Apa?
Aku mengerjap dengan gaya. Mirip adegan di drama-drama. Ingat, aku adalah cowok terganteng se-Desa Cintakarya. Cewek secantik apa pun tak akan mudah menggoyahkan hatiku, kecuali Leti.
“Ada debu di pipi kamu,” jawabku sok cool, mirip chef Juna.
Dengan cepat, perempuan itu mengeluarkan bedak dari dalam tas-nya, kemudian bercermin. Dirasa wajahnya baik-baik saja, gadis itu langsung memandangku dengan sorot tajam, kemudian mendekat, “ Ada daun di rambut kamu,” balasnya nyaris berbisik.
Gak percaya! cibirku dalam hati. Kurasa dia hanya ingin membalasku saja.
Akan tetapi, gadis itu benar-benar mengambil sampah dari atas kepalaku. Sebuah daun alba kering, lengkap dengan jaring laba-labanya. Reputasiku sebagai cloningan Bright Vachirawit hancur seketika. Aku sudah tidak cool lagi!
“Dawala, ini duitnya!” teriak Bi Eti dari dalam warung. Kesempatan itu kugunakan untuk melarikan diri dari gadis sialan tadi. Kuambil uang sebesar 140 ribu dari tangan Bi Eti, lantas pergi tanpa menoleh sedetik pun.
Doaku sore itu, “Semoga Tuhan tak akan mempertemukan aku dengan cewek itu lagi.”
Nyatanya Tuhan senang melihatku menderita. Cewek itu datang ke dalam hidup kelamku, membuatnya semakin runyam. Dia hadir dalam perjalanan hidupku, menjadi salah satu alasan kenapa aku bercerita saat ini.
***
Maret, 2015.
“Ganteng amat lo, mau ke mana?” tanya Gama yang kini anteng nyemil seblak di depan televisi. Padahal waktu masih menunjukan pukul sembilan pagi. Bisa-bisanya Gama sudah jajan di pagi buta begini. Kalau tidak haram, aku pun mau.
Enak jadi Gama, apa-apa selalu diturutin. Uang jajan dia bahkan dua kali lipat lebih besar ketimbang uang jajanku dulu. Semasa SMA, Emak hanya memberiku ceban per hari, sementara Gama dikasih 20 ribu. Diskriminasi macam apa ini?
“Kerja, lah,” jawabku.
“Hari pertama kerja, nih!” goda Gama. Maksudnya sebenarnya bukan itu. Dia pengen minta uang jajan, tapi gengsi mengatakannya secara gamblang.
“Lo ke mana aja. Gue udah kerja sebulan lebih, Gama!” Aku memutar bola mata.
“Kok gue gak pernah kecipratan gajinya,” sindir Gama. Lihat, kan, betapa liciknya saudaraku?
“Doain gue bisa nikah sama Leti. Entar gue traktir lo bakso Mas Imron!” Aku berlalu pergi dari hadapannya menuju garasi. Kupanaskan motor sport milikku. Motor kebangganku. Hanya motor ini yang bisa membuat emak membanggakan aku ke tetangga. Katanya, Dawala anak yang rajin dan suka menabung, sampai-sampai kebeli motor hasil keringat sendiri. Padahal kenyataannya aku mengajukan pinjaman ke Bank.
Kulajukan motorku membelah jalanan kota. Ini rutinitasku sehari-hari, bekerja di restoran seafood tepat di pinggir pantai. Sebulan lebih aku bekerja di tempat ini. Tempat kerjanya lumayan nyaman bagiku, ditambah interaksi dengan sesama pekerja cukup ramah. Tidak ada senioritas, hal yang justru kutakutkan selama ini.
“Dawala. Meja nomor enam pesan jus jeruk dua, kepiting saus tiram dua porsi, ice cream strawberry dua cup.” Tita setengah berteriak. Aku mengangguk mengerti, kemudian mengambil bahan-bahan untuk diserahkan ke Pak Tio— juru masak. Kami memanggil Pak Tio dengan sebutan Chef.
“Kepiting saus tiram, ya?” tanya Chef.
Aku mengangguk.
“Kamu bikin jus jeruknya, gih!” titah Chef.
Aku langsung meracik minuman, lantas menyuruh Tita menyerahkannya ke pelanggan. Tita berlalu dengan dua gelas minuman di nampannya. Dari balik dapur, aku melirik ke arah meja nomor enam. Di sana, ada dua orang gadis yang tengah berbincang sambil tertawa-tawa. Kedatangan Tita tak lantas membuat dua orang gadis itu menghentikan pembicaraan, yang ada mereka semakin menjadi. Tita ikut-ikutan ketawa, bahkan sampai ngakak.
“Dawala istirahat dulu, gih!” titah Chef. Secara kebetulan aku belum makan, jadi kesempatan itu kugunakan untuk makan siang sekaligus bersantai.
“Istirahat, Wa?” tanya Tita selepas kembali. Aku menoleh untuk melihat wajahnya. Ternyata dia tak sendiri, ada seorang gadis yang ikut-ikutan pergi ke dapur.
“Wa, istirahat?” ulang Tita.
Aku mengangguk dengan mata terkunci ke gadis di sebelah Tita. Gadis itu terasa familiar di mataku.
“Apaaaa! Minta duit!” teriak gadis itu. Dia berlari menghampiri Chef kemudian berdiri di sampingnya.
“Uang melulu, b***k teh!” umpat Chef seraya mengeluarkan selembar uang 50 ribu. “Udah mau menikah, masih aja doyan minta uang ke orangtua!”
Oh, jadi cewek itu udah mau menikah? gumamku dalam hati. Otakku masih terus berusaha mengingat siapa dia, sialnya tak kunjung mendapat jawab.
Si gadis tampak cengar-cengir tanpa dosa. Setelah mendapatkan uang sebesar 50 ribu, dia pergi begitu saja. Ia melewatiku, kemudian berhenti sejenak untuk mengambil sesuatu di rambutku. “Ada biji jeruk di rambut kamu,” bisiknya sambil mematri senyum mengerikan.
Keping-keping ingatan kembali berkumpul di memoriku. Sekarang aku mengingatnya. Dia adalah cewek menyebalkan yang ingin kuhindari. Ternyata, cewek itu merupakan anak dari rekan kerjaku sendiri.
***
Dering alarm ponsel membuatku tersentak dari mimpi. Restoran sudah lumayan sepi. Lagi pula, waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Kubereskan deretan kursi yang berjajar di ruangan. Sampah makanan berserakan di atas meja. Kalau tidak haram, ingin sekali kugendir setiap raga yang menyampah di tempat ini. Mereka menambah pekerjaanku, padahal buang sampah bukan perkara susah, kan?
Saat membuang sampah, tiba-tiba ingatanku kembali ke masa lalu. Aku teringat Leticia yang amat kurindukan. Buang sampah bersama merupakan rutinitas kami di SMA dulu, soalnya jadwal piket kami berbarengan.
Apakah Leticia bahagia dengan hidupnya saat ini? Memikirkan itu membuat hatiku teriris. Dunianya sangat sulit kutembus. Dia terlalu tinggi untuk remah-remah rengginang sepertiku.
“Udah mau tutup, ya?” tanya seseorang. Aku menoleh dan melihat seorang pemuda jangkung berdiri di depanku. Dia Aga, Kakaknya Leticia. Cie, Aga bawa cewek ke restoran. Sepertinya cewek itu pacar Aga. Kalau dilihat-lihat, si cewek lumayan cantik, tapi mukanya agak ngeselin.
“Iya, setengah jam lagi tutup,” jawabku sambil mematri senyum. Bagaimana pun, Aga merupakan Kakak Leticia, jadi aku harus tetap bersikap baik biar dikasih restu.
“Bisa beli laksa udang?” tanya Aga. Cewek di sampingnya tampak memegangi perut sambil meringis.
“Biar kutanya Chef dulu.”
“Tolong, Wa. Kalau pun harus bayar dua kali lipat nggak apa-apa, kok.” Aga memandangku penuh harap.
Kayak orang ngidam aja! cibirku dalam hati. Namun, kepalaku mengangguk refleks. Aku berlalu menuju dapur. Kulihat Chef sedang makan malam di pojok ruangan. Ia agak sedikit terperanjat melihatku mematung di ambang pintu.
“Kenapa, Wa?” tanya Chef dengan mulut penuh. Kulihat ia sedang makan olahan kerang sisa pesanan tadi.
“Ada yang pesan laksa udang,” jawabku.
“Jam berapa ini?” Chef memandang jam dinding yang menggantung di dekat pintu. “Udah malem masih ada aja yang pesan!”
“Jam 10 lebih.”
Chef bangkit, lantas berjalan menuju jendela yang terhubung ke tempat makan. Ia mengintip dari sana. Sepertinya Chef langsung mengumpat dalam hati begitu melihat pelanggan reseh mana yang berkunjung malam-malam begini.
“Itu, kan, Aga,” gumam Chef dengan alis mengkerut.
“Chef kenal Aga?”
“Tentu, dia calon suami anakku,” jawabnya, membuatku melotot kaget. Calon suami? Lantas cewek yang barusan bareng sama Aga siapa?