2

1217 Words
"Assalamualaikum," salam Alfa dari arah depan, dengan masih mengangkat Ola dalam gendongannya. ''Walaikumsalam, loh La kamu kenapa digendong Abang?" Jawab dari wanita paruh baya, yang masih tampak cantik di usianya yang sudah tak muda lagi. "Ola jatuh, Mi." Adu Ola lagi, membuat Alfa menghela nafas malas mendengarnya. Adiknya itu sungguh manja, dan drama queen sekali. Apapun yang terjadi dalam hidupnya, selalu menjadi heboh untuknya. "Kok bisa? Terus gak papa, kan?" Tanya khawatir wanita paruh baya itu lagi. Langkahnya mengikuti putra lelakinya yang berjalan ke dalam rumah. Alfa menurunkan Ola di sofa ruang tengah dengan mudah, tidak tampak jika dia kesusahan ataupun kelelahan setelah mengangkat beban yang hampir 55kg. "Hanya lecet Mi, gak usah diobati juga sembuh. Ola aja yang heboh sendiri." Jawab Alfa datar, lalu menghempaskan diri disebelah Ola dengan melepaskan dasi yang mencekik lehernya sejak tadi. Wanita paruh baya yang bernama Alana itu terlihat tersenyum mendengar penuturan anak lelakinya. Seorang malaikat kecil yang dikirm tuhan untuk menemaninya menata hati sekarang telah tumbuh dewasa dengan segala kebaikan hatinya. "Udah bilang terimakasih dengan Abang, La? Kasian tu Abang, pasti habis ini dimarahin Pappi." Kata Alana sambil mengusap lembut rambut panjang anak gadisnya yang masih meratapi kakinya. Ola menatap Alana sedikit terkejut, sepertinya ia sedang bebuat kesalahan diwaktu yang tak tepat. "Pappi sedang rapat ya, Mi?" Dan Alana menjawab dengan anggukan kepalanya. "Iya, dan Abang kamu lari dari rapat gara-gara kamu menelfonnya. Jadi, jika nanti Pappi marah pada Abang, kamu harus maju pertama kali, mengerti!" Kata Alana, membuat mata Ola beralih pada Abangnya yang sudah disibukkan dengan ponsel hitamnya. "Bang, Abangnya Ola yang paling ganteng anaknya Mommi Alana dan Pappi Raffi." Panggil Ola manja.   Sungguh menghadapi Pappinya, ketika ia mengganggu Abangnya tak tahu waktu membuatnya sedikit ketakutan. Dan yang bisa membelanya ya hanya abang tercintanya dong. "Hmm?" Alfa berdeham tanpa menoleh pada Ola yang sudah menyandarkan kepala pada bahunya. "Bang, ih Ola panggil nih." Panggil Ola lagi dengan tangan yang menggoyang lengan Alfa. Membuat Alfa akhirnya menyimpan ponsel hitamnya dan menatap adik semata wayangnya itu. "Apa sih, La?" Tanya pria 29 tahun itu. "Bang, nanti kalau Pappi marah sama Ola. Abang bantuin ngomong, ya." Katanya dengan mata yang mengedip lucu pada Alfa. Padahal usia Ola sudah 24 tahun, yang artinya tak muda lagi untuk merayunya seperti itu. Tetapi adiknya itu masih saja seperti anak kecil di keluarga besarnya. Alfa diam, dia juga malas harus kembali ditegur oleh Pappinya karena ulah adiknya itu. Padahal hari ini ada rapat penting di hotel milik Pappinya, tetapi gara-gara tangisan Ola yang katanya jatuh dari taksi, membuatnya kabur begitu saja dari rapat. Bagaimana dia bisa disebut atasan, jika dia sendiri tidak bisa memberi contoh pada anak buahnya. Alfa menghela nafas panjang sebelum menjawabnya, "Iya, sekalian ajak Mommi untuk bujuk Pappi." Dan seperti mendapatkan pencerahan, Ola langsung menghadap Alana yang sejak tadi melihat interaksi kakak beradik itu. "Mi, bantuin yah. Pappi kalau marah kan serem, bisa-bisa uang jajan Ola digantung seminggu seperti bulan lalu." Rayunya pada Alana, yang tersenyum melihatnya. "Pappi kalau marah gak bisa dirayu La, kamu tahu sendiri. Jadi sebelum uang jajan mu dipotong, kamu harus kerja sendiri mengerti. Sudah Mommi mau ke belakang dulu, kamu mandi sana." Kata Alana, lalu beranjak meninggalkan ke dua anaknya. "Bang," "Abang mau istirahat, sebelum Pappi datang dan marah pada kita." Kata Alfa lalu ikut beranjak meninggalkan Ola yang sudah merengut sebal. *** Malam harinya, ruang makan itu tampak sunyi senyap. Hanya suara dentingan sendok dan piring yang saling beradu. Dari ujung meja sebelah kiri, Alfa terlihat tenang dalam mengunyah makanannya. Berbeda dengan Ola yang tampak kesusahan menelan makanannya. "Alhamdulillah," suara dari ujung meja membuat Ola melirik Abangnya yang sudah menyelesaikan acara makan malamnya. "Pappi ingin bicara dengan kalian berdua setelah ini, Pappi tunggu di ruang tengah." Katanya lalu beranjak berdiri, diikuti Alfa yang berjalan di belakang Pappinya. "Mi, bantuin ya." Ola mulai merayu lagi. "Sudah cepat, keburu Pappi tambah marah sama kamu." Dan setelah itu, Alana ikut beranjak dan membersihkan piring kotor di meja makan. Raffi terlihat tenang dengan remot di tangan kanannya. Matanya menatap lurus ke arah tv yang menayangkan berita hari ini. Alfa yang baru saja datang, akhirnya duduk di sebelah Raffi. Raffi diam, Alfa pun ikut diam. Dua pria yang dulunya bisa tertawa bersama ketika bermain bola, sekarang hanya bisa diam menunggu siapa yang akan berbicara terlebih dahulu. Mata Alfa milirik ke arah Pappinya, pria paruh baya yang selalu menjadi panutannya selama ini. Pria tegas, dan sangat mencintai istri dan keluarganya. Seorang pria, yang tidak pernah menganggap dirinya kaya padahal dia memiliki harta yang melimpah. Dan Alfa baru saja belajar hal itu dari Pappi nya. "Alfa minta maaf tadi kabur tanpa pamit dari meeting." Akhirnya Alfa berbicara ketika dua menit bibirnya diam saja. Kepalanya menengok Pappinya yang masih diam saja tak menanggapi. Satu detik, dua detik dan hampir satu menit pria paruh baya tadi masih diam. Hingga Ola duduk bersama mereka pun, Pappi nya itu masih diam saja. Hingga Mommi sudah duduk disamping Pappinya barulah suara itu keluar. "Jadi sekarang, alasan apalagi yang dibuat Ola padamu?" Tanya Raffi, suaranya dingin nan tegas seperti biasanya. Matanya menatap Alfa dan Ola bergantian. Ola sudah menunduk, dan Alfa berdehem sebelum menjawab. "Ola," "Ola, jadi apa yang kamu perbuat hingga Abang mu berlari cemas disaat Pappi bicara di meeting siang tadi?!" Potong Raffi cepat, membuat suara Alfa tertelan kembali. Ola duduk tak tenang di tempatnya, kepalanya menunduk dengan tangan yang bergerak memilin bajunya. "Ola jatuh Pi, jadi telfon Bang Alfa." Cicitnya ketakutan. Alana yang melihat itu tersenyum dengan tangan yang menggenggam tangan suaminya. "Lain kali, Ola telfon Mommi kan bisa. Jangan Abang terus," Alana berucap lembut, senyum keibuannya menular pada Ola yang masih menunduk takut pada Pappinya. Semanja apapun Ola, dia akan ketakutan ketika sudah berbuat salah. "Iya, Mi. Maafin Ola ya Pi." Ujarnya lagi, sekarang sudah menatap Raffi yang sudah tak setegang tadi. "Sepertinya kamu memang harus memiliki kesibukan agar tak membuat Abang mu kerepotan. Jadi mulai besok kamu harus mencari kerja." Putus Raffi, dan Ola sudah menggeleng tegas menolaknya. "Yah Pappi, Ola kan masih ingin nyantai dulu." Protesnya, dan sudah bergerak mendekati Raffi dan Alfa. "Tidak, sudah setahun kamu bersantai. Besok kamu harus cari kerja!" Putus Raffi tegas, tetapi namanya Ola dia masih tak menyerah. "Ya sudah, Ola taken kontrak model yang kemarin aja ya Mi?" "GAK!!" sahut dua orang pria itu tegas. Dua pasang mata tajam sudah menatap Ola yang mengedip licik pada Alana yang sudah tertawa melihatnya. "Ih Pappi, kan pokoknya Ola kerja dapet duwit gak nyusain Pappi, Mommi dan Abang!!" Katanya lagi, padahal dalam hati sudah tertawa bahagia. Karena menurut Ola, Pappi dan abangnya tidak mungkin mengijinkan dirinya menjadi model apapun yang terjadi. Dan Alana yang tahu itu hanya tertawa saja, benar-benar dirinya sekali, batin Alana. "Gak! Pappi bilang tidak yang berarti tidak." Kata Raffi kembali, matanya sudah menyorot tegas pada putri kecilnya. "Bang," Ola mulai meluncurkan serangan pada abangnya yang juga tampak tak setuju. "Gak, sudah sana kamu gambar aja. Lulusan desainer tapi gak bisa gambar." Kata Alfa sadis, dan membuat Ola semakin merengut tak karuan. "Jahat! pokoknya Ola bakal gangguin abang sampe abang nikah!!" Ujar Ola keras, membuat suasana tegang tadi menjadi tawa kecil dari orang tuanya. Sedangkan Alfa hanya menatap malas pada kelakuan adiknya itu. "Gangguin aja gih, habis ini juga Abang kamu nikah. Jadi kamu gak bisa gangguin lagi." Balas Raffi membuat semua orang yang berada di tempat itu seketika diam. "Maksud, Pappi?" Alfa bertanya tak mengerti, ia menatap Raffi yang juga membalas tatapannya. "Pappi dan Mommi berniat mengenalkan kamu dengan anak sahabat Pappi." "Maksud Pappi, abang dijodohkan?" Suara Ola menyela cepat, wajahnya sudah berubah pucat ketika mendengar abang kesayangannya akan dijodohkan. Hingga ketika tatapan itu bertemu dengan milik Alfa, Ola berlari ke lantai dua rumahnya.                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD