7. Yang Terbaik

1569 Words
"Ada sedikit kecalakan di deck bawah," ucap Kai saat dia masuk ke area bridge. Rich sedang mengamati layar yang menampakkan jalur perjalanan ke arah barat. Kapal mereka sudah bertolak dari India, dan kini tengah berlayar dengan tujuan pelabuhan di Arab. Rich sempat menoleh sebentar kemudian kembali terfokus pada alat navigasi di hadapannya. "Siapa?" tanya Rich. Kai lantas bercerita singkat tentang seorang kelasi asal Filipina yang mengalami kecelakaan kerja. "Sekarang dia ada di ruang perawatan." Sebenarnya Rich tidak perlu turun langsung jika ada masalah seperti ini. Hal yang terjadi juga bukan sesuatu yang fatal dan membahayakan. Chief officer akan melaporkan kepadanya jika memang ada dampak yang cukup besar. Namun saat mengingat bahwa seseorang yang menangani perihal medis adalah Feyra, Rich jadi ingin terlibat di sana. But wait, Rich ingin sedikit membela diri. Ini bukan suatu bentuk ketidak profesionalan. Rich berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan berinteraksi dengan Feyra tentang sesuatu di luar pekerjaan. Kedatangannya hanya untuk menunjukkan kepedulian dan keterlibatan seorang kapten kepada kru kapal. Yaaa, walaupun sebenarnya sambil menyelam minum air. Hati kecilnya berkata bahwa dirinya bisa sekaligus bertemu dengan Feyra juga. "Jaga disini sebentar," titah Rich kepada Kai sebelum akhirnya ia turun ke deck bawah. Langkahnya tampak tegap dan teratur. Persis seperti derap gerak jalan, hanya saja sedikit lebih cepat. Tidak terlihat terburu-buru, namun lebih menunjukkan ayunan kaki seseorang yang sedang sangat bersemangat. What happen with me, batin Rich. Rich merasakan hal yang tidak wajar. Seorang anggotanya kini tengah mengalami kecelakaan kerja. Namun mengapa dia justru tersenyum? Apa dia sudah mulai gila? Well, aku cuma mau nengok dia dan memeriksa gimana kronologinya. Nggak lebih, ucap Rich dalam hati. Benaknya terus melakukan pembelaan tentang alasan mengapa dia menuju ke ruang layanan kesehatan. Walau sudah menemukan alibi yang cukup kuat, separuh hatinya tetap saja berteriak, mencibir dirinya sendiri. Jika dokter yang berjaga bukan Feyra, sudah pasti Rich tidak akan mau repot-repot turun tangan. "Siang, Kapten," ucap Ava saat menyadari keberadaan Rich. "Saya dengar ada anggota kelasi yang dirawat." "Iya, Kapten. Mari saya antar," jawabnya seraya mengajak Rich menuju salah satu ruangan. Rich mengekor dari belakang sambil memindai seisi ruang. Dia sedang diantar kepada seseorang yang akan ia jenguk, tapi matanya justru mencari-cari keberadaan orang lain. Sungguh menggelitik. "Ada beberapa luka ringan, dan ini bukan sesuatu yang buruk," terang Ava di sela langkah kakinya. "Dia kesini sendiri?" "Tidak, Kapten. Ada bosun yang mengantar," jawab Ava. Ya. Rich sudah tahu soal itu. Kai sempat menceritakan detail ini tadi. Rich hanya sedang berusaha berbasa-basi demi menutupi geliat aneh di dalam dadanya. Ini menggelikan, tapi Rich akui, jantungnya terasa berdebar saat Ava mempersilakan Rich untuk masuk ke dalam. "Mari, Kapten," ucap Ava. Rich sudah menarik napasnya panjang. Dia sudah mempersiapkan diri untuk kembali berhadapan dengan Feyra. Namun angannya yang sudah melambung tinggi seketika terjun bebas begitu seseorang yang berdiri di tepi bed adalah Mike. Oh, shitt. Rich kecewa, tapi dia berusaha tampak biasa saja. Bukankah tujuan dia kemari memang untuk menengok salah seorang anggota kelasi? "Maaf, Kapten. Kami melakukan sedikit kesalahan," ucap bosun yang membawahi kelasinya itu. Rich mengangguk untuk kemudian mendengar penjelasan demi penjelasan. Wajahnya tampak serius dan juga kaku. Mungkin dua orang di hadapannya mengira bahwa Rich tengah marah. Padahal dia sedang merasa menyesal. Dia sudah menyelam, tetapi tak berhasil sambil minum air. Sebisa mungkin, Rich memang berusaha untuk tidak terlihat sedang mencari Feyra. Dia masih terus terlibat dalam pembicaraan dengan bosun dan kelasinya. Tidak ada yang tahu saja bahwa Rich sedang mencoba mencari Feyra dari sudut matanya. Barangkali dia ada di balik meja, di ruang sebelah, atau di mana pun itu. Sayangnya, wanita yang dia cari memang tak ada disini. "Bukan sesuatu yang besar," terang Mike yang berdiri di tepi kiri. "Udah ada laporan ke atas?" "Kai yang cerita tadi," jawab Rich. "Kami akan melapor ke chief kami tentang perkembangannya nanti, Kapten," ucap Bosun itu lagi. "Ok then. Saya akan kembali ke anjungan." Rich keluar dengan langkah yang berat. Badannya tidak gontai dan tetap tegap, tapi Rich gagal menyembunyikan sebuah desah kecewa yang keluar bersama embusan napas panjang. Saat Rich mengulurkan tangan untuk menarik handle pintu, di waktu yang sama seseorang juga tengah mendorongnya. Gerakan dari luar cukup kuat. Tak sampai membuat tubuh Rich terhuyung, tapi bagian bahu sempat terbentur daun pintu. "Oops! Maaf," pekik wanita si pendorong pintu tadi. Rich sudah memundurkan tubuh. Dia sempat sedikit terlonjak, namun kemudian badannya mematung dalam diam. Kedua mata Rich lantas beradu dengan wanita yang juga sama kagetnya. Feyra. Mata wanita itu membulat dengan lebar, tangan kanannya memegang dinding, sedangkan tangan kirinya mengusap dadaa. Dia sepertinya sedang tergesa melakukan suatu pekerjaan. Walau begitu, dia masih saja sempat sejenak membuang waktu dengan terus berdiri di depan Rich. "Sorry, nggak sengaja. Lagi buru-buru tadi," ucap Feyra lagi. Rich tidak menjawab, tetapi dia mengangguk. Satu detik selanjutnya, lelaki itu tersenyum. Tak masalah jika harus ditabrak berkali-kali jika itu bisa membawanya bertemu dengan Feyra. Kedua bibir Feyra ikut tersungging ke samping. Dia lantas menggerakkan kepala ke arah kanan, memastikan tak ada siapa pun yang melihat mereka berdua. "Itu nggak papa?" tanya Feyra seraya menunjuk ke arah bahu Rich. "Sakit banget. Kayaknya lukanya parah. Berdarah-darah. Apa aku harus dirawat?" Feyra sontak tertawa sambil menggelengkan kepala. Ingin menanggapi, tapi dia harus segera kembali bekerja. Apalagi bayang tubuh Ava sudah tampak dari balik pintu. Feyra kemudian menggerakkan mata dan alis guna memberi isyarat pada Rich bahwa akan ada seseorang yang datang. Secepat mungkin, Feyra dan Rich sama-sama menetralkan ekspresi wajah mereka. Setelahnya, Rich berpindah ke sisi pintu, sedangkan Feyra sedikit melangkah mundur. "Mari, Kapten," ucap Feyra bertepatan dengan saat Ava melintas di ujung ruangan. Feyra undur diri sambil sedikit menundukkan kepala. Sementara Rich hanya mengangguk satu kali dengan raut datar seperti biasa. Setelahnya, mereka tak lagi saling memandang begitu bayang tubuh Rich menghilang. Hal yang serupa terjadi di hari-hari berikutnya. Keduanya akan sengaja saling mencari saat makan malam berlangsung di main deck, atau terkadang sekedar berpapasan di area kolam renang hingga taman bermain anak. Mereka jarang bisa bicara banyak. Bertemu pun tak bisa berlama-lama. Memandang juga hanya sepintas saja. Namun justru itulah yang membuat mereka menjadi hampir selalu merindukan. Keduanya sulit mendeskripsikan apa yang terjadi dalam hati masing-masing. Sangat tidak masuk akal jika mereka sama-sama jatuh cinta lagi untuk yang ke dua kali, bahkan tanpa diawali dengan pendekatan yang berarti. Namun nyatanya, memang itulah yang terjadi. Bisa dibilang, ini bukanlah munculnya sesuatu rasa yang baru. Ini lebih mirip dengan tumbuhnya lagi perasaan yang dulu sempat terkubur dalam-dalam. Ternyata, ada untungnya juga bekerja di kapal dengan dunia yang sempit seperti ini. Waktu seolah berlalu dengan cepat. Segala aktivitas dan rutinitas berlangsung di tempat yang itu-itu saja. Namun justru inilah yang membuat Rich dan Feyra selalu bertemu setiap harinya. Kalaupun tak sempat bersua, masih ada yang bisa diupayakan agar berhasil menemukan keberadaan masing-masing. Seperti halnya malam ini. Rich yang masih menggunakan seragam shift malam tengah turun ke geladak bawah. Tak ada pekerjaan spesifik. Dia hanya berkeliling, hingga secara sadar kakinya menuntun ke area kabin para pekerja kapal. Rich sudah cukup hapal di mana tempat Feyra beristirahat. Tanpa ragu, Rich melangkah sampai depan pintu kabin, kemudian mengetuknya dua kali. Seharian ini, dia tak melihat Feyra. Dan kali ini, Rich ingin sejenak bertemu dengannya. Hanya sebentar. Sebentar sekali. "Rich," lirih Feyra begitu ia membuka pintu kabin miliknya. Wanita itu segera mengeluarkan kepala ke luar sambil menoleh ke kanan dan kiri. Jantungnya berdegup dengan gugup. Selain terkejut, Feyra juga takut. Sangat berbanding terbalik dengan Rich yang justru tersenyum geli. "Ngapain kesini?" tanya Feyra dengan suara seperti berbisik. "Ada sesuatu?" "Ada. Urgent." "Kenapa?" Tanpa menjawab pertanyaan Feyra, Rich mendorong tubuh wanita yang sudah mengganti bajunya dengan piyama. Kaki Feyra melangkah mundur dengan tubuh yang terdesak masuk. Setelah sama-sama berada di dalam kabin, Rich lantas menutup pintu menggunakan sebelah kakinya. Masih sambil mencondongkan tubuh ke depan, Rich lantas merekatkan kedua tangannya untuk merengkuh tubuh Feyra. Kepalanya mendarat di bagian pundak, sementara kedua matanya terpejam menyelami rasa nyaman. "Kangen." Senyum tipis reflek tercetak di bibir Feyra saat mendengar jawaban Rich. "Dasar." Feyra tak menjawab ungkapan perasaan itu, tapi dia memberikan sebuah isyarat yang berhasil membuat Rich tersenyum tipis. Walau sama sekali tak berkata, Feyra mulai sedikit demi sedikit menggerakkan kedua tangannya untuk membalas dekapan Rich. Awalnya Feyra hanya menyentuh punggung Rich dengan gerakan pelan, tapi semakin lama lilitan tangannya semakin erat. Seolah memberi tanda bahwa dia juga merasakan sebuah kerinduan yang sama besarnya. Di sebuah film drama romansa, pada momen inilah biasanya instrumen piano dan biola dimainkan. Tak ada perbincangan tentang cinta, namun semesta seolah menyelimuti kedua insan itu dengan atmosfer penuh cinta. "Rich, aku masih merasa bersalah sama kamu," ucap Feyra memulai pembicaraan. "Kenapa? Karena ninggalin aku demi nikah sama dia?" goda Rich dengan sebuah seringai jahil. Feyra lantas mencibir dengan bibir yang sedikit ia majukan ke depan. "Serius, Rich." "Ya aku juga serius. Karena itu kan?" "Bukan cuma itu," jawab Feyra. Rich kemudian mengajak Feyra untuk duduk di tepi ranjang, sementara dirinya mendaratkan tubuh pada sebuah kursi di hadapannya. Walau hanya akan berlangsung singkat, tapi sepertinya ini akan menjadi sebuah pembicaraan yang serius. "Tapi itu kesalahan terbesar kamu, Fey." "Aku punya alesan, Rich," bela Feyra. "Apapun alesan itu, bisa kita mulai lagi dari awal?" Feyra lantas menunduk sambil menyela dan meremas helai rambut. Dia sedikit bimbang dan seperti merasa frustasi. "Kamu tau jawabannya, Rich. Aku udah terlanjur sama dia." "Kalo gitu, aku bakal tunggu sampe kamu sadar, Fey." "Sadar?" "Iya. Sadar kalo aku adalah yang terbaik."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD