Berkat uang yang dikirimkan Aarav, Geundis bisa membiayai operasi ibunya. Operasi pengangkatan ginjalnya berjalan lancar dan kondisi wanita paruh baya itu pun berangsur pulih.
Terhitung satu minggu ibunya dirawat di rumah sakit dan sudah diizinkan pulang ke rumah. Di saat yang sama Geundis harus segera berangkat ke Jakarta karena Aarav sudah menunggunya di sana. Pria itu sudah menceritakan pada pemilik rumah sakit bahwa Geundis bersedia bekerja di sana, dan sang pemilik rumah sakit sudah menyetujuinya. Tentu Geundis merasa senang karena akhirnya dia mendapatkan pekerjaan setelah berbulan-bulan menganggur karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan setelah dirinya lulus kuliah.
Meski berat bagi Geundis harus pergi meninggalkan ibu dan adiknya, terutama sang ibu yang sudah sakit-sakitan dan baru saja pulih. Geundis tetap harus pergi karena ini demi kebaikan keluarganya juga. Dia berpikir jika memiliki pekerjaan maka ibunya tak perlu lagi bekerja membanting tulang dengan bertani dan menjadi kuli cuci. Untuk urusan mengurus sawah keluarganya, dia bisa membayar orang lain untuk menggantikan ibunya.
Laras Ayu juga bisa sekolah dengan tenang karena biayanya akan dibayar Geundis nanti. Terlebih alasan Geundis ingin cepat-cepat bekerja karena dia harus melunasi hutangnya pada Aarav. Ya, walau pria itu melarang uangnya diganti tetap saja Geundis tak bisa menerimanya begitu saja. Aarav masih berstatus sebagai tunangan, dia tetap harus mengganti uang yang dikirimkan pria itu.
Geundis menatap kopernya yang sudah rapi dikemas. Ada dua koper besar yang akan dia bawa untuk keperluannya di Jakarta nanti. Dia lalu menatap haru pada kamarnya yang sudah dia tempati sejak kecil, berpikir pasti dia akan sangat merindukan kamar itu. Dengan berat hati Geundis pun mendorong koper itu keluar kamar karena taksi yang dia pesan untuk mengantarnya ke terminal bus sudah menunggu di depan rumahnya.
“Kak, kapan kakak pulang ke rumah?”
Pertanyaan itu yang keluar dari mulut Laras begitu melihat Geundis keluar dari kamarnya. Geundis tersenyum tipis, merasa sedih karena harus berpisah dengan adik perempuannya itu.
“Belum tahu, Dek. Tapi kakak usahakan sering pulang ya,” jawab Geundis seraya merentangkan kedua tangan ke samping sebagai isyarat sang adik agar menghampirinya karena dia ingin memeluk Laras sebelum pergi.
Laras menurut, dia berjalan cepat dan balas merentangkan kedua tangan sehingga sepasang kakak beradik itu kini sedang berpelukan.
“Kamu harus rajin belajar ya, ingat kamu bentar lagi ikut ujian. Jaga ibu juga, kalau kamu lihat ibu mau pergi kerja, harus langsung kamu larang.” Geundis mengutarakan beberapa nasihat penting pada Laras.
“Iya, Kak. Tapi kan kakak tahu sendiri ibu itu keras kepala.”
“Kamu harus ingetin kondisi ibu biar ibu tahu dia gak boleh kecapekan sekarang. Ibu pasti ngerti kok sekarang karena dia juga pasti gak mau masuk rumah sakit lagi.”
“Iya, Kak. Kakak tenang aja, aku pasti jagain ibu,” sahut Laras sembari mengangguk-anggukan kepala di dalam pelukan kakaknya.
Mereka pun melepaskan pelukan, bersamaan dengan munculnya sosok sang ibu dari pintu dapur sembari membawa bungkusan plastik.
“Kamu mau berangkat sekarang, Ndis?”
Geundis langsung menoleh ke belakang begitu suara ibunya mengalun pelan. Geundis langsung menghampiri dan menerima bungkusan plastik yang diulurkan ibunya. “Ini apa, Bu?” tanyanya, bungkusan plastik di tangannya dia buka untuk melihat isinya.
“Makanan buat di jalan, takut kamu laper.”
“Ibu masak sendiri?”
Ibu Geundis mengangguk-anggukan kepala karena sejak tadi dia berkutat di dapur memang untuk membuatkan Geundis bekal makanan untuk di jalan.
“Ibu kan gak boleh kecapekan. Padahal aku bisa beli makanan di luar.”
“Cuma masak sebentar, nggak capek kok, Ndis.” Sang ibu merentangkan satu tangannya dan mendarat di puncak kepala Geundis, dengan penuh sayang dia mengusap-usap kepala putrinya yang sebentar lagi akan merantau ke kota besar untuk bekerja. Ini yang membuat Geundis benci dengan perpisahan karena kini kedua matanya sudah berkaca-kaca, sebenarnya dia tak tega meninggalkan ibunya sendirian di kampung.
“Ibu jaga kesehatan ya. Ingat, ibu gak boleh kecapekan atau penyakit ibu nanti kambuh lagi.”
“Iya, ibu tahu. Kamu tenang aja ya. Ibu gak akan ngerepotin kamu lagi.”
Geundis merengut karena bukan itu maksudnya, dia sama sekali tidak merasa direpotkan jika itu menyangkut ibu dan adiknya. “Nggak ngerepotin kok, Bu. Cuma Geundis gak mau aja lihat ibu masuk rumah sakit lagi. Geundis pengen ibu selalu sehat.”
“Iya, iya, ibu tahu. Kamu tenang aja, ibu gak akan kecapekan lagi,” sahut wanita paruh baya itu sembari mengulas senyum. “Kamu juga jaga diri baik-baik di sana. Nanti kamu tinggal dimana, Ndis?”
Geundis tertegun karena dia juga tak tahu akan tinggal dimana di Jakarta nanti. Dia lupa menanyakan ini pada Aarav. “Hm, kayaknya aku bakalan ngekost atau ngontrak rumah, Bu. Yang deket sama rumah sakit.”
Sang ibu mengangguk disertai senyum, “Iya, bagus. Gitu aja ya. Kamu walau nanti setiap hari ketemu sama Aarav, ingat kalian belum menikah jadi jangan melakukan hal di luar batas.”
Seketika Geundis gelagapan hingga wajahnya memerah sempurna karena ibunya tiba-tiba membahas masalah seperti ini.
“I-Ibu bilang apa sih? Nggak lah, aku sama Aarav gak akan kayak gitu.”
“Iya, ibu takut aja kalau lihat orang lain pada gitu ya. Udah berlebihan padahal belum resmi menikah. Kalian jangan begitu ya walau sudah bertunangan.”
Geundis berulang kali menganggukan kepala, “Iya, Bu. Ibu tenang aja ya. Jangan banyak pikiran, Geundis bisa jaga diri kok di sana. Ya udah, Bu, aku berangkat dulu.”
Geundis lalu memeluk ibunya dan mencium punggung tangan sang ibu sebelum melangkah menuju pintu.
Setelah kedua kopernya dimasukan ke dalam bagasi taksi, untuk terakhir kalinya sebelum masuk ke dalam mobil, Geundis menatap pada ibu dan adiknya yang sedang berdiri di teras rumah untuk mengantar kepergiannya.
“Kak Geundis, hati-hati di jalan ya. Titip salam buat Kak Aarav!” teriak Laras sambil melambai-lambaikan tangannya.
Geundis ikut membalas lambaian tangan kedua orang yang begitu berharga dalam hidupnya, sebelum dirinya masuk ke dalam taksi, dan taksi itu pun mulai melaju meninggalkan pekarangan rumahnya.
***
Begitu turun dari bus di terminal karena Geundis sudah tiba di Jakarta, dia menggulirkan mata untuk menatap sekeliling. Dia mencari Aarav yang katanya akan menjemputnya tapi walau sudah menatap ke sana kemari, dia sama sekali tak menemukan keberadaan pria itu.
Di saat Geundis sedang sibuk menelisik sekitar untuk mencari tunangannya, dia dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba menepuk bahunya dari belakang. Geundis seketika berbalik badan dan wajahnya langsung berubah sumringah begitu melihat Aarav-lah yang berdiri di sana.
“Aarav!”
Geundis begitu riang hingga dia tanpa sadar menghamburkan diri dalam pelukan Aarav, lupa mereka sedang ada di tempat umum. Geundis cepat-cepat melepaskan pelukannya saat menyadari banyak orang yang berlalu-lalang di sekitar mereka.
“Maaf, maaf, aku lupa kita lagi di terminal,” ucap Geundis, tak enak hati.
Aarav hanya tersenyum kecil, senyuman yang membuat Geundis menundukan kepala malu karena dia yakin wajahnya sedang memerah sekarang. Aarav yang hampir enam bulan ini tidak dia temui karena pria itu terlalu sibuk bekerja sehingga tak sempat pulang ke kampung halaman, di mata Geundis terlihat jauh lebih tampan dibanding yang dia ingat terakhir kali. Penampilan pria itu yang dulu sederhana dan biasa memakai kaos santai, kini mengenakan kemeja rapi layaknya orang kantoran. Ya, sesuatu yang wajar, Aarav sudah menjadi dokter spesialis bedah yang sukses di Jakarta, berbeda dengan dulu dimana pemuda itu masih belum menjadi apa-apa dan hanya berstatus sebagai mahasiswa kedokteran.
Geundis merasa minder sekarang karena di saat Aarav mengalami banyak perubahan pada penampilannya, dia justru masih berpenampilan sederhana seperti dulu, tak ada yang berubah dari seorang Sekar Geundis.
“Kamu akhirnya nyampe juga. Di jalan macet ya?” tanya Aarav yang membuat Geundis kembali mengangkat kepala.
“Iya, tadi lumayan macet. Kamu udah nungguin lama ya? Jangan-jangan kamu lagi kerja terus izin dulu buat jemput aku?”
Aarav menggelengkan kepala untuk menampik pemikiran Geundis. “Nggak kok. Aku izin libur hari ini. Kebetulan gak ada jadwal operasi juga.”
Tidak ada alasan lagi bagi Geundis untuk tidak merasa terharu, walau penampilan Aarav banyak mengalami perubahan tapi kebaikan pria itu masih tetap sama seperti dulu. Geundis terharu karena Aarav tetap saja selalu baik dan perhatian padanya.
“Ayo, kita pergi!” ajak Aarav sembari mengambil dua koper besar Geundis.
“Biar aku bawa satu kopernya, Rav.”
“Nggak apa-apa, biar aku aja. Yuk, jalan.”
Geundis tak menolak lagi walau dia tak enak hati karena lagi-lagi merepotkan tunangannya. Geundis hanya mengikuti langkah Aarav dalam diam. Dan gadis itu tertegun begitu melihat Aarav memasukan dua koper besarnya ke dalam bagasi sebuah mobil mewah yang diparkir di pinggir jalan.
“Rav, ini mobil siapa?” tanyanya sambil menunjuk sedan Lexus ES berwarna putih tersebut.
“Mobil aku.”
Seketika Geundis terbelalak mendengar mobil mewah itu milik tunangannya. Dia memang tahu penghasilan Aarav sebagai dokter memang sangat banyak tapi dia tak menyangka dalam waktu 2 tahun pria itu bisa membeli mobil semahal ini.
“Belum lunas sih, masih nyicil tiap bulan,” tambah Aarav sembari menyengir lebar.
Geundis ikut tersenyum, sekarang tak heran lagi Aarav bisa membeli mobil itu karena ternyata dia membelinya dengan mencicil. Jadi menurutnya itu sesuatu yang wajar.
Geundis langsung masuk ke dalam mobil begitu Aarav membukakan pintu mobil untuknya. Begitu pun dengan Aarav yang kini sudah duduk di kursi kemudi, tanpa ragu pria itu melajukan mobil untuk bergabung dengan kendaraan lain yang berlalu-lalang di jalan raya.
“Kondisi ibu kamu gimana sekarang?” tanya Aarav, memecah keheningan di antara mereka karena Geundis tak mengatakan sepatah kata pun.
“Hm, baik. Ibu sudah keluar dari rumah sakit. Kondisinya juga sudah pulih.”
“Oh, bagus kalau begitu.”
“Ini berkat kamu yang udah ngasih pinjaman uang. Makasih ya, Rav. Aku pasti ganti uang kamu nanti.”
Aarav mendengus sambil menggelengkan kepala tanpa mengalihkan tatapannya dari jalan raya di depan. “Dibilangin gak usah diganti. Tapi kalau kamu tetep keras kepala gitu, ya udah, terserah kamu aja.”
“Kamu udah banyak nolong aku, Rav. Gak enak aku kalau nerima uang kamu gitu aja padahal kita belum nikah, kan? Ya, walau nanti kita pasti nikah juga sih.”
Tak terdengar suara Aarav menyahuti lagi, Geundis sempat merasa heran sehingga dia memiringkan kepala untuk melihat raut wajah Aarav.
“Rav, kok diem?”
“Eh, kenapa?” tanya Aarav tampak terkejut.
“Aku bilang kita sekarang baru tunangan tapi nanti juga pasti kita nikah, kan?”
Aarav tersenyum kecil sembari merentangkan satu tangannya ke samping dan menyentuh dagu Geundis, “Iya dong, Sayang. Aku udah gak sabar pengen cepet-cepet nikah sama kamu,” sahutnya, sukses membuat Geundis mengulas senyum lebar di tempatnya duduk.
“Ngomong-ngomong kamu udah makan belum?”
Tanpa ragu Geundis menganggukan kepala, “Udah. Tadi ibu bawain aku bekal makanan. Malah masih ada sisa di tas aku makanannya,” katanya sembari menepuk tas selempang yang diletakan di atas pangkuannya.
“Oh, ya udah kalau udah makan. Berarti kita gak usah mampir ke tempat makan ya?”
“Iya, gak usah, Rav.”
“OK, kita langsung pulang aja kalau gitu.”
“Kita mau kemana?” tanya Geundis, penasaran ingin mengetahui kemana Aarav akan membawanya.
“Ke apartemen aku. Selama di sini, kamu tinggal di apartemen aku aja ya?”
Dan seketika Geundis terbelalak, terkejut tentu saja karena dia tak menyangka Aarav akan mengajaknya tinggal bersama.
“M-Maksudnya kita tinggal bareng gitu, Rav?”
Aarav menoleh ke samping sembari mengangguk pelan, “Ya. Kenapa emangnya? Kamu keberatan?”
“Aku kirain aku nyewa kost-an atau nyewa rumah aja gitu.”
“Nyewa kost-an apalagi rumah di Jakarta itu mahal. Kamu juga belum punya penghasilan, kan? Jadi tinggal aja dulu sama aku sampai kamu punya uang sendiri buat bayar kost-an. Lagian aku juga jarang ada di apartemen kok.”
“Loh kenapa?” Geundis heran tentu saja mendengar Aarav jarang ada di apartemennya.
“Dokter spesialis bedah di rumah sakit kan baru ada tiga orang, jadi kalau lagi banyak jadwal operasi, mau gak mau kita sering lembur di rumah sakit.”
Geundis pun ber-oh panjang, sekarang mengerti alasan Aarav jarang pulang ke apartemen.
Setibanya di gedung apartemen Aarav, Geundis hanya bisa melongo, takjub karena bangunannya begitu mewah, terdiri dari puluhan lantai dan dia tak menyangka akan tinggal di sana mulai sekarang.
Geundis tak berkomentar saat mereka memasuki gedung dan menaiki lift yang akan mengantarkan mereka ke apartemen Aarav yang berada di lantai 18.
Setibanya di apartemen pria itu, Geundis semakin takjub dengan isi di dalamnya. Apartemen itu tampak mewah dengan berbagai perabotan lengkap. Dia bahkan menemukan banyak hiasan berupa lukisan abstrak di dinding, lukisan yang terlihat elegan saat dipajang di ruangan seluas itu.
“Geundis, sini!” ajak Aarav karena Geundis hanya diam mematung di ruang tengah.
Geundis mempercepat langkahnya, mengikuti Aarav yang menaiki tangga melingkar menuju salah satu kamar yang ada di lantai atas apartemen itu.
Entah untuk keberapa kalinya Geundis dibuat terkagum-kagum dengan apartemen Aarav yang mewah dan sangat luas, terutama kamar itu. Fasilitasnya sangat lengkap dengan sebuah ranjang king size yang diletakan di tengah-tengah ruangan. Ada televisi berukuran besar yang ditempel di dinding. Pendingin ruangan, meja yang di atasnya ada dua buah komputer. Lemari pakaian terbuat dari kayu berkualitas terbaik dan ada rak buku yang dipenuhi dengan banyak buku yang tertata dengan rapi, tentu itu buku tentang ilmu kedokteran, Geundis sudah bisa menebaknya walau belum memeriksa rak itu. Ada kamar mandi juga di dalam kamar tersebut.
Geundis yang sedang sibuk melihat-lihat seisi kamar, dibuat terkejut saat tangan seseorang tiba-tiba melingkari perutnya dari belakang. Tentu tangan itu milik Aarav, hanya saja Geundis heran karena Aarav tiba-tiba memeluknya. Pria itu biasanya tak seperti ini karena dulu dia selalu memperlakukan Geundis dengan sopan meski mereka sudah bertunangan.
Geundis merasakan bulu kuduknya meremang dan jutaan kupu-kupu serasa beterbangan di dalam perutnya begitu merasakan bibir lembut dan hangat Aarav kini menjelajahi leher dan tulang selangkanya dengan rakus.
“Aku kangen banget sama kamu. Aku seneng kamu sekarang ada di sini, ada di samping aku,” bisik Aarav tepat di depan telinga Geundis.
Geundis berniat melepaskan pelukan Aarav karena dia merasa tak nyaman dengan posisi tubuh mereka yang terlalu berdekatan, tapi rupanya Aarav tak membiarkan hal itu terjadi karena tiba-tiba dia membalikan tubuh Geundis sehingga kini mereka saling berhadap-hadapan.
“Kamu makin cantik deh,” kata Aarav sembari menangkup wajah Geundis dengan kedua telapak tangannya.
“I-Iya, kamu juga makin ganteng, Rav. Kaget aku lihat perubahan penampilan kamu,” sahut Geundis, terlihat jelas gadis itu sedang gugup dan salah tingkah.
Aarav tak berkomentar apa pun, pria itu mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Geundis tanpa permisi, Geundis terkejut luar biasa, meski ini bukan ciuman pertama mereka, tetap saja diserang secara tiba-tiba membuatnya tak sempat menghindar. Saat Aarav semakin memperdalam ciuman mereka sambil kedua kakinya berjalan maju seolah sedang mendesak Geundis agar melangkah mundur, Geundis terenyak saat betisnya menabrak sesuatu yang dia yakini merupakan tempat tidur. Geundis takut bukan main terutama ketika nasihat sang ibu terngiang di kepalanya.
“Kamu walau nanti setiap hari ketemu sama Aarav, ingat kalian belum menikah jadi jangan melakukan hal di luar batas.”
Geundis refleks mendorong d**a Aarav sekencang yang dia bisa sehingga ciuman mereka pun terlepas. Geundis bergegas menjauhkan diri karena dia tahu situasinya akan jadi berbahaya jika mereka terus berdekatan seperti itu.
“Rav, maaf. Aku capek banget. Aku mau istirahat ya,” ucap Geundis sambil terkekeh kecil.
“Tidur aja di situ kalau capek.” Aarav menunjuk dengan dagunya ke arah tempat tidur.
“Ah, tidur di situ? Nggak deh, aku tidur di kamar aku aja. Ini kamar kamu, kan?”
Geundis sudah memprediksi itu kamar Aarav karena melihat beberapa jas dokter tergantung di gantungan pakaian.
“Iya, ini kamar aku. Ah, kamar kita berdua mulai sekarang.”
Dengan tegas Geundis menggelengkan kepala, “Nggak, Rav. Aku tidur di kamar lain aja. Di sini ada kamar lain, kan?”
“Ada di bawah, tapi kamarnya kecil.”
“Nggak masalah, nggak masalah,” sahut Geundis, dia tentunya lebih memilih tidur di kamar kecil itu daripada harus sekamar dengan Aarav.
“Kenapa kamu gak mau tidur di sini? Kamu takut sama aku?”
Geundis menggulirkan bola mata dengan gelisah, ingin berkata jujur bahwa dia memang takut tapi dia juga khawatir membuat Aarav tersinggung.
“Hm, gak enak aja kita tidur sekamar padahal belum nikah. Nanti aja kalau kita udah resmi nikah baru aku tidur sekamar sama kamu.”
Aarav mendengus sambil tersenyum miring, “Iya, itu artinya kamu takut sama aku. Ya udah deh, terserah kamu aja. Kamarnya ada di dekat tangga kalau kamu mau ke sana.”
Geundis tak mengatakan apa pun lagi, dia langsung mengambil langkah seribu meninggalkan kamar Aarav. Jantungnya berdebar cepat karena kejadian yang nyaris terjadi antara dirinya dan Aarav. Dan satu hal yang Geundis sadari sekarang, bukan hanya penampilan Aarav yang berubah, prilaku pria itu juga ternyata banyak berubah. Aarav yang dia kenal dulu bukan pria agresif seperti barusan.