bc

Dikejar Berondong Tengil

book_age18+
34
FOLLOW
1K
READ
HE
boss
heir/heiress
drama
bxg
lighthearted
serious
city
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Aurora tak pernah menyangka malam itu akan menghancurkan seluruh hidupnya.

Ia memergoki Dion, kekasihnya, bercinta dengan sahabatnya sendiri, Maya. Bukan hanya hatinya yang hancur, Dion juga memberikan hasil desain miliknya dan mengakuinya sebagai karya Maya.

Patah hati dan kehilangan arah, Aurora bertemu Lucas mahasiswa muda yang tanpa sengaja hadir di saat terburuk dalam hidupnya.

Satu malam penuh emosi terjadi di antara mereka, malam yang seharusnya tidak pernah ada.

Namun hidup tak memberi kesempatan kedua.

Keluarga Lucas, pewaris Maverick Group, menganggap kejadian itu sebagai aib dan mengirimnya ke luar negeri.

Sementara Aurora harus menanggung akibat dari malam itu sendirian hingga ia tahu dirinya hamil.

Dikeluarkan dari kampus dan kehilangan segalanya, Aurora pergi ke luar negeri, membangun hidup baru sebagai jurnalis. Ia membesarkan dua anak kembar, Zoya dan Zean, tanpa pernah memberi tahu siapa ayah mereka.

Delapan tahun kemudian, takdir kembali mempertemukannya dengan Lucas, kini seorang CEO muda yang sukses, dingin, dan berkuasa.

Aurora datang untuk mewawancarainya… tanpa tahu, pertemuan itu akan membuka kembali masa lalu yang berusaha ia kubur selamanya.

chap-preview
Free preview
Pengkhianatan
“Sayang, kamu yakin Aurora akan menyerahkan desain itu padaku?” suara Maya terdengar manja, senyum licik tersungging di sudut bibirnya. Dion menatapnya dengan tatapan penuh percaya diri. “Tenang saja, Sayang…” ujarnya sambil tersenyum miring. “Aurora terlalu mudah dikendalikan. Kalau dia tidak mau memberikannya, aku tahu cara lain untuk membuatnya menyerah.” BRAK! Suara pintu yang terbuka keras membuat keduanya menoleh cepat. Aurora berdiri di sana, wajahnya pucat, matanya memerah menahan amarah dan kecewa. Jemarinya menggenggam erat tali tasnya, seolah berusaha menahan diri agar tidak melempar sesuatu ke arah mereka. Suasana hening beberapa detik, hanya detak jantung Aurora yang terasa bergemuruh di dadanya. “Au… Aurora…” gumam Dion terbata, refleks menegakkan tubuhnya dan merapikan selimut yang menutupi tubuhnya dan Maya. Aurora menatap mereka tanpa kata. Matanya tajam, tapi penuh luka. Ia baru saja kembali dari Paris setelah mengikuti kompetisi desain perhiasan bergengsi, di mana ia mewakili universitasnya dengan bangga dan menjadi juara 1. Ia sengaja tak memberi tahu Dion bahwa ia pulang hari ini ingin memberi kejutan untuk pria yang dicintainya. Namun kenyataannya… justru dialah yang mendapat kejutan paling menyakitkan. Dion dan Maya segera mengenakan pakaian mereka, dan berdiri berhadapan dengan Aurora. Kejutan berupa pengkhianatan, dari dua orang yang paling ia percayai. “Aurora, aku bisa jelaskan… ini tidak seperti yang kamu pikir....” “CUKUP!” potong Aurora dengan suara lantang yang bergetar. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan, sementara suaranya pecah di ujung kalimat. Dion terdiam, menatapnya dengan wajah panik. Tapi Aurora tak memberinya kesempatan sedikit pun untuk bicara. Di sisi lain, Maya justru menatap pemandangan itu dengan senyum sinis. Bibirnya terangkat perlahan, seolah menikmati setiap tetes air mata yang jatuh dari wajah Aurora. “Jadi selama ini kamu berhubungan denganku hanya untuk mendapatkan desain-desainku?!” suara Aurora bergetar, matanya menatap Dion dengan amarah yang hampir membakar. “Dan setelah itu… kamu memberikannya kepada wanita itu?!” Tangannya terangkat, menunjuk Maya dengan gemetar penuh emosi. “Aku tak akan membiarkan itu terjadi lagi, Dion!” seru Aurora dengan air mata yang kini mengalir deras di pipinya. Maya menyilangkan tangan di d**a, senyum sinisnya semakin lebar. “Kamu yakin bisa melakukannya, Aurora?” katanya lembut, tapi tajam seperti belati. “Kamu kan cinta banget sama Dion. Sepertinya kamu gak keberatan berbagai pria denganku, bukan? Lagian….” Maya mendekat satu langkah, suaranya berubah menjadi ejekan. “Siapa juga yang mau sama perempuan seperti kamu yang gak bisa memikat pria yang kamu cintai?” Aurora tertegun. Napasnya tersengal, d**a terasa sesak oleh ucapan itu. Tapi sebelum ia sempat membalas, Dion justru bersuara dengan nada dingin. “Aurora, jangan salahkan aku,” kata Dion datar, namun nada suaranya mengandung kesombongan yang menusuk. “Bukan aku yang memaksamu, kamu sendiri yang memberikan file-file desain kamu kepadaku, dan salah kamu juga terlalu percaya denganku! ” Dion menyeringai kecil. “Dan aku? Aku hanya pria normal, Aurora. Pria yang butuh kenyataan, bukan kepura-puraan, sedangkan kamu selalu menjaga diri, dasar sok suci.” Aurora menatapnya tak percaya. Suaranya tercekat, sementara hatinya seolah diremas hingga hancur. Yang ia cinta ternyata pria yang tega menginjak harga dirinya. Aurora menghapus jejak air matanya dengan gerakan cepat, lalu menatap Dion dengan mata yang masih basah tapi kini penuh ketegasan. Tanpa ragu, ia melepaskan cincin di jari manisnya, cincin yang dulu menjadi simbol cinta mereka dan melemparkannya tepat ke arah d**a Dion. “Kita Putus!” suaranya pecah, lantang, dan penuh luka. Dion hanya diam. Tatapannya kosong, seolah tak memahami betapa hancurnya perempuan di depannya. Cincin yang tadi ia lempar kini tergeletak di lantai, berputar pelan sebelum akhirnya berhenti menjadi saksi berakhirnya cinta yang pernah ia perjuangkan sepenuh hati. Aurora melangkah keluar dari apartemen Dion dengan langkah gontai. Langit menangis bersamanya malam itu. Rintik hujan yang awalnya lembut kini berubah deras, memukul bahunya, membasahi rambutnya yang sudah berantakan. Tapi tidak ada yang lebih dingin daripada hatinya yang baru saja pecah berkeping-keping. “Tiga tahun... dan semua itu cuma permainan?” Bisikannya tenggelam di antara suara hujan. Setiap langkah terasa berat. Napasnya terengah, matanya panas menahan air mata yang memaksa keluar. Namun saat tetesan air di wajahnya makin banyak, ia tak lagi tahu mana air hujan dan mana air mata. Ia tak punya arah. Tak tahu ke mana harus pergi. Akhirnya, tubuhnya berhenti di sebuah halte kecil di tepi jalan, sepi dan gelap. Lampu jalan berkelip, menambah muram malam itu. Aurora duduk di bangku kayu, memeluk dirinya sendiri, mencoba meredam gemetar yang menjalar sampai ke tulang. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia duduk di sana, sampai suara mesin motor berhenti di hadapannya. Seorang pria dengan jas hujan hitam turun, menatapnya dengan tatapan cemas. “Kak Aurora, ya?” Aurora mendongak pelan. Air hujan menetes di wajahnya yang pucat. Suara itu asing, tapi lembut. “Kamu siapa?” suaranya dingin. Pria itu membuka helmnya. Wajah muda, kulit putih bersih, rambut agak basah menempel di dahinya. Senyumnya kikuk tapi hangat. “Aku Lucas. Mahasiswa semester dua. Kakak kenapa di sini sendirian?” Aurora memandangnya datar. “Kamu kenal aku?” Lucas menggaruk tengkuknya, malu-malu. “Nggak kenal langsung sih… tapi siapa yang nggak tahu Kak Aurora? Mahasiswa desain paling berbakat di kampus.” Aurora tersenyum hambar. “Semua itu nggak ada artinya. Prestasiku cuma dimanfaatkan orang lain.” Nada suaranya getir. Lucas bisa merasakan luka di balik kata-kata itu. Lucas ingin bertanya, tapi Lucas mengurungkan niatnya. Wajah Aurora terlalu rapuh malam itu. “Kak, udah malam banget. Hujannya juga makin deras. Aku antar pulang, ya?” Aurora menatapnya sesaat ragu, tapi lelah menolak. Ia mengangguk pelan. Lucas segera memakaikan jas hujannya di bahu Aurora. “Biar kakak nggak terlalu basah.” Aurora naik ke motor, dan Lucas pun melaju pelan menembus hujan yang semakin menggila. Jalanan kosong, lampu-lampu kota tampak seperti garis cahaya yang kabur. Namun beberapa menit kemudian, motor Lucas tersendat, lalu mati total di tengah jalan. “Kenapa?” tanya Aurora, suaranya pelan tapi menggigil. “Entahlah, kayaknya kena air,” jawab Lucas, menepuk-nepuk setangnya. Aurora mendengus kesal. “Motor keren, tapi mogok juga. Ironis.” Lucas terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana. “Mungkin motornya gugup boncengin cewek cantik.” Aurora hanya memutar bola matanya, malas menanggapi. Tapi di antara dingin dan lelah, ia hampir tersenyum. “Terus kita mau gimana?” “Ya, kita dorong. Sekalian olahraga malam,” jawab Lucas ringan. Aurora mendecak. “Astaga, aku nggak nyangka bisa seapes ini.” “Setidaknya kakak nggak sendirian,” balas Lucas sambil tersenyum. “Kalau sendiri, bahaya loh... bisa diculik orang.” Aurora meliriknya sekilas. Entah kenapa, ucapannya yang konyol sedikit menghangatkan d**a yang dingin. Setelah sekitar sepuluh menit mendorong motor di bawah hujan, Lucas menyadari wajah Aurora semakin pucat. “Kak, kita nggak bisa begini terus. Aku lihat ada penginapan kecil di depan sana. Ayo berteduh dulu.” Aurora tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan. Lucas segera menarik tangannya dan menuntunnya masuk ke penginapan kecil di pinggir kota. Tempatnya sederhana, tapi cukup hangat. “Kak, cuma ada kamar ini. Kalau terus di luar, kakak bisa sakit,” ujar Lucas. Aurora menatapnya sekilas, lalu berbisik, “Nggak apa-apa... aku cuma butuh istirahat.” Begitu pintu kamar tertutup, udara hangat menyelimuti mereka. Aurora duduk di tepi ranjang, rambut dan bajunya basah kuyup. Tubuhnya menggigil hebat. Lucas buru-buru mengambil handuk dan memberikannya. “Kak, keringin badan dulu. Nanti masuk angin.” Namun Aurora tak bergerak. Matanya sayu, napasnya berat. Lucas menghela napas dan berkata pelan, “Kak, kalau kita masih pakai baju basah ini, tubuh bisa hipotermia.” Aurora menatapnya waspada. “Apa maksudmu?” Lucas melepas kancing bajunya, memperlihatkan tubuhnya yang juga basah kuyup. “Santai, Kak. Aku cuma nggak mau kita mati kedinginan. Kita keringkan diri, lalu tidur di bawah selimut. Nggak lebih.” Aurora diam beberapa detik, lalu perlahan menunduk. Ia tahu Lucas benar. Dengan tangan gemetar, ia melepas kemeja basahnya dan menggantinya dengan sweater yang Lucas pinjamkan. Lucas membungkus tubuh mereka berdua dengan selimut tebal, lalu menarik Aurora ke dalam pelukannya dengan hati-hati. “Kalau kakak nggak keberatan… aku peluk ya. Biar nggak dingin.” Aurora mengangguk pelan. Tubuhnya memang butuh kehangatan. Namun saat Lucas memeluknya, ada sesuatu yang lain sesuatu yang ingin lebih dari kehangatan. Napas Lucas berembus di leher Aurora, membuat kulitnya meremang. Detak jantungnya berdetak cepat, tak seirama dengan tenangnya hujan di luar. Aurora menelan ludah. “Lucas...” Lucas menatapnya, dan untuk sesaat dunia di sekeliling mereka lenyap. Tak ada yang tahu siapa yang lebih dulu bergerak. Tapi ketika bibir mereka akhirnya bertemu, semuanya mengalir begitu saja. Hujan di luar beradu dengan detak jantung di dalam kamar kecil itu, dan malam pun menjadi saksi ketika dua orang yang sama-sama menginginkan kehangatan dan menemukan pelukan yang tak seharusnya terjadi. "Eemmmm... ahhh...." desah Aurora pelan, tubuhnya menegang dibawah cengkeraman pria yang lebih muda darinya. "Kakak... kamu manis banget," bisik Lucas disela-sela ciumannya, suaranya dalam tapi bergetar karena gairah. Aurora membuka matanya perlahan, menatap wajah tampan pemuda itu. Satu malam. Tanpa janji, tanpa status. Hanya hangat dan kenikmatan sesaat tapi meninggalkan jejak yang tak akan pernah bisa mereka hapus.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
311.6K
bc

Too Late for Regret

read
294.3K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.3M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
138.6K
bc

The Lost Pack

read
410.6K
bc

Revenge, served in a black dress

read
148.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook