BAB 3

1274 Words
Acara Reuni SMA Pelita Buana akhirnya tiba. Malam ini, acara yang akan dihadiri lima angkatan alumni SMA Pelita Buana dilaksanakan di ballroom hotel Alexandria yang terletak di pusat kota Jakarta. Sejak pagi, Amel terus-menerus menelepon Tasya untuk mengingatkan dirinya tentang acara tersebut. Amel juga ingin memastikan Tasya datang ke acara Reuni SMA Pelita Buana itu. Tasya sampai kesal karena terus-menerus di telepon oleh sang sahabat. "Iya, Mel. Gue sedang siap-siap sekarang. Nanti kita ketemu di lobi hotel saja," kata Tasya, menjawab panggilan telepon Amel entah untuk yang keberapa kali di hari ini. "Baiklah. Gue tunggu satu jam lagi, Sya. Pokoknya lo harus sudah tiba di hotel," kata Amel, mengingatkan. Tasya berdecak. "Lo tahu jalanan kota Jakarta macet saat malam minggu begini. Gue nggak mungkin sampai di hotel dalam waktu satu jam, Mel," ujarnya menolak. "Ya sudah .... Satu jam setengah kalau begitu. Lo harus tiba di hotel jam tujuh tepat, Sya," kata Amel, memberi kelonggaran. "Iya. Baiklah. Sekarang tutup teleponnya karena gue masih belum selesai memakai make up, Mel," kata Tasya, memberi perintah. "Iya. Iya. Gue juga masih harus bersiap-siap. Sampai ketemu nanti, Sya," ucap Amel, mengakhiri panggilan telepon mereka. Tasya hanya bergumam menanggapi salam perpisahan dari Amel. Setelah sambungan telepon mereka terputus, dia meletakkan handphone-nya ke atas meja rias. Tasya menatap pantulan wajahnya pada cermin di hadapannya. Dia baru selesai mandi dan belum memakai make up sama sekali. Tasya sebenarnya malas untuk datang ke acara Reuni SMA Pelita Buana, tapi Amel terus-menerus meneror agar dia tahun ini datang ke acara tersebut. Tasya terpaksa menuruti kemauan Amel karena tidak ingin berdebat dan membuat sang sahabat marah kepadanya. Tasya mulai merias wajahnya. Dia harus bergegas jika tidak ingin terlambat dari waktu janjiannya dengan Amel. Jarak rumah Tasya dan hotel tempat berlangsungnya acara Reuni SMA Pelita Buana cukup jauh. Dia tidak mau terjebak kemacetan yang membuat ia bosan setengah mati. oOo Damar menghembuskan napas panjang menatap pantulan dirinya pada cermin yang terdapat di dalam kamarnya. Penampilan Damar sudah rapi mengenakan jas semi formal berwarna biru tua. Dia tinggal menyisir rambut dan memakai sepatu untuk menyempurnakan penampilannya. Satu jam lagi acara Reuni SMA Pelita Buana di mulai. Alfin dan Geri telah mengingatkan Damar agar datang tepat waktu ke acara tersebut. Namun, dia enggan untuk menuruti permintaan kedua sahabatnya. Damar tidak tertarik untuk datang ke acara Reuni SMA Pelita Buana. Sejak lulus sekolah, dia hanya datang beberapa kali ke acara tersebut. Damar malas bertemu teman-teman lamanya yang hanya menyombongkan diri sendiri dan kekayaan yang mereka punya ketika berkumpul. Mereka juga kerap pamer pasangan masing-masing di acara itu. Tahun ini Damar tak bisa menghindari acara Reuni SMA Pelita Buana karena Alfin dan Geri terus memaksanya untuk datang ke acara tersebut. Apalagi acara Reuni SMA kali ini dilaksanakan di hotel milik Alfin. Berbagai alasan yang disampaikan Damar selalu dipatahkan oleh mereka berdua. Suara deringan telepon mengalihkan perhatian Damar dari cermin di hadapannya. Dia kemudian mengambil handphone yang terletak di atas ranjang tempat tidur. Damar melihat nama Geri tertera pada layar handphone-nya. Dua menghembuskan napas panjang sebelum menjawab panggilan telepon dari sang sahabat. "Halo, Ger," sapa Damar, setelah menempelkan handphone di telinga kanannya. "Halo, Mar. Lo ada di mana?" tanya Geri, tanpa basa-basi. "Gue masih di rumah. Kenapa?" jawab dan tanya Damar. Geri berdecak. "Gue dan Alfin sudah tiba di hotel dan elo masih berada di rumah, Mar?" ujarnya terdengar kesal. "Kalian berdua panitia acara, jadi wajar kalau sekarang sudah tiba di hotel. Kalau gue hanya tamu undangan yang akan datang saat acaranya dimulai," kata Damar dengan nada santai. "Sebentar lagi acaranya dimulai, Mar," kata Geri, mengingatkan. Damar memandang jam yang terpasang di dinding kamarnya. "Masih satu jam lagi hingga acara Reuni SMA itu dimulai, Ger," kata Damar, memberi tahu. "Dan elo membutuhkan waktu lebih dari satu jam untuk tiba di hotel ini," timpal Geri dengan nada kesal. "Gue nggak mau tahu, pokoknya lo harus berangkat sekarang juga, Mar. Jangan sampai lo telat datang ke sini," lanjutnya setengah mengancam. "Iya. Iya. Gue akan berangkat sekarang, Ger," sahut Damar, menyannggupi. "Gue tutup dulu teleponnya. Bye." Tanpa menunggu balasan dari Geri, Damar mengakhiri panggilan telepon mereka. Dia menghela napas panjang sambil meletakkan handphone-nya kembali di atas ranjang. Gara-gara acara Reuni SMA Pelita Buana, kedua sahabat Damar yang menjadi panitia acara tahun ini, terus-menerus meneror dan memaksa dia untuk datang ke acara tersebut. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya Damar tidak hadir ke acara Reuni SMA dan mereka tidak mengajukan keberatan sama sekali. Tak ingin terlalu lama berdiam diri di dalam kamar hingga membuat ia datang terlambat ke acara Reuni SMA, Damar segera merapikan rambutnya menggunakan sisir lalu memakai jam tangan di tangan kiri. Terakhir Damar memakai sepatu yang telah ia siapkan sebelumnya sambil duduk di atas ranjang. Damar memastikan penampilannya sekali lagi di depan cermin, sebelum menyambar handphone di atas ranjang tempat tidur, lalu melangkak ke luar kamar. oOo Tasya berjalan dengan cepat memasuki lobi hotel tempat berlangsungnya acara Reuni SMA Pelita Buana. Dia sudah terlambat selama tiga puluh menit dari waktu yang dijanjikan dengan Amel. Selama dalam perjalanan menuju hotel, sang sahabat tidak berhenti menelepon untuk menanyakan posisi dirinya berada. Tasya sudah mengatakan kepada Amel kalau dia terjebak macet yang sangat panjang dan akan terlambat tiba di hotel. Namun, Amel terus-menerus menelepon dan meminta Tasya agar segera datang. "Tasya." Tasya menghentikan langkah ketika mendengar panggilan dari seseorang. Dia menoleh dan melihat Amel berdiri tak jauh dari pintu ballroom sambil melambaikan tangan ke arahnya. Tasya membalas lambaikan tangan Amel, lalu berjalan menghampirinya. "Sorry gue telat, Mel," ujar Tasya, begitu tiba di hadapan sang sahabat. Amel memasang wajah cemberut. Tasya yakin sang sahabat merasa kesal karena menunggu dirinya terlalu lama di sini. "Lo lama banget, Sya. Gue sampai lumutan nunggu elo sendirian di sini," protes Amel dengan nada kesal. "Iya, sorry, Mel. Gue terjebak macet di jalanan. Lagi pula acaranya baru mulai, kan?" kata Tasya, memberi tahu alasan keterlambatannya. "Iya. Acaranya baru mulai. Tapi, sudah banyak teman-teman angkatan kita yang datang sejak tadi, Sya," ujar Amel, memberi tahu. "Ya sudah ... biarkan saja, Mel," sahut Tasya, tak peduli. Amel berdecak semakin kesal melihat tanggapan Tasya. "Ayo sebaiknya kita masuk ke dalam saja, Sya," ajaknya terlihat tak ingin memperpanjang perdebatan mereka. Tasya mengangguk. Dia berjalan mengikuti Amel menuju ke meja resepsionis yang berada di depan pintu ballroom. Tasya dan Amel menyerahkan undangan atas nama masing-masing sebagai tanda bahwa mereka adalah alumni SMA Pelita Buana. Setelah mengisi buku tamu dan mendapatkan souvenir, Tasya dan Amel berjalan memasuki ballroom hotel yang tampak megah dan dipenuhi banyak orang. Tasya mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ballroom hotel. Tempat ini telah di dekorasi secara mewah dan elegan seperti pada saat acara resepsi pernikahan. Warna emas dan putih tampak mendominasi tempat ini. Hanya saja kali ini tidak ada panggung untuk pelaminan. Panggung itu telah diubah menjadi panggung untuk tempat berlangsungnya acara Reuni SMA. Ada dua orang pembawa acara di atas panggung yang sedang membacakan susunan acara malam hari ini. Di sebelah panggung terdapat peralatan band yang digunakan untuk mengiringi acara Reuni SMA Pelita Buana. Pada bagian kanan dan kiri ballroom terdapat meja-meja bundar dan kursi-kursi yang berjajar di sepanjang ruangan. Sudah banyak orang yang menduduki kursi-kursi tersebut. Sementara meja-meja prasmanan tersebar di sepanjang ruangan dalam jarak beberapa meter. Para tamu undangan tersebar di seluruh penjuru ballroom hotel. Ada yang bergerombol di tengah maupun pinggir ruangan. Ada juga yang memilih duduk di kursi-kursi yang telah disediakan. Tasya belum melihat salah satu teman angkatannya semasa SMA yang menurut Amel telah banyak yang berdatangan. "Tasya. Amel." Tubuh Tasya membeku mendengar namanya dipanggil oleh seseorang. Walaupun sudah sepuluh tahun berlalu, tapi dia masih mengenali suara seseorang dari masa lalunya. Tasya menolehkan wajah. Dia melihat dua orang yang selama ini ia hindari berdiri di hadapannya dan Amel. oOo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD