhan lainnya. Mathoe mengendarai mobil pickup itu dengan cepat, menghindari kemacetan yang akan terjadi. Matheo harus sampai di Stadion Olimpico, Roma satu jam sebelumnya. Bahkan jika bisa harus lebiih dari itu. Matheo telah membaca alamat panti asuhan yang menjadi tujuan dari s**u-s**u yang hendak dirinya antar. Tak jauh, hanya butuh waktu tiga puluh menit. Jalan dengan permukaan tanah yang tidak rata bukan lah sebuah kendala bagi Matheo. Dirinya tiba di halaman panti yang terlihat sederhana dan ukurannya lebih kecil dari panti tempat dirinya tinggal. Seorang wanita dewasa muncul dari balik pintu dan langsung berjalan mendekat pada Matheo. “Selamat siang. Perkenalkan namaku Matheo Moretti. Aku mendapatkan---” “Ya, kami telah diberitahu oleh August Ricci jika kalian akan mengantarkan s**u untuk kami.” Wanita itu menatap Matheo sambil tersenyum. “Bukan hanya s**u, tapi makanan lainnya juga,” ujar Matheo meralat dan wanita itu mengangguk sebelum kembali ke dalam untuk memanggil anak-anak panti yang akan membantunya. Matheo tak membutuhkan waktu lama di panti itu, ia langsung beranjak pergi dengan mobil itu menuju Stadion Olimpico yang jaraknya cukup jauh, butuh waktu satu jam perjalanan. Matheo masih memiliki semangat luar biasa dengan semua rencananya hingga malang tak dapat ditampik dirinya telah menabrak seorang gadis yang muncul dengan tiba-tiba dan kini tergeletak di atas asplan jalanan dengan beberapa pasang mata yang menatap tajam ke arah Matheo. “Oh tidak Tuhan,” gumam Matheo yang seketika panik dan berhamburan keluar dari dalam mobil. Beberapa orang telah mendekat untuk mengetahui siapa korban tabrakan dan siapa pelaku. Gadis berambut cokelat itu terbaring pingsan dengan kening yang terluka parah. Darah segar itu mengalir di sepanjang pelipis. “Kau tidak berhati-hati, Nak!” seru seorang pria. Sore yang telah berubah ramai dengan konvoi para penonton sepak bola. “Kau harus membawanya ke rumah sakit atau klinik.”     “Kau harus bertanggung jawab untuk kelalaianmu!” racau yang lainnya dan semua itu terus berahut-sahutan di sekeliling Matheo hingga membuat Matheo tak mampu berpikir dengan benar. “Hei kau dengar?! Kami bisa membawamu ke kantor polisi karena telah menabrak orang.” “Tidak..Aku tidak bermaksud begitu.” “Bawa dia atau kami akan membawamu ke kantor polisi.”   Deru ponsel Matheo membuat semua bayangan dalam ingatannya menguap begitu saja. Matheo mengerjap lalu menatap layar ponselnya yang berubah terang dengan nama Sean rekan Matheo di kesatuan. “Sial.”   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD