Feyra, batin Rich seraya memainkan gelembung kopi yang baru saja ia seduh.
Rich bukan orang yang betah terdiam tanpa melakukan pekerjaan. Dia cenderung terus bergerak dengan otak yang bekerja tanpa henti memikirkan sederet to do list yang harus dia lakukan. Namun sekarang, Rich begitu menikmati jam istirahatnya.
Sedikit menggelikan saat mendapati lelaki itu mandi sambil bernyanyi, berganti baju sambil bersiul, dan kini dia duduk di sebuah kursi dekat jendela seraya tersenyum memandangi birunya samudera.
Benaknya masih terbang membayangkan momen canggung namun mendebarkan yang terjadi pada kemarin malam. Pelukan yang tak pernah ia rencanakan akhirnya berujung manis. Tidak terlalu lama dan tidak pula menjurus pada sesuatu yang intim, tapi hal itu sudah bisa membuat Rich merasa cukup.
Feyra terdiam pasrah di dalam pelukan Rich. Beberapa saat, tubuhnya sempat kaku. Namun Feyra tak lagi menolak saat Rich membenamkan kepala di ceruk lehernya.
"Ternyata aku nggak pernah bisa marah sama kamu," bisik Rich malam itu.
Feyra tak menjawab, tetapi dia membalas pelukan Rich dengan sangat erat. Semakin erat dan semakin erat. Napasnya ia tarik, lalu Feyra keluarkan dengan sebuah embusan panjang, seolah sedang mewakili rasa lega luar biasa.
Keduanya saling merekatkan tubuh. Sesekali Feyra mengusap sudut mata yang sedikit basah. Dia wanita yang hampir tidak pernah menangis. Namun Rich selalu bisa menjadi alasan dibalik ia menitikkan air mata.
Kala itu, bukan karena sedih, sakit, atau pun marah. Rich bisa menangkap sebuah ekspresi keharuan. Raut wajah Feyra persis seperti seorang wanita yang berhasil memeluk lagi belahan jiwanya setelah sekian lama terpisahkan.
"Maaf sekali lagi. Aku punya banyak alesan dan pertimbangan saat aku mutusin nikah sama Freddy," ucap Feyra yang langsung mengarah ke inti persoalan.
"Aku nggak punya cukup banyak waktu buat dengerin alesan kamu yang banyak itu," jawab Rich.
Pelukan mereka sedikit demi sedikit merenggang. Walau begitu, Rich tetap mengunci pergerakan Feyra dengan tatapannya yang tajam.
"Sekarang aku tanya satu hal aja. Kamu bahagia sama dia?" tanya Rich.
Feyra tak menjawab. Sorot matanya sempat meredup, lalu ia memilih untuk menunduk.
Rich mengulurkan jemari tangan untuk meraih dagu Feyra agar kembali menatapnya. "No?"
Masih enggan mejawab, Feyra lantas meneteskan lagi setitik air mata.
"Kalo sama aku, kamu bahagia?" tanya Rich lagi.
Feyra meluncurkan titik embun yang kedua. Dengan gerakan lemah, Feyra tampak menganggukkan kepala. Walau lirih, Rich masih bisa mendengar Feyra berucap, "Iya."
Seberkas senyum lantas terbit di kedua bibir Rich. Dia menarik lagi tubuh Feyra untuk kembali ke dalam dekapannya. "Come closer."
"Jangan cium-cium," keluh Feyra saat Rich mendaratkan kecupan di dahi, pelipis, hingga ke pipi kiri.
Rich hanya terkekeh dan menurut. Sejak dulu, wanita ini memang selalu malu-malu. Ini bukan yang pertama Rich menyapu wajah Feyra dengan bibirnya, tapi kedua pipi itu tetap saja merona.
Oh God. Wanita satu ini manis sekali.
Rich masih berniat mendaratkan lagi ciuman yang kedua. Sayangnya, kemesraan mereka harus segera diakhiri saat terdengar derap langkah seseorang.
Walau belum sempat bicara banyak, walau Feyra terburu-buru melepaskan peluk dan meninggalkan Rich seorang diri, tapi Rich sudah bisa menyimpulkan satu hal. Feyra masih seperti dulu.
Dekapannya tetap hangat. Cara dia memandang masih meneduhkan. Perhatiannya tak sedikitpun berkurang.
Rich tak tahu apakah dia harus berterima kasih kepada Tuhan, ataukah harus mempertanyakan keanehan di antara hubungan mereka. Keduanya bak masih saling menjalin kasih meski sebenarnya sudah putus sejak sekian tahun lamanya.
Terdengar aneh, tetapi diam-diam Rich melambungkan kalimat syukur. Dia tak bisa tidak bahagia saat mendapati bahwa Feyra masih terasa seperti miliknya. Wanita itu masihlah Feyranya yang dulu.
Tak ada sedikitpun yang berubah, kecuali ... status Feyra yang kini sudah menjadi istri Freddy.
Well, tapi tak masalah. Sejak merasakan lagi pelukan itu, status Feyra tidak sedikit pun membebani pikiran Rich. Entah mengapa, Rich merasa tak masalah jika harus bersaing dengan suami sah.
"Aku tau, aku akan menang," monolog Rich seraya menerbitkan senyum separuh.
***
Saat pagi menjelang siang, Rich menyempatkan diri mengecek area main deck. Kapal mereka kini tengah singgah di tepi pelabuhan India. Beberapa officer masih berjaga di anjungan, artinya urusan bridge dipastikan aman.
Lelaki berseragam putih itu lantas turun ke bawah. Ada beberapa pekerja kapal yang bersiap keluar untuk sejenak mengelilingi kota India. Sementara pada jarak sekitar sepuluh meter, Kai tengah melambaikan tangan dari ruangan istirahat mereka.
"Kamu nggak turun?" tanya Rich.
"Enggak. Nggak ada yang menarik."
Tak berselang lama, Mike ikut bergabung bersama mereka di meja yang sama. Senyumnya lebar, wajahnya cerah, dan suasana hatinya terlihat sedang sangat baik.
"Gimana?" tanya Kai dan Rich hampir bersamaan.
"She's amazing. Harganya mahal, tapi sebanding," jawab Mike dengan sebuah seringai lebar.
Tidak lain tidak bukan, perbincangan paling seru di antara para lelaki adalah tentang wanita, lengkap dengan cerita ranjang. Obrolan pemersatu bangsa.
Wanita India yang Mike sewa selama beberapa jam itu adalah rekomendasi dari salah seorang officer dari deck department. Biasanya di antara mereka bertiga, Rich adalah lelaki yang pertama mencoba. Namun malam tadi, dia memilih untuk tidur seorang diri dan membiarkan Mike bersenang-senang dengan wanita yang sebelumnya sudah ia bayar.
"Kamu harus nyoba, Rich," ucap Mike.
Mereka bertiga terlampau leluasa saat berbagi tentang bagaimana pengalaman ranjang bersama wanita yang mereka beli. Tak jarang mereka melakukannya secara bergantian jika memang wanita itu masuk kategori 'sangat memuaskan'.
Dulu, saat Rich masih mejadi officer biasa, mereka bahkan pernah tidur bersama seorang pelayan bar dalam kurun waktu yang hampir bersamaan.
Setelah menjadi Kapten kapal sejak beberapa bulan yang lalu, Rich mulai berhenti bermain-main dengan kru kapal. Kalaupun harus bergelung di atas ranjang, dia akan lebih memilih untuk mengajak wanita dari luar kapal.
"Nein, lagi nggak pengen," jawab Rich jujur.
"Tumben. Kesambet apaan?," balas Mike. Dia lantas beralih menatap Kai. "Kamu?"
"Boleh, tapi kalo aku pacarin aja gimana?" ujar Kai sambil menyeringai.
"Oh, c'mon Kai. Wanita itu harus dibeli. At least dia ngasih kamu sesuatu, kamu harus ngasih dia sesuatu juga. Impas."
Mike membeberkan pendapatnya dengan nada gemas. Sementara di sebelahnya, Rich masih diam sambil sesekali tertawa menyimak perbincangan dua temannya.
"Sama aja. Aku ngasih dia kasih sayang," pungkas Kai.
Rich sontak tertawa. Dia mengulurkan sebelah tangan untuk sedikit menjitak kepala bapak satu anak itu. Sudah berkeluarga, masih saja menjanjikan kasih sayang.
"Bullshit! Sekarang siapa lagi korbannya? Maria?" tanya Mike.
"Yes. Dia jago sih kalo ciuman."
"Kalo di atas ranjang?" sambar Rich.
"Big no," pungkasi Kai.
Rich dan Mike lantas saling pandang. Wajahnya menyiratkan rasa tak percaya. Maria adalah salah satu kru yang sempat menjadi incaran Rich beberapa waktu yang lalu. Namun sejak keberadaan Feyra di dalam kapal, entah mengapa hasrat untuk bermain-main bersama wanita seketika menguap entah kemana.
"Nggak mungkin. She's so fuckingg sexy," sanggah Rich.
Sama halnya dengan Rich, Mike juga menampakkan ketidakpercayaannya. Terlebih lagi, hasil pengamatan Rich hampir tidak pernah meleset. Mata Rich terbilang sangat jeli dalam menilai wanita. Dia cukup peka untuk bisa memprediksi bagaimana kemampuan ranjang seseorang.
"Coba aja kalo nggak percaya. Nggak enak," tegas Kai sekali lagi.
"Bisa berapa kali?" tanya Mike.
"Mana ada berapa kali. Gagal total, Mike."
Rich dan Mike sontak tertawa kencang. Kai mengeluhkan tentang bagaimana kecewanya dia saat Maria tidak berhasil membawa Kai mencapai puncak. Terlebih lagi, wanita itu memilih tidur dan menyuruh Kai melanjutkannya seorang diri.
Tawa demi tawa mengudara. Namun seketika Rich dan Mike sama-sama tersedak saat Kai mengucapkan sebuah kalimat.
"Aku kemaren abis ngajak Dokter Feyra."
"Sialann!"
"Setann!"
Sebuah umpatan keluar secara bersamaan dari mulut Rich dan Mike.
"Why? Kenapa kalian kaget gitu? Kalian ngincer dia juga? She's so hot. Sayangnya, aku ditolak mentah-mentah," terang Kai.
"Jangan!" ucap Mike dan Rich yang lagi-lagi berkata di waktu yang sama.
Kai menatap dua lelaki di hadapannya secara bergantian. Setelah sekian detik, dia memaku pandang pada Mike.
"Why?" tanya Kai.
"Selain partner kerja satu departemen, dia itu udah kayak adik aku sendiri. Kamu temen aku dari lama, Kai. Jangan sampe bikin aku marah gara-gara kamu nyentuh Feyra. Dia cewek baik-baik," terang Mike.
Kai lantas mengangguk mengerti. Detik selanjutnya, dia beralih ke hadapan Rich.
"Why?"
"No reason. Pokoknya jangan," jawab Rich singkat.
Kai menggeleng karena tak terima dengan jawaban Rich yang terkesan menggantung.
"Why?" tanya Kai sekali lagi.
"Aku bilang nggak ada alesan."
"Berarti aku boleh nyoba lagi? Kali aja berhasil," pancing Kai.
"Boleh," jawab Rich yang sempat menjeda kalimat untuk sedikit menyesap minumannya. "Tapi kamu turun dari kapal sekarang juga."
Kai hanya bisa tertawa, tetapi Mike menatap Rich dengan sorot mata yang berbeda.
"Damn! Kalian punya hubungan?" tanya Mike.
Rich tak bersuara. Kepalanya menggeleng sebagai bentuk sebuah jawaban.
Untuk saat ini, menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi di antara Rich dan Feyra adalah sesuatu yang terbaik. Hubungan mereka sangat rumit. Selain untuk menjaga nama baik Feyra sendiri, Rich juga ingin semua ini tetap menjadi urusan pribadi yang tak perlu dibagi.
"Aku nggak jadi anggep dia adik. Aku mau jadi selingkuhan dia aja," ucap Mike yang masih berusaha membuat Rich berbicara lebih banyak.
"Up to you, Mike. Tapi dia nggak bakal mau sama kamu, I guess."
"Why? Karena udah ada kamu?" balas Mike.
"Oh, c'mon."
Di sela desakan Mike yang tak kunjung memiliki ujung, Rich akhirnya diselamatkan oleh kedatangan seorang pekerja inventory.
"Permisi, Kapten. Mau minta tanda tangan. Ada beberapa list yang perlu dibeli disini," ucapnya seraya menyodorkan beberapa lembar kertas.
Rich meneliti tabel di hadapannya dengan cepat. Setelah membubuhkan tanda tangan, dia lantas mengikuti lelaki itu menuju deck bawah.
Sebenarnya dia tak perlu ikut terlibat dalam urusan keluar masuk barang. Ada first officer yang sudah berada di sana. Namun demi bisa kabur dari kejaran pertanyaan Kai dan Mike, Rich lebih memilih menyibukkan diri.
Tidak mungkin bukan Rich mengaku bahwa Feyra adalah ... apa ya. Rich tidak menemukan perpadanan kata untuk mendeskripsikan hubungan mereka.
Emangnya kita ini apa? batin Rich seorang diri.
Ah, persetan. Yang Rich tahu, Feyra adalah ... miliknya.