bc

Mandul

book_age12+
1
FOLLOW
1K
READ
BE
fated
tragedy
small town
like
intro-logo
Blurb

Himbauan!

Bacaan dewasa untuk tujuh belas tahun ke atas.

Kalimat yang digunakan dan tindakan yang diperbuat kasar dan keterlaluan. Harap memilih bacaan yang sesuai umur!

chap-preview
Free preview
1. Adik Ipar Keterlaluan
“Nyapu yang bersih ya kak!” kata Nita tidak sopan kepada kakak iparnya yang tengah menyapu di sekitar ia duduk dengan tumpang kaki di sofa sembari membaca novel. “Kakak kan numpang di sini, jadi sudah sewajarnya banyak membantu pekerjaan rumah. Kasihan kan mamah, sudah tua. Masa iya harus menuntaskan semua kerjaan rumah ini sendirian.” “Kamu juga harusnya bantu Nita. Jangan cuma duduk seharian, nonton televisi, rebahan di kasur sambil teleponan sama pacar kamu, apa enggak bosan?” Nita tersinggung dan seketika ia menutup bukunya. “Kakak nyuruh aku?” Annisa menghentikan kegiatannya dan menatap adik iparnya dengan berani. Takut apa? Dia lebih mudah umurnya. Harusnya bisa berkata lebih sopan dong kepada yang lebih tua apalagi Annisa itu kakak iparnya. Menghargai sedikitlah keberadaannya yang memang bukan pembantu di rumah ini. “Kakak bukan menyuruh kamu, tapi kalau kamu memang merasa disuruh ya enggak apa-apa juga. Lagian, kamu kan perempuan Nit. Kelak kamu akan menikah, punya suami, melahirkan dan punya anak-anak. Belajarlah dari sekarang mulai mengerjakan pekerjaan rumah sedikit-sedikit. Biar enggak kaget nantinya ketika dihadapkan pada kewajiban sebagai seorang istri.” Nita nampak kesal dan ia berdiri berhadapan dengan kakak iparnya. “Kakak bilang apa tadi? Menikah? Punya anak? Kakak sendiri pernah mengalami punya anak?” Nita mencibir. “Kakak itu sudah tiga tahun menikah dengan Kak Bayu dan belum bisa kan kasih anak? Jadi, jangan bawa-bawa soal anak dan jangan sok-sok ngajarin aku tentang bagaimana caranya membersihkan, mengurusi pekerjaan rumah!” Annisa menelan liurnya yang seakan berubah pahit. Sementara Nita terus saja mencecar dengan kata-kata yang tidak mengenakan dan sorot matanya tajam melawan. “Kak, kakak tuh harusnya sadar. Sebelum kakak ada di sini, hidup kami sekeluarga damai. Enggak pernah ribut dan Kak Bayu selalu menurut apa kata mamah. Tetapi setelah kakak masuk ke sini, ketenangan seolah hilang dan lenyap! Dan itu semua gara-gara kakak!” Nita menunjuk muka Annisa dengan sangat kasar dan matanya melotot. “Kamu ngomong apa sih Nit? Kakak selama ini selalu berusaha untuk menghargai dan menghormati kalian. Apapun yang kalian minta kakak ikuti dan apa yang kalian suruh kakak selalu lakukan. Kakak enggak pernah kan menolak atau mengawali ngajak ribut kamu? Bahkan barusan pun kamu yang memulai duluan, bukan kakak!” Dari dalam kamar, sang tuan rumah ke luar dan menghampiri. “Ini apa sih? Pagi-pagi kok sudah ribut begini?” “Ini mah, Kak Annisa. Nita lagi baca buku disuruh bantuin kerjaan dia.” Nita mengeluh yang sedikit terselip dusta. Kapan Annisa memintanya untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah? “Benar begitu Nis?” “Mah, Annisa enggak nyuruh Nita. Annisa hanya menyarankan kepadanya agar mulai sekarang membiasakan diri untuk membersihkan rumah. Menyapu atau mengepel atau mencuci piring atau mencuci pakaian sendiri, karena ini semua kan memang pekerjaan perempuan. Nita sudah besar, bukan anak kecil lagi dan ini semua nantinya tentu akan pula menjadi kewajibannya setelah ia menikah. Supaya Nita enggak kaget juga nantinya kalau ternyata mesti dihadapkan pada tugas menuntaskan pekerjaan rumah. Masa mau suaminya.” “Heh, Annisa! Nita ini anak saya, dia juga yang punya rumah ini, sedangkan kamu? Kamu itu cuma numpang hidup kepada kami. Suka-suka dialah. Mau dia ngapa-ngapain, selagi itu enggak merugikan kamu, enggak usah kamu atur-atur dan turut campur hidup dia!” “Lagian ya mah, aku tuh heran sama Kak Bayu. Cerai sama istri pertama bukannya dapat yang lebih baik malah … Mana sampai sekarang belum bisa kasih anak.” Kening Nita mengerut dan tatapannya menyelidik. “Jangan-jangan dulu kamu pakai pelet atau guna-guna ya supaya Kak Bayu mau sama kamu?” “Astaghfirullahal’adzim. Kamu ngomong apa sih Nit. Jangan menuduh kalau enggak ada bukti. Kalau memang aku pakai pelet seperti yang kamu tuduhkan tadi, masa iya sampai detik ini selama tiga tahun kakakmu itu masih betah sama aku?” “Ya siapa tahu. Aku kan sudah kasih pengertian ke Kak Bayu, kalau kamu itu sama suami pertama saja enggak bisa ngasih anak, padahal kalian sudah menikah dua tahun kan? Dan sekarang, Kak Bayu juga ketimpa getahnya. Enggak bisa punya anak. Lagian, menikah sama janda mandul!” Mendengar kalimat menyakitkan adik iparnya, Annisa serasa tersengat listrik dan ia terpancing amarah. “Nita, jaga mulut kamu ya! Yang sopan kalau ngomong! Aku selama ini diam atas semua sikap kamu yang enggak beretika ini, tapi sekarang kesabaranku sudah habis dan kamu benar-benar keterlaluan!” “Annisa, jaga sikap kamu terhadap adik ipar kamu! Sesalah apapun dia, dia tetaplah yang berhak berada di rumah ini. Tapi kamu, sebenar apapun kamu, kamu tetap dianggap salah!” “Mah, aku curiga sama dia. Dari dulu aku kan sudah menyarankan kepadanya dan juga kepada Kak Bayu untuk mengecek kondisi kesehatan mereka dan aku yakin, Kak Bayu pasti sehat. Dia kan sudah pernah tes kesehatan sebelum melamar pekerjaan, sudah punya anak juga dengan mantan istri pertamanya, tapi kalau Kak Annisa … Mah, jangan-jangan Kak Annisa ini sebenarnya pakai KB yang dipasang di rahim! Apa namanya mah?” “Spiral?” “Bisa jadi. Ngaku saja deh kak. Kakak pakai KB spiral ya supaya enggak bisa hamil? Atau jangan-jangan kakak kayak Teh Desi, tetangga yang rumahnya di ujung g**g sana? Dia pernah keguguran, dipijat tanpa dikuret, dan sampai sekarang usia pernikahan dia dan suaminya yang memasuki tahun ke sepuluh belum juga dikaruniai anak! Jangan-jangan kakak pernah hamil sama suami yang dulu dan belum sempat dikuret ya? Ngaku!” “Nita, ngomong apa sih kamu! Jangan bicara tanpa bukti. Itu sama saja menuduh!” “Aku enggak menuduh. Tetapi bicara sesuai fakta pengalaman orang lain yang bisa saja itu sebetulnya sudah menimpa kamu dan kamu sengaja menyembunyikannya dari kami, karena kamu punya niatan dan tujuan tertentu kepada kami terutama kepada Kak Bayu, iya kan?” “Nita, kamu benar-benar sudah keterlaluan!” Bola mata Annisa mulai berkaca-kaca. “Tapi sepertinya yang dikatakan Nita ada benarnya juga. Kalau kamu merasa sehat dan enggak pernah punya pengalaman keguguran serta enggak punya tujuan lain kepada putra saya, selain memang cinta, harusnya sejak dulu kamu mau dong dicek kondisi kesehatannya. Jangan menolak setiap kali diajak Bayu ke rumah sakit atau kamu memang takut ketahuan yang sebenarnya?” “Mah, Annisa menolak bukan karena takut. Annisa cuma enggak mau membebani Mas Bayu. Perjalanan dari sini ke rumah sakit kan lumayan jauh, belum lagi untuk cek pasti memerlukan biaya, sementara mamah tahu sendiri kalau keadaan ekonomi kami masih seperti ini dan Annisa pikir, untuk ke arah sana belum menjadi prioritas. Mah, kalau Allah sudah berkehendak, Annisa yakin, pasti kami juga akan dianugerahi seorang bayi. Mamah enggak usah khawatir. Serahkan semuanya sama Allah.” “Kalau soal ceramah kamu memang paling pintar ya! Sudah, mamah enggak mau ribut! Sebentar lagi Bayu dan papah pulang, jangan sampai mereka menyaksikan kita enggak akur lagi. Kasihan mereka baru pulang kerja! Mestinya disambut dengan penuh suka cita, bukan dengan keributan!” Mamah menarik pergelangan tangan putrinya masuk ke dalam kamarnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Her Triplet Alphas

read
7.0M
bc

The Heartless Alpha

read
1.5M
bc

My Professor Is My Alpha Mate

read
473.7K
bc

The Guardian Wolf and her Alpha Mate

read
519.7K
bc

The Perfect Luna

read
4.1M
bc

The Billionaire CEO's Runaway Wife

read
612.8K
bc

Their Bullied and Broken Mate

read
472.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook