11. It's Over

1917 Words
Feyra sudah mengecek layar ponselnya berkali-kali. Dia baru saja menghubungkan panggilan dan mengirimkan pesan pada Freddy. Sayangnya, tak ada satu pun tanda-tanda balasan darinya. "Suami?" tanya Mike. Feyra mengangguk mengiyakan. Sambil berjalan menuju ruang makan para officer, Feyra sedikit bercerita tentang suaminya. Freddy baru saja online beberapa menit yang lalu. Seharusnya lelaki itu tahu saat ada panggilan dan pesan yang masuk. "Kangen banget?" goda Mike. Feyra tertawa. "Enggak. Cuma mau ngabarin doang." Sekalipun hubungan mereka tidak harmonis, Feyra tetap selalu memberi kabar pada suaminya. Memang tak berlandaskan cinta. Namun, Feyra melakukan semuanya karena terbiasa. Dia berprinsip bahwa semua aktivitasnya di luar rumah, harus atas sepengetahuan suaminya. "Makan dulu," ucap Mike seraya menyodorkan piring dan segelas minuman. Seluruh penumpang kapal sedang turun mengunjungi tanah Yunani. Ini merupakan keuntungan karena Mike dan Feyra bisa sejenak terbebas dari tugas. Makan siang di satu meja seperti ini termasuk sesuatu yang jarang terjadi. Baru saja keduanya menghabiskan sepotong daging, meja Feyra dan Mike sudah ditambah dengan sepiring menu baru. Bukan milik mereka, melainkan kepunyaan sang kapten kapal. "Rich," seru Mike seraya melambaikan tangan. Wajah sumringah Rich muncul dari arah pintu masuk. Dia sempat mengunci pandang pada kedua mata Feyra. Namun tak lama, Rich lantas beralih menyapa Mike. "Kai bilang kamu lagi turun. Nggak jadi main sama cewek rambut pirang?" tanya Mike. Rich sontak melipat kedua bibirnya. Matanya menatap nyalang ke arah Mike seolah sedang memberikan peringatan. Ceroboh sekali membicarakan hal seperti ini di depan wanita. Terlebih lagi, dia adalah Feyra. Mike hanya meringis, sementara Rich hampir saja melempar sebuah pisau makan ke arah wajah Mike. Dari sudut matanya, Rich masih bisa menangkap ekspresi wajah Feyra yang tampak terkejut. Feyra menoleh bergantian ke wajah Rich dan Mike. Namun tak lama, ia kembali menunduk dan melanjutkan makan siangnya. Tak ingin tampak salah, Rich berusaha terlihat biasa saja. Setelah menarik kursi yang berseberangan dengan Feyra, Rich lantas mulai berkilah. Dia dengan santai mengarang cerita bahwa dia sudah bertemu dengan wanita itu. Mereka sejenak mengobrol sambil minum kopi, dan tak lama Rich sudah kembali lagi kesini. Sepanjang Rich berbicara, Feyra terus saja bersikap seolah dia tak mendengar. Pura-pura tuli, atau bisa juga sedang pura-pura tak mengenal. Sedangkan di sebelahnya, Mike tampak tersenyum sambil mengangguk. Dari bawah meja, kakinya diinjak kencang oleh Rich. Jangan sampai Mike menanggapi dengan ucapan yang tidak-tidak. "Cafe di daerah sini emang cocok buat nongkrong," ucap Mike. Mike dan Rich sibuk mengubah topik pembicaraan. Sementara di sebelahnya, Feyra justru memilih menggulirkan lagi ibu jarinya di atas ponsel yang menyala. Ada kebimbangan di hati Feyra. Dia merasa serba salah. Jika Feyra terlambat memberi kabar pada Freddy, suaminya itu pasti akan menganggap bahwa Feyra sedang melakukan hal yang tidak-tidak. Namun, jika terlalu sering menghubungi, dia takut kalau saja sikapnya ini terlalu berlebihan. Beruntung pada panggilan kali ini, seseorang dari seberang akhirnya mengangkat telepon dari Feyra. Namun, ... tunggu dulu. Suara yang terdengar bukanlah suara Freddy. Seorang lelaki, tapi Feyra yakin kalau dia bukanlah suaminya. "Halo, ini siapa? Dimana Freddy?" tanya Feyra sambil berdiri menjauh dari Mike dan juga Rich. "Temennya. Ponselnya ketinggalan di kapal." Lelaki itu lantas meminta maaf karena terpaksa mengangkat telepon dari ponsel Freddy. Dia mengaku bahwa dia mendengar banyak panggilan. Jadi, dia memutuskan untuk mengangkat. Hanya berjaga-jaga jika saja ada hal buruk yang terjadi. "Ini Feyra? Di sini tertulis nama Feyra Angela." "Iya. Saya istrinya," jawab Feyra. "Wait, what? Istri? Jangan bercanda." Feyra mengernyit tak mengerti. Dia menjawab sekali lagi, tetapi yang tertangkap oleh telinganya hanyalah suara tawa. "Saya emang istrinya Freddy," tegas Feyra sekali lagi. Suara tawa di seberang seketika memudar. "Really?" "Apa ada gunanya saya berbohong?" "Ok, sorry." Feyra samar-samar mendengar suara si lelaki mengobrol dengan orang lain. Sepertinya mereka menggunakan bahasa Prancis, dan Feyra tak tahu apa yang tengah mereka bicarakan. "Ma'am, we're so sorry. Kami nggak ada yang tau soal ini. Setau kami, dia belum menikah. Dia selalu bilang kalo dia masih single." Feyra lantas menjelaskan bahwa pernikahan mereka bahkan sudah berusia enam tahun. Sedangkan dari seberang, si lelaki lagi-lagi mengucapkan beberapa permohonan maaf. Dia mengaku bahwa dia baru saja tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi. "It's ok. Nanti tolong sampaikan aja kalo saya baru aja telepon." "Sure, Mrs. Walter." Panggilan itu segera berhenti, tetapi ponsel yang Feyra genggam masih menggantung di telinga. Tidak. Ini tidak sakit. Hati Feyra juga sudah cukup kebal dengan sikap Freddy yang memang terlalu piawai dalam menyakiti. Feyra tak sedih, tak juga menangis. Dia hanya kecewa, heran, sekaligus tak menyangka. Ternyata selama enam tahun pernikahan mereka, Freddy tidak pernah menganggapnya sebagai istri. Jujur, Feyra juga malas memproklamirkan bahwa dirinya adalah Nyonya Walter. Dia tidak bangga, tidak pula bahagia. Namun, sebagai manusia yang masih memiliki hati dan masih tahu tata cara untuk menghargai, Feyra memang selalu memperkenalkan bahwa dirinya sudah menikah. Bahkan, seluruh penghuni Diamant Cruise Line pun tahu bahwa dia adalah istri Freddy. Sayangnya, yang dia dapat dari sang suami adalah hal sebaliknya. Status dan hubungan sakral yang selama ini Feyra jaga, ternyata tak seberharga itu di mata Freddy. Sungguh menggelitik. It's funny, batin Feyra sambil tertawa getir. Setelah menaruh ponsel di saku celana, Feyra segera menemui Rich dan Mike untuk sekedar pamit dari meja makan. Napsu makannya mendadak hilang. Dia berniat akan tinggal di kabin hingga malam. Feyra baik-baik saja. Dia yakin itu. Namun entah mengapa, kali ini dia merasa butuh waktu untuk sendiri. Hingga jarum jam merangkak naik menuju tengah malam, Feyra masih saja terjaga. Jika dirasakan, Feyra menemukan sebuah amarah di hatinya. Bukan pada Freddy, tapi pada dirinya sendiri. Selama ini, Feyra merasa terlalu lemah untuk keluar dari ikatan pernikahan yang sudah sangat tidak nyaman. Semakin bertambah usia pernikahan mereka, semakin tinggi pula niatan Feyra untuk pergi. Jenuh, jengah, dan juga jemu. Selama ini, Feyra sudah merasa cukup sabar. Namun, kali ini dia mulai merasa bahwa dirinya juga berhak bahagia. Satu per satu pemikiran tentang sumber kebahagiaan lain muncul di kepalanya. Hal pertama yang Feyra pikirkan adalah berpisah dengan Freddy. Dia merasa kebahagiaannya tergadai semenjak gelar seorang istri tersemat pada dirinya. Bukankah sah sah saja jika Feyra ingin mengambil kembali kebahagiaan yang hilang? Awalnya, Feyra sempat berpikir akan bercerai dan kembali ke Indonesia. Namun, ide itu segera ia urungkan. Orang di daerahnya masih terlalu gemar menyematkan stigma buruk pada seorang janda. Dia malas bermasalah dengan lingkungan sosial. Pemikiran kedua, Feyra akan kembali hidup seorang diri di sebuah apartemen di Berlin. Dia berniat melanjutkan studi kedokteran spesialis, lalu berkarir dengan lebih baik lagi. Untuk yang satu ini sepertinya adalah ide terbaik. Saat Feyra menyelami hati dan pikirannya lebih dalam lagi, ia lantas menemukan sebuah sumber kebahagiaan lain pada diri seseorang. Bukan Feyra menggantungkan kebahagiaannya pada diri lelaki satu ini. Feyra tahu, kebahagiaan sejati ada pada dirinya sendiri. Hanya saja, saat bersama dengannya, Feyra merasa dirinya utuh dan lengkap. Dia seperti kepingan yang selama ini Feyra cari. Dia adalah ... . "Rich." Ya. Dia. Lelaki itu. Lelaki yang saat ini tengah masuk ke dalam kabinnya dengan percaya diri. Lelaki yang selalu menyuruh agar pintunya tidak dikunci. "Kok belom tidur?" tanya Rich seraya mendekat ke arah Feyra. "Iya." Rich mulai memindai dan menatap lekat ekspresi wajah Feyra. Sejak pertemuan mereka siang tadi, Rich yakin bahwa Feyra sedang tidak baik-baik saja. Ada sesuatu yang terjadi saat Feyra berbicara di telepon dengan seseorang. Dan Rich yakin, ini tentang Freddy. "Kamu sama Freddy lagi berantem?" "Nggak tau," jawab Feyra sambil tersenyum. "Dari dulu kita emang selalu kayak gitu." "Kenapa masih bertahan?" "Karena dia suami aku." Rich berdecih. Dia mulai tak suka saat otak Feyra berubah tidak logis. Atau mungkin terlalu logis. "Mau sebaik apa pun aku, secinta apa pun aku sama kamu, seberjuang apa pun, kayaknya aku tetep bakal kalah ya sama suami kamu. Kalian punya status. Sedangkan kita?" Feyra bisa melihat Rich yang mulai tersulit api. Lelaki itu cukup peka saat menilai bahwa Feyra sedang bermasalah dengan Freddy. Namun, kiranya Rich belum tahu bahwa otak Feyra sebenarnya sudah merencanakan sebuah perpisahan. Ah, tapi biar saja. Feyra belum berniat menceritakan hal ini kepada Rich. Kali ini, dia ingin sedikit membalas tingkah laku Rich. Dia akan mendebat dengan tidak kalah sengit. "Kamu cemburu?" tanya Feyra. "Iya." "Terus apa kabar aku? Aku cuma ngebagi kamu sama satu orang. Sedangkan kamu? Ada berapa banyak, Rich? Ternyata dari dulu kamu masih nggak berubah. Rich, dulu alesan kita putus itu cuma gara-gara hal satu itu. Tapi kayaknya kamu nggak nyesel sama sekali. Sampe sekarang kamu masih aja kayak gini." "Nein. Nggak, Fey. Asal kamu tau, sejak ketemu kamu lagi, aku nggak pernah tidur sama wanita manapun." Feyra tertawa hambar. "Oiya? Terus tadi kamu ngapain." "Tadi kamu dengar sendiri cerita aku sama Mike, Fey," bohong Rich. "Dan aku percaya? Kamu pikir aku sebodoh itu?" Rich lantas menunduk. Jemari tangannya terulur memijat pangkal hidung. Sejak dulu, Rich tak pernah mampu membohongi Feyra. Kalaupun itu terjadi, wanita itu segera tahu fakta yang sebenarnya. Rich selalu gagal menyembunyikan apapun dari Feyra. "Ok, denger dulu, aku jelasin. Aku emang berencana tidur sama dia. Kita hampir melakukannya. Hampir. Tapi nggak jadi. Kamu tau kenapa? Aku nggak bisa. Kamu tau alesannya? Karena kamu. Aku nggak mau ngerusak kepercayaan kamu lagi buat ke dua kali." Feyra sudah menduga sejak awal mengenai pertemuan Rich dan si gadis. Apa lagi kalau bukan tentang aktivitas di atas ranjang. Namun, saat mendengar pengakuan langsung dari kedua bibir Rich, ternyata hatinya masih saja sakit. "Udah lah, Rich." "Udah apa? Aku berani sumpah, Fey. Trust me, please." Jujur saja, Feyra sulit untuk percaya perihal berhentinya Rich bermain wanita. Di telinganya, itu adalah sesuatu yang seolah mustahil terjadi. "Aku serius, Fey. Aku nggak ngapa-ngapain sama dia tadi. Demi Tuhan," sumpah Rich sekali lagi. "Ok, aku percaya. Terus apa kabar cewek kamu yang lain, Rich? Aku nggak tau siapa aja, tapi aku yakin nggak cuma dia doang kan?" Rich menunduk pasrah. Dia tak tahu harus menjawab apa dan menjelaskan bagaimana. "Ada berapa yang jalan sama kamu? Sepuluh? Dua puluh?" Rich masih terdiam sambil terus menyugar rambut. Separuh dirinya pasrah, separuhnya lagi merutuk. Rich terus menyalahkan dirinya sendiri, mengapa bisa dia menjadi sekeparat ini. "Oh, enggak. Tiga puluh?" lanjut Feyra. "Kok nggak jawab? Atau lebih?" Melihat Rich yang terus bungkam dan tak bergeming, Feyra hanya bisa mendesah lelah. Dia menarik sebelah tangan Rich dan menuntunnya ke arah pintu keluar. Dia berucap, bahwa dia ingin segera beristirahat. "Nggak, Fey. Tunggu," jawab Rich. "Udah, Rich. Aku -" "Feyra!" potong Rich dengan nada suara tinggi. "Kasih aku kesempatan sekali lagi." Lelaki itu lantas mengeluarkan dua buah ponsel. Feyra tahu, sejak dulu memang Rich memiliki dua nomor telepon. Satu khusus untuk keluarga dan beberapa orang terdekat, termasuk dirinya. Sedang ponsel yang berwarna putih, Rich pakai untuk berhubungan dengan teman semusim, orang jauh, juga sederet wanita yang dekat dengannya. Tanpa melepas pandangan mata pada manik cokelat milik Feyra, Rich membuka jendela kabin dan melempar ponsel putihnya begitu saja. Feyra sempat mencegah, tapi semua sudah terlambat. Benda kecil itu sudah tenggelam entah di bagian lautan sebelah mana. "Nggak harus kayak gini juga, Rich," ucap Feyra. "Harus, Fey." Awalnya, Rich memang berencana mengakhiri hubungannya dengan para wanita itu satu per satu. Dia akan menyudahi dengan baik dan memberikan sebuah pelukan perpisahan. Namun, jika situasinya sepertinya ini, Rich menyimpulkan bahwa dia harus menyelesaikannya sekarang juga. Keadaan memaksa Rich untuk mengakhiri semua begitu saja. Secepat ini, dan dalam waktu yang sesingkat ini. Tak ada penjelasan, tak perlu ada pertemuan, dan Rich harus menghilang dari hidup mereka begitu saja. Tanpa aba-aba. Herannya, Rich justru merasa lega. Dia tidak merasa berat sama sekali. Wajahnya juga datar tanpa ada rasa terbebani. "It's over, Fey. Mulai sekarang, aku cuma punya kamu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD