Bab 7

1091 Words
Maiti menatap heran ke arah Ira. “Loh, bukannya kamu bilang tadi kamu sedang ada pekerjaan lain, nah sekaranh kamu ngapain di sini?” tanya Meiti pada Ira. “Tolong jangan ribut dalam ruangan saya, kalian kerjakan pekerjaan kalian masing-masing!” ucap Alan dengan tegas membuat Meiti dan Ira langsung fokus pada pekerjaan mereka masing-masing. Meiti yang belum puas karna belum mendapatkan jawaban dari Ira, diam-diam masih terus memperhatikan Ira dan Alan, yang sesekali saling berdiskusi dengan pekerjaan mereka, hingga dengan tidak sengaja, tring!!! Meiti menjatuhkan hiasan dinding di samping jendela, dengan cepat Meiti langsung memasangkannya kembali pada tempatnya dengan perasaan bersalah karna sudah mengganggu ketenangan Pak Alan yang sedang bekerja. “Kalau pekerjaan kamu sudah selesai, silakan kamu keluar dari ruangan saya, jangan sampai saya sendiri yang mengeluarkan kamu dari kantor ini,” ucap Alan yang melihat ke arah Meiti dengan malas. “Iya Pak, saya minta maaf,” jawab Meiti yang langsung membereskan pekerjaannya dan keluar dari ruangan Pak Alan. “Setelah berkas-berkas itu semua beres, kamu ikut saya untuk survei ke lapangan,” ucap Alan yang membuat Ira mengerutkan keningnya. “Dengan seragam OB?” tanya Ira. “Tidak, kamu pakai pakaian kamu sewaktu ke sini.” “Oh, baik Pak.” Setelah menyelesaikan pekerjaannya Ira langsung bersiap-siap untuk menggantikan pakaiannya. “Kamu mau ke mana?” tanya Dhav begitu melihat Ira yang sudah melepaskan seragam OBnya. “Ah kebetulan aku ketemu kamu di sini, jadi aku tidak perlu mencari kamu lagi, begini Dhav, aku pergi sebentar sama Pak Alan untuk menemaninya survei ke lapangan,” jawab Ira yang membuat Dhav bingung. “Survei ke lapangan? Tapi itu kan bukan pekerjaan kamu,” sela Dhav. “Iya, tadi kebetulan Pak Alan meminta aku membantu dia, sekretaris pribadi dia sedang minta cuti, untuk sementara doang,” jawab Ira. “Oh, kamu hati-hati di sana, jangan sampai melakukan kesalahan yang fatal ya, ingat, harus jaga sopan santun.” “Siap Pak Bos,” jawab Ira dengan tangan hormat di kepalanya menghadap Dhav. Dhav mengacak rambut Ira dengan gemas, dan Ira tertawa dengan perlakuan Dhav. “Sudah siap?” tanya Alan yang tiba-tiba sudah berdiri di antara mereka berdua, membuat percakapan mereka jadi kaku. “Sudah Pak,” jawab Ira dengan menunduk. Alan langsung berjalan mendahului Ira, Ira dengan cepat mengekori Alan dari belakang sambil melambaikan tangan pada Dhav dengan sembunyi-sembunyi agar tidak terlihat oleh Alan. Dhav tersenyum melihat tingkah polos Ira, wanita yang selalu membuat tidurnya nyenyak dengan memimpikan dia. Dhav kembali fokus bekerja, sedangkan Ira dan Alan masuk ke dalam mobil yang sudah di tunggui oleh sopir Alan. Mereka langsung menuju ke proyek yang sedang ditangani oleh Dhav, terlihat beberapa pekerja sedang mengerjakan tugasnya dan seorang perempuan paruh baya yang sedang berdiri bersama mandor. “Selamat datang Pak Alan, apa kabar?” ucap mandor tersebut sambil menyalami Pak Alan. “Baik, bagaimana perkembangan proyek kita?” tanya Alan sambil memperhatikan proyek yang sedang dibangun. “Seperti yang Bapak lihat, proyek kita pembangunannya berjalan dengan lancar.” “Bagus.” Mereka terus mengobrol tentang proyek yang sedang mereka tangani, sedangkan Ira dan seorang perempuan yang entah siapa, terlihat tidak senang melihat Ira. “Maaf Pak Alan, ini sekretarisnya Pak Alan?” tanya wanita itu sambil melirik Ira dengan ujung mata, membuat Ira menunduk karna berada di antara mereka yang sepertinya dari kalangan atas. “Iya,” jawab Alan singkat. “Sekretaris Bapak ke mana? Maaf-maaf saja ni Pak ya, kalau Bapak punya asisten seperti itu, bisa-bisa semua orang yang bekerja sama dengan Bapak memutuskan bekerja sama,” ucap wanita itu dengan terang-terangan membuat darah Ira mendidih, tapi dia harus tahan, dia tidak boleh membuat Alan malu di depan rekan kerjanya. “Sepertinya penilaian kita berdua berbeda, jadi lebih baik Anda diam saja,” ucap Alan datar membuat Ira tertawa kecil sambil menutup mulutnya. Wanita tersebut meremas jemarinya, geram dengan jawaban Alan. “Kalau saya tahu sekretaris Bapak yang biasanya tidak ikut, saya tidak bakalan ke sini, sia-sia saja saya ke sini!” ucapnya judes lalu pergi dengan tergesa-gesa. “Oh, jadi itu penggemar sekretaris lama, gak tahu saja dia, kalau sekretaris lama sudah punya keluarga,” gumam Ira mencibir. “Kamu dengar apa yang saya bilang?!” bentak Alan membuat Ira terkejut. “I ... iya Pak, ada apa?” tanya Ira yang sedari tadi asyik dengan pikirannya. “Kamu catat semua yang di katakan sama mandor, saya tunggu kamu di dalam mobil!” “Ba ... baik Pak,” jawab Ira gugup tapi bernada yakin. Ira mulai mencatat apa saja yang dikatakan oleh mandor, sedangkan Alan masuk ke dalam mobil dan beristirahat di sana. Tok ... tok ... tok, Ira mengetuk pintu mobil setelah menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Alan, dan hendak masuk ke mobil. “Masuk,” ucap Alan dari dalam mobil yang membuka sedikit kaca mobil. Ira masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah Alan. “Ini Pak data-data yang Bapak suruh catat,” ucap Ira sambil menyerahkan kertas putih berisi tulisan tinta hitam. “Bagus, nanti data ini semua kamu masuin ke data di komputer, kamu email kan ke saya, kamu bisa kan?” “Bisa Pak,” jawab Ira yang mendengar penjelasan Alan dengan saksama. “Yuk Pak kita segera ke restoran, saya sudah sangat lapar,” ucap Alan pada sopirnya. “Baik Pak,” jawabnya yang mulai melajukan mobil dengan kecepatan standar. “Wah, ini jalan yang sudah dekat sama rumah aku, apa aku beli makan siang ya buat Mama?” batin Ira yang ke pikiran sama Mamanya, dan tiba-tiba mobil mereka berhenti. “Kita makan dulu,” ucap Alan datar. “Tapi Pak,” cegah Ira yang tidak biasa menginjakkan kakinya di restoran mewah seperti yang di ajak oleh Alan. “Ada apa?” tanya Alan judes. “Saya makan di sebelah sana saja ya,” pintanya sambil menunjukkan warung makan sederhana di pinggir jalan. “Kamu harus jaga kesehatan, jangan makan sembarangan!” “Ahaha ... Bapak ini lucu banget, itu warung makannya sangat bersih Pak, jadi sudah pasti aman, bukan cuma di restoran saja yang bersih,” jawab Ira yang membuat mata Alan seperti akan copot menatap Ira. “Terserah saja kamu mau makan di mana!” jawab Alan yang tidak suka berdebat. “Tapi kalau Bapak tidak percaya, Bapak ikut saja sama saya, saya jamin Bapak pasti akan ketagihan, kan Bapak sendiri yang bilang, jangan menilai sesuatu dari luarnya saja,” ucap Ira meyakinkan. Alan seperti tertarik dengan tawaran Ira, dan dia kembali melirik ke arah warung yang ditunjukkan oleh Ira, terlihat beberapa orang yang keluar masuk dari sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD