Geundis berjalan di samping Aarav sambil menundukan kepala, entah kenapa dirinya tiba-tiba merasa gugup di hari pertama bekerja di rumah sakit ini. Rumah sakit Hartono merupakan nama rumah sakit berlantai tiga ini, nama rumah sakit diambil dari nama pendirinya. Rumah sakit swasta yang cukup luas dan besar. Bangunannya masih terlihat baru karena rumah sakit ini baru berdiri sekitar 15 tahun yang lalu.
Geundis yang sedang melamun itu tersentak karena tangannya tiba-tiba digenggam oleh sang tunangan. “Kenapa menunduk terus? Kamu gugup?” tanya Aarav, ramah seperti biasa.
Geundis tersenyum tipis disertai semburat merah yang entah sejak kapan menjalari kedua pipinya. “Iya. Ini hari pertamaku bekerja di sini. Jadi aku sedikit gugup,” jawabnya.
Suara tawa Aarav mengalun merdu di telinga Geundis, meski mereka sudah berpacaran cukup lama yaitu tiga tahun dan status mereka sekarang bahkan sudah bertunangan, rasa cinta untuk Aarav di hati Geundis tak pernah memudar bahkan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Tak peduli walau mereka jarang bertemu semenjak Aarav bekerja di Jakarta, Geundis tetap memuja pria berparas tampan dan berkulit putih itu.
“Jangan khawatir. Semua pasti baik-baik aja. Ada aku di sini. Jika ada masalah atau kamu kesulitan, langsung cerita aja sama aku ya.”
Mendengar penuturan sang tunangan yang begitu peduli padanya, kegugupan Geundis sirna begitu saja. Dia mengangguk-anggukan kepala penuh semangat. Andai saja dia tak mengingat sedang berada di rumah sakit, mungkin dia sudah memeluk Aarav seerat mungkin sekarang.
Langkah mereka terhenti begitu tiba di depan sebuah ruangan. Seorang perawat yang jika dilihat dari penampilannya diperkirakan berusia sekitar 40 tahunan itu menghampiri begitu melihat kedatangan Aarav dan Geundis.
“Selamat Pagi, Dokter Aarav. Ada yang bisa saya bantu?” tanya sang perawat sopan pada Aarav yang memang seorang dokter spesialis bedah di rumah sakit tersebut.
“Pagi juga, Suster Mona. Saya datang ke sini untuk memperkenalkan suster baru yang akan bekerja mulai hari ini.”
Tatapan Suster Mona kini tertuju pada Geundis yang sedang mengulas senyum ramah.
“Beliau ini kepala perawat di sini, Suster Mona,” tambah Aarav memperkenalkan perawat tersebut pada Geundis.
Masih dengan senyum yang terulas di bibirnya, Geundis mengulurkan tangan kanan yang langsung disambut Suster Mona. “Sekar Geundis. Senang bertemu dengan Suster Mona. Mohon bimbingannya.”
Suster Mona tak mengatakan apa pun, dia hanya mengangguk dan melepaskan dengan cepat tautan tangannya dengan Geundis. Kini tatapan sang suster kembali pada Aarav. “Dok, apa dia perawat yang dikatakan Bu Rima itu?” tanyanya.
“Benar. Tolong Suster tunjukan ruangan tempatnya bekerja termasuk tugas utamanya di rumah sakit ini.”
Mendengar percakapan Aarav dan Suster Mona, Geundis sedikit kebingungan. Sejak mereka bertemu kemarin, Aarav tak pernah membahas apa pun tentang tugas yang harus dikerjakan Geundis. Geundis juga tak bertanya karena berpikir pekerjaan sebagai perawat di rumah sakit mana pun sama saja, tidak lain membantu dokter memeriksa dan melayani pasien.
“Geundis.”
Gadis itu kembali terenyak karena bahunya ditepuk pelan oleh Aarav, dua kali dia tertangkap basah sedang melamun oleh sang tunangan.
“I-Iya,” jawab Geundis.
“Kamu ikut sama Suster Mona ya. Aku harus ke ruanganku dulu. Hari ini ada jadwal operasi.”
Jemari Geundis membentuk kata OK. “Lancar ya operasinya,” katanya yang dibalas anggukan oleh Aarav. Pria itu pun melenggang pergi setelah berpamitan pada Suster Mona.
“Jika boleh tahu, ada hubungan apa antara Suster Geundis dan Dokter Aarav? Kalian kelihatan dekat.”
Geundis mengerjap-erjapkan mata, sedikit terkejut karena Suster Mona tiba-tiba bertanya demikian.
“Hm, kami sudah bertunangan, Sus.”
Dan Geundis berani bersumpah baru saja melihat Suster Mona membulatkan mata seolah terkejut dan syok mendengar jawabannya. Geundis tak merasa heran, sejak dulu sosok Aarav memang selalu disukai banyak gadis karena parasnya yang tampan dan otaknya yang cerdas. Apalagi setelah menjadi dokter spesialis bedah, Geundis yakin kepopuleran tunangannya semakin melesat jauh. Tak menutup kemungkinan pria itu juga sangat populer di kalangan para perawat di rumah sakit ini.
“Oh, begitu. Mari ikut saya. Akan saya kenalkan pada seseorang yang akan menjelaskan dan mengajarkan mengenai tugas-tugasmu di rumah sakit ini.”
Meski Geundis terheran-heran karena merasa dirinya sudah cukup tahu tugas seorang perawat, dia tetap mengangguk patuh dan mengikuti langkah Suster Mona yang berjalan di depannya.
Awalnya, Geundis mengira dirinya akan dibawa ke sebuah ruangan dimana penuh dengan perawat lain, namun anehnya meski mereka melewati ruangan yang bertuliskan ‘Khusus Perawat’, Suster Mona sama sekali tidak menghentikan langkah. Geundis ingin bertanya namun urung karena memilih untuk mengikuti saja kemana pun sang suster kepala membawanya pergi.
Geundis semakin bingung begitu mereka kini melewati lorong kosong dan begitu sepi karena tak ada pasien maupun perawat yang berlalu lalang di sini. Tempat ini juga terasa mencekam dan menyeramkan, Geundis memegangi tengkuknya yang tiba-tiba merinding dan bulu kuduknya meremang seketika.
Suster Mona tiba-tiba menghentikan langkah tepat di depan sebuah ruangan dimana di bagian daun pintu tertempel papan bertuliskan ‘Ruang Jenazah’, Geundis seketika membulatkan mata.
“Maaf, Sus. Untuk apa kita ke ruangan ini?” tanya Geundis yang sudah tak sanggup lagi menahan rasa herannya.
“Seperti yang saya bilang tadi, saya akan memperkenalkan kamu dengan seseorang yang akan memberitahu dan mengajarkan tugas-tugas kamu di rumah sakit ini.”
“Tapi ...” Jari telunjuk Geundis terarah pada tulisan di daun pintu. “... ini kan ruang jenazah, Sus.”
“Memang iya. Memangnya Dokter Aarav tidak memberitahu kamu mengenai posisi kamu di sini?”
Geundis mulai merasakan firasat buruk, dia menggelengkan kepala sebagai jawaban.
Suara decakan Suster Mona meluncur mulus, “Di sini kamu ditugaskan sebagai pemandi jenazah. Jadi tugasmu tidak lain memandikan jenazah sebelum diantarkan ke pihak keluarga pasien.”
Dan yang bisa dilakukan Geundis setelah mendengar informasi mengejutkan itu hanya terbelalak sambil membekap mulut saking terkejutnya.
***
Setelah dikenalkan oleh Suster Mona, Geundis mengetahui sosok pria yang saat ini berdiri di depannya bernama Davin Fusena. Dari segi penampilan, usianya diperkirakan sekitar 24 tahun. Davin memiliki paras cukup tampan meski bagi Geundis, tunangannya masih berada satu level di atas pria itu. Jika Aarav memiliki sorot mata lembut, Davin kebalikannya karena tatapannya begitu tajam dan dingin. Geundis meneguk ludah berulang kali saat merasa terintimidasi oleh tatapannya. Pria dengan tubuh tinggi tegap dan memiliki warna kulit kuning langsat itu berdeham, Geundis menaikkan satu alisnya karena sudah sepuluh menit mereka berada di ruangan yang sama namun belum ada satu pun yang mengeluarkan suara sejak kepergian Suster Mona.
Geundis ikut berdeham untuk menetralkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering. “Hm, jadi apa benar aku bertugas memandikan jenazah di sini?” tanyanya dengan kepala tertunduk karena tak berani menatap wajah serius Davin.
“Sudah jelas, kan? Memangnya Suster Mona belum menjelaskan?”
“Penjelasannya belum terlalu jelas. Dia hanya mengatakan akan mengenalkanku pada seseorang yang akan menjelaskan dan mengajarkan padaku mengenai tugasku di sini.”
Helaan napas panjang itu terdengar membuat Geundis tanpa sadar mengangkat kepala untuk melihat ekspresi wajah sang lawan bicara.
“Aku akan menjelaskan garis besarnya. Seperti yang dikatakan Suster Mona, tugasmu di sini memang memandikan jenazah. Aku akan memperlihatkan tata caranya padamu nanti. Kebetulan hari ini ada jenazah yang harus dimandikan.”
“Tapi bukankah jenazah biasanya dimandikan oleh pihak keluarganya masing-masing?” tanya Geundis, menyela penjelasan Davin.
“Ini sebagai bentuk pelayanan dari rumah sakit. Lagi pula, jenazah yang kondisinya rusak atau berlumuran darah tidak mungkin kan kita menyerahkannya pada pihak keluarga dalam kondisi begitu?”
Geundis terbelalak, “Maksudnya kita hanya memandikan jenazah yang kondisinya rusak aja?”
Davin mengernyitkan dahi sembari menggelengkan kepala dengan gerakan perlahan, “Tidak juga. Terkadang ada jenazah yang biasa aja tapi tetap kita mandikan atas permintaan pihak keluarga. Intinya semua jenazah yang diantarkan ke ruangan ini sudah dipastikan mendapat izin dari pihak keluarga untuk dimandikan di rumah sakit.”
Geundis masih terdiam, dirinya masih syok mengetahui tugasnya ternyata sebagai pemandi jenazah. Dan hal ini sukses membuatnya kesulitan berkonsentrasi.
“Setahuku jenazah itu biasanya diurus dan ditangani oleh petugas pemulasaran jenazah, bukan oleh perawat sepertiku.” Tatapan Geundis kini menelisik penampilan Davin yang mengenakan seragam serba putih khas seorang perawat. “Dari seragam yang kamu kenakan juga kayaknya kamu ini ners, kan? Bukan petugas pemulasaran jenazah?”
“Kenapa harus ditanyakan lagi padahal sudah jelas kita berdua sekarang menjadi petugas pemulasaran jenazah?”
Geundis menggeleng-gelengkan kepala, tak setuju. “Tidak bisa begitu. Kita ini perawat yang tugasnya mengurus, memeriksa dan melayani pasien yang masih hidup, bukan menangani pasien yang sudah menjadi mayat. Ini pasti salah. Tempat kita seharusnya bukan di sini!” Geundis yang masih belum menerima dirinya ditugaskan mengurus jenazah, tanpa sadar mengeraskan volume suaranya. Dia tercekat saat mendapat tatapan luar biasa tajam dari Davin yang tampak tersinggung mendengar semua ucapannya tadi.
“Jika kamu memang keberatan mendapat tugas seperti ini, kenapa tidak kamu bicarakan aja langsung pada Suster Mona atau pada orang yang menerimamu bekerja di rumah sakit ini? Kamu salah kalau marah-marah di depan aku.”
“M-Maaf, aku tidak bermaksud marah-marah,” ucap Geundis merasa bersalah karena melampiaskan amarah dan kekecewaannya pada Davin yang tidak memiliki kesalahan apa pun.
“Lebih baik kamu temui aja Suster Mona, kayaknya kamu juga tidak bersedia kerja menangani jenazah. Daripada kamu berdiri di sini hanya mengganggu pekerjaanku.”
Geundis mendengus, kata-kata pedas Davin semakin menyulut emosinya yang memang sedang naik ke permukaan. Tanpa kata, gadis itu pun berbalik badan dan melangkah menuju pintu. Dia berniat menemui Aarav dan meminta penjelasan dari pria itu. Namun sebelum dirinya benar-benar melewati pintu tiba-tiba langkahnya terhenti. Bayangan ibunya yang dirawat di rumah sakit tiba-tiba melintas di benaknya. Dia jadi teringat pada tujuan awalnya bersedia bekerja di rumah sakit ini. Perlahan emosinya mulai mereda karena dia sadar tak seharusnya pilih-pilih pekerjaan di saat dirinya sedang sangat membutuhkan uang untuk biaya pengobatan ibunya. Lagi pula, menemui Aarav sekarang pun percuma karena pria itu pasti sedang sibuk mengoperasi pasien.
Geundis kembali berbalik badan dan berjalan menghampiri Davin yang masih berdiri di tempat.
“Kenapa kembali lagi?” tanya Davin disertai kening yang mengernyit dalam karena heran gadis asing yang baru dikenalnya hari ini itu tiba-tiba mengurungkan niatnya untuk pergi.
“Hm, maaf. Kamu benar, tidak seharusnya aku marah-marah sama kamu. Maaf ya. Aku sudah lumayan tenang kok sekarang. Aku udah siap menerima pelatihan dari kamu.”
Kening Davin semakin mengernyit dalam, cukup terkejut dengan perubahan sikap gadis itu yang begitu drastis dalam hitungan menit.
“Kamu yakin tidak mau bicara dulu sama Suster Mona?”
Geundis mengangguk, “Yakin. Aku udah menerima tugas aku sebagai petugas yang memandikan jenazah. Sekarang bisa kita mulai latihannya supaya aku tidak membuang-buang waktu kamu atau mengganggu pekerjaan kamu?”
“OK. Bagus kalau kamu udah siap. Sekarang ikut aku.”
Geundis menghela napas panjang sebelum dirinya berjalan mengikuti Davin memasuki sebuah ruangan lain di ruang penyimpanan jenazah tersebut.