She Is Coming Back

2063 Words
“Habis ini ke mana lo? Buru-buru amat.” Kai dan Biru bersamaan keluar kelas. Mereka baru saja menyelesaikan pertemuan terakhir mata kuliah paling membosankan, yang artinya sebentar lagi mereka akan UAS. “Nongkronglah. Gue diajakin anak acara pensi buat brainstorming,” jawab Biru. Kai berdecak. “Halah, itu Tasya Cuma mau modusin lo doang. Nggak keliatan apa cara dia ngedeketin lo?” Keduanya terus jalan ke parkiran yang jaraknya lumayan jauh, harus melewati kantin dan perpustakaan lebih dulu. Biru menggeleng sebagai jawaban. “Cara dia natap lo aja udah beda. Nggak, cara dia ngomong udah jelas beda banget. Ngomong ke gue pakai nada tinggi, pakai teknik belting juga sih gue rasa. Giliran ngomong ke lo aja lembut banget ngalahin kain sutra.” Penjelasan Kai yang panjang kali lebar itu membuatnya berdecih. Kadang-kadang Kai suka melebih-lebihkan sesuatu. “Nggak usah ditambahin bumbu,” balasnya. Kai berhenti di depannya dan menatap tidak terima. “Siapa yang nambah bumbu? Lo tanya aja sama anak-anak fakultas kalau nggak percaya.” Ia menghela napas dan berjalan melewati Kai. “Lo kurangin tuh nyebarin berita-berita nggak bener. Pusing gue dengarnya.” “Eh lo tuh harus update sama kehidupan kampus.” Kai terus memberikan pencerahan yang sama sekali tidak digubrisnya. “Ya nggak harus sampai ke urusan pribadi juga. Lo tuh harus bisa bedain. Ngurusin hidup sendiri aja belum bener.” Biru melenggang menuju parkiran meninggalkan Kai yang menggerutu. Ia menyalakan mesin dan berangkat menuju kafe, tempat janjiannya dengan Tasya. Letaknya tidak jauh dari tengah kota. Biru memarkirkan mobilnya di area parkir yang cukup luas di belakang kafe. Ia butuh waktu yang cukup lama karena parkiran seluas itu hampir terisi penuh. Ia disambut suara yang riuh dari berbagai arah ketika memasuki kafe. Beruntung Tasya tadi mengabarinya kalau ia sudah memesan tempat. Biru menghampiri salah satu waitress di dekat kasir. Terdengar para wanita yang sedang mengantre berbisik satu sama lain ketika melihat Biru di dekat mereka. “Sorry Mas, atas nama ini di sebelah mana ya?” tanyanya menunjukkan bukti yang diberikan Tasya tadi. Waitress itu sedikit memajukan wajahnya untuk melihat nama dan nomor pemesan lebih jelas. “Oh di sebelah sini Mas, saya antar. Mari.” Pekikan kecewa dari wanita-wanita itu terdengar jelas, namun tetap diabaikannya. Bahkan Biru tidak melihat ke arah mereka sama sekali. Mereka kurang beruntung tidak melihat Biru tersenyum. Tempat yang dipesan Tasya cukup jauh dari meja kasir, tidak ramai seperti area depan dan tengah. Selain itu, sepertinya Tasya memilih ruangan untuk VIP. Terlihat dari interior dan akses menuju ruangan ini cukup tidak banyak orang tahu. “Silakan Mas. Makanan dan minumannya bisa di pesan melalui tablet ini, nanti kalau sudah dipesan bisa diklik tombol ini dan pesanannya akan diproses,” jelas waitress. Biru mengangguk. “Oke, thanks,” jawabnya sebelum waitress kembali ke tempat semula. Selagi menunggu Tasya, ia melihat menu di tablet itu. Kafe ini cukup terkenal, tapi tidak membuatnya betah berlama-lama untuk sekadar mengerjakan tugas, bahkan me time. Tempat ini tidak senyaman empat hingga lima tahun lalu ketika kafe ini masih baru launching. Tidak berselang lama, kebetulan Biru juga sudah selesai memilih pesanan, Tasya datang dan duduk di hadapannya. “Hai,” sapanya. Wajah Tasya sedikit bulat, rambutnya hitam panjang. Matanya berwarna keabu-abuan seperti menggunakan softlens. Biru tidak terlalu memperhatikan lebih lama lagi karena ia langsung memberikan tablet ke perempuan di depannya. “Lo?” tanyanya ketika menerima tablet itu dan membaca menu. “Gue udah pesen.” Tasya mengangguk. Jarinya menggeser pada layar dan tidak butuh waktu lama untuk memesan menu pilihannya. “Gue kirim ya ini.” Biru yang sedang mengecek notifikasi pada ponselnya mendongak seketika dan mengangguk. Ia tidak melihat orang lain yang datang bersama Tasya. Padahal sebelumnya perempuan itu akan mengajak teman-teman satu divisinya. “Yang lain ke mana?” Biru menyimpan ponselnya secara terbalik di atas meja. Tasya menyimpan kedua tangannya ke bawah meja. Wajahnya terlihat pias karena gugup setengah mati. Siapapun yang melihat ekspresi wajahnya bisa menebak kalau perempuan itu sedang mempersiapkan jawaban yang bisa diterima lawan bicaranya. Sejak tadi Biru tidak melepaskan kontak mata di antara keduanya. Tatapan yang diberikan Biru tidak menusuk dan tidak mengintimidasi. Namun, tetap saja ditatap oleh lawan jenis secara intens akan membuat siapa saja merasa gugup. “Mereka lagi survei tempat soalnya yang kemarin kurang oke,” jawabnya. “Ada masalah sama yang kemarin?” “Perizinan yang kemarin nggak sesuai sama timeline yang udah pernah disepakati. Beberapa spot di tempat itu juga terlalu jauh jadi buat keamanan bakal butuh tenaga ekstra, sedangkan anggaran kita nggak bisa sepenuhnya dari danusan.” “Emang sponsor nggak ada?” Percakapan mereka terjeda sejenak. Waitress mengantar dan menaruh semua pesanan mereka berdua ke atas meja. “Silakan dinikmati.” “Sponsor sih ada, tapi banyak banget yang nggak ada respons. Beberapa ada juga yang ngegantung. Dari divisi sponsorship kayaknya juga mereka kurang bisa nge-reach up,” lanjut Tasya dengan suara keluhan setelah pelayan itu pergi. “Kurang berapa persen dananya? Udah coba cari dana cadangan?” Biru mengaduk smoothies blueberrynya. Tasya menggeleng. “Gue kurang tahu kalo itu.” “Menurut lo gimana? Buat gue semua jadi serba nanggung gitu, apalagi ini udah kurang dua bulan lagi dan kita belum fix guest starsnya juga,” lanjutnya sambil bertopang dagu. “Lagian kenapa nggak lo lagi sih yang jadi ketuanya?” “Nggaklah, cukup sekali aja gue. Gantian sama yang lain,” jawabnya. Tahun lalu Biru memegang jabatan ketua untuk acara pensi fakultas yang diadakan tiap tahun ini. Berbeda dengan tahun sebelumnya, Biru memutuskan untuk tidak ambil bagian dalam acara pensi tersebut. “Gara-gara masalah sama Ricky?” tebak Tasya membuat laki-laki di depannya tersenyum miring, tapi kemudian mengendikkan bahu. “Kayaknya semua orang udah tahu masalahnya ya,” kekeh Biru, diikuti Tasya yang terkekeh. “Nama lo bertiga udah dikenal hampir satu kampus mungkin sih,” ejeknya. Biru membulatkan mata tidak percaya. “Nggak segitunya juga kali. Lebay banget.” Perempuan yang kata Kai memiliki perasaan lebih pada Biru itu tertawa lepas melihat perubahan mimik wajah yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Ia tertawa sembari menetralkan degupan yang tidak karuan di jantungnya. “Bercanda doang.” “By the way nanti MC buat pensi siapa aja? Anak UKM Kesenian jadi tampil?” Biru kembali bertanya setelah tawa perempuan di depannya reda. “Kita MC dari penyiar radio lokal sih, is that okay? Gue denger sih jadi Cuma belum dimasukkin ke list rundown terbaru.” Biru mengangguk mendengarkan penjelasan Tasya. “Good kok. Paling tinggal lo koordinasiin sama anak acara yang lain.” “Jangan lupa antar divisi juga saling transparan,” ingatnya sebelum mereka makan pesanan yang telah datang 10 menit lalu. “Habis ini lo ke mana?” tanya Tasya yang menyamakan langkah besar Biru menuju parkiran setelah melakukan payment. “Gue paling prepare aja sih, besok nikahan sohib gue,” jawab Biru sejenak menoleh. Tasya sedikit terkejut, tapi dengan wajah cerah. “Oh ya? Lo jadi groomsmen nih ceritanya?” Biru terkekeh mendengar nada bicaranya. “Kalo nggak dipaksa juga nggak mau gue.” Tasya tergelak mendengar jawaban Biru yang resek itu. Terkadang Biru memang suka kelewat jujur. Anehnya, pengakuan resek itu sama sekali tidak membuatnya ilfeel sama sekali. Entahlah, Tasya menyukai laki-laki itu tanpa alasan. Mungkin karena Biru selalu menjadi dirinya sendiri menjadi alasan terkuat saat ini. “Kalo gitu gue duluan ya,” pamit Biru membuka kunci mobil. Kebetulan mobil mereka letaknya hanya bersebelahan. “Iya, take care.” Tasya melambaikan tangannya. Biru menyalakan mobil dan menurunkan kaca jendela. “You too.” Kemudian melaju meninggalkan tempat itu bersama Tasya yang mengulum senyum. Biru melaju menuju rumah orang tuanya. Walaupun saat ini ia masih belum memiliki unit apartemen atau rumah sendiri, ia sudah mulai menabung sedikit demi sedikit untuk paling cepat kebutuhan lima tahun mendatang. Biru bukan tipikal dewasa muda yang menyusun goals lifenya dengan menggebu. Dia juga tidak begitu tertarik dengan saving mati-matian di masa muda atau YOLO seperti orang pada umumnya. Ia cenderung biasa saja. Saving tapi tidak gila-gilaan, YOLO tapi juga tidak wajib. “Ma, Biru pulang.” Biru membuka pintu utama dan menutupnya kembali. Biru celingukan, rumah tampak sepi. Hal yang biasa sebenarnya. Lagipula kakaknya, Greyson, sedang pergi ke luar negeri karena urusan pekerjaan. Sementara adiknya, Owen, sudah pasti masih di sekolah. Ia berjalan gontai menuju kamar yang terletak di belakang persis sebelah kolam renang. Punggungnya langsung menempel pada kasur dengan kaki menggantung. Biru menghela napas. Ia berpikir harus menyiapkan apa saja untuk acara Dimas besok. Ia rasa mamanya sedang tidak di rumah. Tidak tahu harus meminta bantuan siapa. Tidak mungkin Kai lagi, kan… Saat sedang memikirkan apa saja yang perlu disiapkan, terdengar bunyi bel pertanda ada tamu, tapi ia abaikan. Biasanya ada mbak yang akan membukakan pintu. Tidak lama, terdengar suara ketukan pintu kamar dari luar. “Mas Biru.” “Ya, Mbak?” Biru menegakkan badannya dan berjalan membuka pintu. “Itu Mas ada mbak-mbak nyariin Mas Biru.” Biru mengernyit heran. “Siapa, Mbak?” “Dira apa ya namanya tadi,” gumam si mbak yang masih bisa didengarnya. Biru menarik napas panjang secara tidak sadar. “Ya udah saya keluar Mbak. Makasih ya.” Si Mbak pamit keluar, diikuti Biru yang berjalan dengan langkah berat ke arah ruang tamu. Dari tempatnya berdiri ia bisa melihat seorang perempuan sedang duduk di sofa tunggal sambil menunduk dengan rambut yang berjatuhan ke sisi wajahnya. Biru berdiri di seberang perempuan itu duduk. “Mau ngapain?” tanyanya tanpa basa-basi. Perempuan itu mendongak. Wajahnya basah dengan air mata yang masih mengalir. Matanya terlihat sembab dan tidak segar. Kantung matanya tampak menghitam. Tidak seperti Dira yang biasa make up walaupun hanya ke supermarket. Biru tertegun sejenak. Perempuan yang pernah singgah–dan mungkin masih singgah di hatinya itu tidak seperti Dira yang ia kenal. “Bi.” Dira memanggilnya hampir berbisik dengan nada bergetar. Mata Dira memanas, siap untuk menjatuhkan air mata lagi. Biru memalingkan wajah. Ia tidak pernah suka melihat perempuan menangis. “Bi,” panggilnya lagi. “Sorry gue datang nggak nanya lo dulu,” ucapnya lirih, kemudian kepalanya menunduk lagi. “Mau ngapain?” ulang Biru masih tanpa nada yang terdengar ramah. Suara isakan yang tadinya terdengar kini Dira tahan sekuat tenaga. Tangannya saling menggenggam erat. Ia memaksa senyum. “Gue Cuma nggak tahu harus cerita ke siapa selain lo,” jawabnya masih gemetar. Sesekali isakannya lolos, tapi tetap terus ditahannya. Biru menghela napas. “Nangis aja dulu.” Setelah tiga kata itu keluar, Dira menatap laki-laki yang kini juga ikut duduk di sofa seberang dan tangisnya pecah. Mungkin ada lima sampai sepuluh menit Biru membiarkannya menangis di depannya. Mungkin ini pertama kalinya Dira menangis setelah hubungan mereka berakhir. Biru menyerahkan sekotak tisu kepada Dira. “Sorry gue jadi ngrepotin lo.” Dira mengusap pipi dan menekan pelan matanya agar air mata tidak keluar lagi. “Jadi, gimana?” Biru berusaha melembutkan nada bicaranya. “Bokap nyokap gue, Bi.” Dira menahan tangisan. “They will divorce,” lanjutnya dengan menarik napas panjang. Biru terdiam. Sejauh yang orang tahu, keluarga Dira merupakan keluarga cemara yang juga dianggap family goals oleh teman-temannya. Mereka selalu tampil kompak dan senada even di acara kampus atau di sosial media. Biru membiarkan Dira terus bercerita dan tidak sedikit pun menyela. “Gue nggak tahu harus cerita ke siapa. Lo yang tahu kondisi keluarga gue lately. Setelah lo pergi semua rasanya makin berantakan. Gue nggak tahu harus bersandar sama siapa. Gue sudah berusaha untuk diam dan anggap semua angin lalu. Tapi gue nggak sekuat itu, Bi. Gue masih butuh lo untuk nenangin gue.” Dira menatapnya serius. Kepalanya kembali menunduk. “Maaf gue udah jahat banget sama lo dan malah nggak tahu diri gini.” Biru tahu dirinya belum 100 persen move on, tapi life must go on kan? Mana mungkin ia diam saja melihat mantannya ini bersedih. Lagipula tidak ada alasan kan untuk membantu mantan? “Nggak usah dipikirin. Sekarang lo mau apa biar feel better?” tanya Biru dengan nada bicara yang kembali normal. Dira tidak langsung menjawab. Tangannya masih saling menggenggam, ciri khas Dira ketika sedang gugup dan cemas berlebih. Biru menyadari itu. “Santai aja. Lo nggak usah sungkan. Gue nggak akan anggap lo beban.” Penjelasan Biru barusan membuat Dira perlahan melepas genggamannya. Tubuhnya juga lebih rileks dari sebelumnya. Biru memang bisa membuatnya tenang dalam hitungan menit. Magic!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD