Satu Gamparan

1181 Words
Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi Alana hingga membuat ia meringis kesakitan. Manik mata indah dibalik kacamata itu mulai berkaca-kaca. "Dasar anak gak guna, bisa-bisanya kamu mempermalukan Devan di depan umum!" pekik Lely, mama kandung Alana. Wanita yang melahirkannya tapi tak pernah memperlakukannya dengan baik dan layak. "T-tapi ma, Devan sendiri mengakui kalau dia memang ada hubungan dengan Clarissa. Mama tau-" Plak! Belum sempat Alana meneruskan ucapannya, tamparan kedua dilayangkan padanya. "Bisa-bisanya mulut licikmu membela diri. Dasar anak gak tau diuntung. Sudah bagus Devan mau menerima kamu yang menjijikkan ini jadi calon istrinya. Kalau bukan Devan memang siapa lagi yang mau menikahi perempuan cacat macam kamu?!" hardik Lely berapi-api. Cercaan sang ibu sontak membuat air mata yang sedari tadi Alana coba tahan akhirnya luruh. Untuk kesekian kali sang mama menusukkan kata-kata yang begitu menyakitkan itu padanya. Membuat Alana teringat kejadian pahit yang dialaminya dua belas tahun lalu. Kejadian yang merenggut kaki kirinya. Itulah sebabnya Alana selalu memakai rok maxi untuk menutupi kaki buatan yang dipakainya. "Mama gak mau tahu pokoknya kamu harus meminta maaf sama Devan! Kalau perlu kamu harus memohon pada dia agar menikahi kamu, pernikahan ini gak boleh gagal. Meskipun hanya jadi istri kedua setelah Clarissa, gak masalah, asal kamu nikah sama dia. Mama sudah lelah kamu bebani terus menerus. Sudah saatnya mama menikmati masa tua tanpa harus memikirkan anak cacat seperti kamu!" seru Lely sambil melempar beberapa lembar uang kepada Alana. Brakk! Lely membanting pintu rumah tua itu keras-keras lalu pergi tanpa memperdulikan Alana yang berderai air mata. *** "Halo bos, kami sudah menemukan tempat tinggal perempuan itu," ujar Ginar memberikan laporan kepada Rafael. "Awasi dia terus, dan laporkan pada saya secepatnya. Saya mau informasi lengkap mengenai perempuan itu." jawab Rafael pada mata-mata yang sengaja ia kirim untuk membuntuti Alana. Bisa dibilang ini gila, tapi Rafael yakin ide dan rencananya akan berhasil. Ia butuh seseorang untuk menggantikan peran Arnetta demi menyelematkan posisinya sebagai pewaris perusahaan. Entah kenapa daripada repot-repot mencari, sepertinya Alana yang polos dan jujur bisa ia manfaatkan. *** "Lana, maafin aku ya?. Seharusnya aku nemenin kamu," ucap Nabila penuh iba lalu memeluk erat tubuh Alana yang masih terkapar di lantai setelah Lely mendorongnya hingga tersungkur tadi. Nabila tadi memang meninggalkan Alana dengan sang mama yang dikenal suka main tangan. Itupun karena permintaan Lely yang katanya ingin bicara empat mata dengan Alana. “Gak apa-apa, Bill. Itu bukan salah kamu,” kata Alana dengan tergopoh-gopoh bangkit dibantu oleh Nabilla. Hanya ada tangisan Alana yang terdengar. "Kamu udah makan?" tanya Nabila sembari membantu Alana berdiri. "Belum," jawab Alana singkat. "Aku orderin makanan ya, apa gitu. Pokoknya kamu harus makan Lana, kamu gak boleh kayak gini terus, " ujar Nabila lalu kembali memeluk tubuh Alana. "Kamu pengen makan apa?" Nabila sambil menggeser layar ponselnya keatas dan kebawah. "Apa aja Billa," jawab Alana masih dengan suara parau. Ting tong. Bel pintu depan berbunyi. "Biar aku aja," kata Nabila kemudian segera bangkit dan membuka pintu. "Selamat malam, kami dari Jong-No Internasional restoran. Seseorang meminta kami mengantarkan makanan ini untuk Nona Alana." sapa sang pemuda yang memakai pakaian khas petugas delivery order sebuah restoran Korea ternama di kota A ini. "Selamat malam, Hah, siapa yang pesan?“ tanya Nabila dengan mata berbinar sembari menerima 5 paket makanan khas Korea yang di packing cantik itu. “Lana, kamu pesan makanan Korea ya?“ teriak Nabilla memastikan. “Enggak, lagi bokek!“ sahut Alana. “Wah, Mas, maaf ya, temen saya gak pesan tuh,” kata Nabilla pada kurirnya. “Semuanya sudah dibayar oleh pemesan kak, jadi ini tinggal menerima saja,” jelasnya. “Jadi ini semua gratis?“ tanya Nabilla dengan mata berbinar. Lelaki itu mengangguk mengiyakan. "Hmm, kalau boleh tahu siapa sih yang pesen makanan ini?" selidik Nabila sambil memasang wajah genit pada si pemuda yang terlihat polos itu. "M-m-maaf Nona, sang pengirim meminta saya untuk merahasiakan identitasnya. Hmmm ... Selamat menikmati makanannya Nona. Permisi." Pemuda itu buru-buru pergi meninggalkan Nabilla. Sebelum ia benar-benar tergoda dengan perempuan manis di depannya. Nabilla menaruh beberapa paket makanan itu di hadapan Alana. "Apaan ini?" Alana terbelalak. "Seseorang ngirim makanan buat kamu," jawab Nabilla sambil membuka bungkusan yang berisi inkigayo. Kemudian tanpa ragu mencomot lalu memakannya. "Seseorang?" Alana balik bertanya. "Yang jelas bukan laki-laki buaya itu!" seru Nabilla yang seketika membuat wajah Alana murung. Lebih murung dari sebelumnya. "Devan maksudnya?" Alana masih memastikan apa maksud ucapan Nabila. "Who else, Lana??" teriak Nabila geram. "Wah pantes restorannya rame meskipun mehonk. Enak banget inkigayo-nya. Juara!" lantang Nabilla sembari mencomot satu lagi. Alana hanya memperhatikan tingkah Nabila tanpa bernafsu untuk ikut makan. "Mama minta aku, buat minta maaf sama Devan, Billa." ucap Alana lirih wajahnya menunduk sedih. "Terus lo mau gitu minta maaf sama laki-laki b******n macem dia??" Alana menggeleng pelan. Ia sudah memutuskan, bahwa kali ini ia tidak akan menuruti perintah mamanya. Meskipun harus membayar semua konsekuensi termasuk diusir dari rumah dan menjadi tuna wisma. "Aku siap seandainya mama sampe ngusir aku. Aku juga udah capek jadi boneka mamaku," lirih Alana dengan suara bergetar. Pandangan matanya menerawang jauh. Melukis kesedihan mendalam yang kini ia tanggung. *** "Apa yang kamu lakukan disini?!" teriak Rafael sesaat setelah melihat keberadaan sosok seorang wanita bernama Arnetta di ruang tamu apartemen miliknya. "Aku bawain kamu makan malam. Mengisi lemari es kamu dengan makanan segar dan membersihkan kamar kamu yang berantakan." jelas Arnetta sembari berjalan selangkah demi selangkah ke tempat dimana Rafael masih memaku berdiri. Wanita berpakaian super ketat itu merangsek ke tubuh Rafael. "Yang kamu lihat kemarin bukanlah seperti yang kamu kira sayang, " ucap Arnetta lirih dengan nada seksi. "Aku tahu kamu lapar. Let's dinner, dan kita habiskan malam ini dengan permainan panas," ujar Arnetta dengan perangai menggoda. Ia berusaha melakukan kontak mata dengan pria tampan di depannya. Namun Rafael bergeming, ia tak merespon apapun. Kini ia malah membuang muka memperlihatkan rasa jijiknya terhadap Arnetta. "Oh, jadi kamu merasa jijik sama aku? Gak mau melihatku? Jangan bilang kalau kamu sudah lupa rasanya?" Arnetta memegang pipi Rafael dan memaksanya untuk memandang dirinya. Rafael geram, ia melangkah mundur menjauhkan tubuhnya dari jangkauan Arnetta. "Tolong kamu pergi dari sini. Sekarang!" usir Rafael sambil membuka pintu apartemen lebar- lebar, tangannya "Aku gak mau pergi!" jawab Arnetta. "Pergi Arnetta! Kamu jangan ganggu aku!" kasar Rafael. Darah panas menjalari kepalanya. Rahangnya mengeras dengan otot-otot di leher yang menegang. "Aku gak akan pergi dari sini! Aku calon istri kamu, aku punya hak untuk tinggal disini." dengus Arnetta tak beranjak satu senti pun dari tempatnya berdiri. Menunjukkan keengganannya untuk pergi dari sana. "Hubungan kita sudah berakhir Netta, gak ada lagi pernikahan!" pekik Rafael keras. "Kamu jahat Rafa," Arnetta seketika memasang wajah sedih seolah Rafael-lah yang melakukan kesalahan. "Kamu bilang aku jahat? Yang kelakuannya kayak wanita nakal itu kamu, bukan aku Netta!" berang Rafael. BRAK!! Rafael menggebrak pintu apartemen hingga timbulkan suara menghentak yang seketika membuat Arnetta menutup kedua telinganya. Belum pernah ia melihat Rafael semarah ini sebelumnya. "Pokoknya aku gak mau pergi dari sini. Kita bisa melewati ini sayang, kita bisa bicarakan ini baik-baik," mohon Arnetta. "Baiklah jika kamu gak mau pergi dari sini, kalau begitu aku yang akan pergi!" ujar Rafael kemudian menutup pintu meninggalkan unit apartemen itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD