Part 3

1215 Words
Mereka bilang pacarku itu pengecut. Mereka bilang pacarku itu cupu. Mereka bilang pacarku itu aneh. Mereka bilang pacarku itu jelek. Tapi itu'kan mereka bilang. Pacarku itu hanya sedikit pemalu. Dia lebih memilih untuk tidak terlibat konflik kecil. Dia merasa tidak perlu melibatkan diri dalam masalah orang-orang tidak penting. Pacarku yang tampak lemah.. Sering sekali dijadikan bahan tertawaan. Aku sampai kadang lelah menjauhkannya dari teman-temannya sendiri. Kalau dia dibiarkan sendiri dengan pem-bully, dia bisa babak belur di rumah. Salah satu yang selalu mencari gara-gara dengannya adalah Danilo, teman sekelasnya, kakak kelasku, pem-bully nomor satu di jurusan kami. Semua mahasiswa mengenalnya sebagai mahasiswa berprestasi yang karyanya selalu dipajang di gedung utama saat ada pameran. Dia selalu memenangkan lomba desain...dimana-mana. Intinya dia superior.. boyfriend-able bagi semua mahasiswi.. Kulihat ditaman, Adam sedang berdebat dengannya. Setidaknya tidak ada orang lagi disana. Aku bisa melerai tanpa harus terlalu ngotot. "Katanya kemarin mau datang ke rumahku, mana?" Tantang Danilo mendorong tubuh pacarku. Aku mendorongnya balik, "Sudahlah. Ke rumahmu juga tidak ada gunanya, dia kemarin bersamaku, mau apa terusan kamu?" "Kau ini pacarnya apa bodyguard-nya, Lin?" Tanya Danilo memandangku dengan tatapan mengejek. Kulihat Adam masih menunduk saja di belakangku. Dia tidak mau terlalu lama berada disini. Raut wajahnya menampakkan kalau dia tidak peduli sama sekali. "Mau-maunya sih pacaran dengannya? Itu sudah beres belum terapi mentalnya?" Ledek Danilo menertawai Adam. Adam memang ke psikiater akibat depresi kakeknya meninggal dunia.. walau sudah setahun yang lalu... Tapi selalu diungkit sebagai bahan ejekan. Danilo melirik pacarku dengan tajam, "Cengeng amat, sudah tua juga.." "Jangan ganggu Adam lagi!" Pintaku tegas. "Kau mau pacaran dengannya karena kasihan'kan ya? Lainnya tidak mau mengganggunya lagi.. gara-gara kalian pacaran, aku jadi ngga bisa jodohin cupu ini sama tiang lampu lagi.." sindir Danilo tertawa lirih. Entah mengapa rasanya aku ingin mencakar wajah soknya itu.. tapi pacarku malah biasa saja dihina! "Sudahlah, ayo pulang, Adam," kataku menyambar lengan Adam, "daripada disini, bikin pusing." "Lina, Lina.. kenapa tidak nongkrong dulu di kafe, ada Sera juga kok.. ayo," seru Danilo menghentikan langkahku, dia meraih lenganku dengan kasar. Tidak biasanya dia bersikap seperti itu. Tatapannya padaku seperti tengah menggoda. Tiba-tiba Adam memukul tangan Danilo sampai dia melepaskanku. Aku sontak panik pada sikapnya yang berubah drastis. Apalagi kulihat dia tahu-tahu menyambar kerah kaos polo Danilo, lalu memukul wajahnya beberapa kali. "Hei.. Adam! Apa yang kamu lakukan!" Bentakku memandangi sekeliling, kuharap tidak ada orang. Danilo membalas pukulan tersebut. Sehingga mereka kini saling menghantamkan kepalan tangan. Aku tidak sanggup mendekat. Semakin lama, mereka semakin serius. "Berani sekali kau memukulku!" Bentak Danilo sedikit syok sambil mengusap darah di pinggiran bibirnya. Saking berantakannya, rambut Adam kian acak-acakan, wajahnya sedikit memar juga, kaca matanya pun terlepas. Kini dia menyibakkan rambut ikalnya, menyunggingkan senyuman di bibir, lalu mendongakkan kepala pada Danilo seolah-olah tidak mau sederajat dengannya. "Kau boleh menggangguku, mengejekku, tapi jangan menyentuh Eve," ancamnya bernada dingin. Lalu berbisik dengan tawa lirih, "She's mine, mine.." Aku terdiam lama. Bahkan Danilo mengerutkan dahi karena tidak mengenali sosok yang dia ejek selama ini. Dia tidak mampu mengatakan apapun untuk beberapa saat. Padahal tadinya dia masih berani. Entah mengapa setelah Adam bersikap begitu, nyalinya menciut. Sekarang pandangannya bukan mengejek melainkan takut. Dia ketakutan seperti menatap orang sakit jiwa yang bisa saja berbuat nekad padanya. "Awas kau.." ucapnya terbata-bata sambil pergi dari hadapan kami. Aku masih memandangi Adam yang berubah menjadi sosok aneh. Lama sekali. Dia bagaikan pembunuh haus darah. Sudah tidak mirip pacarku yang lemah. Aku baru bisa bicara saat dia sudah mengacak poninya dan memakai kaca mata kembali. "Adam, kamu sudah tidak apa-apa?" Tanyaku waspada. Adam menghela napas panjang, "Maaf.. apa, apa aku barusan menakutkan? Maaf, aku, aku tidak sengaja, Eve, maksudku.." Dia meneguk ludahnya dengan pandangan cemas padaku. "Eve? Kamu tidak marah' kan ya? Aku hanya tidak mau kamu diambil orang, bisa saja dia seperti mantan pacarmu itu yang berusaha merebutmu dariku," tambahnya serius. "Nanti kalau kamu dikeroyok bagaimana..membela diri tidak harus dengan kekerasan ya," jawabku menyentuh luka lebam di pipinya. Aku bingung harus bagaimana.. Pacarku ini.. kadang mengerikan.. Dia selalu bilang 'tidak sengaja' saat bertindak berlebihan, Walaupun aku tahu, dia 'sengaja' melakukannya.. Aku makan malam bersama Adam di rumahnya. Lemarinya es-nya sudah berganti. Sudah tidak ada bekas darah di manapun. Aku penasaran dimana dia membuang mayatnya. Namun lebih baik tidak mengingatnya saat aku sedang makan begini. Terlambat.. aku mual.. Aku tidak menghabiskan nasi gorengku karena terbayang kantong plastik kemarin. Kuharap Adam tidak terjebak masalah karena ini. "Sudah jam sembilan, aku harus pulang," kataku berdiri dari kursi makanku sembari mengambil ransel. Gara-gara Danilo.. kita kemalaman... "Kenapa tidak menginap disini saja?" Tanya Adam masih mengunyah makanannya. "Sudah malam." Padahal aku lebih menginginkan dia berkata, kuantar ya.. Dia ini kadang tidak peka.. Aku menggelengkan kepala, "Tidak, aku pulang saja." "Kamu bisa tidur di kamarku, aku tidur di ruang tamu." "Adam.." "Ini sudah malam, banyak tindakan kriminal, lagipula kamu janji mau kulukis besok." Nada bicaranya mulai memaksa... "Baiklah," kataku setuju, "baiklah.." Dia tersenyum puas, "Kamu tidak takut'kan?" "Kenapa takut?" Tanyaku heran. "Karena kita sendirian disini." "Aku percaya padamu," jawabku sambil pergi dari hadapannya. Pertanyaannya konyol sekali. Aku sama sekali tidak berpikir buruk tentangnya. Dia terlalu manis untuk melakukan tindakan buruk padaku. Meskipun dia pembunuh.. entahlah aku percaya padanya... "Kamu polos sekali," ucapnya lirih. Aku meliriknya, "Apa!?" "Tidak apa-apa.." Kamar Adam pernah kumasuki sekali sewaktu aku mengunjunginya sebulan yang lalu. Ya, tempat ini adalah tempat bersejarah bagi kami. Tempatnya akan bunuh diri. Tempatku menyatakan cinta kepadanya sehingga dia mengurungkan niat. Seharusnya ruangan ini tapi, bersih dan berbau harum bunga mawar. Seharusnya. Tapi saat aku masuk, bau parfumnya terlalu menyengat seolah untuk menutupi bau asli. Meja, kursi, ranjang, kemari memang masih rapi. Tapi ada banyak barang yang hilang menurutku. Tidak hanya itu, ternyata di dinding masih ada bekas darah seseorang. Parahnya lagi membentuk sebuah lukisan wajahku. Aku ngeri menatapnya lama-lama. Bagaimana mungkin pacarku yang manis itu menggambarkan dengan darah orang. Ketika kudekati, kusentuh permukaannya.. benar-benar masih berbau amis. Pantas saja parfumnya terlalu banyak.. Aku segera membuka jendela ruangan ini, membiarkan angin malam masuk. Kemudian kugeledah laci-laci meja sampai kolong ranjang. Banyak sekali toples berisi mata dan telinga yang telah dibersihkan. TOK...TOK...TOK... Adam masuk setelah mengetuk pintunya. "Eve? Boleh kuambil satu bantal?" Dia bertanya dengan suara pelan. Kuakui sedikit kaget saat dia masuk. Dia mendekatiku, "Kamu takut ya?" Melepaskan kaca matanya dan meletakkannya di atas meja. Setiap dia melakukan itu, dia menjadi sedikit berbeda. Apalagi ditambah dengan senyuman kecilnya yang tampak palsu itu. "Tidak, tapi kamu harus membersihkan dindingmu," pintaku menuding lukisan darahnya yang mengerikan. "Iya, besok kubersihkan," ucapnya berdiri tepat di depanku. Karena jarak kami yang hanya sejengkal, perasaanku jadi mendadak tidak karuhan. Aku memang sangat menyukai Adam. Wajahnya manis, rambut berantakannya malah membuatnya seksi. Aku suka. Bodoh amat pendapat orang. Astaga, Jantungku berdebar-debar.. Dia menyentuh pipi kananku, "Aku mencintaimu." Dia semakin membuat darahku berdesir lebih cepat.. dia tersenyum, malah aku yang salah tingkah.. "Aku juga," balasku tersenyum. Adam tanpa kaca mata sedang menggigit bibirnya di depanku... Hentikan... Hentikan aku tidak tahan lagi... Setelah mencium keningku, dia berbisik, "Panggil saja kalau kamu takut," lalu bergegas mengambil bantal, "dan jangan dibuka jendelanya, aku takut ada sesuatu yang muncul.. apalagi kalau melihat seorang gadis cantik tidur sendirian." Kuelus dadaku yang masih berdegup, "Aku akan baik-baik saja.." "Aku mengurungkan niat, aku tidur disini saja untuk melindungimu.." katanya menghempaskan diri di atas ranjang sambil menyeringai kepadaku. Jalan pikirannya tidak bisa ditebak, tapi aku tahu dia 'sengaja' memaksaku kemari... "Kamu sengaja' kan ya?" Tanyaku membalas senyuman jahatnya. Dia memasang wajah polosnya. Lalu menjawabku, "Aku hanya ingin melindungimu. Aku tidak--tidak ada maksud untuk tidur denganmu." Terus saja dia menggelengkan kepalanya. Sebelum akhirnya menyibakkan poninya dan menebar senyuman lebar. "Ya.. sedikit sih.." tambahnya lirih dengan nada suara menggoda. Aku harus membiasakan diri berpacaran dengan pacarku yang 'manis-manis licik' ini.. Dia mengarahkan kedua tangannya padaku, "Ayo kemarilah, tidur denganku, kamu bilang kamu mencintaiku 'kan?" Tanpa ragu, aku mendekatinya. Dia berbisik padaku, "Oh iya, aku.. aku tidak mau menakutimu, Eve, Im horny." Pacarku benar-benar bermuka dua.. ==============================
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD