Diam Sebab Hanya Mata Kita Yang Bicara

1382 Words
Biru tidak ingat kapan terakhir kali ia berhadapan dengan Obsidian, alias papanya sendiri. Sudah lewat beberapa waktu, tapi kejadian itu sepertinya akan sangat membekas di ingatan, baik untuk Biru maupun Obsidian. Kejadian yang membuat hubungan keduanya semakin dingin dan renggang. “Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?” Siapa saja yang melihat interaksi keduanya pasti bulu kuduknya merinding. Mereka terlihat sangat-sangat tidak bersahabat? “Saya akan memberitahukan rencana lima tahun ke depan dan saya tidak meminta pendapat apapun dari Papa.” Biru menjawab dengan tenang. Tidak ada yang tahu seberapa bulat niatnya saat ini. “Untuk apa memberitahu saya kalau gitu?” Pria itu mengangkat sebelah alis, seolah tidak tertarik dengan pembicaraan kali ini. Biru menarik napas. Ia harus tenang meladeni kesinisan Obsidian yang kadang kala membuatnya emosi. “Saya hanya sedang bersikap sebagai seorang anak. Apapun rencana anak, bukannya orang tua harus tahu?” “Saya khawatir ada hal-hal lain yang sudah Papa lakukan untuk membuat rencana saya berantakan. Itu saja,” lanjutnya. Obsidian mendengkus. Bukankah ia melakukan semua itu demi anak-anaknya? Memang secara kebetulan saat ini perjodohan masih menjadi salah satu jalan paling efektif untuk memperkuat posisi perusahaan. Obsidian Corp tidak sedang dalam kondisi collapse ataupun mengkhawatirkan. Namun, sebagai pimpinan ia juga harus mencari strategi dalam jangka panjang apabila suatu saat perusahaannya mengalami kendala. “Saya akan lanjut S2 setelah cukup belajar di perusahaan,” katanya pelan, tapi penuh keyakinan. Menyinggung Obsidian dengan ambisi adalah satu-satunya cara agar pria tua itu bisa melihatnya. Sebab selama ini yang dilihatnya adalah Greyson dan selalu begitu, maka hubungannya tak cukup erat. Obsidian tersenyum tipis. Bahkan mungkin tisu kalah tipis dengan senyuman itu. Biru balas menatap sang papa dengan wajah tenang sebelum melanjutkan bicaranya. “Saya juga akan membangun perusahaan dengan usaha saya sendiri.” “Mimpi,” balas Obsidian dengan pedas. Wajahnya berpaling sambil tersenyum remeh. “Mimpi kamu terlalu tinggi.” “Harus.” Biru menyela. “Saya akan memperjuangkannya.” Obsidian mengambil cangkir berisi teh hijau untuk diminum. “Ya, perjuangkan sampai keringatmu menjadi darah.” Biru melirik papanya kemudian tertawa pelan. Tawa yang tidak terdengar menyenangkan. “Oke kalau itu yang Papa mau.” Ia tidak merasa terancam sama sekali. “Lagian Biru juga akan mulai semuanya nggak di sini,” lanjutnya. Biru melihat perubahan raut wajah sang papa dalam diam. Obsidian menyatukan kedua tangannya di meja dengan tatapan serius. Wah, Biru merasa kembali ke masa-masa di mana Obsidian benar-benar ingin menghabisinya. “Kenapa tidak di sini?” Belum sempat Biru menjawab, Obsidian sudah lebih dulu menambahi. “Kamu bisa memulai sesuka kamu di sini. Tenang saja, saya nggak akan membuatmu repot.” “Tidak. Saya akan memulai di luar dari nol. Kalau perlu saya bisa mencari modal di sana.” Biru menyatukan jarinya di atas meja. Obsidian menggeleng pelan. “Apa tujuan kamu? Kamu hanya mempersulit diri sendiri.” “Saya hanya menantang diri sendiri sejauh mana kemampuan saya dapat digunakan. Supaya Papa juga bisa lihat usaha Biru selama ini.” Ingin sekali Biru menjawabnya seperti itu. Namun, yang keluar dari mulutnya hanyalah kata-kata yang jelas diremehkan Obsidian. “Ya, mau Biru aja.” Obsidian berdecak. “Kamu ini tidak pernah membuat planning dengan matang. Sangat disayangkan sekali.” Biru tersenyum miring. Ingin rasanya ia mencabut apa yang dikeluarkan oleh papanya. Ia cukup tersinggung dengan kata-kata itu. “Kamu cukup memulai semuanya di sini dan saya yang akan mengawasi prosesnya,” lanjut Obsidian masih terlihat ingin memberinya ceramah. “Masalah itu kita bicarakan nanti.” Biru mencoba untuk membuat situasi kembali tenang. Ia merasakan hatinya seperti tidak rela ketika papanya berkata seperti tadi. Hanya saja … ia tidak suka ketika rencana yang sudah disusunnya dengan matang harus ia relakan hanya karena permintaan orang lain. “Kata Mama, kamu sedang dekat dengan perempuan?” Pertanyaan itu lantas membuatnya mengangkat alis. Dekat? Sejak kapan? “Enggak. Itu kerjaan Mama yang ngenalin anak-anak temennya.” Biru meneguk minumannya. “Lalu? Ada yang membuatmu tertarik?” Kali ini nada bicaranya kembali datar dengan gestur tubuh yang terlihat tertarik dengan pembicaraan ini. Sungguh berbanding terbalik. Biru menggeleng. Jelas sekali ia ingin menghindari topik ini. Untuk saat ini, ia sedang tidak tertarik dan tidak ingin mencoba. “Biru nggak ada waktu untuk hal-hal kayak gitu.” Benar-benar nggak ada waktu kan? Mau dipaksa juga tidak akan bisa. Biru sama sekali tidak terpikat dengan salah satu dari banyaknya perempuan yang dikenalkan oleh mamanya itu. Lagipula ia masih belum melupakan rasa sakit dari pengkhianatan itu. Oh, andai move on semudah membalikkan telapak tangan pasti ia sudah menyandang status sebagai pacar orang lagi. “Kenapa enggak? Kamu kan nanti jadi ada yang support.” Kata-kata itu sungguh klise baginya. Support apanya kalau yang ia temui selama ini hanya perempuan yang ingin diperhatikan dari A sampai Z. “Biru bisa support diri sendiri, Pa,” putusnya. Entah untuk tahun ini atau beberapa tahun lagi ia akan bulat dengan keputusan tersebut. Obsidian berdecak. “Kamu itu butuh pasangan, jangan menutup diri gitu.” Biru mendesah. Bahunya turun sembari tersenyum masam. “Iya, tapi nggak sekarang.” Malamnya, Biru mampir ke apartemen Kai untuk membicarakan perihal perusahaan. Kai membantu Obsidian Corp sejak zaman mereka masih magang. Saat ini memang fokusnya meng-handle anak perusahaan yang bergerak di bidang teknologi. “Kemarin Mbak Nedya udah bikin flownya, udah dikasih juga ke Tita.” Kai menuangkan jus jeruk ke gelas. “Cuma ya gitu Titanya nggak gercep. Lambat banget dia.” Biru duduk mendengarkan dengan serius. “Udah di-follow up terus kan?” “Udah. Gue udah datengin ruangannya berkali-kali Cuma ya gitu,” ujar Kai mengingat Tita berumur lebih tua darinya. Setelah mendengar itu, Biru mengeluarkan ponselnya. “Halo.” “Iya, ini gue. Ta, tolong kirim presentasinya ke gue malam ini ya. Gue nggak mau ada penundaan, pokoknya malam ini gue mau file itu udah ada di inbox.” Kai melihat itu mendengkus lega. “Oke, thanks.” “Giliran sama lo aja semua jadi sat set kerjanya, coba kalau gue? Ya Allah itu beneran kayak kukang,” omel laki-laki itu sambil mengacak rambutnya kasar. “Apa kita ubah sistem kerjanya aja ya?” usul Biru disambut penolakan keras dari Kai yang sedang mengaduk pasta. “Nggak! Ngapain?” Biru berdecak sembari memainkan ponsel. “Sistem yang sekarang masih hirarkis banget. Lama ambil keputusannya, apalagi kalo ada pegawai modelan Tita gitu. Lo jga frustrasi kan?” “Ya iya sih,” sahut Kai menuangkan perbumbuan ke dalam teflon. “Mending rapat dulu sama anak-anak HR, ntar gue hubungin Yasa untuk atur jadwalnya.” Biru mengangguk. “Oke.” “Lo mau pake tomat nggak?” tanyanya yang sedang mengiris tomat ceri. Biru menggeleng. Dia memang tidak suka tomat apapun bentuknya. Tidak hanya tomat, Biru juga tidak suka timun, terong, labu, dan masih banyak lagi. Ia termasuk picky dalam urusan makanan. Makanya, ia lebih suka masak sendiri daripada beli. “Orang aneh macam apa yang nggak suka tomat,” cibir Kai. Laki-laki itu menaruh piring di depan Biru yang sedang sibuk dengan laptopnya. “Lo bisa nggak sih berhenti kerja kalau lagi mau makan?” omelnya lagi. “Penting nih,” balas Biru kalem. Kai merebut kaptop itu dan membawanya masuk ke dalam ruang kerja. “Habisin dulu tuh makannya baru kerja lagi.” Omelan Kai lama-lama sudah seperti omelan Mama Gina. “Kayak nyokap gue aja lo, bawel,” balas Biru mengambil garpu dan memilin pastanya. Kai menuangkan pasta olahannya dan membawanya ke meja makan. “Gini-gini gue udah dikasih amanah sama nyokap lo buat jagain anak tengah kesayangannya.” Laki-laki itu berdecih setelah menelan suapan. “Kesayangan apaan.” Kai terkekeh. “Lo masih ikut program perjodohan nyokap lo itu? Respons bokap lo gimana?” Biru menggeleng. “Nggak gimana-gimana.” “Udah capek gue ketemu cewek-cewek random, pusing.” Biru telah menyelesaikan suapan terakhirnya. “Se-random itu emang?” tanya Kai tidak percaya. Ia juga tidak menyangka kalau Biru akan mengiyakan rencana Mama Gina yang menurutnya agak tidak masuk akal jika Biru melakukannya. Biru menaruh piring di wastafel seraya mengangguk. “Iya banget.” “Kenalin gue dong satu. Ada kan pasti yang paling mendingan?” guraunya. Biru sejenak berpikir. Memang ada sih. “Ya udah ntar gue kenalin,” ucap Biru disambut sorakan senang dari Kai. “Tapi ekspektasi lo diturunin, jangan ketinggian,” lanjutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD