Sadness

1257 Words
Semenjak kepergian Pangeran Arb, suasana di istana menjadi lebih berbeda dari yang sebelumnya. Ya … banyak orang yang semakin menjadi tegang, dan sangat serius. Termasuk sang Ratu yang terlihat sangat tidak terima dengan apa yang di putuskan oleh sang petinggi naga kepada salah satu buah hatinya. Sang ratu bahkan tidak berbicara sama sekali dan banyak mengurung dirinya di kamar, dalam rangka memprotes sang Raja yang sama sekali tidak bereaksi kepada sang petinggi naga ketika buah hati mereka diusir dari Istana begitu saja. “Raja … besok ada sebuah undangan pertemuan yang harus anda dan Nona Ratu datangi, apakah anda akan berkenan hadir di hari esok??” pertanyaan yang di lontarkan oleh Ray, membuat Raja yang kala itu tengah melamun pun kini menolehkan pandangannya untuk menatap ke arah Ray yang baru saja datang membawa sebuah gulungan yang ia yakini sebagai undangan pertemuan yang baru saja diucapkan oleh Ray kepada dirinya saat itu. “Apakah aku harus pergi bersama dengan Xiona ke acara itu??” sebuah pertanyaan yang di lontarkan oleh Raja Abraham, membuat dahi dari sang Panglima dan juga sang Kepercayaan yang tengah berada di dalam ruangan itu pun kini mengerut, tidak mengerti dengan apa yang baru saja ditanyakan oleh sang Raja kepada mereka saat itu. “Tentu saja anda dan juga Ratu harus pergi ke acara tersebut, Baginda. Kenapa anda menanyakan hal yang seharusnya anda sendiri yang tahu jika itu adalah sebuah keharusan?” penjelasan yang di lontarkan oleh Rezen kepada Raja Abraham saat itu, membuat sang Raja kini menghembuskan napasnya, seolah ia tidak menyukai jika ia harus pergi bersama dengan baginda Ratu saat ini, dan tindakan itu dimengerti oleh Ray, sang Panglima perang.    “Apa yang terjadi, Baginda?? apakah anda bertengkar dengan Ratu?” sebuah pertanyaan yang kini di lontarkan oleh Ray, membuat Rezen yang kala itu tengah berjalan untuk mengambil undangan tersebut pun kini dengan cepat menatap sang Raja yang terdiam menatap Ray dengan tatapan yang cukup diyakini jika ia memang memiliki sebuah masalah dengan sang Ratu saat ini. “Apakah benar seperti itu, Baginda??” kini pertanyaan yang di lontarkan oleh Rezen pun, membuat Raja Abraham kini menghembuskan napasnya untuk kemudian mengedikkan kedua bahunya untuk menjawab pertanyaan yang terlontar untuk dirinya saat itu. “Aku tidak tahu, Xiona enggan untuk melihatku dan berbicara denganku akhir-akhir ini.” jawab Raja Abraham kepada Rezen dan juga Ray yang kini menjadi saling berpandangan karenanya. Permasalahan Raja dan Ratu memang tidak begitu serius, namun keduanya merasa bahwa masalah ini harus diselesaikan dengan segera agar tidak membesar dan semakin membesar lagi.   “Apakah anda sudah bertanya kepada Baginda Ratu mengenai alasannya mendiamkan anda, Baginda??” pandangan Raja Abraham kini menoleh menatap Rezen yang baru saja bertanya kepadanya perihal hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, yang membuat Raja Abraham kini menggelengkan kepalanya untuk menanggapi pertanyaan itu. “Tidak … aku belum pernah menanyakan hal itu kepada Xiona.” ucap Raja Abraham kepada Rezen, yang tentu saja membuat Rezen dan Ray kini kembali berpandangan satu sama lain, untuk akhirnya meminta sang Raja untuk segera menanyakan hal itu kepada sang Ratu dengan berucap, “Ab … aku rasa, kau harus bertanya mengenai ini kepada Xiona secara langsung.” ucapan yang di lontarkan oleh Ray sang Panglima saat ini, terasa seperti seorang ayah yang meminta kepada anaknya untuk bertindak, dan hal itu membuat sang Raja kini menghembuskan napasnya dengan pelan, seolah ia tidak menginginkan itu terjadi. “Kenapa harus aku yang bertanya terlebih dahulu kepadanya, Ray??” sebuah pertanyaan yang di lontarkan oleh sang Raja saat itu bagaikan seorang anak laki-laki yang tidak ingin jika dirinya di suruh untuk meminta maaf terlebih dahulu oleh sang ayah, yang tentu saja membuat Rezen dan juga Ray merasa bahwa sang Raja memang memerlukan seseorang untuk menuntunnya menjadi seseorang Raja. “Karena kau adalah seorang laki-laki, Abraham! Dan jangan bersikap seolah kau adalah seorang anak kecil di hadapanku, kau adalah seorang Raja saat ini!” ucap Ray dengan tegas kepada Raja Abraham, namun ketegasan Ray, tidak pernah dan tidak akan berpengaruh kepada Raja Abraham sendiri, yang kini Raja Abraham hanya bisa memberenggut dan menganggukan kepalanya dengan cukup lemas, seolah ia mau tidak mau untuk bertanya kepada sang Ratu perihal sikapnya kepada dirinya saat ini. “Rezen, panggilkan Xiona kemari!” ucap Raja Abraham kepada Rezen yang kini menganggukkan kepalanya menanggapi ucapan itu dan ia berjalan keluar dari ruang Raja untuk pergi ke kamar sang Ratu yang terletak di lantai atas Istana Kerajaan. … Rezen berjalan keluar dari ruang Kerajaan, dan ia berjalan untuk menghintari lorong-lorong Istana untuk pergi ke tangga lantai atas, namun langkah kakinya terhenti ketika ia mendapati jika sang Ratu tidak sedang berada di kamarnya melainkan berada di taman bunga Iris. Ia terlihat terduduk termenung di dalam gazebo mewah dengan secangkir minuman yang terlihat bukan teh biasa yang Rezen yakini jika itu adalah racikan dari Xiona sendiri. Rezen pun berjalan untuk pergi mendekati Ratu Xiona yang kala itu terduduk dengan wajah datarnya, terdiam dan tidak melakukan satu pun kegiatan selain melamun di dalam gazebo tersebut. “Nona.” panggilan yang di lontarkan oleh Rezen saat itu, membuat Xiona menolehkan pandangannya sebentar dan kembali memandang taman bunga Iris dengan pandangan kosong. “Katakan kepada dirinya, saya tidak akan menemuinya sampai kapanpun!” ucapan yang di lontarkan oleh Ratu Xiona saat itu, membuat Rezen yang baru saja sampai tepat di samping sang Ratu pun hanya bisa menghembuskan napasnya dengan pelan, Rezen tahu jika sang Ratu mengetahui maksud dirinya memanggil sang Ratu saat ini. Karenanya, saat ini Rezen tidak melakukan apa-apa selain menatap sang Ratu dengan cukup intens, seolah Rezen bertindak bahwa ia tidak akan beranjak dari tempatnya sampai sang Ratu mau mendatangi sang Raja yang saat ini tengah menunggunya di ruangan Raja. Hal itu tentu saja sangat mengganggu bagi Ratu Xiona yang kini menolehkan pandangannya untuk kemudian menatap Rezen dengan cukup tajam saat ini. “Kau tidak mendengar ucapanku, Huh?!!” nada sang Ratu kini meninggi, namun Rezen tetap tidak bergeming dari tempatnya dan terus menatap sang Ratu seperti itu, seolah Rezen juga mengetahui apa yang ada di dalam pikiran sang Ratu saat ini, yang tentu saja begitu menganggu sang Ratu yang kini mendengus dengan cukup kencang seraya beranjak dari tempatnya. “Kau ingin aku tetap menemuinya?! ok! Aku akan bertemu dengannya!” ucap Ratu Xiona kepada Rezen yang masih tetap menatap dirinya di sana, yang tentu saja ,membuat Ratu Xiona kini mendengus dan berjalan pergi untuk mendatangi sang Raja. Setelah sang Ratu keluar dari Gazebo itu, akhirnya Rezen pun bergerak dan kini berjalan mengikuti langkah kaki dari Ratu Xiona yang berjalan terlebih dahulu untuk pergi menemui sang Raja. “Cih! Aku tidak pernah menyangka jika kau akan seperti ini kepadaku, Rezen!” ucap Ratu Xiona bergumam kepada dirinya sendiri, dan ia yakin seratus persen jika Rezen yang kala itu berjalan tepat di belakangnya mendengar apa yang diucapkan oleh sang Ratu saat ini. … Sang ratu berjalan dengan sangat angkuh menuju ruang kerajaan, pandangannya bahkan menatap kedua prajurit penjaga dengan sangat tajam, sehingga kedua prajurit di sana dengan segera membukakan pintu untuk sang Ratu berjalan masuk ke dalam ruangan tersebut. Pandangan sang Ratu pun saat ini menatap sang Raja yang terduduk di singgah sana miliknya, yang membuat sang Ratu kini menampakan wajah datarnya dan memutuskan untuk tidak akan berbicara sama sekali kepadanya saat ini. “Kenapa kau memakan banyak sekali waktu hanya untuk berjalan dari ruanganmu untuk menemuiku, Xiona??” pertanyaan yang di lontarkan oleh Raja Abraham saat itu, sama sekali tidak di jawab oleh sang Ratu saat ini, yang bahkan membuat Ray kini menatap sang Ratu dengan penuh tanda tanya saat ini.  to be continue. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD