8. Selingkuh? Bolehkah?

1674 Words
"Kamu mau tidur disini?" Mendengar pertanyaan Feyra, Rich seketika melipat bibirnya menahan tawa. Dia tersenyum simpul seraya menciptakan kerut di hidungnya yang mancung. "Pengen banget aku tidur disini?" tanya Rich. "Hah?" Feyra sontak melempar sebuah bantal ke arah kepala Rich. Kesal sekali rasanya saat sindiran Feyra justru dimaknai berbeda. Mereka berdua sudah saling bicara cukup lama. Dua cangkir teh hangat juga sudah tandas. Katanya, Rich masih memiliki pekerjaan di bridge. Namun, dia tetap saja tinggal di sini walau Feyra sudah memintanya pergi hingga beberapa kali. "Itu tadi aku mengusir secara halus," ucap Feyra. "Mana ada," balas Rich seraya tertawa. "Kamu malah kayak ngundang aku buat tidur disini." Feyra lantas bangkit sambil meraih lagi bantal dan mengangkatnya hingga batas kepala. Dia sudah bersiap memukul lagi lelaki satu ini. "Keluar!" bentak Feyra. Rich semakin melebarkan tawanya saat melihat Feyra meradang. Sejak dulu, Rich memang gemar sekali menggoda wanita ini. "Keluar nggak!" "Nggak mau," balas Rich seraya menangkap dua batal yang terlempar padanya di waktu yang hampir bersamaan. "Rich!" "Iya, bentar." Rich mengangkat pergelangan tangan untuk menilik jarum jam. "Masih ada waktu lima belas menit lagi." Feyra akhirnya mengalah pada lelaki yang sejak dulu memang selalu keras kepala. Jika dilawan, Rich akan semakin bertingkah menyebalkan. Seperti halnya sekarang. Feyra sudah menyindir, menyuruhnya pergi dengan halus, bahkan mengusirnya dengan kasar, tapi Rich justru melempar tubuhnya ke atas ranjang. Doctor cabin memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan kabin yang ditempati kru biasa. Kabin milik pekerja kapal yang berjejer di geladak bawah memiliki ruangan yang lebih kecil dan hanya berisi single bed, meja, dan lemari. Bahkan ada pula yang diisi oleh dua kru dalam satu kabin. Berbeda dengan kabin milik Feyra dan beberapa officer lain yang sudah dilengkapi dengan mini kitchen, sofa kecil, televisi, dan juga kasur berukuran double. Jadi, tidak akan terlihat memakan tempat saat Rich merebah di salah satu sisi ranjang miliknya. "Sini," ucap Rich seraya menepuk sisi tempat tidur yang masih kosong. "Nggak." "Astaga, enggak bakal aku apa-apain. Sini buruan," titah Rich seraya menata sebuah bantal untuk Feyra. "Emang kamu nggak dicariin?" "Enggak. Semua ada waktunya," balas Rich seraya meraih bantal dan menempatkan di bawah kepalanya sendiri. Demi memanfaatkan waktu yang tinggal tersisa sedikit, Feyra akhirnya menyerah dan menuruti permintaan Rich. Dia mendaratkan kepala pada bantal dengan bagian leher yang ditumpu oleh lengan Rich yang terasa liat. Mereka tak bicara banyak. Keduanya berkomunikasi perantara belaian lembut yang saling mengusap di bagian punggung. Mereka seolah menemukan rumah yang sebelumnya tak pernah ditemui. Masing-masing dari keduanya menjadi tempat berlabuh di mana rasanya sangat berat untuk pergi saat pada akhirnya kebersamaan ini harus diakhiri. Rich tercipta untuk selalu tepat waktu. Dia tetap harus keluar dari kabin Feyra di menit ke lima belas. Tak ada toleransi, tak ada perpanjangan waktu. Anjungan menjadi tempatnya untuk menghabiskan malam ini, walau sebenarnya dia ingin bersama Feyra hingga pagi. Saat matahari mulai memberi warna pada semesta, Kai datang menyusul Rich ke ruang anjungan. Dia menggantikan Rich mengawasi area kerja mereka, sementara Rich menuju captain cabin melalui sebuah pintu penghubung. Rich tak pernah memiliki banyak waktu untuk beristirahat. Setelah sejenak merebah dan membersihkan diri, dia sudah turun ke bagian mesin. Seorang officer melaporkan bahwa ada sedikit masalah di sana. Hingga sore hari, dia sama sekali tak melihat Feyra. Mereka hanya sejenak bersitatap dari kejauhan saat mereka sama-sama hadir di acara hiburan malam. Sayangnya, Rich tak bisa berlama-lama berada di sana. Cuaca sedang cukup buruk. Dia harus mengecek radar dan sebagainya. Dua hari ini memang menjadi waktu yang sangat sibuk. Rich hampir tidak pernah meninggalkan anjungan, sementara Feyra juga menghabiskan waktu lebih lama di klinik. Gelombang air yang sedang cukup tinggi membuat banyak penumpang mengeluhkan gejala mabuk laut. Ada beberapa yang menderita mual, muntah, dan juga sakit kepala. Beruntung mereka dipertemukan keesokan harinya saat Feyra melakukan santap pagi. Rich sempat berniat menawarkan Feyra untuk bergabung di meja yang sama. Sayangnya, lagi-lagi keberuntungan tak berpihak pada mereka. Feyra masih mengunyah sandwich saat seseorang menghubunginya untuk segera menolong seorang pasien anak-anak. Tanpa menghabiskan gigitan terakhir, Feyra segera beranjak dari tempat duduk dan hanya sedikit tersenyum ke arah Rich. Merasa perlu sejenak bertemu, Rich lantas mengejar Feyra dan berhasil menghentikan langkahnya saat keduanya berada di area tangga. Ini bukan waktu yang tepat, tapi Feyra masih membiarkan Rich berucap. "Nanti selesai jam berapa?" tanya Rich. "Belum tau, Rich. Belakangan ini ada banyak pasien." Keduanya saling melempar pembicaraan sambil terus berjalan. Mereka sama-sama tak mau membuang waktu, tapi juga sekaligus ingin sedikit meluangkan waktu. "Jam 6 sore biasanya aku bisa turun buat istirahat makan malam," ucap Feyra. "Aku nggak bisa. Aku harus di bridge dari sore sampai jam 8," jawab Rich. "Jam 1 siang?" "Justru itu jam sibuk buat aku, Rich." Sejenak mereka saling tatap. Keduanya sama-sama mendesah lelah. Hanya ingin sekedar menghabiskan waktu berdua, tapi mereka harus menunda. Sejak beberapa hari yang lalu hingga sekarang, mereka gagal bertemu di satu waktu. "Setelah jam 8 malam?" tanya Feyra meminta pertimbangan. "Aku masih harus turun ke deck bawah. Kerjaanku banyak banget, Fey." "Kalo gitu selesein semua dulu, baru kita ketemu. Nanti malam? Jam berapa pun itu," tanya Feyra lagi. Rich menarik napasnya berat, lalu mengangguk. "I'm not sure. But we'll see." Feyra tersenyum sambil sedikit mengusap tangan dan pipi Rich. Dia seperti sedang memberi kekuatan agar mereka sama-sama lega dan lapang. Pekerjaan mereka memang menuntut untuk menjadi nomor satu sekalipun hati mereka sedang sangat merindu. "I have to go. Aku buru-buru, Rich." "Ok then. Go ahead." Begitu ucapan itu keluar dari mulut Rich, Feyra lantas setengah berlari menuju sebuah pintu penghubung. Saat setengah badannya sudah menghilang, dia kembali menolehkan kepala ke arah Rich. Lelaki itu masih saja memanggilnya. "Fey!" "Apa lagi?" "Nanti jangan kunci pintu, kecuali kalo kamu mandi atau tidur," titah Rich. Feyra sempat ragu untuk menuruti permintaannya, tapi pada akhirnya dia mengangguk dan berkata, "Iya." Sebenarnya Feyra juga tak yakin apakah Rich akan benar-benar datang ke kabinnya malam ini. Dia paham tentang betapa sibuknya lelaki itu, apalagi di saat kapal berada di tengah cuaca yang kurang mendukung. Walau begitu, entah mengapa dia tetap ingin menunggu. Biasanya Feyra sudah terlelap saat jam melewati waktu tengah malam. Namun, kali ini dia memilih tetap duduk di kursi sambil membaca sebuah buku cerita romansa. Pintu kabinnya tak terkunci sesuai permintaan Rich. Berkali-kali Feyra menoleh ke arah handle yang masih tak bergerak sama sekali. Ada sedikit harapan tentang kedatangan lelaki itu sebentar lagi. Walau begitu, dia tak ingin berharap terlalu banyak. Saat pada akhirnya Feyra berdiri dan menutup buku yang mulai terasa membosankan, Rich akhirnya benar-benar datang. Lelaki itu membuka pintu dengan gerakan pelan. Begitu masuk ke dalam, dia reflek menarik kedua bibirnya dengan cukup lebar. "Finally," ucap Rich sambil bernapas dengan lega. Dia melangkah dengan gerakan setengah berlari. Kurang dari dua detik, Rich sudah menarik tubuh Feyra untuk merapat padanya. "Udah selesai?" tanya Feyra. "Ada yang belum." "Terus?" "Nanti lagi. Ada waktu dua puluh menit," jawab Rich seraya mengeratkan pelukannya yang sudah erat. "Sekarang jangan bahas kerjaan dulu." Feyra mengerti. Rich tampak kelelahan dengan kantung mata yang terlihat berat. Anehnya, dia tetap mengorbankan waktu istirahatnya demi bisa berdiri di tempat ini. Masih tanpa melepas peluk, Feyra lantas menggerakkan jemari tangannya untuk sedikit memijat bagian punggung Rich. Soal ini, Feyra tak banyak tahu, tapi dia bisa mengerti bagian tubuh mana yang kaku. "Lepas dulu peluknya," pinta Feyra. Rich seperti enggan mendengarkan permintaan Feyra. Dia terus bertahan dalam posisinya tanpa peduli jika saja ada seseorang yang melintas di depan kabin. Suasana memang sudah sepi dan senyap, tapi Feyra tetap merasa keadaan belumlah aman. "Rich," bisik Feyra sambil masih memijat bagian pinggang. Rich lantas melonggarkan lilitan tangannya. Sejenak mereka saling berpandangan seperti dua orang kekasih yang telah lama tidak berjumpa. Detik selanjutnya, Rich menunduk mencari letak bibir Feyra. "Enggak, Rich," lirih Feyra seraya menolehkan wajahnya. Feyra masih takut karena pintu yang belum tertutup. Dan seolah mengetahui apa yang Feyra pikirkan, Rich lantas berbalik, menutupnya pelan, kemudian menguncinya dari dalam. Tanpa mau membuang waktu, Rich segera kembali ke hadapan Feyra dan menangkup kedua pipinya. Sayangnya, Feyra masih saja berusaha menolak. "Enggak." "Why?" tanya Rich dengan nada suaranya yang sangat rendah. Kepala Feyra menggeleng sambil terus melontarkan penolakannya dengan lirih. Mulutnya berkata tidak, tapi ... ah, tatapan mata Rich terlampau menggoda. Ada gelora yang sudah berkobar di sela sorot rapuh, sendu, dan juga rindu. Rich masih melakukan percobaannya satu kali lagi hingga kedua bibir mereka hampir bersentuhan. Hampir. Hanya hampir. Jaraknya hanya tinggal setipis kertas, tapi Feyra sontak tersentak mundur. Wanita itu bahkan sedikit meneriakkan nama Rich dengan cukup kencang dan kasar. Feyra menolak dan sedikit memberontak. Bukan tanpa alasan, Feyra tiba-tiba melihat bayang wajah Freddy melintas di kepalanya. Ada rasa perih yang muncul di hati Rich. Dia merasa kecewa sekaligus bingung di waktu yang sama. Namun begitu, Rich akhirnya bisa mengerti. Tanpa mau menunggu dua puluh menit, Rich akhirnya memutuskan untuk kembali ke tempat kerjanya. Tangannya sempat mengusap ujung kepala Feyra, lalu membuka lagi pintu yang semula sudah ia kunci. "Kalo gitu, sampai jumpa besok pagi," pamit Rich. Begitu Rich berlalu, Feyra terduduk di depan meja sambil menatap bayang dirinya di hadapan cermin. Lima detik pertama, wajah itu masih tanpa ekspresi. Saat memasuki detik ke enam, matanya mulai menumpahkan tangis. Feyra merasa telah menyakiti Rich dan tengah menyiksa dirinya juga. Dia paham bahwa ada cinta kepada Rich yang tahtanya berada di posisi pertama, mengalahkan kedudukan suaminya. Dia juga sadar bahwa sekujur tubuhnya juga menginginkan apa yang Rich inginkan. Namun, Feyra masih terlampau takut. Rasanya ingin sekali membelah tubuhnya menjadi dua, yang satu tetap berpegang teguh pada norma untuk menjadi istri yang bersetia pada suami, sedang yang satu menuruti kata hati. Saat ini, Feyra benar-benar tak bisa menimbang tentang sisi mana yang akan dia pertahankan. Jujur saja, dia tak pernah bahagia saat menikah dengan Freddy. Dia hidup dalam cangkang yang menyakitkan. Feyra terus bertahan sambil terus menutupi luka dan berkhayal tentang kedatangan seseorang yang sekiranya bisa menariknya keluar dari sana. Sayangnya, begitu lelaki yang dia harapkan sudah ada di depan mata, Feyra justru kehilangan nyali. Tidak belum cukup berani. Rasanya takut sekali. Bukankah dia sudah berselingkuh? Atau belum? Jika memang sudah, maka bolehkah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD