Luka yang Tak Terlihat

1483 Words
Aurora menggeliat, terbangun perlahan. Tiba-tiba, lengan seorang pria merengkuh tubuhnya dengan erat, membuat dadanya berdebar. “Ha... jadi ini bukan mimpi,” bisiknya pelan, suaranya nyaris tak terdengar, penuh ketidak percayaan. Di sampingnya, wajah tampan Lucas masih terlelap, napasnya teratur. Setiap hembusannya seolah menempel di kulit Aurora, membuat bulu kuduknya merinding. Perlahan ia mengangkat tangan Lucas, mencoba melepaskan diri tanpa membangunkannya. Jemarinya bergetar saat menyambar pakaiannya, seolah setiap kain itu menyimpan kenangan dari malam yang tak seharusnya terjadi. Ketika kakinya hampir menyentuh ambang pintu, suara berat dan dalam menghentikan langkahnya. “Mau ke mana, Kak?” Suara itu membuat darahnya berhenti mengalir sejenak. Ia menoleh menemukan Lucas menatapnya dari atas ranjang, mata tajamnya setengah terbuka, dengan senyum kecil di sudut bibir yang entah kenapa justru membuat jantung Aurora semakin kacau. “Aku harus pergi, dan anggap saja malam tadi tidak pernah terjadi,” ucap Aurora datar, mencoba terdengar tegas. Lucas tersenyum samar, tapi matanya memancarkan sesuatu yang dalam. “Bagaimana aku bisa menganggap tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita? Itu... yang pertama untukku. Dan aku tahu, itu juga pertama untuk Kakak. Aku akan bertanggung jawab.” Aurora terdiam. Ia menunduk, mencoba menahan getaran di dadanya. “Tanggung jawab?” suaranya terdengar getir. “Kamu bahkan masih mahasiswa semester dua, Lucas. Kamu belum tahu bagaimana dunia ini bekerja. Dan lagi… kita hanya melakukannya sekali. Tidak ada yang perlu kamu tanggung.” Lucas menatapnya, lalu menarik selimut dari tubuhnya, memperlihatkan d**a bidangnya yang masih hangat oleh sisa malam. Aurora menelan ludah, gugup sekaligus terpesona. Saat jemarinya hendak melepaskan diri, Lucas lebih dulu mencekal pergelangan tangannya. “Kak,” suaranya rendah dan serak. “Aku bukan pria berengsek yang akan meninggalkanmu begitu saja.” Aurora menatapnya tajam, tapi sorot matanya bergetar halus antara marah dan takut hatinya goyah. “Lucas, lepaskan aku,” ucapnya dengan suara serak yang berusaha tegas, meski hatinya sendiri berantakan. Lucas terdiam sesaat. Matanya menatap jemari mereka yang masih saling menggenggam, seolah enggan melepaskan kehangatan itu. Namun perlahan, ia mengangguk. Senyumnya samar, nyaris pahit. “Baik… kalau itu mau Kakak.” Dengan lembut, ia melepaskan genggamannya. Aurora segera melangkah pergi tanpa menoleh. Pintu terbuka, dan dalam sekejap punggung mungil itu lenyap di balik dinding dingin yang memisahkan mereka. Keheningan menyelimuti ruangan. Lucas berdiri mematung di tempat yang sama, menatap pintu yang baru saja tertutup, menahan napas yang terasa begitu berat di d**a. Hatinya menolak menyerah. Ia mengepalkan tangan, menatap kosong ke arah pintu. “Aku akan mengejarmu, Kak,” bisiknya pelan, tapi penuh tekad. “Sekalipun dunia menentang, sekalipun kamu terus menjauh… aku akan tetap datang. Karena aku tahu, aku tak akan pernah bisa melupakanmu.” Beberapa hari setelah malam itu, hidup Aurora berubah drastis. Dion dan Maya tak lagi menyembunyikan hubungan mereka. Mereka kini terang-terangan menunjukkan hubungan mereka berjalan berdua di koridor kampus, saling tersenyum manis di depan semua orang, seolah ingin menancapkan luka di hati Aurora yang belum benar-benar sembuh. Namun yang paling menyakitkan bukanlah pengkhianatan itu. Melainkan saat Aurora melihat Maya mempresentasikan hasil desain - desain yang ia buat dengan penuh perjuangan dan air mata. Saat nama Maya disebut untuk maju ke depan kelas, Aurora semula tak terlalu memperhatikan. Tapi begitu layar menampilkan sketsa dengan garis dan sentuhan khas tangannya, dunia seakan berhenti berputar. “Itu… itu desainku!” seru Aurora lantang, suaranya bergetar. Seluruh kelas menoleh. Maya menatapnya dengan senyum sinis, menyilangkan tangan di depan d**a. “Aurora, kamu kok jahat banget sih nuduh aku?” suaranya lembut tapi menusuk. “Aku tahu kamu mahasiswa berprestasi di kampus ini, tapi bukan berarti kamu bisa meremehkan hasil kerja orang lain.” Aurora menatapnya tak percaya. “Aku begadang seminggu penuh buat desain itu! Kamu tahu betapa susahnya aku menyelesaikan proyek itu, dan sekarang kamu seenaknya mengakuinya milikmu?!” Tawa kecil terdengar dari barisan belakang. Maya memain-mainkan rambutnya dengan santai. “Kalau memang itu punyamu, mana buktinya, Ra?” Aurora menatap layar laptopnya dengan mata yang mulai panas. Jemarinya bergerak cepat, membuka satu folder ke folder lain. Nafasnya memburu, napas pendek karena panik. “Pasti masih ada… pasti masih aku simpan di sini,” gumamnya pelan, nyaris seperti memohon. Tapi layar di depannya tetap kosong. Folder “Project Desain” hanya menampilkan tulisan dingin: No files found. Aurora menelan ludah, dadanya terasa sesak. “Kenapa… kenapa gak ada? Siapa yang hapus ini?” bisiknya dengan suara bergetar. Lalu ingatan itu muncul tatapan lembut Doni malam itu, senyumnya saat berkata, “Pinjam laptop kamu sebentar ya, Ra. Cuma mau cek file tugas.” Kini semua potongan puzzle mulai menyatu di kepalanya. “Ternyata mereka sudah merencanakan ini,” batin Aurora, bibirnya bergetar menahan marah dan kecewa. “Doni… Maya… kalian benar-benar tega.” Aurora mengangkat pandangan. Dosen mereka, Pak Haris, berdiri di depan kelas dengan ekspresi datar. Beliau belum mengucap sepatah kata pun sejak tadi, hanya menatap Aurora dalam, tajam, dan menilai. Aurora menarik napas panjang, berusaha menegakkan tubuhnya meski lututnya nyaris goyah. “Pak,” ucapnya lirih tapi jelas, “desain yang Maya presentasikan itu… milik saya. Tapi file aslinya hilang dari laptop saya.” Kelas langsung bergemuruh. Tawa sinis terdengar dari beberapa mahasiswa. “Alasan klasik!” seru seseorang di barisan belakang. “Pantas aja Kak Doni ninggalin dia, ternyata drama queen,” ejek yang lain diikuti tawa ringan. Aurora menunduk. Pandangannya kabur karena air mata yang menahan diri untuk tidak jatuh. Di dalam dadanya, harga diri dan rasa sakit bertarung hebat. Pak Haris menghela napas berat. Suaranya pelan tapi dingin, seperti pisau yang menusuk perlahan. “Aurora… saya tidak menyangka. Kamu mahasiswa yang selalu saya banggakan. Tapi sekarang, kamu datang dengan tuduhan tanpa bukti dan alasan yang sulit diterima. Saya kecewa.” Kata “kecewa” itu menghantam keras, jauh lebih sakit daripada ejekan teman-teman sekelas. Aurora menatap kosong ke meja presentasi di depan. Karyanya, hasil kerja keras, malam tanpa tidur, dan impian yang ia bangun, kini berdiri di tangan orang lain, dengan nama Maya terpampang besar di layar. Dan saat semua mata menatapnya dengan penilaian yang kejam, Aurora hanya bisa menggenggam ujung bajunya erat-erat, menahan air mata agar tidak jatuh di depan mereka. Aurora menunduk. Tangannya meremas ujung bajunya erat-erat. Rasa malu dan sakit bercampur jadi satu. Sementara Maya tersenyum puas, melanjutkan presentasinya seolah tak terjadi apa-apa. Dan di sudut ruangan itu, Aurora tahu, hari itu bukan hanya reputasinya yang hancur, tapi juga harga dirinya. Di sisi lain, di rumah besar keluarga Maverick, badai lain sedang bergemuruh, bukan di langit, tapi di dalam dinding megah yang kini terasa lebih dingin dari sebelumnya. Lucas berdiri kaku di tengah ruang tamu yang luas dan sunyi. Cahaya lampu kristal di atas kepalanya berkilau dingin, seolah ikut menatapnya dengan penilaian. Di atas meja, tersebar beberapa lembar foto, gambar dirinya bersama Aurora. Mereka berdiri di bawah hujan, saling menatap, bahkan ada foto saat keduanya masuk ke hotel… hingga potongan gambar pintu kamar tertutup rapat. Lucas menelan ludah. Dadanya terasa berat, tenggorokannya kering. Ia tahu, tidak ada satu pun alasan yang bisa ia berikan sekarang yang akan terdengar masuk akal bagi ayahnya. Baskara Maverick menatap putranya tajam. Tatapan itu dingin, tapi di baliknya ada bara amarah yang hampir meledak. Urat di pelipisnya menegang, rahangnya mengeras, dan napasnya memburu. “Lucas Maverick!” suaranya menggelegar, menggema di seluruh ruangan seperti petir yang menyambar. “Apa ini yang kamu lakukan di belakang keluargamu?” Lucas tak bergerak. Matanya menatap lantai, tapi dadanya bergetar menahan sesuatu antara rasa bersalah dan perlawanan yang ingin keluar. “Papa…” suaranya parau. “Aku bisa jelaskan….” PLAK! Tamparan keras mendarat di pipinya sebelum kalimat itu sempat selesai. Suaranya menggema, tajam, meninggalkan rasa perih yang bukan hanya di kulit, tapi jauh di dalam hati. “Jelaskan apa?!” bentak Baskara dengan nada yang mengguncang dinding. “Kau mempermalukan nama keluarga kita, Lucas! Anak seorang Maverick tidur dengan perempuan tak jelas asal-usulnya?!” Lucas menunduk, rahangnya mengeras. Air matanya nyaris pecah, tapi ia menahannya dengan sisa harga diri. “Papa, jangan sakiti Lucas!” seru Mama Anggi dari arah tangga. Ia berlari, berdiri di antara mereka dengan air mata yang jatuh deras. “Dia anak kita satu-satunya!” Baskara menatap istrinya penuh kemarahan. “Anak yang selalu kamu bela, Anggi! Lihat hasilnya sekarang! Anak yang tidak tahu batas karena mamanya terlalu memanjakan!” “Cukup, Pa!” suara Lucas akhirnya pecah. Ia menggenggam tinjunya, menatap sang papa dengan mata memerah. “Malam itu bukan seperti yang Papa pikir! Aku akan bertanggung jawab. Aku sudah menodainya, dan aku… aku mencintainya.” “Diam!” bentak Papa Baskara, suaranya dingin seperti baja. “Mulai malam ini juga, kamu akan berangkat ke Jerman. Jangan pernah temui perempuan itu lagi. Keluarga Maverick tidak akan menanggung aib dari perempuan kelas bawah!” Lucas terdiam, tubuhnya kaku. Sementara Mama Anggi memeluk anaknya erat, tangisnya pecah tanpa suara. Dan di balik semua kemarahan itu, Lucas hanya memejamkan mata, berbisik dalam hati. “Aurora… tunggu aku. Sekalipun Papa mengirimku ke ujung dunia, aku akan kembali untukmu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD