BAB 3

1302 Words
"Jadi kamu ini tamat SMA?" Connie memperhatikan gadis dihadapannya dengan seksama. "Iya, Bu," jawab Amira dengan wajah menunduk. Connie yang memanggil Amira untuk mewawancarai pekerja barunya tersebut. Dia bertanya tentang kehidupan gadis itu,alasan mengapa dia mau bekerja sebagai asisten rumah tangga. Connie mendengar semua cerita Amira bagaimana keluarganya dan perlakuan yang didapat gadis itu dari ibu tirinya. Sebelumnya, Connie sudah tahu sedikit tentang kehidupan Amira melalui Rini, saat gadis itu mempromosikan temannya itu agar diterimanya untuk bekerja di rumahnya. "Gaji kamu seperti yang saya bilang tadi. Bagaimana?" "Itu sudah lebih dari cukup, Bu." Amira tidak menyangka jika dia akan dibayar sebesar itu. Dengan tiga orang pembantu di rumah tersebut, menurut gadis itu pekerjaannya tidak akan banyak. "Tapi, Mira, kamu nggak akan bekerja di rumah ini," ucap Connie. Gadis itu menatap Connie dengan bingung. "Maksud Ibu?" "Jadi begini, anak saya paling besar, namanya Jonathan, kamu akan bekerja padanya. Dan tinggal bersamanya. " Amira langsung menatap Connie dengan tercengang. Lalu wanita itu melanjutkan. "Dan saya ingin menawarkan bantuan padamu Mira, tapi kamu juga harus membantu saya. Jadi kita berdua sama-sama diuntungkan." Amira semakin tidak mengerti, kenapa majikannya meminta bantuan padanya. "B-bantuan saya Bu?" Connie mengangguk. "Apa kamu rela, semua harta orang tuamu jatuh ke tangan ibu tirimu dan putrinya? Merebut warisan yang harusnya adalah milikmu?" Amira langsung menggeleng, tapi dia sadar kalau dia tidak berdaya melakukan sesuatu untuk merebut harta milik ayahnya yang kini dikuasai Laras yang sangat pintar dan licik. "Mendengar dari ceritamu, Mira, saya yakin, kalau ibu tirimu sangat senang dengan kepergianmu sekarang. Kesempatan dia untuk mengusai harta milik ayahmu semakin besar." Tambah Connie sambil menatap serius gadis cantik di hadapannya yang tampak tidak tenang Amira menautkan tangannya erat dan memberanikan diri menatap Connie. "Benar yang Ibu bilang, tapi harta bisa dicari Bu, sedangkan kebebasan saya lebih penting saat ini daripada harta apa pun." Connie tersenyum memandang Amira. Dia tahu jika gadis di hadapannya ini bukanlah perempuan bodoh. Karena hanya orang pintar yang berjuang mendapatkan kebebasannya. Dan gadis ini juga mengejutkan Connie karena tidak terlalu memikirkan harta yang seharusnya menjadi miliknya demi sebuah kebebasan. "Kamu yakin merelakan hasil jerih payah orang tua kamu yang sudah meninggal kepada manusia jahat dan serakah seperti mereka? Coba kamu pikir Amira, jika akhirnya kamu yang mengolah perkebunan ayahmu, bukankah kamu bisa menolong dan memberikan upah yang layak untuk para pekerja di perkebunan keluargamu itu?" Sekarang Amira tampak ragu. Dia membenarkan ucapan Connie tapi sekaligus tidak yakin dia bisa melawan Laras. "Kalau dibilang rela, belum Bu, tapi pada akhirnya waktu akan membuat saya menerima semuanya yang sudah terjadi," jawab gadis itu pasrah. "Oh ... kamu nggak boleh jadi perempuan yang mudah pasrah dengan keadaan Mira. Dan sikap menyerahmu inilah yang diinginkan oleh ibu tirimu. Dia sengaja menekanmu secara psikis, membuatmu percaya kalau kamu tidak mampu melawan tirani seperti dia. Sekarang kamu telah berhasil lari dari ibu tirimu, harusnya kamu pakai kesempatan ini untuk melawan dia dan merebut hakmu." Connie memandang gadis itu dengan tajam dan serius. "Kamu bukan gadis bodoh kan?" Amira tampak semakin gusar. Connie tersenyum dalam hati karena sepertinya mulai berhasul mempengaruhi gadis itu. "Tapi, bagaimana caranya Bu?" tanya Amira menatap Connie dengan tidak yakin. Connie tersenyum memandang Amira, dia memang jarang gagal untuk mempengaruhi seseorang. "Saya akan membantumu. Pengacaraku yang akan mengurus harta serta surat wasiatmu dan merebutnya kembali, tapi kamu juga harus melakukan satu hal untuk saya." Amira tahu, bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini. "Apa itu Bu?" "Mengawasi anak saya dan memberikan laporan setiap hari. Itu adalah tugas utamamu. " "Memangnya anak Ibu ini kenapa?" Amira sedikit penasaran mengenai anak majikannya itu. "Pokoknya kamu ikuti saja dulu arahanku." "Dan saya harus benar-benar tinggal bersama anak Ibu? Berdua saja?" Connie mengangguk sambil tersenyum. Amira menengakkan punggungnya tanda dia merasa tegang. Kursi empuk yang sekarang didudukinya tersebut terasa tidak lagi nyaman. "Bagaimana kalau saya tetap tidur di sini, Bu? Pagi sampai malam saya bekerja di apartemen anak, Ibu." "Oh nggak bisa, Mira, kamu harus tinggal di sana untuk bisa mengawasinya." "Tapi Bu ... maaf Bu, bukan maksud saya lancang, tapi bagaimana kalau ... anu, Bu ... " Amira takut melanjutkan ucapannya. "Kamu takut diapa-apain sama anak saya Mir?" tanya Connie yang mengerti kekawatiran gadis di hadapannya itu. Amira langsung mengangguk cepat. "Iya Bu!" jawabnya antusias. Connie tertawa. "Tenang saja Mira, sampai saat ini, anak saya nggak berbahaya untuk perempuan mana pun." Amira menelan ludahnya, karena gadis itu tidak yakin pada ucapan Connie. "Kenapa anak Ibu ini harus saya awasi, Bu?" "Nanti kamu juga akan tau Mira. Yang pasti, Jonathan bukan seorang play boy atau punya masalah kejiwaan," ujar Connie yang sangat mengerti kekawatiran gadis itu. "Mira, hanya kamu yang saya percaya bisa mengubah Jonathan." Amira semakin tidak paham dengan maksud perkataan majikannya itu. Bagaimana mungkin dia dipercayai Connie untuk mengubah putra? dan apa yang harus diubah? tanya gadis itu dalam hati. "Saya nggak mengerti maksud, Ibu," ujar Amira. "Jadi begini Mira ... " Lalu Connie menceritakan perihal putusnya hubungan Jonathan dan Gita. "Dan ada trauma yang dimiliki Joe, tapi saya belum bisa memberitahukanmu sekarang. Lambat laun kamu akan tau." Amira menghela nafasnya kecil. Sejujurnya dia ingin mundur dari tawaran Connie yang menurutnya aneh dan tak lazim itu. Tapi di sisi lain, dia sangat membutuhkan pekerjaan untuk bertahan hidup dalam pelariannya sekarang. "Jadi, tugas saya selain bersih-bersih dan memasak, juga mengawasi pak Jonathan, ya Bu?" "Benar. Oh iya, sekarang dia semakin galak, tapi saya yakin, kamu pasti bisa menghadapi dia," kata Connie dengan mata berbinar senang. Amira berdehem lalu memandang Connie serius. "Apakah benar, Ibu bisa membantu saya untuk mendapatkan kembali warisan saya?" Connie kembali mengangguk. "Saya orang yang menepati janji Amira." Gadis itu meremas tangannya, mempertimbangkan keuntungan yang ditawarkan oleh Connie , sekaligus juga kawatir dengan tugas yang diberikan oleh majikannya itu. Amira was-was jika dia masuk ke dalam perangkap berbahaya yang tidak bisa dia bayangkan. Bagaimana jika dia terjebak dalam keluarga psikopat seperti di novel thriler yang pernah dibacanya? tanya gadis itu dalam hati. Dia menatap Connie yang masih tersenyum padanya dan hal itu seketika membuatnya merinding. "Kalau kamu mengira saya adalah ibu psikopat yang menjebak gadis lugu dan melemparkan kepada anaknya yang gila, maka imajinasimu itu terlalu berlebihan Mira," ucap Connie yang tampak menahan tawa saat melihat ekpresi Amira yang tercengang setelah mendengar perkataannya. "B-bagaimana Ibu bisa tau apa yang saya pikirkan?" tanya Amira gugup. Dia tidak menyangka kalau Connie bisa membaca pikirannya. Dan kali ini Connie tidak lagi menahan tawanya, dan memandang gadis pucat itu dengan tatapan lucu. "Kalau saya di posisimu, saya juga pasti memikirkan hal sama seperti yang kamu pikirkan, Mira." Connie kembali tertawa. "Tapi saya tadi hanya menebak saja, dan kebetulan tebakan saya benar." Amira menatap Connie dengan perasaan sungkan. "Maaf , Bu, saya nggak bermaksud berpikir negatif tentang Ibu." "Nggak masalah Mira, justru harusnya kamu waspada dengan tawaran orang yang baru kamu kenal. Tapi saya juga sudah memikirka tawaran dan tugas kamu ini secara matang. Itulah kenapa baru sekarang saya memanggilmu setelah dua hari kamu bekerja di sini. Dan saya lihat, kamu cukup bisa saya percaya." "Apa saya bisa mundur dari tugas saya Bu, kalau ternyata saya nggak sanggup? Dan bantuan Ibu untuk merebut kembali warisan saya apa tetap berlaku kalau sewaktu-waktu saya mundur?" tanya Amira. "Tentu saja, seperti yang saya bilang tadi, saya selalu menepati janji. Tapi saya sangat mengandalkanmu dalam tugas ini Amira," ucap Connie lembut namun penuh penegasan. Dan biasanya wanita selalu berhasil jika dia sudah memakai gaya bicara seperti itu. Amira bahkan belum tahu tugas mengawasi seperti apa yang dimaksud Connie. Tapi akhirnya gadis itu memutuskan. "Baiklah Bu, saya bersedia. Dan saya pegang janji Ibu." Connie tersenyum lebar padanya. "Sore ini, Joe, akan pulang ke rumah, nanti saya akan mengenalkan kalian berdua," ucap Connie semangat. Amira mengangguk sambil menelan ludahnya. Dia berdoa semoga dia tidak salah mengambil keputusan. Dan Connie juga berpikir hal yang sama, semoga rencana dan keputusannya ini benar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD