bc

Sekar Geundis - Suster Pemandi Jenazah

book_age16+
612
FOLLOW
7.5K
READ
goodgirl
doctor
bxg
mystery
scary
ghost
office/work place
horror
affair
nurse
like
intro-logo
Blurb

Sekar Geundis merupakan gadis desa yang terpaksa pergi ke kota karena membutuhkan pekerjaan. Mendapat tawaran dari tunangannya, Aarav Aswangga untuk bekerja di rumah sakit yang sama dengannya, tentu tak ditolak oleh Geundis yang memang lulusan keperawatan dan sedang membutuhkan pekerjaan. Namun siapa sangka, Di rumah sakit itu dia tidak bekerja sebagai perawat biasa melainkan sebagai perawat yang khusus ditugaskan untuk memandikan jenazah.

Hidup Geundis tak lagi damai setelah bekerja di rumah sakit itu karena terus merasakan aura menyeramkan bahkan melihat penampakan hantu setiap ia sedang memandikan jenazah. Terlebih rumah sakit itu ternyata sangat angker karena ada sesosok hantu pria mengenakan Scrub layaknya dokter bedah yang akan melakukan operasi. Hantu itu selalu menampakan diri dan meneror pasien anak-anak di rumah sakit tersebut.

Bukan masalah hantu dan pekerjaannya memandikan jenazah saja yang membuat hidup Geundis menjadi runyam, melainkan karena keberadaan Davin Fusena yang merupakan rekannya sesama pemandi jenazah, yang selalu bersikap ketus dan galak padanya.

Jadi, bagaimanakah Geundis akan menjalani hidupnya yang tak lepas dari masalah dan teror semenjak bekerja sebagai suster pemandi jenazah di rumah sakit angker tersebut? Ikuti pula kisah cinta segitiga antara Geundis, Aarav dan Davin yang akan menguras emosi.

chap-preview
Free preview
PART SATU
Di dalam ruangan yang dipenuhi komputer, tampak suasana cukup ramai. Banyak orang yang sedang duduk di depan komputer dengan berbagai kegiatan yang berbeda. Ada yang tengah mengerjakan tugas karena orang itu tampak sibuk mengetik sesuatu. Banyak di antaranya yang sedang asyik memainkan game online. Ada pula yang hanya berselancar di internet untuk mencari informasi penting, gadis itu salah satunya.  Sekar Geundis namanya, berusia 22 tahun dan memiliki paras yang cukup cantik dan manis dengan rambut sebahunya yang lurus terjuntai. Tatapannya tertuju sepenuhnya pada layar komputer karena dia sedang memasuki situs pengumuman peserta CPNS yang lolos. Kedua matanya mengikuti tulisan yang tertera di daftar pengumuman itu karena dia sedang mencari namanya.  Sesekali dia menghela napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan karena tak kunjung menemukan namanya ada di daftar tersebut. Setelah hampir duduk satu jam di sana dan sudah mencari sampai di daftar nama yang terakhir, ternyata namanya tak tertera di sana, padahal Geundis memeriksanya berulang kali tapi tetap hasilnya nihil. Namanya memang tak ada di daftar nama peserta CPNS yang lolos seleksi.  “Aku nggak lolos ya,” gumamnya pelan, tampak kecewa.  Padahal Geundis sangat berharap dirinya bisa lolos saat mengikuti tes CPNS. Dia ingin segera bekerja agar bisa memiliki gaji untuk menafkahi keluarganya, agar sang ibu yang sudah sakit-sakitan tak perlu lagi bekerja dengan pergi ke sawah atau menjadi kuli cuci pakaian tetangga. Agar dia juga bisa membiayai sekolah adiknya yang di tahun depan akan masuk ke universitas.  Geundis sudah ditinggal pergi oleh ayahnya sejak duduk di bangku kelas XII SMA, sang ayah meninggal karena mengalami kecelakaan tunggal saat motor yang dikendarainya menabrak pohon besar karena rem yang tiba-tiba tak berfungsi. Padahal saat itu Geundis baru saja mendaftar masuk ke salah satu universitas dengan mengambil jurusan keperawatan. Sejak dulu Geundis ingin bekerja di rumah sakit, tak bisa jadi dokter karena biaya sekolahnya yang mahal, Geundis tak keberatan meski menjadi seorang perawat. Karena itu dia sangat senang saat dirinya diterima di salah satu universitas negeri dengan mengambil jurusan keperawatan.  Saat ayahnya tiada, Geundis sempat berpikir untuk membatalkan rencananya melanjutkan sekolah ke jenjang universitas, tidak masalah jika dia harus langsung bekerja karena tak ingin merepotkan ibunya. Namun rupanya sang ibu tak menyetujui jika Geundis putus sekolah dan bekerja, wanita paruh baya itu memutusakn akan tetap menyekolahkan Geundis sampai kelak menjadi seorang sarjana. Akhirnya Geundis benar-benar melanjutkan kuliah hingga tahun lalu dia sudah lulus sebagai seorang perawat.  Tapi ternyata mendapatkan pekerjaan tak semudah yang Geundis kira. Dia sudah mencoba melamar menjadi perawat di rumah sakit yang ada di kota, sayangnya dia belum diterima karena tak ada lowongan sebagai perawat di sana. Hingga Geundis memutuskan mengikuti tes CPNS, berharap dirinya akan lolos dan bisa menjadi pegawai negeri yang akan langsung ditempatkan di rumah sakit oleh pemerintah. Dia tak peduli andai harus ditempatkan di rumah sakit terpencil sekalipun, dia tetap akan menerimanya.  Akan tetapi, tampaknya memang Dewi Fortuna belum memihak padanya karena dia gagal dalam tes itu, namanya tak terdaftar menjadi salah satu peserta yang lolos.  Meski sempat kecewa, Geundis tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, dia mengembuskan napas pelan sebelum memaksakan diri untuk mengulas senyum. Gadis itu bangkit berdiri dari kursinya dan berjalan untuk membayar biaya yang harus dia bayar selama satu jam menjelajah internet karena sekarang dia memang berada di salah satu warnet di dekat rumahnya.  Setelah selesai membayar, Geundis memutuskan langsung pulang ke rumah. Dia yakin ibu dan adiknya pasti sudah menunggu hasil pengumuman, dan Geundis merasa menyesal karena sebentar lagi akan menyampaikan sebuah kabar buruk pada mereka.  Setibanya di depan pintu rumah, Geundis menyemangati dirinya sendiri sebelum membuka pintu, sulit rasanya menyampaikan kabar buruk ini pada ibu dan adiknya yang sangat berharap dirinya lolos. Tapi apa mau dikata, inilah kenyataannya. Geundis tetap harus menyampaikannya pada mereka.  Geundis langsung membuka pintu yang memang dalam kondisi tak dikunci. Begitu kakinya melangkah masuk, dia mendapati adiknya, Laras Ayu sedang duduk di kursi ruang tamu sambil membaca buku pelajaran. Tentu adiknya itu sedang belajar karena sebentar lagi dia akan mengikuti ujian akhir.  “Kak Geundis, gimana hasil pengumumannya?” tanya Laras, dengan wajah berbinar karena tak sabar ingin mengetahui kakaknya lolos atau tidak.  Geundis tak langsung menjawab, dia mendudukan diri di kursi tepat di seberang sang adik.  “Kak, gimana?” Laras kembali bertanya karena sang kakak tak kunjung memberikan respon. Geundis tak tahu bagaimana menjelaskannya karena itu dia hanya menggelengkan kepala, Laras tentu memahami apa maksudnya.  “Jadi kakak belum lolos ya?” “Iya, Dek. Nama kakak gak ada di daftar nama peserta yang lolos. Mungkin belum rezeki kali ya,” sahut Geundis sambil menundukan kepala. “Nah, iya, Kak. Pasti belum rezeki itu. Nggak apa-apa, Kak. Tahun depan kan kakak bisa ikutan lagi.”  Geundis menipiskan bibir, dia tahu adik perempuan dan satu-satunya itu sedang berusaha menghiburnya. Tak ingin membuat sang adik ikut bersedih dan kecewa sepertinya, Geundis mengulas senyum. “Iya, Dek. Tahun depan kakak bakalan ikutan lagi. Sambil nunggu tes tahun depan, kakak mau coba ngelamar lagi ke rumah sakit lain.”  Laras tiba-tiba menghela napas panjang, membuat Geundis tertegun melihatnya.  “Padahal kakak gak usah repot nyari-nyari lowongan pekerjaan di rumah sakit-rumah sakit. Kakak kan punya tunangan yang udah jadi dokter ahli bedah di salah satu rumah sakit di Jakarta. Kakak tinggal hubungi aja Kak Aarav. Dia pasti bantuin kakak nyari kerjaan. Siapa tahu di rumah sakit tempat Kak Aarav kerja juga sedang ada lowongan.”  Aarav Aswangga yang tahun ini berusia 25 tahun, memang tunangan Geundis. Mereka bertetangga dan dulu sempat berpacaran selama dua tahun, hingga akhirnya mereka mengikat hubungan dengan pertunangan sebelum Aarav pergi ke Jakarta karena diterima di salah satu rumah sakit di sana. Aarav memang mengambil jurusan kedokteran saat kuliah dulu karena pria itu berasal dari keluarga berada sehingga orang tuanya bisa membiayai kuliahnya yang mahal tanpa kesulitan. Akhirnya Aarav lulus dengan nilai memuaskan sebagai dokter spesialis bedah.  Selain cerdas, Aarav memiliki paras yang sangat tampan. Pria itu juga begitu baik dan perhatian pada Geundis membuat teman-teman Geundis dulu merasa iri padanya. Geundis juga selalu merasa dirinya begitu beruntung mendapatkan Aarav, meski kini mereka jarang berkomunikasi karena terpisah oleh jarak dan Aarav juga semakin sibuk bekerja, tapi hubungan mereka masih tetap berjalan baik. Geundis sangat mencintai tunangannya dan dia tidak ingin merepotkannya karena itu dia tak pernah menanyakan soal lowongan pekerjaan di tempat Aarav bekerja. Dia ingin mencari pekerjaan dengan usahanya sendiri tanpa mengandalkan orang lain, itulah yang dipikirkan Geundis.  “Nggak ah, Dek. Kakak gak mau ngerepotin Aarav. Dia aja pasti sibuk banget di sana, aku gak mau nambah beban dia.” Laras memutar bola mata, “Apanya yang ngerepotin sih, Kak? Kan cuma nanya lowongan?” “Kan kamu tahu sendiri gimana sifat Aarav? Dia itu pasti bela-belain nyariin kerjaan buat aku kalau tahu aku lagi butuh gini. Itu artinya aku nambah beban dia, kan?” “Ah, terserah kakak deh. Kak Geundis kan emang keras kepala. Susah dibilangin.”  Geundis balas mendengus karena adiknya itu begitu berani mengatainya seperti itu. Geundis lalu menggulirkan mata ke sekeliling rumah, merasa heran karena suara ibunya tak terdengar, sosoknya juga tak terlihat.  “Ibu mana, Dek?” tanya Geundis, menanyakan sang ibu. “Ibu tadi pergi ke sawah, Kak. Katanya padi udah mau panen jadi ibu lagi periksa.”  Geundis seketika membulatkan mata mendengar ibunya pergi ke sawah milik keluarga mereka, padahal ibunya itu sudah sakit-sakitan karena ginjalnya bermasalahan dan dokter yang menanganinya mewanti-wanti agar sang ibu tak kelelahan.  “Dek, kok kamu ngizinin ibu pergi? Kan kamu tahu ibu gak boleh kecapekan.” Geundis kesal pada sang adik yang tak melarang ibunya pergi. “Ih, kakak. Jangan marah sama aku. Aku udah ngelarang ibu kok. Tapi kan kakak tahu sendiri gimana ibu, susah dibilangin kayak kakak.”  Geundis berdecak, dia lalu berdiri dari duduknya berniat pergi untuk menyusul sang ibu ke sawah, tapi belum sempat berjalan menuju pintu, seseorang tiba-tiba mengetuk pintu dari luar.  Geundis bergegas membuka pintu dan terkejut bukan main saat melihat salah satu tetangganya yang datang disertai wajah panik.  “Geundis, ibu kamu pingsan.”  Geundis terkejut tentu saja, apa yang ditakutkannya benar-benar menjadi kenyataan. “Dimana ibu sekarang, Pak?” “Di saung punya saya, cepat ke sana.”  Geundis tak berpikir panjang lagi, dia langsung berlari menuju tempat ibunya berada, diikuti Laras dan bapak tadi yang ikut berlari di belakangnya.   ***   “Saya kan udah bilang, ibu kamu itu tidak boleh kelelahan. Sekarang kondisi ginjalnya sudah sangat parah. Kita harus cepat melakukan tindakan,” ucap dokter bernama dokter Aji tersebut. Dia dokter paruh baya yang sudah menangani ibu Geundis sejak pertama kali divonis ginjalnya bermasalah karena ada tumor yang tumbuh di salah satu ginjal ibunya. Jika terus dibiarkan maka akan menjadi kanker.  “Apa yang harus dilakukan untuk mengobati ibu saya, Dok?” “Kita harus melakukan operasi pengangkatan ginjal secepatnya.”  Geundis terbelalak, melakukan operasi tentunya membutuhkan biaya yang tak sedikit. Dari mana dia bisa mendapatkan uang untuk membiayainya?  “Berapa biaya operasinya, Dok?” tanya Geundis lagi karena ibunya harus tetap dioperasi karena itu dia akan melakukan apa pun untuk mencari uang demi membiayai operasinya.  “Siapin aja 200 juta untuk jaga-jaga.”  Sejenak Geundis menahan napas mendengar jumlah uang yang harus dia siapkan untuk biaya operasi ibunya.  “Kita harus secepatnya melakukan operasi.” Geundis mengangguk karena jika ingin ibunya selamat operasi itu memang harus secepatnya dilakukan. “Iya, Dok. Saya mohon selamatkan ibu saya. Untuk biayanya, saya akan segera membayarnya ke bagian administrasi.”  Dokter Aji yang sudah cukup mengenal Geundis, menepuk pelan bahu gadis itu sebelum dia melenggang pergi. Geundis tertegun sekarang, tak tahu harus mencari uang sebanyak itu dari mana. Tapi demi keselamatan ibunya, dia akan melakukan apa pun termasuk memohon bantuan orang lain agar mau meminjamkan uang padanya.  Seperti yang sudah diputuskan Geundis, dia benar-benar menemui salah satu kerabat yang dia harapkan bisa membantunya. Walau dia tak yakin mengingat pria yang merupakan adik mendiang ayahnya itu begitu kikir meski hidupnya serba berkecukupan.  Geundis tetap mencoba mendatangi pamannya itu, mengutarakan tujuannya datang dan berharap sang paman mau membantunya dengan meminjamkan uang. Akan tetapi, bukan uang 200 juta seperti yang dia butuhkan yang didapatkannya, melainkan sang paman memberi uang satu juta sebagai sumbangan. Geundis kesal bukan main, tapi dia sadar memaksa pun tak mungkin, sehingga mau tak mau dia pergi dari rumah pamannya dengan membawa uang hanya satu juta. Begitu banyak sisa uang yang harus dia cari agar genap menjadi 200 juta.  Orang berikutnya yang Geundis datangi adalah Pak Karna, dia merupakan orang kaya di desa tempat tinggalnya dan biasa meminjamkan uang pada warga desa. Pembayarannya bisa dicicil setiap bulan dan Geundis sangat berharap Pak Karna mau memberikan pinjaman padanya sehingga tanpa ragu dia pun mendatangi rumah pria itu dan mengutarakan permohonannya.  “Hutang ibu kamu buat bayar biaya kuliah kamu aja belum lunas, dan lagi cicilan bulan ini belum dibayar, kamu mau pinjam lagi? Mana bisa begitu,” ucap Pak Karna ketus, begitu Geundis sudah mengutarakan maksud kedatangannya yaitu ingin meminjam uang untuk biaya operasi ibunya.  “Tapi saya butuh sekali uangnya, Pak. Untuk biaya operasi ibu saya.” “Kamu pikir saya ini Bank? Sana, pinjam aja ke Bank, saya gak bisa ngasih pinjaman sebelum pinjaman yang sebelumnya lunas.”  Itulah jawaban yang didapat Geundis, dia pulang dari rumah Pak Karna dengan tangan kosong. Dan kembali ke rumah sakit hanya dengan membawa uang satu juta pemberian pamannya.  Geundis duduk merenung di lobi rumah sakit, tak berani menemui adiknya yang sedang menunggui sang ibu yang hingga kini belum sadarkan diri. Operasinya akan dilakukan nanti sore, dan Geundis bingung bukan main karena sampai sekarang dia belum mendapatkan uang untuk membayar biayanya.  Geundis memang sempat berpikir untuk meminjam ke Bank, tapi dia tahu meminjam ke Bank sama sekali tidak gampang karena dia harus memberikan jaminan. Sempat ingin menjadikan sawah keluarganya untuk dijadikan jaminan, Geundis berubah pikiran karena tak berani melakukannya. Sawah itu harta satu-satunya yang ditinggalkan mendiang ayahnya, Geundis yakin sang ibu pasti tidak akan bersedia untuk menjadikan sawah itu sebagai jaminan apalagi jika sampai dijual.  Sekarang Geundis tak tahu harus melakukan apa, siapa yang harus dia mintai tolong? Adakah orang baik dan dermawan yang mau meminjamkan uang sebanyak itu padanya?  Dalam suasana serba membingungkan itu, Geundis tersentak saat ponsel jadul miliknya yang hanya bisa digunakan untuk menelepon dan mengirimkan SMS itu tiba-tiba bergetar di saku roknya. Dia pun mengeluarkannya dan tersenyum saat melihat nama seseorang yang terpampang di layar yang sedang meneleponnya.  Tanpa ragu dia mengangkat telepon itu, “Hallo, Aarav,” katanya begitu telepon tersambung. “Geundis, maaf aku baru mengangkat teleponnya. Tadi lagi ada operasi.”  Geundis sudah menduga hal itu begitu dia menelepon tunangannya berkali-kali karena ingin memberitahukan keadaan ibunya yang dirawat di rumah sakit, tapi Aarav tak kunjung mengangkat atau memberi kabar. Dia memang sudah menduga sang tunangan sedang sibuk mengoperasi pasien.  “Ada apa kamu menelepon?” tanya Aarav karena suara Geundis tak lagi terdengar. “Ibu … ibu masuk rumah sakit,” jawab Geundis dengan suara serak, tiba-tiba dia tak kuasa menahan kesedihannya begitu mendengar suara Aarav. “Ibu kamu sakit lagi?” “Iya. Dokter Aji bilang ibu harus segera dioperasi. Tapi … tapi …” Geundis gagal membendung air matanya karena kini tanpa permisi air mata itu begitu deras mengalir dari pelupuk mata.  “Tapi kenapa? Kamu gak ada uang buat biayanya?”  Geundis tercekat karena tebakan Aarav tepat sasaran. Meski tak ingin merepotkan Aarav, tapi dia tahu hanya pria itu satu-satunya harapannya sekarang. “Iya. Aku udah cari kemana-mana, tapi gak ada yang mau meminjamkan uang. Padahal ibu dioperasi sore ini.” “Kamu butuh uang berapa?”  Geundis mengepalkan tangan, sungguh dia tak ingin membebani Aarav dengan masalahnya, tapi apa mau dikata, dia tak punya pilihan selain meminta bantuan pada tunangannya itu. “D-Dua ratus juta,” sahut Geundis dengan suara bergetar. “OK. Kebetulan aku ada uang segitu. Nanti aku transfer ke kamu ya.”  Air mata Geundis semakin mengalir deras, hingga kini wajahnya banjir oleh air mata. “Maaf. Maaf, aku ngerepotin kamu. Nanti aku pasti ganti uang kamu.” “Jangan bilang gitu, ibu kamu kan ibu aku juga jadi gak usah diganti segala.” “Nggak mau. Aku tetep bakalan ganti uang kamu nanti.” Aarav terdengar mendengus, “Terserah kamu aja deh,” sahutnya memilih mengalah karena tak ingin berdebat dengan Geundis yang dia tahu memang sangat keras kepala. “Makasih. Aku gak tahu bagaimana jadinya kalau gak ada kamu.”  Keheningan tiba-tiba melanda karena suara Aarav tak terdengar menyahuti lagi. Sempat berpikir sambungan telepon mungkin terputus, Geundis melihat layar ponselnya untuk memastikan. Tapi ternyata sambungan telepon itu masih tersambung.  “Aarav, kamu masih di sana, kan?” “Kamu masih belum dapat kerjaan ya?”  Untuk kedua kalinya Geundis tercekat mendengar pertanyaan Aarav yang tiba-tiba membahas soal pekerjaan.  “Iya, belum. Padahal aku udah nyari-nyari lowongan. Tapi belum dapet juga. Hasil tes CPNS juga udah diumumin, tapi aku gagal.”  Geundis mendengar Aarav bergumam di seberang sana.  “Kamu mau gak kerja di rumah sakit tempat aku kerja sekarang? Kebetulan lagi ada lowongan di sini.”  Kedua mata Geundis seketika membulat, tentu saja dia tak mungkin menolak tawaran ini. “Beneran lagi ada lowongan?” tanyanya, memastikan telinganya tak salah mendengar. “Beneran. Kalau kamu mau ntar aku bantu bilangin sama pemilik rumah sakit.” “Mau.” Geundis menyambar dengan cepat. “Aku mau kerja di sana, Rav.” “Kamu yakin? Aku kasih tahu dari sekarang ya, kerjaan kamu nanti berat banget.” “Nggak masalah. Yang penting aku kerja supaya ibu gak usah kerja lagi, aku juga bisa biayain Laras sekolah. Lagian aku juga harus nabung buat bayar hutang sama kamu, kan?” “Huh, dibilangin gak usah diganti uang itu. Tapi ya udahlah kalau kamu maunya gitu. Kamu ke sini aja, nanti aku kirim alamat rumah sakitnya sama kamu. Terus uangnya aku transfer udah telepon ini putus ya.”  Geundis tersenyum tipis, sekali lagi sangat bersyukur karena memiliki tunangan sebaik Aarav. “Iya. Makasih ya. Aku sayang banget sama kamu,” ucap Geundis tulus disertai semburat merah yang kini menjalar di kedua pipinya. “Aku juga. Aku tutup dulu teleponnya.” Geundis mengangguk, lupa jika Aarav tak mungkin melihat responnya ini.  Begitu sambungan telepon terputus karena Aarav yang memutuskannya, Geundis memeluk ponsel itu erat. Dalam hati tiada henti mengucapkan terima kasih pada Aarav yang sudah membantunya. Dan setelah ini dia yakin akan berangkat ke Jakarta untuk bekerja di rumah sakit yang sama dengan Aarav. Geundis senang bukan main, tanpa sedikit pun berpikir mungkin saja akan ada kejadian buruk dan mengerikan yang akan menimpanya di rumah sakit tersebut.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

RAHIM KONTRAK

read
418.6K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.4K
bc

Pengantin Pengganti

read
1.4M
bc

Mrs. Rivera

read
45.5K
bc

Long Road

read
118.3K
bc

(Bukan) Istri Pengganti

read
49.1K
bc

Married With My Childhood Friend

read
44.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook