9. Kobaran Api

1138 Words
Feyra dan Snow berjalan terburu-buru menuju kabin penumpang. Katanya, ada seorang pria tua yang sakit. Dia tak bisa datang kesini. Jadi, Feyra yang terpaksa harus memeriksa ke kabinnya langsung. "Snow, ada yang ketinggalan. Tolong ambilin di meja depan," ucap Feyra saat mereka berbelok di sebuah lorong. Setelah Snow pergi, Feyra kembali melanjutkan langkahnya. Seharusnya kru kapal tak boleh ada di area ini. Hanya para room steward yang bisa keluar masuk di kabin penumpang. Namun, situasi yang mendesak seperti ini adalah pengecualian. Baru saja Feyra menginjakkan kaki di lantai kabin penumpang, seseorang menarik sebelah tangannya dari belakang. Feyra sempat berteriak, tapi kedua bibirnya langsung mengatup begitu melihat siapa pelakunya. "Ngapain disini?" tanya Rich seraya memicingkan mata. "Mau periksa pasien. Dia nggak bisa dateng ke infirmary." "Kamu sendiri? Siapa pasiennya? Cewek apa cowok?" Feyra tersenyum hampir tertawa mendengar pertanyaan dari Rich. Lelaki itu tak pernah bisa menutupi ekspresi cemburu. Bahkan terkadang tingkahnya terlalu berlebihan. Pencemburu akut. Mungkin Rich berkaca pada dirinya sendiri. Dia suka bermain dengan banyak lawan jenis. Jadi, dia akan berpikir dan juga khawatir jika saja Feyra melakukan hal yang sama. "Cowok, ganteng," canda Feyra. "Oh, c'mon, Fey" "Udah ah, aku buru-buru," tegas Feyra seraya melepas genggaman tangan Rich. "Kamu marah?" tanya Rich "Nein. Marah buat apa?" Rich meringis menampakkan deretan giginya. "Gara-gara malam itu mungkin?" "Enggak, Rich." "Tapi kamu nggak keliatan dari kemaren. Aku nyari kemana-mana, tapi kamu nggak ada. Kabin kamu juga ... dikunci." Feyra tertawa mendengar pengakuan Rich. Dia tak menyangka bahwa ternyata Rich masih nekat datang di malam berikutnya. Rich lantas berucap bahwa kini dia sudah bisa mengerti akan kebimbangan yang Feyra miliki. Dia paham tentang rasa tak nyaman pada hati Feyra penyebabnya adalah Freddy. Rich berucap bahwa dia bisa memahami. Namun dalam hati, Rich bersumpah tak akan membuat Feyra bimbang mulai dari sekarang. Bukan untuk mundur, melainkan justru lebih maju ke depan. Rich akan berusaha membuat Feyra yakin agar pilihan Feyra lebih berat kepada dirinya dibandingkan suaminya. Dengan begini, bukankah Feyra tak perlu lagi memikirkan tentang Freddy? "Peluk dulu kalo nggak marah," pinta Rich. "Dih. Nggak! Aku buru-buru," tolak Feyra seraya melompat menjauh. "Buruan," paksa Rich yang sudah berhasil meraih lagi tubuhnya. "Lima detik doang." "Rich, aku harus periksa pasien." "Kondisi gawat darurat?" "Enggak si, tapi ... ." Rich segera memotong ucapan Feyra dengan sebuah tarikan tangan. Tubuh mereka berbenturan, lalu kemudian saling tenggelam dalam rengkuhan. "Kangenku lebih gawat darurat," lirih Rich tepat di telinga Feyra. Kulit tubuh Feyra sempat meremang. Namun, detik selanjutnya badannya berubah menegang. Suara langkah kaki Snow mulai terdengar oleh telinga, dan Feyra harus mengakhiri sesi keintiman ini. Tanpa perlu basa-basi, Feyra segera beranjak menjauh dengan langkah panjang. Pun dengan Rich yang sudah berjalan ke arah yang berlawanan. Tepat waktu. Tak ada tanda-tanda rasa curiga dari Snow. Dia menyusul Feyra dengan cepat setelah terlebih dahulu menyapa Rich dengan sapaan sopan. "Ini, Dok," ucap Snow seraya menyerahkan sekotak obat yang sebelumnya dia ambil. "Thank you." Feyra tersenyum lebar. Sebenarnya bukan semata-mata karena Snow telah membantunya, tapi karena dia tak membahas apapun tentang Rich. Artinya, dia tak tahu apa-apa. Artinya, dia tak melihat apapun juga. "Bener ini kamarnya?" tanya Feyra yang kemudian diiyakan oleh Snow. Saat Feyra dan Snow masuk, barulah mereka sadar bahwa pasien mereka adalah Vincent, suami Nam. Feyra tak mungkin lupa, sebab mereka adalah pasangan legendaris yang sempat menjadi bintang di kapal ini. Selain itu, berkat dia pula Feyra bisa kembali dekat dengan Rich. "Oh mon Dieu, ternyata partner dansa saya kemaren itu seorang dokter," ucap Vincent saat Feyra masuk. "Iya, Tuan Vincent," balas Feyra seraya meminta izin untuk mulai memeriksa. Vincent tergolek lemas di atas tempat tidur. Dia mengaku sudah mengkonsumsi obat pribadi, tapi muntahnya tak kunjung mereda. Sang istri mengatakan bahwa suaminya ini enggan bertemu dengan dokter. "Dia takut jarum suntik, Dok," terang Nam. "Tapi kalo suntiknya sama dokter, saya mau," sambar Vincent. Nam lantas mencibir, sementara Feyra hanya tersenyum. Heran saja. Sedang sakit, tapi masih saja sempat menggoda. Pemeriksaan tidak berlangsung lama. Sebenarnya tak ada masalah yang berarti. Hanya saja, kakek satu ini memang takut diperiksa, sedangkan istrinya terlalu khawatir karena muntahnya tak kunjung mereda. Setelah mengecek obat-obatan pribadi milik Vincent, Feyra lantas memberinya dua jenis obat tambahan. Ajaibnya sebelum meminum obat itu saja, Vincent mengaku bahwa perutnya sudah tak lagi terasa mual. "Rayu aja terus. Udah tua bukannya tobat," sahut Nam. "Bercanda, Chérie," balas Vincent. "Lagian dia lebih cocok sama Kapten Heinrich." "Aku setuju. Waktu dansa berdua di malam itu, kalian berdua keliatan serasi," timpal Nam. Feyra tampak tertawa canggung. Dia juga merasa sedikit tidak enak saat harus membahas perkara seperti ini bersama tamu kapal. Apalagi ada Snow, si tukang gosip yang hobi membicarakan Rich. Sesuai dugaan. Begitu mereka keluar dari kabin, hal pertama yang Snow tanyakan adalah perihal kebenaran ucapan Vincent dan Nam. Dia tak menyangka bahwa Feyra bisa berada di lantai dansa bersama sang kapten kapal. "Nggak sengaja. Awalnya aku sama Mr. Vincent, terus Kapten Heinrich sama Mrs. Vincent. Di lagu terakhir, kami bertukar pasangan. Cuma itu aja," terang Feyra. "Jantung aman kan, Dok?" "Maksudnya?" tanya Feyra pura-pura biasa saja. "Nggak baper dansa sama titisan dewa?" Feyra lantas tertawa sambil menggelengkan kepala. Sedangkan Snow ikut menyahut sambil berucap syukur. Dia takut Feyra menjadi korban Rich selanjutnya. Dulu, Snow juga pernah bekerja di kapal yang sama dengan Rich. Saat itu, Rich masih menjabat sebagai first officer. Katanya, Rich juga suka mengajak seorang perawat berdansa. Begitu acara berakhir, Rich membawanya ke kabin miliknya. "Dua manusia dewasa ada di kabin yang sama nggak mungkin cuma main kartu doang kan?" ucap Snow. "Nggak usah gosip." "Ya Tuhan, beneran, Dok. Kan aku udah pernah bilang, kalo aku nggak bakal mau sama dia, soalnya dia ceweknya banyak. Perawat yang dulu itu namanya Caroline, temen aku juga. Kalo yang satu, aku lupa namanya. Dia dokter asal Norwegia." Feyra sontak berhenti dan menoleh ke arah Snow. "What? Dua orang?" Snow mengiyakan dengan kelopak mata yang berkedip dengan lugunya. "Itu dari departemen kita. Ada juga kok dia tidur sama anak departemen perhotelan." Feyra hanya diam dan terus berjalan. Dia tak ingin menyahut. Bungkam lebih baik. Feyra takut jika saja Snow bisa mencium aroma kobaran api dalam dadanya. Apakah hasrat main-main di dalam diri Rich belum juga sembuh di usianya yang sudah kepala tiga? Di sela mulut yang tertutup, batin Feyra sedang sibuk mengumpat. Benaknya terbang menuju kenangan bertahun-tahun silam. Rich ternyata masih sama seperti dulu. Sialann! Bisa-bisanya Feyra masih menaruh hati lagi pada seseorang yang sebrengsek ini. "Jadi gimana, Dok? Nggak baper kan? Hatinya masih aman atau sempet deg-degan?" Feyra berusaha tertawa lagi. Kali ini dia berjuang agar suara dan ekspresinya terlihat senatural mungkin. Soal berdansa dengan Rich, hatinya masih dalam kategori aman. Justru yang membuatnya menjadi berantakan adalah sesuatu yang baru saja Snow ceritakan. Bergelut di atas tempat tidur bersama Rich, Feyra sama sekali belum pernah. Sialnya, puluhan wanita di luar sana ternyata sudah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD