13. Keluar dari Penjara

1219 Words
Feyra membuka mata sambil terus mencerna ingatan semalam. Dia yakin bahwa Rich masih ada di sini sesaat sebelum dirinya terlelap. Namun saat Feyra bangun dari tidurnya, lelaki itu sudah tak ada. Sambil masih terbaring, Feyra mengulurkan telapak tangan ke sisi ranjang sebelahnya. Beberapa kali Feyra menepuk, lalu kemudian sedikit meraba. Bekas tempat tidur Rich masihlah hangat. Bagian ujung selimut pun hanya sedikit yang tersibak. Saat Feyra bangkit dan mengambil posisi duduk, matanya segera beralih ke area atas nakas. Lelaki itu meninggalkan secangkir teh dengan asap yang masih mengepul. Bisa dipastikan Rich belum lama meninggalkan kabin milik Feyra. "Selalu kemanisan," keluh Feyra saat ia menyesap sedikit minuman buatan Rich. Sejak dulu, keduanya memiliki selera yang sedikit berbeda. Feyra suka teh dengan sedikit gula atau tak jarang juga tanpa gula. Sedangkan Rich, dia selalu menambah lebih banyak gula walau Feyra sudah sering mengingatkan tentang bahayanya terlalu banyak gula bagi kesehatan. Masih aja keras kepala, batin Feyra. Setelah mandi dan berganti, Feyra lantas mengambil sarapan pagi. Sejak malam tadi, entah mengapa hari-harinya terasa lebih indah. Ada sedikit beban yang berhasil Feyra lepaskan. Dia merasa seperti beberapa tingkat lebih bahagia dari hari biasanya. Feyra juga menjadi semakin banyak tersenyum dan tertawa. Mungkin bagi Mike dan beberapa rekan perawat, perubahan itu tidaklah signifikan. Nyaris tak terlihat, karena dari dulu Feyra memanglah terkenal ramah. Namun, bagi Feyra sendiri, hal yang satu ini begitu terasa. Dia bisa menarik bibir dan tergelak dengan lebih lepas tanpa perlu memikirkan beban yang ia tahan. Pekerjaan dan aktivitas di atas kapal memang terasa semakin menyenangkan. Walau begitu, Feyra tetap masih menolak saat Ava dan Snow mengajaknya turun ke bar di geladak bawah. Bukan apa-apa, Feyra memang lebih memilih tinggal di kabinnya tiap malam, menunggu Rich yang akan selalu datang. Lelaki itu mulai terbiasa menghabiskan waktu istirahatnya bersama Feyra. Terkadang mereka terlelap bersama hingga pagi, dan sesekali hanya satu atau bahkan setengah jam. Walau masih ingin menyalurkan rindu, Feyra tetap harus memahami kesibukan dan pekerjaan Rich yang tidak menentu. "Malam ini aku nggak bisa lama. Aku harus standby di bridge. Sebentar lagi kita sampai di Genoa," ucap Rich begitu ia masuk dan melepas penutup kepala. Feyra mengangguk dan berucap bahwa tak masalah jika Rich harus kembali bekerja. Tak apa. Mereka masih punya waktu setidaknya satu jam dari sekarang. Begitu tubuh mereka saling mendekap, detik jam seolah bergerak lebih cepat. Ingin rasanya memberhentikan waktu, tetapi yang mereka bisa hanyalah memburu waktu. Feyra suka sekali aroma tubuh Rich. Baunya maskulin, tidak terlalu menusuk hidung, dan selalu terkesan segar. Rambutnya yang dipotong pendek dan rapi selaras dengan postur badan yang terpahat sempurna. Setiap titik adalah favoritnya. Feyra tak pernah alpa mengabsen bagian pundak, punggung, dan juga perut yang berbentuk. "Fey," bisik Rich yang tengah menenggelamkan kepala Feyra di dalam dekapannya. "Iya?" "Liat aku." Saat mata mereka bertemu, keduanya sama-sama menemukan tatapan yang sudah banjir akan adrenalin. Tubuh mereka seolah mendapat dorongan untuk bergerak lebih dekat. Semakin dekat dan semakin dekat. Hidung mereka sudah saling bersentuhan. Deru napas yang mendarat di atas permukaan kulit terasa hangat. Perlahan, secara sadar, mereka mulai saling menautkan bibir yang setengah terbuka. Begitu keduanya bersentuhan, mata mereka lantas memejam. Berawal dengan menyesap, lalu saling berpagutan. Di sela sentuhan dan rabaan, keduanya saling membangun keintiman. Sentuhan Rich di kedua sisi wajah Feyra semakin membawa ciuman mereka menjadi lebih dalam. Ini luar biasa. Sebuah interaksi sederhana, tapi sudah mampu membawa mereka seolah terbang. Lutut yang melemas membuat Feyra sedikit memundurkan kedua kakinya. Dengan sebuah kesigapan, Rich lantas mengangkat tubuh Feyra dan mendudukkannya di atas meja. Memang sedikit berganti posisi, tapi tak sedikit pun mereka membiarkan kedua bibir itu berjarak. Tetap saling memberikan rasa nikmat. Rich tak lagi segan menyentuh bagian tubuh yang sebelumnya tak pernah ia pegang. Dia membiarkan sebelah tangannya bergerilya di bagian depan tubuh Feyra. Sesekali Feyra harus meremas lengan dan juga rambut Rich akibat terlalu tenggelam. Sungguh memabukkan. Ciuman itu begitu manis. Rich bergerak dengan cukup terburu, tetapi bibirnya tetap terasa lembut. Ada cinta di balik setiap cecap. Sebuah rasa yang tak pernah mereka dapat saat bersama lawan jenis lainnya. Hanya ada di antara masing-masing dari mereka berdua. Hanya mereka. "Ich liebe dich, Fey. Jangan pernah pergi lagi," ucap Rich saat sejenak ia melepas tautan bibirnya. "Never." Di sisa waktu yang tinggal sedikit, mereka kembali melepas gelora yang sudah membuncah. Waktu terus berlari. Detiknya seolah terus mengejar mereka, mencipta sebuah langkah yang semakin terburu, tergesa, dan sedikit liar. Entah sudah gila atau sejak awal memang sudah tidak waras. Keduanya justru merasa bahagia dan juga puas. Ternyata menakjubkan sekali saat mereka berhasil keluar dari pintu penjara yang sekian lama terkunci. Ada kebebasan walau terjadi di menit-menit yang sangat singkat. Ada kenyamanan walau harus dilakukan secara diam-diam. Sebuah rutukan lantas keluar dari mulut Rich saat jarum jam mengingatkannya untuk segera mengakhiri semua. Ternyata menjadi seorang kapten tidak selamanya menyenangkan. Ada waktu yang tergadai saat seharusnya dia bisa melanjutkan intensitas ini sedikit lebih lama. "Besok kita bakal punya lebih banyak waktu," ucap Rich seraya meraih topi dari atas meja. "I see. Jam berapa sampai di Genoa?" "Sekitar jam 1 siang. Nanti mungkin aku mau turun sebentar, nyari sesuatu buat Sascha." Feyra mengangguk mengerti. Dia sudah lumayan hapal kebiasaan adik perempuan Rich yang suka meminta oleh-oleh kemana pun lelaki itu pergi. Terkadang, saat Rich hanya ke Berlin untuk menemui Feyra saja, Sascha selalu meminta dibawakan sesuatu saat Rich kembali ke Hamburg. "Mau ikut aku?" tawar Rich. Feyra tidak bisa tidak tertawa. "Dan biarin orang liat kita jalan berdua?" Rich ikut tergelak. "Setelah kontrak kita abis, kayaknya aku harus bawa kabur kamu ke Kuba, atau Bolivia, atau pedalaman Afrika. Kita bisa bebas disana." "Nein. Kita ke Kutub Utara" Mereka saling tersenyum tapi ada seberkas rasa perih. Ternyata hanya untuk tampil bersama di luar ruangan ini, mereka tidak serta merta bisa. Setelah melepas sebuah kecupan singkat, Rich lantas naik ke anjungan. Dia bersama beberapa officer lain memantau radar dan juga navigasi untuk bersiap berlabuh di Genoa, Italy. Setelah memastikan semuanya aman, Rich masuk ke meja kerjanya. Ada beberapa hal yang juga perlu diurus oleh Rich, termasuk data dan berkas penumpang. Diamant Cruise Line menerapkan rute one-way pada pelayaran kali ini, dan Genoa menjadi destinasi terakhir. Seluruh penumpang akan turun di Genoa, dan kapal akan dikosongkan. Sekian jam lamanya, Rich mengurus lembaran kertas dan juga buku. Saat mendekati jam dua belas siang, semuanya sudah terselesaikan. Rich lantas mulai berkeliling dan melakukan pengawasan ulang di beberapa departemen. "Mau turun sekarang?" tanya Kai setelah seluruh penumpang sudah turun dari kapal. "Iya, titip kapal sebentar. Sascha udah bawel minta video call. Aku nggak tau barang mana yang mau dia beli." Setelah Kai mengiyakan, Rich segera bergegas menuju sebuah pusat kerajinan. Kamar Sasha sudah penuh dengan pernak pernik tak berguna. Namun, gadis kesayangan Rich itu tetap saja meminta kakaknya untuk membelikan sesuatu yang baru. "Das gefällt mir, Rich," seru Sascha dari balik layar ponsel yang menampakkan wajahnya. "Ok, aku beli yang ini." "Ah, danke bruder." Baru saja Rich mematikan telepon, dia dikejutkan dengan suara seseorang yang berseru memanggil namanya. Rich sedikit menyipitkan mata demi meyakinkan diri apakah orang itu adalah seseorang yang memang Rich kenal. "Rich," serunya sekali lagi. Kedua tangan Rich masih memegang beberapa barang yang akan dia bayar. Dia terdiam sambil berdiri di depan meja kasir. Namun tak berselang lama, wajah Rich akhirnya melepas sebuah senyuman untuknya. "Hai, lama nggak ketemu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD