12. Terlampau Nyaman

812 Words
Rich berkali-kali mengatakan berbagai ungkapan cinta. Dia bersumpah bahwa rasa sayangnya kepada Feyra sejak dulu masih ada. Lelaki itu bahkan dengan yakin menjamin agar tak ada lagi perdebatan tentang wanita lain. "Trust me, Fey. Kasih aku kesempatan, dan kasih dirimu sendiri kesempatan buat mulai lagi sama aku," lirih Rich. "You still love me, right?" Dia tengah menunduk di hadapan Feyra yang sedang duduk. Tangannya menangkup kedua tangan Feyra dan sesekali menciumnya. Rich bukan seseorang yang terbiasa meminta dan memohon. Namun, kepada Feyra dia bisa melakukannya. "Nggak akan mudah, Rich. Aku wanita bersuami." "Aku tau. Aku nggak akan paksa kamu buat ninggalin dia. Aku nggak akan nuntut status atau apapun. Aku juga nggak akan minta apa yang belum bisa kamu kasih. Aku cuma pengen kamu terima dulu kehadiran aku, kamu akui dulu perasaan kita, dan kita jalani dulu. Setelah ini, apa pun yang akan terjadi, kita bisa hadapin bareng-bareng," tegas Rich sambil sedikit meremas jemari tangan Feyra. "Aku nggak ngerti gimana caranya, Rich. Kita nggak pernah tau apa yang terjadi di masa depan." Rich tersenyum. "Justru itu. Kamu cuma perlu jalanin aja, tanpa perlu khawatir atas sesuatu yang kita nggak tau. Masa depan bakal selalu jadi misteri." Kedua mata Feyra mulai berembun. Dia lantas menunduk menenggelamkan kepala pada kedua lengan yang ia tekuk. Tak lama setelahnya, bahunya mulai bergerak seirama dengan suara sedu sedan. "Aku takut, Rich," ucap Feyra dengan suara yang bergetar. "Semua bakal baik-baik aja. Kalaupun nggak baik, aku bakal berusaha buat bikin kamu baik-baik aja." Feyra ingin menyangkal, tetapi gagal. Sejak dulu, Rich memang selalu menjadi sosok yang paling mengerti. Terlepas dari masa lalunya yang gemar bermain dengan wanita, Feyra akui bahwa Rich tetaplah lelaki yang mendekati sempurna. Bahkan di saat mereka sempat berdebat seperti tadi, tak sekalipun Rich berkata kasar atau bernada membentak. Rich tegas di waktu yang memang diperlukan sebuah ketegasan. Pembawaannya memang cenderung keras. Namun, Rich memiliki tutur dan tangan yang lembut saat berhadapan dengan dirinya. Segala yang ada pada diri Rich sangat jauh berbeda dengan Freddy. Suaminya cenderung pendiam, tapi suka mengumpat saat berdebat. Di beberapa waktu ketika mereka bersitatap, tak jarang Freddy melibatkan sebuah pukulan tangan. "Rich, aku lebih takut nggak bisa ngasih apa-apa ke kamu," ucap Feyra begitu tangisnya mereda. "Don't be. Aku nggak pernah minta apapun." "Maksudku, tentang hubungan kita ke depannya. Aku nggak yakin bisa sama kamu dan aku nggak yakin bisa bikin kamu bahagia," terang Feyra. Rich mengangguk seraya melengkungkan kedua bibirnya. Masih tak melepaskan tatapan mata, Rich kemudian mengulurkan tangan ke arah wajah Feyra. Jemarinya mendarat pelan di kedua pipi Feyra untuk kemudian memberikan sebuah usapan lembut. "Dari dulu, kamu suka pesimis, padahal sebenernya kamu mampu. Kamu juga insecure, padahal nyatanya kamu udah sebaik dan sesempurna itu di mata aku. Kamu emang kadang seenggak percaya diri itu. Tapi walaupun begitu, aku tetep milih kamu." Feyra selalu benci dengan kata-kata manis. Apalagi jika itu keluar dari mulut Rich. Namun, kali ini sepertinya akan menjadi pengecualian. Di sela kekacauan hati dan pikirannya, Feyra mulai menerbitkan sebuah kepercayaan dan juga harapan. Mungkin kesempatan bahagia bersama Rich memang terbilang sulit. Namun, kali ini Feyra memilih untuk percaya pada Rich. "Boleh aku disini dulu? Seenggaknya sampe besok sebelum matahari terbit," pinta Rich. Feyra tidak melarang, tidak pula mengiyakan. Namun, dia menggeser posisi duduknya untuk memberi ruang pada Rich agar bisa bersisian di tepi ranjang. Feyra tak bicara, tetapi dia mengisyaratkan bahwa Rich boleh tinggal di kabinnya lebih lama. Mereka sudah saling terdiam selama hampir satu jam. Saat Rich melihat kedua mata Feyra mulai berat, dia lantas menuntun Feyra untuk berbaring di atas tempat tidur. Setelahnya, Rich mengambil posisi tepat di sebelahnya. "Tidur, istirahat. Kamu pasti capek," ucap Rich seraya membenarkan letak bantal. Rich berbaring miring ke arah Feyra. Tangan kanannya menumpu kepalanya sendiri, sedangkan tangan yang kiri terulur mengusap kepala dan punggung Feyra. Beberapa kali, Rich masih mendapati Feyra terisak. Dia tak pernah melarang wanita itu menangis. Rich hanya mengusap pipi Feyra yang basah, kemudian memberikan ketenangan perantara sebuah pelukan. Saat mulai memasuki waktu dini hari, barulah Feyra bisa tertidur pulas. Napasnya teratur. Wajahnya polos dengan pipi yang menampakkan bekas basah. Kantung matanya juga masih tampak sembab. Dadanya terasa perih saat melihat Feyra terlihat rapuh seperti ini. Walau begitu, ada satu hal yang membuat Rich tersenyum. Entah sadar atau tidak, Feyra terus memeluk tubuhnya. Dia mengalungkan sebelah tangannya seolah tidak memperbolehkan Rich pergi. Manis sekali. "Ich liebe dich, Fey," ucap Rich dengan suara berbisik. Sepanjang mereka merajut kasih, ini adalah kali pertama mereka terlelap di atas tempat tidur yang sama. Memang bukan sebagai sepasang kekasih, tapi sebagai sepasang manusia yang saling memberikan kasih. Salah? Mungkin iya. Tak seharusnya mereka berdua bersama walau tidak melakukan apa-apa. Tapi untuk pertama kali juga, keduanya berani mendobrak norma. Meneguk rasa cinta yang dinilai tidak seharusnya ada. Mereka seperti terikat dengan ikatan yang sangat kuat. Sangat menjerat, tapi mereka bisa apa jika ikatan itu terlampau nyaman?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD