Sorry!

1079 Words
Kehidupan Alana memang bisa dikatakan jauh dari kesempurnaan. Namun ia dikenal sebagai perempuan yang baik. Bekerja di dua tempat sekaligus tak membuatnya kehilangan waktu untuk berbagi dan berbuat baik kepada sesamanya. Pagi hari, ia bekerja di sebuah kedai kecil yang menyediakan sarapan untuk para pekerja kantoran yang terletak tak jauh dari kedainya. Selepas jam sebelas ia akan langsung menekuni pekerjaan keduanya sebagai penjaga bakery and cake milik tante Santi, adik dari almarhum ayahnya. Setiap akhir minggu ia masih bisa meluangkan waktu untuk mengajar calistung bagi anak-anak penghuni kolong jembatan. Itulah tempat dimana Alana merasa diterima. Anak-anak disana sangat menyayanginya. Alana sebenarnya berasal dari keluarga berada namun sang mama yang memaksanya untuk hidup mandiri selepas bangku SMA. Lely juga tak mengijinkannya untuk berkuliah dengan dalih, pendidikan tidak akan bisa mengubah masa depan perempuan cacat sepertinya. Dan hari ini adalah hari yang paling Alana tunggu-tunggu. Hari sabtu, dimana ia tak perlu bekerja di kedai. Serta mendapatkan shift sore di bakery tante Santi. Seperti biasa Nabilla akan menjemputnya sekitar jam sembilan. Ia sudah siap tempur dengan segala peralatan tulis dan tak lupa membawa serta beberapa kaleng cookies untuk anak-anak disana. "Tumben rame bener?" heran Nabilla sambil melepas helmnya. "Apaan sih?" tanya Alana. "Tuh." Nabila menunjuk keramaian yang tak biasa di tempat mereka mengajar. "Tiati Lana," kata Nabilla saat melihat Alana turun dari motor matiknya. "Hah! Ngapain dia disini?!" pekik Alana dengan muka ditekuk. "Siapa sih yang kamu omongin?" tanya Nabila. "B-bukan siapa-siapa," kilah Alana. Ia memang tak menceritakan apapun soal kejadian di pantai sore itu kepada Nabilla. Tentang pria dan ciuman pertama yang ia lakukan dengannya. *** "Selamat pagi anak-anak," seru Nabilla yang langsung disambut meriah oleh anak-anak yang sudah hadir. "Kak Alana bawain sesuatu nih," anak-anak yang berjumlah sekitar sebelas itu langsung menghambur ke Alana. Bersiap menerima beberapa kaleng kue kering yang sengaja Alana buatkan untuk mereka. "Ohh ... jadi kakak ini namanya Alana," celetuk seorang pria berpakaian lebih bersahaja dari biasanya. Ia tak lagi mengenakan kemeja dan jas mahalnya. Hanya kaos pollo abu-abu yang dipadukan dengan celana jeans. Alana menoleh ke sumber suara dan mendapati pria tak bernama itu sedang tersenyum menatapnya. Sontak ia melengos, kemudian mendengus kesal bukan main. "Sial, ngapain sih dia disini?" gumam Alana dalam hati. Sambil berharap cemas, semoga lelaki itu tak mendekat padanya. Namun, ekor matanya menangkap bayangannya yang berjalan ke arahnya. "Ada yang bisa saya bantu Kakak Guru Alana?" benar saja sang pria itu kini sudah disamping Alana. Bahkan tanpa permisi sang pria dengan sigap membantu Alana membawa tumpukan buku mewarnai yang akan Alana bagi untuk anak-anak. Alana melotot pada Rafael tapi pria itu seperti sengaja melakukan ini untuk menarik perhatiannya. "Aku bisa sendiri! Minggir!" ketus Alana lirih. Ia tak ingin anak-anak mendengarnya. "Aku memaksa," jawab Rafael cuek sambil merebut beberapa kotak pensil warna yang ada di tangan Alana. "Ohooo, ternyata ada nama di kotak pensilnya. Karena kak Rafael masih belum mengenal kalian. Jadi Kak Rafa akan memanggil kalian satu persatu ya? Yang kak Rafa panggil namanya, cepetan maju yah!" seru Rafael bergaya seolah ia adalah Guru di tempat itu. "Baik, kak Rafa, ... Om ... " jawab sepuluh anak dengan kata Kak. Dan seorang diantaranya dengan polosnya memanggil Rafael dengan sebutan 'Om'. Alana sontak menangkup mulutnya dengan tangan, menahan tawa. "Ck." Rafael tampak kesal. Ia melirik Alana yang masih berjuang menahan rasa ingin tertawanya. "Apa aku kelihatan seperti Om-om?" bisik Rafael bertanya pada Nabilla yang sibuk menulis materi untuk pembelajaran hari ini di papan. "Enggak sih, kamu keren kok!" jawab Nabila asal tanpa menoleh kepada Rafael. Seorang anak laki-laki bergigi ompong tiba-tiba berjalan maju menghampiri Rafael. "Om mana pensil Aydan, lama banget sih!" protesnya. "Oh jadi kamu yang manggil Kak Rafa, dengan sebutan Om?" tanya Rafael dengan sedikit membungkukkan badan. "Aku juga manggil Tante Alana, dengan sebutan Tante kok. Karena Om pacarnya Tante Alana, jadi Aydan panggil Om, " jelasnya polos. Wajah Rafael yang tadinya galak seketika melunak, ia mengacak rambut anak laki-laki itu sambil berkata, " anak pintar, kamu visioner sekali!" "Aydan, Kak Rafa bukan pacarnya Tante Alana. Jadi Aydan harus manggil Kak ya, bukan Om. Mengerti?" Alana dengan lembut menjelaskan pada Aydan. "Gak bisa Tante, pokoknya Aydan maunya manggil Om!" Si anak ompong itu tetap kukuh pada pendiriannya. "Sudah-sudah ini kotak pensilnya Aydan, sekarang Aydan duduk ya." ujar Alana sembari menyerahkan kotak pensil warna yang sudah dinamai itu. "Baiklah anak-anak hari ini kita akan mewarnai gambar yang sudah Kak Alana bagikan ya, temanya tentang cita-citaku. Hmmm, sebelum itu Kak Alana pengen tanya nih. Apa sih cita-cita kalian? " "Polisi Kak, " celetuk Daniel anak yang paling kecil diantara mereka, kemudian semua anak-anak berebut menjawab dengan antusias. Diam-diam Alana mencuri pandang kepada Rafael yang ternyata bisa bersikap lembut pada anak-anak. Dua jam berlalu, anak-anak sudah kembali ke rumah masing-masing menyisakan Alana, Rafael dan Nabilla disana. "Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Alana pada Rafael yang terlihat sibuk membolak-balikkan buku materi yang Nabilla bawa. Alana sudah tak mampu menahan rasa kesalnya sedari tadi. "Membantu kamu," jawab Rafael singkat. "Aku gak butuh bantuan kamu. Sebaiknya kamu pergi sekarang!" usir Alana sedikit meninggikan nada bicara. Rafael berdiri, menatap mata Alana dalam-dalam. Tatapan yang entah kenapa membuat jantung Alana seperti genderang perang yang ditabuh. Bertalu-talu tak karuan. "Kamu mau tahu apa alasanku datang kemari?" tanya Rafael serius. "Katakan saja! jujur aku muak melihat kamu disini, " sembur Alana hingga ucapkan kata yang bisa saja menyakitkan Rafael. Namun, wajah Rafael tak berubah. Ia tak menunjukkan rasa marah sedikitpun. Ia bahkan masih bisa menyunggingkan seulas senyum. Nabila melempar tatapan pada dua orang yang bertingkah aneh. "Aku datang buat" lirih Rafael tercekat. "Meminta maaf pada kamu," imbuhnya. "Maaf?" balik Alana. "Aku ingin meminta maaf pada kamu atas perlakuanku kemarin. Aku tak seharusnya-" "Stop! Jangan terusin! " potong Alana ia tak sanggup mendengar kata-kata yang akan Rafael padanya. Itu terlalu memalukan. Ia bahkan malu pada dirinya sendiri, setiap kali melihat pantulan wajahnya di kaca. Ia melakukan hal yang tak pantas dengan pria bernama Rafael itu. Berciuman dengan pria yang baru ditemuinya? Membuatnya merasa sangat murahan. "Alana tolong dengarkan aku," "To-long m-maafkan aku ... " Rafael terlihat serius dengan wajah memohon. "Tolong kamu pergi dari hadapan aku sekarang, aku mohon. Aku benar-benar gak ingin melihat kamu lagi. Akan lebih baik kalau kita tidak usah bertemu. Ataupun mengucapkan kata maaf. Tak ada yang perlu dimaafkan ataupun meminta maaf," urai Alana yang seketika membuat raut wajah Rafael berubah. Terlihat gurat kekecewaan di wajahnya. Lelaki itupun dengan cepat berbalik dan berjalan gontai keluar dari tempat itu. Bangunan sederhana yang atasnya hanya ditutupi terpal bekas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD