Bab 8

1122 Words
Ira turun dari mobil yang di ikuti oleh Alan dengan langkah ragu-ragu. “Kamu yakin mengajak saya ke sini? Ini tidak akan bikin saya sakit perut kan?” tanya Alan yang menghentikan langkah Ira dengan menahan tangan Alan di depan tubuh Ira. “Tidak Pak, tenang saja, saya sudah biasa makan di sini, di sini menunya lebih enak dan lebih murah,” jawab Ira mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam dan terpaksa di ikuti oleh Alan. Wangi dari masakan warung makan itu menusuk penciuman Alan, hingga dengan jelas suara perutnya terdengar nyaring membuat Ira terkekeh. “Mbak,” panggil Ira pada pelayan warung. “Iya Mbak mau pesan Ayam panggang bumbu spesial?” tanya seorang perempuan yang sudah hafal dengan pesanan Ira. “Ah Mbak tau saja kesukaan saya, iya saya mau pesan itu, Pak Alan mau pesan apa?” tanya Ira pada Alan yang sedang memperhatikan dekorasi warung makan yang unik menurutnya, ayaman bambu di dinding menambah pesona tempat tersebut, tempatnya juga sangat rapi dan bersih. “Pak Alan,” panggil Ira kembali yang membuat Alan sadar. “Ah, iya ada apa?’ tanya Alan dengan ekspresi kagum pada ukiran-ukiran di tiang kayu di hadapannya. “Bapak mau pesan apa?” Ira bertanya kembali. “Menu apa saja yang ada di sini?” “Banyak Pak, ini daftar menunya,” jawab pelayan itu sambil menyerahkan buku menu untuk Alan. Alan membolak-balikkan halaman buku kecil tersebut, lalu bertanya pada Ira, “Kamu pesan apa?” “Saya sudah memesan Pak,” jawab Ira. “Iya saya tahu kamu sudah memesannya, tapi kamu pesan apa?” “Saya pesan Ayam panggang bumbu spesial.” “Ya sudah, berarti sama, saya pesan itu juga.” “Loh, kenapa begitu Pak?” tanya Ira yang mengerutkan keningnya melihat Alan memesan menu yang sama dengannya. “Sudah jangan banyak tanya,” ucap Alan yang membuat Ira tidak berani lagi protes. Sambil menunggu pesanan mereka datang, Alan memainkan ponselnya, sedangkan Ira hanya duduk mematung di depan Alan. “Apa kamu tidak kuliah?” tanya Alan yang masih melihat ponselnya membuat Ira tak menjawab pertanyaan Alan. “Kamu tidak kuliah?” Alan mengulangi pertanyaannya kembali pada Ira. “Bapak bicara sama saya?” tanya Ira sambil menunjuk pada dirinya sendiri. “Memangnya di sini ada orang lain selain kita berdua?” “Em ... hehe ... maaf, saya pikir tadi Bapak bicara sama ponsel Bapak,” jawab Ira dengan wajah polosnya, “Saya tidak kuliah Pak.” “Kenapa?” “Saya perlu uang, jadi saya memilih bekerja saja.” “Semua orang butuh uang, tapi pendidikan juga tidak kalah penting.” “Ya mau bagaimana lagi Pak, saya tidak punya biaya untuk kuliah.” Alan tidak menjawab lagi, karna melihat pesanan mereka telah di bawa oleh pelayan ke hadapan mereka, terlihat hidangan mereka masih mengeluarkan uap panasnya, sehingga wangi dari masakan tersebut ikut menguap dan tercium begitu lezat. “Terima kasih,” ucap Ira pada pelayan warung. “Sama-sama, silakan dinikmati,” jawabnya. Ira mulai mencuci tangannya dengan air cuci tangan yang khusus di bawakan oleh pelayan dan dia mulai menikmati makanan di depannya, sedangkan Alan menatap bingung pada hidangan di depannya, karna tidak ada pisau pemotong untuk memotong daging. “Loh, kenapa dilihati saja Pak? Apa tampilannya tidak menarik Pak ya? Tapi rasanya enak kok, percaya deh,” ucap Ira meyakinkan. “Bukan, di sini tidak ada pisau pemotong ya?” “Kalau makannya pakai sendok tidak nikmat Pak, coba Bapak pakai tangan,” ucap Ira yang menarik air cuci tangan milik Alan ke hadapan Alan, dan mempersilahkan Alan untuk memasukkan tangannya ke dalam wadah kecil tersebut. “Saya tidak biasa makan pakai tangan,” ucap Alan yang sepertinya ragu ingin memegang makanan dengan tangannya. “Berarti Bapak harus mencoba sekali-kali, biar nikmatnya lebih terasa,” ucap Ira. Alan mulai merobek daging ayam menggunakan tangannya dan mulai mencicipinya, “Enak,” puji Alan. “Silakan di habiskan Pak,” ucap Ira tersenyum. Alan mulai makan makanan di hadapannya dengan lahap, tanpa sadar meninggalkan bekas di ujung bibirnya. “Maaf Pak, itu di mulut Bapak,” ucap Ira sambil menunjukkan mulut Alan. Tanpa menjawab ucapan Ira, Alan meraih kembali tisu di hadapannya dan mulai membersihkan mulutnya kembali. “Belum bersih, di sebelahnya,” ucap Ira lagi, hingga membuat Alan berkali-kali membersihkan mulutnya, tapi bekas kecap di mulutnya Alan belum juga hilang. Ira mengambil tisu dan “Maaf, biar saya saja,” ucap Ira yang membersihkan ujung mulut Alan dengan sekali usapan tisu dan langsung menaruh tisu tersebut ke dalam piring bekas dia makan, membuat Alan melongo dengan apa yang baru saja Ira lakukan. “Maaf Pak, saya tinggal sebentar ya,” ucap Ira pada Alan yang dijawab oleh Alan hanya dengan anggukan. Ira pergi menemui penjual dan meminta di bungkus makanan yang seperti dia makan barusan dan dia juga membayar makanan Alan, untuk menghormati Bosnya itu. “Maaf Pak ya, agak lama,” ucap Ira yang menghampiri Alan sambil menenteng bungkusan makanan. “Bungkusi makanan untuk Dhav?” tanya Alan begitu melihat Ira menenteng makanan. “Bukan Pak.” “Lalu?” “Untuk Mama saya, nanti kita berhenti sebentar di rumah saya Pak ya, sepertinya arah jalan pulangnya sama,” pinta Ira. “He em,” jawab Alan datar dengan mengangguk, “Panggil pelayannya biar saya bayar makanannya,” suruh Alan. “Tidak perlu Pak, sudah saya bayar, kita pulang saja sekarang,” jawab Ira sambil tersenyum, tapi tidak dengan Alan. “Maaf, saya tidak bisa menerima perempuan membayar makan siang saya,” jawab Alan tegas yang membuat Ira jadi salah tingkah. “Tapi Pak,” ucap Ira yang ingin membuat pembelaan. “Maaf, berapa tadi yang kamu bayar?” tanya Alan yang mengeluarkan dompetnya. “Maaf Pak, saya tidak ada bermaksud lain, saya membayar makan siang Bapak murni karna keinginan saya sendiri, bukan karna saya mau cari muka,” ucap Ira sambil menunduk hormat pada Alan membuat pengunjung di sana mulai memperhatikan mereka. “Yuk pulang!” ucap Alan yang berlalu keluar dari sana dan dengan cepat di ikuti oleh Ira. Mereka berdua sama-sama masuk ke dalam mobil, “Jalan,” ucap Alan pada sopirnya. “Saya minta maaf atas kejadian tadi Pak, saya benar-benar tidak berniat menyinggung Bapak, sebagai permintaan maaf saya, saya mencabut permintaan saya untuk berhenti di depan rumah orang tua saya, kita langsung saja pulang ke kantor,” ucap Ira yang menghadap tubuhnya ke Alan seraya menunduk. “Saya akan lebih marah kalau kamu tidak mengantar makanan itu untuk Mama kamu!” “Terima kasih banyak Pak.” Mereka berdua kembali terdiam seribu bahasa, yang membuat Alan kembali bersuara, “Katakan pada sopir di mana rumah kamu!” “I ... iya Pak,” jawab Ira gugup karna mendapat bentakan dari Alan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD