“Maksud mu, gadis yang memakai baju separuh jadi itu?
Ucap Rita sambil menggeleng-gelengkan kepalanya…
“Dia tidak bisa membedakan mana baju yang sudah selesai dan belum.. Memilih pakaian itu seharusnya yang tertutup, biar yang memandang juga bisa menghormati sang pemakai. Ini kalau seperti itu malah mengundang niat jahat para pria yang melihat nya.”
Rahmat mengulum senyum mendengar ucapan ibunya itu..
“Itu namanya mode bu, tren masa kini.”
Sahutnya santai..
“Dan mode tergantung dari tahun berapa ibu di lahirkan.”
“Ahhh masa bodoh dengan segala macam mode.”
Gerutu Rita berlagak jengkel
“Kalau setiap kali melihatnya seperti tidak memakai baju begitu, membuat Ibu merasa malu sebagai sesama wanita.. Kamu yakin dia bisa menjadi menantu Ibu?"
“Loh, siapa yang ngomong dia bakal jadi mantu Ibu? Aku hanya membawa dia bertemu saja, bukan langsung menawarkan hubungan ke arah serius seperti itu Bu.”
Rahmat menahan tawa melihat ibunya yang mngerutkan kening..
“Maksud mu, yang ini juga akan menjadi korban kesekian gitu? Masuk jajaran koleksi mu?"
Rita menghela nafas panjang.. Tak habis fikir dengan semua perilaku anak kedua nya itu..
“Rahmat.. Rahmat.. Sampai kapan kamu baru mau serius pacaran? Apa menunggu umur kamu setua kakek gitu?"
“Kata siapa Rahmat nggak serius Bu?"
Rahmat terus melihat wanita yang sudah melahirkannya itu..
“Apa gunanya serius kalau hanya permulaan saja?"
“Kalau belum ketemu yang cocok, masih boleh tukar tambah kan Bu?"
Rita langsung memukul bahu anak laki-lakinya itu..
“Ibu rasa kamu cuma belum berani membuat komitmen, karena itu kamu masih berganti-ganti pacar. Apa kamu belum punya keberanian untuk menjalin hubungan yang mengarah ke pernikahan? Bukan seperti ini, mempermainkan perasaan gadis-gadis itu.”
“Itu gunanya pacaran kan Bu? Mencari yang cocok, bukan mempermainkan perasan. Karena kalau sudah menikah, nggak boleh berganti-ganti istri. Benar kan Bu?"
Ucap Rahmat kepada ibunya .
“Sudahlah diam! Dokter Diana sudah datang tuh! Nanti dia bingung kenapa tekanan darah ibu mendadak naik karena ulah kamu!"
“Itu Dokternya?"
Rahmat melayangkan pandangan nya kepada seorang wanita yang sedang melangkah anggun dalam jas dokternya yang putih bersih.
“Hmmm.. Nggak jelek."
“Nggak jelek?"
Bisik Rita sambil membelalaki putranya..
“Segitu kurang cantik? Mulut kamu itu sembarangan saja kalau bicara.”
“Makanya Rahmat bilang kan nggak jelek Bu. Lumanyanlah.”
Rahmat menatap lekat-lekat wanita yang sedang menghampiri mereka.
“Delapan dari sepuluh lah."
“Hus..”
Rita mencubit paha anaknya dengan pelan menyuruh diam.
Tepat pada saat Dokter wanita itu lewat di depan mereka sambil melempar senyum membalas sapaan Rita. Tetapi Dokter Diana memang bukan hanya tersenyum kepada wanita berumur itu.
Dia tersenyum kepada semua pasien yang menunggu di depan kamar prakteknya. Beberapa pasien malah di sapa dengan ramah.
Dan para pasien nya berebut membalas sapaannya seolah-olah mereka di sapa seorang dewi.
“Dokter Diana bukan cuma pintar. Dia ramah dan tidak pernah membedakan pasien.”
Kata Rita setelah dokter wanita itu masuk ke kamar prakteknya..
"Masa dia tidak bisa membedakan pasien nya lelaki dan perempuan Bu? Tua atau muda? Jelek atau ganteng?"
Kembali Rahmat berbisik pelan kepada Ibunya..
“Maksud Ibu, dia tidak pernah membeda-bedakan pasien nya kaya atau miskin!"
“Ibu tau dari mana? Ibu kan tidak pernah minta surat OTM?"
Goda Rahmat, sengaja menambah kekesalan Ibu nya..
“Pasien-pasiennya yang bilang begitu! Dia ramah kepada semua orang. Tidak peduli mereka kaya atau miskin. Bayar atau tidak, pokoknya sikap dan pemeriksaan nya tetap sama. Obat nya juga begitu. Katanya dia malah pernah menegur bagian pendaftaran rumah sakit yang menempatkan pasien tidak mampu paling belakang, walaupun mereka datang lebih dulu.”
Tentu saja awalnya Rahmat tidak begitu percaya. Dia merasa Ibunya sudah begitu tergantung pada Dokter nya. Karena itu Ibu nya begitu mengagumi Dokter Diana..
Tetapi saat dia berhadapan sendiri dengan Dokter wanita itu, Rahmat mulai mempercayai penilaian Ibu nya..
Benar kata ibu, wanita ini bukan hanya cantik, ramah. Tapi penuh dengan kesabaran menghadapi semua pasiennya.
Ada yang berbeda dengan dokter wanita ini. Walaupun pasiennya begitu banyak dia tidak pernah memperlihatkan keletihan apalagi kejenuhannya..
Dia mendengarkan keluhan pasiennya dengan sabar, memeriksa mereka dengan teliti. Dan satu ini yang membuat dia berbeda dengan rekan sejawat nya.. Dokter wanita ini tidak pelit membagi informasi, menjelaskan penyakit atau cara pengobatannya.
Seolah-olah dokter wanita itu tau benar, memang hak mereka para pasiennya.
Membayar atau tidak , yang jelas mereka berobat bukan gratis. Walaupun pelayanan nya tetap sama.
“Luka di kaki Ibu sudah sembuh. Untung tidak jadi gangren. Kaki Ibu bisa di amputasi kalau sampai itu terjadi..”
“Aduh Dok! Jangan nakuti saya dong!"
Kata Rita ketakutan melihat ke arah dokter cantik di hadapannya itu..
“Bukan nakuti Bu, tapi kalau gula darah Ibu tinggi seperti waktu itu. Lukanya susah sembuh.”
“Sekarang bagaimana gula darah saya Dok? Saya sudah diet, olahraga teratur dan juga minum obat.”
Kembali Dokter Diana melihat hasil pemeriksan Ibu..
“Hmmm.. Gula darah Ibu sekarang sudah turun. Puasa 144 dan HbA1c Ibu 7,6 . Jadi obatnya di teruskan saja Bu. Tapi jangan lupa , makan harus tetap mengikuti meal plan yang saya ajarkan. Berat badan Ibu juga tidak boleh nambah lagi ya. Kalau ada luka, harus segera di obati. Jangan tunggu sampai jadi borok.”
Selama Dokter Diana berbicara dengan Ibu nya . Rahmat hanya diam mengawasi. Tetapi sebenarnya, dia bukan hanya mengawasi. Dia sedang menilai,dan penilaian nya memang positif.
Ibu benar, Dokter wanita yang satu ini memang beda. Parasnya tidak terlalu cantik. Tetapi air mukanya bersih. Tatapan, senyumannya ramah dan tulus. Ada lagi yang membuat Rahmat kagum. Yang membuat nya tertarik sejak pertama kali bertemu.
Dokter yang satu ini bukan hanya berwibawa, dia sangat percaya diri. Yang lebih hebat lagi, dia dapat menampilkan kedua sikap itu berbarengan dengan kelembutan dan keramahan.
Meskipun biasanya mereka berada di dua sisi yang berbeda, Sosok yang berwibawa biasanya kurang lembut kan? Orang yang percaya diri tidak terlalu ramah.
Dokter Diana tau pria tampan di samping pasiennya sedang menatap dengan penuh penilaian. Tetapi dia tidak marah. Bahkan tidak merasa terganggu sama sekali. Kata-kata nya meluncur terus dengan mantap seolah-olah Rahmat tidak ada di dalam ruang prakteknya.
*
Begitulah aku jika sedang bekerja.. Seorang Dokter harus bisa membedakan hubungan pribadi dengan pekerjaan. Berbagai macam pertanyaan dan keluhan dari pasien membuat kita harus dengan sabar menjelaskan dan memberikan nasihat agar penyakit mereka lekas sembuh..
Selain obat, emosi dan fikiran seseorang juga bisa membuat pasien itu merasa baikan.. di tambah semangat untuk sembuh menghadapi penyakit menjadikan mereka sebagai pemenang karena bisa melawan rasa sakitnya.
Perkenalkan, Namaku Diana. Pekerjaan ku adalah sebagai seorang Dokter spesialis penyakit dalam. Selama di pindah tugaskan ke Kota Tarakan, Kalimantan Utara ini, banyak banget yang bisa di pelajari seperti budaya dan kebiasaan para penduduk di tempat ini.
Apa aku kesulitan selama bertugas di sini? Jawabannya tidak.. Awalnya memang aku sempat menegur bagian pendaftaran, itu karena ada kesalahan dalam pekerjaan mereka. Setelah itu semua berjalan normal kembali.
Dokter juga manusia, jadi setelah bekerja dan berganti shift, aku langsung keluar. Menaiki mobil masuk ke café walau hanya meminum segelas kopi agar mata tidak cepat terpejam.
Di saat lagi menikmati segelas kopi, tiba-tiba sebuah suara menegur ku.
"Bu Dokter sendirian saja? Apa saya boleh duduk di sini?"
Pria ini lagi, kalau ga salah dia kan anak salah satu pasien yang berobat hari ini..
"Silakan."
"Apa tugasnya sudah selesai Dok?"
" Iyah, alhamdulillah."
Kenapa pria ini terus melihatku?
"Selalu ngopi di sini Dok?"
" Ga, baru kali ini."
Rahmat sebisa mungkin mengajak bicara, sedangkan Diana menjawab seperlunya saja.
"Oia, kita belum sempat berkenalan yah.. Perkenalkan nama saya Muhammad Rahmat. Panggil Rahmat saja."
Seketika Diana mengerutkan dahinya. Dengan terpaksa dia menerima uluran tangan pria itu..
"Diana."
"Sudah lama tugas di Kota ini?"
Ucap Rahmat kembali mengajak bicara.
"Lumayan lama."
"Semoga betah yah Dok."
"Insyaallah. Kalau begitu saya permisi dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Rahmat kaget sekaligus heran menatap Dokter Wanita itu.
Hmmm.. Kita pasti akan bertemu lagi bu Dokter.