PART 5

2445 Words
Geundis memperhatikan dengan seksama Davin yang dengan cekatan tengah membungkus jenazah wanita yang baru mereka mandikan dengan kain kafan. Geundis menatapnya seolah lupa cara berkedip karena dia harus mengingat semua yang dilakukan Davin ini karena pria itu dengan lantang mengatakan mulai besok dia harus menjalankan tugasnya sendirian, tentu Geundis harus sudah hafal semua tahapan yang harus dilakukannya setiap akan memandikan jenazah.  “Hm, Dav, kenapa pasien yang ini langsung kita bungkus dengan kain kafan? Padahal jenazah yang kita mandikan kemarin tidak dibungkus kain kafan, kita langsung mengembalikannya ke pihak keluarga?” tanya Geundis karena tiba-tiba dia mengingat keanehan ini.  Seingat Geundis memang jenazah pria yang mereka mandikan kemarin sama sekali tidak dibungkus kain kafan terlebih dahulu sebelum dikembalikan pada pihak keluarganya. Tapi kenapa jenazah wanita ini langsung dibungkus kain kafan? Geundis heran bukan main.  “Ck, susah ya ngasih tahu kamu,” jawab Davin yang membuat Geundis merengut, dia tahu itu sindiran pedas untuknya dari pria itu. “Apa maksudnya ngomong begitu?” “Aku kan sudah jelasin dari kemarin, kamu sebelum memandikan jenazah itu …” “Lihat surat keterangannya,” potong Geundis karena dia sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan Davin.” “Nah, itu tahu. Kenapa masih nanya?” Geundis memutar bola mata pasalnya nada suara Davin luar biasa ketus seolah pria itu tidak tulus mengajarinya. “Tapi kan di surat itu hanya dicantumkan biodata dan alasan jenazah itu meninggal.” “Coba kamu baca yang benar. Kamu ini emang nggak teliti ya orangnya, bahaya banget orang kayak kamu kalau jadi perawat yang ngurus pasien masih hidup, untung aja yang kamu urusin pasien yang udah jadi jenazah. Kalau nggak, kasihah juga pasien yang kamu tanganin.”  Geundis merengut semakin dalam, tak pernah sekali pun dia merasa senang setiap kali bicara dengan Davin. Pria itu selalu sukses membuat urat marah Geundis bermunculan. Untung saja Geundis cukup sabar sehingga dia lebih memilih diam dibanding meladeni pria itu. Karena jika kepribadian Geundis sebelas dua belas dengan Davin, mungkin ruang jenazah itu akan jadi ajang perang mulut alih-alih tempat untuk memandikan jenazah.  Tak ingin terus-menerus kena omelan Davin, Geundis pun kembali membaca surat keterangan tentang jenazah wanita yang kini sudah selesai dibungkus kain kafan oleh Davin. Dan saat membacanya dengan teliti, Geundis meringis karena ternyata yang dikatakan Davin memang benar. Di bagian bawah tertulis keterangan pihak keluarga meminta jasadnya langsung dibungkus kain kafan.  “Gimana ngerti sekarang?” tanya Davin yang menyadari ekspresi Geundis mengisyaratkan gadis itu sedang menahan malu karena menyadari dirinya memang ceroboh seperti yang dikatakan Davin.  “Oh, iya. Aku tidak sempat membaca bagian ini tadi karena keburu mendengar suara aneh itu waktu membaca surat ini. Jadi jenazahnya dibungkus kain kafan atau tidak tergantung permintaan pihak keluarga ya?” “Ya. Makanya lain kali lebih teliti melakukan apa pun. Jangan sampai kecerobohan kamu membuat rumah sakit ini kena masalah.”  Geundis menggeram dalam hati, ucapan Davin seolah secara tidak langsung mengatakan dirinya begitu tidak berguna di rumah sakit ini.  “Mohon dimaklumi aja, aku kan baru dua hari kerja di sini.” “Kerja? Bukan kerja, lebih tepatnya kamu lagi training. Besok baru kamu mulai kerja.”  Geundis hanya mengembuskan napas dengan perlahan, tak mau peduli lagi dengan apa pun yang dikatakan Davin.  “Permisi, Ners Davin!”  Geundis dan Davin saling berpandangan begitu mendengar suara seseorang yang memanggil Davin dari arah ruangan lain.  “Kayaknya ada yang nyariin kamu.”  Tanpa merespon ucapan Geundis, Davin langsung melenggang pergi tanpa mengajak Geundis. Kini Geundis hanya seorang diri di dalam ruangan. Ah, tidak sendiri melainkan ditinggalkan berdua bersama jenazah yang sudah terbungkus kain kafan sehingga jenazah itu terlihat seperti pocong sekarang. Geundis memperhatikan wajah jenazah itu karena memang hanya bagian wajahnya yang tidak tertutupi kain kafan. Hidung dan kedua matanya sudah ditutupi kapas oleh Davin, melihat kulitnya yang pucat dan aroma kapur yang menguar dari tubuh sang jenazah ditambah tampilannya seperti salah satu hantu terkenal Indonesia yang sering Geundis tonton di televisi, Geundis seketika bergidik ngeri.  “Ya Tuhan, aku ini penakut. Kenapa aku harus bekerja seperti ini? Berurusan dengan mayat setiap saat.”  Setelah bergumam demikian, sekali lagi Geundis menatap ke arah sang jenazah. Dan untuk kesekian kalinya Geundis merasa bulu kuduknya tiba-tiba meremang. Suhu di dalam ruangan juga tiba-tiba terasa lebih dingin dibanding sebelumnya. Entah itu hanya perasaan Geundis saja yang sedang ketakutan atau memang suatu kenyataan, yang pasti Geundis merasakan keanehan sekaligus sesuatu yang mencekam di dalam ruangan itu.  Geundis memegangi tengkuknya yang memang merinding, dia lalu menggulirkan mata menatap sekeliling dengan perasaan was-was karena takut akan melihat penampakan seperti tadi.  Geundis mengembuskan napas lega saat dia tak melihat penampakan apa pun saat ini. Geundis kembali menoleh ke arah jenazah yang terbujur kaku di atas pembaringan dan saat itulah Geundis tersentak sekaligus takut luar biasa. Kapas yang menutupi salah satu mata sang jenazah tiba-tiba sudah tidak ada. Padahal Geundis yakin tadi kedua mata dan hidungnya sudah ditutupi kapas.  “Loh, kapasnya kemana? Padahal tidak ada angin di sini jadi mustahil bisa jatuh,” gumam Geundis. Memang tak ada sumber angin di dalam ruangan itu, mengingat seisi ruangan dipenuhi dinding tanpa ada satu pun jendela. Satu-satunya jalan keluar hanya pintu. Tapi pintu itu dalam kondisi tertutup karena Davin tadi menutupnya saat keluar dari ruangan. Jadi kenapa bisa kapas itu tiba-tiba hilang?  Geundis meneguk ludah, “Apa aku ambil kapas yang baru aja ya?”  Geundis menatap ke arah meja untuk mencari kapas baru, tapi dia tak menemukannya. Lantas dia mengingat-ingat lagi dimana Davin meletakan kapas, dan dia membulatkan mata tatkala mengingat pria itu memasukannya ke dalam laci yang terletak tepat di dekat pembaringan jenazah.  Geundis meringis karena artinya dia harus berjalan memutari pembaringan jenazah itu jika ingin mengambil kapas di dalam laci tersebut. Karena tak mungkin dia membiarkan salah satu mata sang  jenazah tak tertutupi kapas, meski takut Geundis pun memberanikan diri berjalan perlahan untuk memutari pembaringan terbuat dari keramik dimana sang jenazah yang terbungkus kain kafan tengah terbujur kaku.  Berulang kali Geundis mengembuskan napas kasar untuk menenangkan detak jantungnya yang menggila, seumur hidupnya baru sekarang dia merasakan terjebak dalam suasana yang begitu menyeramkan seperti ini.  Tap … Tap … Tap  Terlalu hening dan mencekam ruangan itu sehingga suara sepatu Geundis yang membentur lantai terasa memekakan telinga dan hal itu sukses membuat Geundis semakin ketakutan. Tapi dia tetap maju, tak mengurungkan niat untuk mengambil kapas baru atau dia harus siap dimarahi Davin jika pria itu kembali dan melihat salah satu jenazah tak tertutupi kapas padahal pria itu sudah jelas-jelas menutupnya tadi.  Geundis sudah semakin mendekati laci dan saat tangannya terulur untuk membuka laci itu, tanpa sengaja ekor matanya melihat kapas yang tadi menutupi mata sang jenazah, kini tergeletak di lantai. Anehnya kapas itu berada di bagian kaki, letaknya sangat jauh dari bagian kepala sang jenazah. Padahal jika kapas itu memang jatuh secara alami karena tertiup angin, bukankah seharusnya kapas jatuh tepat di bawah pembaringan di dekat kepala jenazah itu?  Sekali lagi Geundis meneguk ludah, sebelum dia mengurungkan niat untuk membuka laci dan lebih memilih mengambil kapas yang tergeletak di lantai.  Geundis berjongkok untuk mengambil kapas itu sehingga satu tangannya sudah terulur ke depan. Namun …  Sssshhhh!  Geundis menegang seketika, dia seperti mendengar suara hembusan napas dari arah seberang pembaringan. Geundis kembali meneguk ludah sebelum gadis itu dengan berani menoleh ke samping, tepat ke arah seberang tempatnya berada. Geundis membungkukan badan untuk mengintip ke bawah celah pembaringan jenazah yang cukup besar itu, jangan lupakan jantungnya yang berdentum cepat dengan kedua tangan yang gemetaran menahan takut. Tapi rasa penasaran Geundis yang memang besar membuat gadis itu dengan berani melanjutkan niatnya melihat ke arah sumber suara. Dan …  Geundis rasa-rasanya ingin berteriak begitu melihat ada sesuatu yang melayang tepat di seberang pembaringan. Dari bawah seperti itu, Geundis hanya bisa melihat sepasang kaki yang terbungkus kain kafan sedang melayang di udara karena sama sekali tak menapak pada lantai. Kaki yang melayang itu terbang mendekati pembaringan jenazah dan tiba-tiba berhenti tepat di samping pembaringan itu.  Geundis tercekat, tak kuasa menahan rasa takutnya lagi, dia pun bangkit berdiri dari posisi berjongkoknya, berniat untuk pergi secepatnya dari ruangan itu. Akan tetapi …  “Kamu sedang apa di situ, Geundis?” Geundis terperanjat, terkejut bukan main karena entah sejak kapan sosok Davin sudah berdiri tepat di samping pembaringan jenazah. Tapi tunggu, kenapa justru Davin yang berdiri di sana? Lantas dimana sepasang kaki melayang yang terbungkus kain kafan tadi? Geundis menggulirkan mata untuk mencari sosok arwah yang lagi-lagi menampakan diri di depannya. Mungkinkah itu arwah si jenazah yang tadi dia dan Davin mandikan? Entahlah, Geundis sendiri tak tahu jawabannya karena sosok arwah itu kini tak terlihat dimana pun.  “Woi, dengar tidak? Kamu ngapain jongkok di situ?” tanya Davin lagi sembari bersedekap d**a di seberang Geundis, hanya jenazah yang dibaringkan di atas pembaringan yang memisahkan mereka kini.  “Aku mau mengambil kapas penutup mata jenazah yang menghilang. Kayaknya jatuh soalnya aku lihat tergeletak di lantai.” “Kamu ngomong apa sih?” tanya Davin seolah pria itu tak memahami maksud ucapan Geundis.  Geundis berdecak, “Aku bilang mau mengambil kapas penutup mata jenazah ini yang jatuh, makanya aku …” Geundis tak melanjutkan ucapannya karena begitu dia menoleh ke arah jenazah yang terbaring di hadapannya, yang dia temukan adalah kedua mata jenazah itu masih tertutupi kapas. Tak ada satu pun kapas yang jatuh. Kondisi jenazah itu sama persis seperti saat Davin meninggalkan ruangan.  “Kamu ngelindur atau gimana sih? Kapasnya ada di situ kok, kan tadi udah aku tutupi matanya pake kapas,” ucap Davin sembari menggelengkan kepala karena menganggap Geundis hanya sedang berhalusinasi.  “Nggak, Dav. Tadi serius satu kapasnya jatuh makanya mau aku ambil. Tadi kapasnya tergeletak di san …”  Geundis lagi-lagi tak melanjutkan ucapannya karena begitu dia menatap ke arah lantai dimana kapas itu tadi jelas-jelas tergeletak di sana, kini tak ada apa  pun di lantai itu. Tidak ada kapas atau benda apa pun, lantai terbuat dari keramik berwarna putih itu tampak bersih dan kosong.  “Udah deh, kamu halusinasi aja kali tadi.” “Tadi aku juga lihat penampakan gitu, Dav.”  Davin terlihat malas menanggapi ucapan Geundis karena pria itu hanya menggulirkan mata dengan bosan.  “Aku lihat kaki yang udah dibungkus kain kafan melayang terus dia berdiri tepat di tempat kamu berdiri sekarang.”  Mendengar Davin tiba-tiba tertawa seolah sedang menertawakan ceritanya yang serius, Geundis mendelik tak suka, dia tersinggung tentu saja karena Davin secara terang-terangan menunjukan pria itu tak mempercayai ucapannya.  “Kok kamu ketawa sih, Dav? Kamu gak percaya sama cerita aku?” “Jelas gak percaya lah. Aku lihat kapasnya masih ada di tempatnya semula kok. Kamu juga lihat sendiri kan kapasnya masih nutupin mata jenazah itu. Kamu paling salah lihat tadi, yang kamu lihat itu kaki aku yang berdiri di sini.”  “Tapi kan kaki kamu nggak dibungkus kain kafan. Kaki kamu juga nggak melayang kayak yang aku lihat tadi.” “Berarti tadi kamu emang halusinasi aja.” “Nggak, Dav. Aku serius. Aku emang ngalamin kejadian aneh dan lihat penampakan.”  Davin mengibas-ngibaskan tangan, memberi isyarat agar Geundis berhenti mengatakan omong kosong menurutnya, “Udah, udah. Daripada terus mengkhayal mendingan kamu bantuin aku deh masukin jenazah itu ke peti mati,” kata Davin sembari menunjuk ke arah peti yang diletakan di atas brankar yang mungkin dibawa oleh Davin ke ruangan itu.  “Pihak keluarga udah dateng buat ngambil ini jenazah. Yuk, bantuin aku masukin jenazahnya ke peti soalnya mau dimasukin ke mobil ambulans.”  Walau Geundis masih ketakutan dan yakin yang dilihatnya tadi memang kenyataan alih-alih hanya halusinasi seperti yang dikatakan Davin tadi, Geundis tetap menuruti permintaan Davin. Mereka berdua membopong jenazah itu dengan susah payah karena jenazah itu rasa-rasanya berat luar biasa. Tapi akhirnya mereka berhasil memindahkannya ke dalam peti mati.  “Yuk, kita keluar!” ajak Davin sebelum dia mendorong brankar yang di atasnya diletakan peti mati tersebut.  Sebelum melangkah pergi, Geundis sekali lagi menggulirkan mata menatap sekeliling ruangan. Karena bulu kuduknya kembali meremang hingga dia kini memegangi tengkuk, Geundis pun bergidik dan bergegas mengambil langkah seribu untuk menyusul Davin yang sudah lebih dulu meninggalkan ruangan.  “Dav, tungguin dong!” teriak Geundis. Davin berdecak, jengkel melihat tingkah laku Geundis yang terlalu penakut. “Jangan lari-lari bisa, kan? Suara hak sepatu kamu berisik banget. Inget, kita lagi di rumah sakit. Jangan berisik, suara kamu mengganggu orang lain aja.” “Iya, maaf, maaf. Aku takut banget soalnya.” “Kamu ini kerja ngurusin jenazah tapi penakut, payah. Gimana nanti kalau kamu udah mulai kerja sendiri?”  Geundis ingin mengatakan dirinya belum siap ditinggal sendiri saat bekerja nanti, namun sebelum sempat suaranya keluar, Davin sudah melangkah cepat meninggalkannya. Geundis berdecak karena lagi-lagi dia harus susah payah mengejar langkah kaki pria itu yang sangat cepat. Kali ini dia tidak berlari karena takut Davin akan memarahinya lagi.  Mereka akhirnya tiba di depan rumah sakit. Benar yang dikatakan Davin, mobil ambulans yang akan mengantar jenazah itu ke tempat keluarganya, memang sudah terparkir. Begitu melihat peti jenazah sudah diantarkan Davin dan Geundis, sopir ambulans dan dua orang security yang biasa berjaga di depan pintu rumah sakit, bergegas membantu Davin memasukan peti itu ke dalam mobil ambulans.  Geundis masih berdiri di tempat walau mobil ambulans itu kini sudah melaju meninggalkan pelataran rumah sakit.  “Kamu ngapain melamun di sini?” tanya Davin sembari menepuk bahu Geundis yang memang terlihat sedang melamun sambil menatap mobil ambulans yang semakin menjauh.  Geundis menoleh ke arah Davin dengan raut wajah yang terlihat murung dan menahan beban berat. “Dav, aku belum siap ditinggal sendiri mandiin jenazahnya besok. Sebenarnya aku gak bisa kerja kayak gini, aku gak sanggup. Aku takut banget. Belum apa-apa udah nemu kejadian-kejadian aneh. Udah lihat dua kali penampakan lagi,” ucapnya mengutarakan keluh kesahnya pada Davin.  Davin mendengus kasar, dari raut wajahnya tak terlihat iba sedikit pun, “Kamu udah gak bisa mundur lagi sekarang. Salah kamu sendiri di hari pertama masuk waktu aku suruh kamu nemuin Suster Mona lagi dan bilang terus terang padanya kamu gak mau ditempatin sebagai petugas memandikan jenazah, kamu malah gak mau, kan? Kamu bilang yakin pengen belajar. Sekarang kamu udah terlanjur aku ajarin cara memandikan jenazahnya, jadi …” Davin meletakan tangannya di salah satu bahu Geundis, “… mau gak mau kamu harus lanjut,” tambahnya sambil tersenyum yang di mata Geundis terlihat seperti sedang mengejek.  “Dari pada kamu melamun di sini, mendingan kamu makan ke kantin. Ini udah masuk jam istirahat siang. Isi badan kamu dengan makanan bergizi supaya besok kamu siap menjalankan tugas pertama kamu. Semoga berhasil ya, Suster Pemandi Jenazah,” kata Davin, sebelum pria itu melenggang pergi meninggalkan Geundis yang mematung di tempat dengan perasaan yang campur aduk karena dia benar-benar tidak sanggup menjalankan tugasnya jika pekerjaannya seperti itu.  Entah akan jadi seperti apa nasib Geundis setelah ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD