MY LOVELY GHOST
BAB 7
“Aku tak pernah meragukan hasilnya, Cal, kau selalu hebat di dalam lukisanmu.” Gadis itu melingkarkan tangannya di pinggang Calvino, memeluknya dengan manja. Calvino tersenyum, menatap lukisan yang baru saja ia letakkan di dinding galerynya itu. Lukisan wanita tua penjual bunga dengan gadis kecil yang tidur di pangkuan.
Calvino melepaskan tangan gadis itu dari tubuhnya dengan lembut, “Jika begini, orang akan mengira kau adalah kekasihku, Rhea.”
Rhea tersenyum, ia berbalik dan menghadap Calvino, “Apa masalahnya, Cal? Kau sendirian begitu juga denganku. Tidak ada yang peduli. Aku menyukaimu, Cal.”
“Rhea, aku terlibat dengan banyak gadis untuk setiap lukisanku, haruskah aku menerima mereka semua ketika mereka berkata menyukaiku?” Calvino menatap Rhea dengan senyum manis di bibirnya, dan ia melihat jika gadis itu mencoba untuk merayu.
“Kau benar, mereka pasti mengatakan itu padamu. Tapi aku berbeda, Cal. Kita berasal dari kelas yang sama, dan mereka merestui hubungan kita. Jadi, apa yang salah dengan itu?”
“Tidak ada yang salah, Rhea. Hanya saja hatiku belum menentukan kepada siapa ia akan jatuh cinta. Aku tidak menyukai perjodohan, sekalipun itu adalah teman masa kecilku sendiri.” Calvino menolak dengan halus, ia kemudian mengambil papan lukisnya yang lain dan menatanya di dinding galerynya lagi.
Rhea diam, ucapan Calvino tentu saja melukai harga dirinya sebagai seorang perempuan. Selama ini, Rhea berusaha keras untuk mendapatkan perhatian dari laki – laki itu, tapi tampaknya Calvino sama sekali tidak melihat usahanya. Tidak, dia bukannya tidak melihat tapi dia memang tidak peduli.
“Apakah kau menyukai seseorang, Cal?” Tanya Rhea kembali.
“Tidak. Tidak ada.” Jawab Calvino tak acuh.
Rhea tersenyum senang mendengar jawaban itu, setidaknya ia masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Calvino.
“Baiklah, apa kau mau kopi?” Tawar Rhea dan Calvino mengangguk mengiyakan.
“Ayo, kita pergi minum kopi.” Ajak Calvino, yang telah selesai menata galery lukisnya itu.
............
“Kau akan membantuku saat pameran, bukan?” Tanya Calvino, menyesap kopinya.
“Hmm, aku akan melalukan apa yang kau inginkan, Cal. Kau bisa meminta bantuanku kapan saja.” Rhea tersenyum, matanya bersinar setiap kali ia berada di dekat laki – laki itu.
Tidak ada halangan bagi Rhea untuk mendapatkan Calvino, jadi apa yang perlu ia cemaskan? Calvino hanya belum membuka hatinya saja, cepat atau lambat Rhea akan mendapatkannya.
“Cal, apakah kau sama sekali tidak tertarik dengan para model itu?” Rhea mengajukan pertanyaan yang tidak terlalu penting, tapi ia masih saja penasaran.
“Tidak ada, mereka hanyalah rekan. Aku membutuhkan mereka untuk objek lukisanku dan mereka membutuhkan uangku. Itu saja.”
“Lalu bagaimana denganku? Apakah aku juga hanya sekedar objek bagimu?” Rhea menggigit kentang gorengnya, bibir ranum gadis itu tampak bergerak – gerak.
“Hmm, kau objek sekaligus fantasi liarku.” Calvino mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Rhea lebih dekat, “Kau memiliki mata yang indah, itulah kenapa aku senang melukis wajahmu itu.”
Rhea tertawa kecil, “Fantasi liarmu?”
“Apakah kau tersinggung? Aku hanya berusaha mengatakan yang sebenarnya. Kau cantik juga seksi.”
“Lalu kenapa kau menolakku, Cal?”
“Entahlah, mungkin karena hubungan kita sudah seperti saudara. Saudara tidak akan pernah terpisahkan, Rhea. Hanya kau yang dekat denganku dan sangat memahami perasaanku.”
Rhea menatap Calvino dengan nanar, ia tak bisa menerima penjelasan itu. Ya, ia tidak mau.
“Rhea, ada hal yang ingin kukatakan padamu.” Calvino meletakkan kedua tangannya di atas meja, menatap Rhea lekat, “Aku bertemu dengan seorang gadis, aku memintanya untuk menjadi model lukisanku.”
“Siapa? Apakah aku mengenalnya?” Wajah Rhea berubah serius.
“Tidak, dia bukan gadis Spanyol. Dia adalah gadis yang kujumpai di dalam pesawat, dan kami bertemu secara tak sengaja di acara festival beberapa minggu yang lalu. Aku bahkan memberinya nomor telephone, tapi dia sama sekali tidak menghubungiku. Aku tidak tahu di mana gadis itu tinggal. Dia selalu sendirian.”
“Kenapa kau mengatakannya padaku?” Rhea tampak cemburu mendengar cerita Calvino itu.
“Kau benar, kenapa aku mengatakannya padamu. Kau bahkan tidak mengenal gadis itu.”
“Cal, kau tidak akan menemukan gadis itu di kota sebesar ini, bukan?”
“Kau benar, Rhea. Aku bahkan tidak bertemu lagi dengannya setelah festival itu.”
“Ada apa, Cal? Kau tampak sangat ingin melihatnya lagi.” Rhea menyatukan alisnya, gadis itu mulai dipenuhi dengan kecemasan.
“Apakah terkesan begitu?” Calvino kembali menyandarkan tubuhnya dan meneguk kopi itu lagi, “Dia memiliki wajah yang berbeda, matanya, bentuk bibirnya bahkan cara dia berbicara denganku. Aku benar – benar menginginkan dia untuk menjadi bagian dalam lukisanku. Aku tak bisa melukisnya begitu saja.”
“Kau takut?”
“Hmm, aku takut. Dia bukan gadis yang akan menerima begitu saja jika aku diam – diam melukisnya.” Calvino tertawa, saat membayangkan raut wajah Zelena kala itu.
Rhea menatap Calvino dengan wajah datar, lelaki itu tak pernah tertawa lepas seperti ini ketika membicarakan seorang gadis, apakah Calvino tertarik kepada gadis itu?
“Apa kau menyukainya?” Rhea bertanya dengan mata menyipit.
“Aku...”
“Tidak, jangan katakan itu. Aku tidak ingin mendengarnya.” Rhea menyesap kopinya, lalu mengambil kamera digitalnya dan menunjukkan kepada Calvino, “Lihat, Cal, aku menemukan objek yang bagus saat perjalanan ke tempat ini.”
Rhea menunjukkan foto yang ia ambil saat menuju ke cafe ini, seorang anak perempuan yang sedang menjajakan permen dengan keranjang di tangannya. Anak itu tampak mengenakan pakaian lusuh serta rambutnya yang tidak ditata dengan baik.
“Wah, kau jeli sekali, Rhea.” Calvino tersenyum, dan seketika perhatiannya terpusat kepada foto itu.
“Kau suka?”
“Ya, ini bisa menjadi kritik sosial, aku tak sabar melukisnya dan meletakkan di dinding galeriku.
“Cal, kau sudah siap dengan pameranmu besok?” Rhea mengingatkan, dan mengambil kembali kameranya, “Kalau kau mau, aku akan mencetaknya besok.”
“Tentu, cetak saja dan berikan padaku.” Calvino melihat jam tangannya, kemudian berdiri setelah menyesap kopinya, “Aku harus pergi, Rhea, bisakah kau melanjutkan untuk mendekor galeriku?”
“Kau mau ke mana, Cal?”
Calvino menaikkan bahunya, “Berkeliling, mungkin saja aku bisa bertemu dengan Zelena, aku ingin mengundangnya ke pameran besarku.”
“Zelena?”
“Ah, nama gadis itu Zelena.” Setelah mengatakan itu dan meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja, ia pergi begitu saja dan Rhea hanya bisa menatapnya dengan alis menyatu.
...................
“Kau mau ke mana Zelena?” Xavier berjalan di sisi gadis itu, dan tanpa sadar Zelena pun menjawabnya dengan nyaring.
“Aku harus menyerahkan desainku, apakah kau akan terus mengikutiku, Xavier?”
“Hmm, aku akan ikut ke manapun kau pergi, Zelena.”
Zelena mendesah, dan tanpa sadar ia menjadi perhatian orang – orang yang lalu lalang di tempat itu.
“Kenapa kau tidak membawa mobil?” Tanya Xavier lagi.
“Karena aku ingin berjalan – jalan sambil melihat – lihat kota ini, kalau – kalau ada yang bisa kuabadikan dengan ponselku.” Tukas Zelena sambil menunjukkan ponselnya.
“Dengan benda itu?”
“Ya.”
“Bagaimana caranya?”
“Kau ingin tahu?” Zelena mengulurkan ponselnya, “Buka bagian kamera, kau lihat di sana? Lalu tekan ini, maka benda yang ada di hadapanmu akan berpindah ke dalam ponsel ini. Lihatlah.” Zelena menunjukkan hasil fotonya kepada Xavier, dan hantu lelaki itu ternganga takjub.
“Apakah ini keajaiban?”
“Apa? Tidak, ini yang disebut dengan kemajuan teknologi.” Jelas Zelena dengan senyum lebar di bibirnya.
“Zelena, aku terlalu bodoh di duniamu, maukah kau membantuku belajar?”
Zelena menyatukan alisnya sembari tertawa kecil, “Belajar? Tapi untuk apa?”
“Agar aku tidak terlihat bodoh di hadapanmu, kau tahu, aku adalah Duke.”
“Duke?”
“Hmm, itu adalah gelar untuk kaum bangsawan sepertiku, dan aku adalah tangan kanan raja, aku cerdas dan tahu banyak hal.”
Zelena mengangguk – angguk, “Oke, tapi itu dulu. Sekarang tidak.”
Xavier menatap Zelena, “Maka ajari aku.”
“Hei, Nona, apakah kau sudah gila?” Tegur seorang lelaki ketika berpapasan dengan Zelena. Gadis itu terkesiap, ia memutar tubuhnya dan melihat orang – orang itu menatapnya sembari menggelengkan kepala.
Zelena yang merasa kesal berjalan cepat, mendahului Xavier, ia bahkan tak peduli saat Xavier memanggil namanya berulang kali.
Gadis itu berhenti di sebuah gedung, setelah berbicara dengan seseorang, ia pun duduk dan menunggu.
“Zelena, maafkan aku.” Xavier berdiri di hadapan gadis itu, menatapnya cemas.
Zelena membuang napas kasar, dan meletakkan ponsel di telinganya, “Itu bukan salahmu, aku yang terlalu asyik dengan obrolan kita dan melupakan bahwa kau tidak bisa dilihat oleh orang lain.”
“Tidak, aku sudah berjanji padamu untuk diam. Tapi aku tidak bisa mengendalikan diri. Aku terlalu senang karena akhirnya bisa berbicara dengan seseorang. Aku akan lebih berhati – hati lagi, Zelena.” Ucap Xavier dengan menyesal.
“Zelena?” Zelena menoleh saat seseorang menyebut namanya. Gadis itu berdiri dan mengangguk sopan.
“Maaf, membuatmu menunggu. Aku baru saja selesai menghadiri rapat. Duduklah.” Lelaki itu duduk begitupun dengan Zelena.
“Kau sudah selesai?” Tanya lelaki muda itu dengan senyum ramah di bibirnya.
“Belum, saya datang untuk meminta pendapat anda tentang konsep baru yang ingin saya buat, tapi jika anda tidak suka, saya tetap akan menggunakan konsep yang lama.” Zelena membuka gulungan kertas itu dan memperlihatkannya kepada lelaki tersebut.
“Oh, apa yang ingin kau rubah?” Lelaki itu memperhatikan desain sketsa yang dibuat Zelena.
“Ini, di bagian taman. Saya rasa akan lebih flexibel jika merubah bentuknya. Saya merasa konsep yang lama itu terlalu kaku jika melihat keseluruhan bangunan.” Jelas Zelena sambil menunjuk gambar yang ia maksudkan.
Lelaki itu mengangguk – angguk, “Kau yang memahami desainnya, aku yakin kau bisa membuatnya berbeda. Kira – kira kapan aku bisa mulai membangun gedung itu, Zelena?”
“Beri saya waktu dua hari untuk menyelesaikan desainnya.” Jawab Zelena dengan penuh keyakinan.
“Baik, aku akan menanti hari itu, Zelena.” Lelaki itu tersenyum, menatap Zelena dengan begitu lembut. Xavier memperhatikan tatapan laki – laki itu dan entah mengapa ia tidak menyukainya.
.............
“Zelena, apakah dia menggodamu?” Xavier berjalan di sisi Zelena, dan gadis itu memastikan tidak ada orang lain sebelum menjawab laki – laki itu.
“Tidak, kenapa?”
“Aku tidak suka padanya.” Kata Xavier tanpa basa – basi.
“Oh, kenapa? Dia orang yang baik.” Zelena menoleh, menatap Xavier dengan heran.
“Dari cara dia menatapmu, aku tidak suka.”
“Apa yang kau lihat darinya? Apakah dia akan melakukan hal yang jahat padaku?” Zelena tersenyum, kemudian kembali melangkah. Gadis itu sesekali menoleh ke arah Xavier dan bergumam kecil, “Aku tak menyangka akan memiliki pengawal di negara ini.” Zelena menggelengkan kepala, ia bahkan merasa lucu dengan kehadiran Xavier di sisinya.
“Aku mendengarnya, Zelena.”
“Tentu saja.” Jawab Zelena tak acuh.
“Ah, udaranya begitu sejuk, apakah sebentar lagi musim dingin?” Zelena berjalan di sepanjang trotoar, gadis itu membentangkan ke dua tangannya dan tersenyum lebar. Sementara Xavier berjalan di belakang gadis itu dan menatapnya lurus.
Tiba – tiba Zelena berhenti, ia kemudian berbalik dan menatap Xavier yang juga menatapnya itu.
“Ada apa?” Tanya Xavier.
“Aku baru menyadarinya, beberapa hari ini tidak ada hantu yang kulihat, selain kau. Aku bahkan bisa tidur dengan sangat nyenyak. Apakah semua itu karena kau? Apakah kau mengusir “mereka” semua?”
“Aku tidak mengusirnya, tapi mereka tidak berani mendekatimu. Bukankah aku pernah mengatakan itu?” Xavier berbicara dengan serius, baru kali ini Zelena melihat laki – laki itu memiliki aura yang begitu kuat.
“Kau benar, aku bisa melihatnya. Tapi, sampai kapan kau akan terus berada di dekatku, Xavier?”
“Sampai kau tidak menginginkan aku lagi, Zelena.”
“Apa?” Zelena terkejut dengan jawaban Xavier, seolah semua yang terjadi karena dia memang menginginkannya.
“Tidakkah kau tahu jika pertemuan kita bukanlah sebuah kebetulan? Kau yang memanggilku, Zelena.”
Zelena menyatukan alisnya, gadis itu terlihat semakin bingung dengan kata – kata Xavier, “Aku yang memanggilmu? Itu tidak masuk akal. Aku tak pernah memanggil siapapun.”
“Pernahkah kau berbicara dan memikirkan jika seseorang akan datang untuk menolongmu terbebas dari “mereka”? Aku mendengarnya, dan aku tahu kita akan bertemu.”
“Itu tidak lucu, kau hanya bercanda, bukan?”
“Sayangnya tidak, Zelena.”
Zelena menatap nanar mata Xavier, ia tak pernah menduga jika ucapannya kala itu akan menghadirkan Xavier di sisinya.
“Tapi bukan kau yang kuinginkan. Yang aku inginkan adalah seseorang,
manusia hidup yang akan menutup mata batinku.” Ucap Zelena dengan tegas.
“Aku tahu, tapi sayangnya aku yang mendengar permintaanmu itu.” Xavier tersenyum, ia kemudian berjalan mendahului Zelena, dan gadis itu hanya bisa menatap Xavier dengan kesal.