3. CANGGUNG

1726 Words
“Serius, Pak?” tanya Chesa meyakinkan dirinya lagi. Dafa mengalihkan pandangan di mana Chesa berdiri, “Apa wajah saya terlihat bercanda?” Nyali Chesa langsung ciut mendapat sindiran dari Dafa, “Tidak kok, Pak. Saya cuma tidak menyangka kalau berhasil buat kopi sesuai selera Bapak” “Jangan besar kepala, awas saja kalau besok saya suruh buat lagi rasanya malah berubah. Saya potong gaji kamu” “Kenapa sih Bapak selalu ngomong gaji saya mau di potong kalau saya melakukan kesalahan” ucap Chesa pelan. “Lalu kamu mau saya pecat?” Chesa menggeleng cepat, “Jangan, Pak. Susah payah saya mencari kerja dan sekarang saya tidak akan melepaskannya dengan mudah” “Ya sudah jangan melakukan kesalahan karena dengan begitu gaji dan posisi kamu akan aman” “Iya Pak” jawab Chesa. Chesa beranjak dari tempatnya berdiri, berniat untuk keluar dari ruangan Dafa. “Mau ke mana?” Langkah Chesa terhenti, “Eh, itu. Saya mau keluar, Pak” Dafa menatap Chesa dengan raut memerintah, “Duduk dan temani saya menyelesaikan pekerjaan ini” “Baik, Pak” jawab Chesa patuh. Ia duduk di kursi yang ada di depan meja kerja atasannya. Chesa memperhatikan Dafa yang tengah fokus memeriksa berkas lalu membubuhi tanda tangannya. Terlihat pria itu sangat teliti dalam bekerja. Awalnya gadis itu hanya memperhatikan berkas, namun tanpa sadar pandangannya beralih ke wajah Dafa. Pria berusia 30 tahun itu begitu tampan, wajahnya sempurna tanpa cela. Bekas cukuran dari kumis dan jambangnya terlihat samar namun justru membuatnya sangat mempesona. Chesa tersenyum samar mengagumi ketampanan Dafa. Andai saja takdir memihak padanya, ingin rasanya memiliki suami seperti Dafa. Bukan karena kaya tapi pesonanya sulit membuat pandangan setiap wanita untuk berpaling dari Dafa. Ini pertama kalinya Chesa memperhatikan wajah seorang pria karena selama ini satu-satunya teman prianya adalah Aidan. “Sayang, udah punya istri” batinnya. “Jangan memandang saya dengan bernafsu seperti itu. Saya ini sudah punya istri” celetuk Dafa yang masih fokus membaca berkas. Ucapan Dafa seketika membuat Chesa terkesiap. Wajahnya terasa panas karena atasannya menyadari kalau Chesa memandanganya dengan kagum. Chesa tidak tahu harus bagaimana karena malu. “Maaf, Pak. Saya tidak ada maksud seperti itu” ucap Chesa takut-takut. Dafa mengangkat wajahnya, “Kamu kira saya tidak tahu dari tadi kamu liatin saya?” Chesa menuduk, menghindari kontak mata dengan atasannya, “Maaf Pak, saya tidak sengaja” Dafa tersenyum samar, ia merasa geli melihat wajah Chesa begitu ketakutan. Rasanya ia akan memiliki mainan baru yang akan membuat harinya semakin menarik. Dafandra tidak menanggapi ucapan Chesa, ia kembali melanjutkan aktivitasnya. Ia sudah lelah dan berkas ini harus ia selesaikan dengan cepat. Dafa masih melihat Chesa duduk kaku dengan wajah tertunduk. Ia membiarkan gadis itu tetap dengan posisinya dan belum berniat melanjutkan niatnya untuk menggoda Chesa. Hampir satu jam akhirnya Dafa bisa menyelesaikan semuanya. Ia merentangkan tangannya untuk merenggangkan ototnya yang kaku. Badannya cukup pegal karena duduk terlalu lama, apalagi ia baru saja pulang dari luar kota. “Sudah jam setengah sembilan, ayo pulang” suara Dafa memecah kesunyian di ruangan itu. Chesa yang sudah menampakkan wajah lelah, memberanikan diri menatap Dafa, “Sudah selesai, Pak? “Sudah, kamu bisa pulang sekarang” Perlahan Chesa bangun dari duduknya, “Kalau begitu saya keluar sekarang, Pak” ucapnya dengan sopan. “...” Dafa mengangguk. Matanya terkunci pada sosok Chesa yang berjalan ke arah pintu keluar dari ruangannya. Setelah keluar dari ruangan Dafa, Chesa menghela napas lelah sekaligus lega. Baru tadi siang Lala dan Anin menceritakan mengenai kebiasaan Dafa yang suka menyiksa sekretarisnya, kini Chesa merasakannya. Walaupun masih terasa wajar tapi karena Chesa merasa lapar, jadi membuat moodnya sedikit berantakan dan merasakan lelah yang teramat. Belum lagi Dafa menegurnya karena melakukan hal konyol dan memalukan. “Chesa.. Chesa, sejak kapan kamu berani dan betah liatin cowok selain Aiden” Chera menyesali perbuatannya. Setelah membereskan meja kerja dan mematikan komputer miliknya, Chesa siap untuk pulang. Ia berharap semoga menemukan angkutan umum atau taksi online untuk mengantar pulang. Saat kakinya melangkah melewati pintu ruangan Dafa, pintu tersebut terbuka lalu menampakkan sosok Dafa yang keluar dari ruangannya. “Silakan duluan, Pak” Chesa memberi ruang untuk Dafa jalan terlebih dahulu. Dafa tidak menanggapi, namun menuruti ucapan Chesa. Keduanya jalan bersama menuju lift, bedanya Chesa masuk ke dalam lift khusus karyawan sedangkan Dafa lift khusus CEO. Chesa berjalan di belakang Dafa. “Kamu pulang naik apa?” tanya Dafa begitu sampai di depan lift. “Saya naik angkutan umum atau naik taksi online, Pak” jawabnya sopan. Dafa memutar tubuhnya lalu menatap Chesa, “Kamu tidak takut pulang malam naik angkutan umum?” “Selama ini saya biasa naik itu, Pak dan syukurnya saya baik-baik saja” “Kamu pulang dengan saya saja” Dafa spontan memberi tawaran sekretarisnya. Karena dirinya lah yang membuat gadis ini pulang malam. “Tidak usah, Pak. Terima kasih untuk tawarannya tapi saya naik taksi saja” tolak Chesa halus. “Jangan membantah, ini perintah saya sebagai atasan kamu atau...” “Atau Bapak akan memotong gaji saya kalau tidak menurut” Chesa sudah hafal ancaman dari atasannya. Dafa mengangguk, “Pintar. Kamu sudah mulai hafal kebiasaan saya” “Tapi, Pak...” “Jangan mengajak saya berdebat. Ikut dengan saya sekarang” nada bicara Dafa sedikit meninggi. Kalau sudah begini siapa yang akan berani menolak. Chesa mendesah pasrah dengan perintah atasannya walaupun perasaannya tidak tenang. Chesa mengikuti Dafa dengan ragu, ia takut jika orang lain melihat ia berjalan berdua dengan CEO perusahaan ini yang sudah berstatus sebagai suami Ibu Ribka. “Masuk..” titah Dafa begitu sampai di tempat mobilnya terparkir. Sungguh situasi ini benar-benar membuat Chesa dilema. Satu sisi ia tahu Dafa memiliki niat baik tapi satu sisi ia merasa takut jika sampai orang yang tahu akan hal ini dapat menimbulkan gosip. Tapi jika menolak, ia tahu risikonya seperti apa. Belum sebulan kerja bisa-bisa gajinya habis kena potong oleh Dafa. Tangan Chesa tergerak membuka pintu mobil mewah milik Dafa. Bermimpi saja ia tidak pernah bisa menaiki mobil seperti ini tapi sekarang ia justru duduk di samping seorang pria tampan. Setelah keduanya sama-sama masuk dalam mobil, Dafa mulai menjalankan mobilnya. Keduanya hanya diam tanpa ada yang mau bicara. Tapi Chesa lebih senang situasi seperti ini, karena dengan sedikit bicara makan potensi melakukan kesalahan semakin kecil. Sebelumnya Chesa sudah memberi tahu alamat tempat tinggalnya. Pria itu tidak menanggapi, padahal sangat jelas jarak kantor dan tempat kos Chesa lumayan jauh. Tapi ia tidak mau ambil pusing karena pria itu yang menawarkan diri. “Kita makan dulu, baru saya antar kamu pulang” Chesa terkejut dengan ucapan Dafa, “Tapi Pak....” “Kamu mau menolak? Saya lapar Chesa, ini sudah malam. Apa kamu tidak punya rasa lapar?” “Baik, Pak” Chesa tidak ingin bicara lebih banyak. Baiklah anggap saja hari ini adalah hari apesya karena terjebak bersama atasan dengan sikap semena-mena, dingin dan menyebalkan. Mobil Dafa berbelok dan masuk ke sebuah restoran yang belum tutup. Tidak terlalu mewah namun terlihat sangat nyaman. Keduanya turun dari mobil lalu melangkahkan kaki masuk ke dalam restoran yang menyediakan makanan Indonesia. Setelah keduanya duduk, seorang pelayan restoran menyerahkan buku yang berisikan daftar menu. “Capcay udang satu tanpa nasi dan satu orange jus” ucap Dafa pada pelayan tersebut. “Kamu mau makan apa?” tanya Dafa pada Chesa. “Nasi goreng dan es teh saja, Pak”  jawab Chesa tidak enak. “Yakin?” “Yakin kok, Pak” mana mungkin Chesa ngelunjak memesan makanan mahal. Ia sendiri tidak yakin bisa makan dengan tenang atau tidak. “Kalau begitu buatkan nasi goreng spesial dan satu ice lemon tea” ucap Dafa kembali pada pelayan. “Baik, Pak. Silakan di tunggu” Dafa melipat kedua tangannya di atas meja, lalu menatap Chesa dengan lekat. “Pak, kenapa pesanan saya di rubah?” “Kamu tidak suka?” “Suka kok, Pak” jawabnya pasrah. “Sejak tadi kamu diam saja, kenapa?” “Tidak apa-apa kok, Pak” “Kamu kesal dengan saya?” “Kenapa saya harus kesal dengan Bapak?” tanya Chesa bingung. “Karena saya ngotot mengantar kamu pulang dan sekarang mengajak kamu makan” “Saya tidak kesal hanya merasa tidak enak” “Tidak enak kepada siapa?” “Saya takut kalau ada orang yang mengenal Bapak dan saya mereka akan berpikir aneh-aneh. Dan saya merasa bersalah karena mengambil waktu Bapak dari istri dan anak Bapak” Dafa tersenyum kecut, “Kamu harus belajar untuk tidak peduli dengan omongan negatif orang lain. Kalau kamu mendengarkan itu semua, hidup kamu akan selalu merasa tidak tenang. Dan soal keluarga saya, kamu tidak usah ambil pusing. Saya tahu apa yang harus saya lakukan dengan keluarga saya” “Tapi kalau istri Bapak tahu saya menemani Bapak makan malam, bisa-bisa saya di marahi, Pak” Dafa tergelak, “Saya tidak akan melimpahkan semua kesalahan sama kamu. Lagi pula, saya makan dengan sekretaris saya bukan dengan wanita lain. Ayolah, tidak selamanya hubungan antara atasan dan bawahan di bumbui hal berbau asmara dan affair” “Saya tidak memandang profesi saya seperti itu, Pak. Saya hanya punya prinsip untuk tidak melukai perasaan seseorang dengan sikap saya yang salah” Chesa tidak akan melanggar prinsipnya yang selama ini ia jaga. “Prinsip yang bagus tapi ada kalanya kamu harus masa bodoh dengan hal itu” Obrolan keduanya terhenti saat makanan yang di pesan datang. Dafa memilih fokus dengan makanan begitu juga Chesa. Semakin cepat selesai makan maka cepat pula Chesa pulang. Ia selalu memandang setiap situasi dari dua sisi agar tidak membuatnya merasa terbebani. Selalu ada hal baik si situasi yang merugikan. Begitulah kira-kira menurutnya. “Kenapa kamu makannya terlihat hati-hati sekali?” Dafa melihat Chesa memilah-milah makanan, memperhatikan dengan teliti takut jika ada kacang yang terkandung dalam nasi gorengnya. “Saya takut di dalam nasi goreng ini ada kandungan kacangnya, Pak” jawab Chesa. “Kamu alergi dengan kacang?” Chesa mengangguk, “Saya punya alergi parah terhadap kacang” “Separah apa?” “Pernah di rawat beberapa hari di rumah sakit karena saya sesak napas” “Oh separah itu ternyata. Tapi saya yakin nasi goreng itu tidak ada kacangnya sama sekali” “Sepertinya begitu, Pak” Dafa dan Chesa kembali melanjutkan makannya tanpa bersuara sedikit pun. Sesekali Dafa memperhatikan cara makan Chesa yang ternyata cukup sopan. Penampilan gadis ini selalu nampak sederhana di mata Dafa. ~ ~ ~ --to be continue-- *HeyRan*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD