02 :: Salah Sangka

1627 Words
Alunan lagu milik Sia yang berjudul Chandelier terdengar begitu keras di telinga Rizkan, mengganggu tidur pria itu. Ia lalu mengambil bantal lantas menutup belakang kepalanya sampai ke telinga untuk meredam musik tersebut. Tanpa membuka matanya pun Rizkan tahu siapa yang sengaja memutar lagu tersebut tepat di telinganya. Siapa lagi kalau bukan Dara, adik terakhirnya. Ia sangat mengenal gadis yang baru berumur enam belas tahun itu. Walaupun Sia sudah mengeluarkan single terbaru, Dara akan tetap memutar Chandelier—lagu yang sangat disukainya. "Bang! Bangun, bang!" teriak Dara, mulai tak sabar karena Rizkan tak kunjung membuka matanya. Rizkan mendengus kesal lantas melempar bantalnya seiring dengan matanya yang perlahan terbuka, mendelik pada Dara yang duduk di sisi ranjang. "Apa sih, dek?" Dara menunjukkan cengiran lebarnya, merasa tak berdosa sama sekali setelah mengganggu tidur kakaknya. Ia kemudian mengangkat buku UUD 1945 dan TAP MPR miliknya, menunjukkannya kepada Rizkan. Dan tanpa mendengar penjelasan Dara pun, Rizkan sudah tahu apa maksud Dara memperlihatkan kedua buku tersebut kepadanya. Adiknya itu baru saja terpilih menjadi perwakilan sekolah dalam lomba cerdas cermat yang akan diadakan empat bulan lagi. "Bantuin Dara ngapal, bang," pinta Dara, sambil menarik-narik kaus Rizkan. Rizkan mengusap kasar wajahnya sebelum mengubah posisi tidurnya menjadi duduk, menghadap ke arah Dara yang kini sudah menampilkan senyum lebarnya. "Sama Kiki aja sana. Abang besok tugas di lapangan. Ini mau istirahat." "Bang Kiki lagi pacaran sama kameranya. Bentar aja. Minta tolong banget ini Dara." Rizkan menghela napas panjang, berniat untuk kembali menyuarakan penolakannya kepada Dara. Namun, gadis itu sudah lebih dulu berbicara. "Abang nggak mau? Oh, gitu. Biar tahu aja Dara kalo abang sekarang udah nggak sayang lagi sama Dara," ucap Dara dengan wajah songongnya, memulai aksi terbaik yang ia yakini tak akan bisa ditolak oleh Rizkan. Rizkan menggeram pelan, tetapi tetap mengambil buku UUD milik Dara lantas membukanya yang membuat senyum adiknya itu langsung merekah lebar. Membujuk Rizkan dengan cara seperti itu memang tidak pernah mengecewakan. "Dari pasal 34 ya, bang," kata Dara yang kini sudah mengambil posisi bersila di depan Rizkan. Rizkan hanya bergumam kemudian mencari pasal 34 yang dimaksud oleh Dara. "Pasal 34. Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara," Dara bersuara, memulai aksi menghapalnya. Rizkan hanya diam sambil terus menatap buku di depannya, sesekali membenari Dara jika ada yang salah. Dan sepertinya istirahatnya gagal hari ini.   ••••   Rizkan tampak rapi dengan setelan kaus abu-abu berlengan panjang yang dipadukan dengan celana jeans hitam panjang. Wajahnya tampak lebih segar dari sebelumnya. Ia akan keluar sore ini. Berhubung niatnya untuk istirahat telah digagalkan oleh Dara dan ia tak bisa tidur lagi, lebih baik ia keluar saja, mencari udara segar setelah Dara terus menjejalinya dengan undang-undang. Setelah memastikan bahwa tak ada yang salah dengan penampilannya hari ini, Rizkan mengambil sepatunya dari lemari kemudian membawanya ke bawah. Ia lalu mengambil duduk di ruang tv, tepat di samping Rizki—saudara kembarnya yang sejak siang tadi masih sibuk dengan kamera-kameranya. "Mau ke mana lo?" tanya Rizki yang hanya melirik Rizkan sekilas. "Keluar bentar," jawab Rizkan sembari memakai sepatunya. "Riz." "Hm?" "Gue pinjem duit lagi, dong," pinta Rizki yang kini sudah menatap Rizkan sepenuhnya. "Untuk apa lagi, sih?" Rizkan bertanya dengan nada kesal yang tak ditutup-tutupinya. Pasalnya, adik kembarnya ini memang sering sekali meminjam uang dengannya. Berbeda dengan Rizkan yang merupakan seorang PNS Bea dan Cukai, Rizki adalah seorang fotografer yang merangkap sebagai seorang pelukis. Bakatnya di seni lebih baik daripada Rizkan yang hanya bisa memainkan satu alat musik saja. Namun, itu tak membuat pemasukan Rizki menjadi sedikit. Hanya saja, pria itu memang tidak bisa mengatur uangnya dan membuatnya menjadi boros. "Gue mau ganti lensanya si Haruka. Tujuh juta aja, deh. Nanti kalo lukisan gue laku, langsung gue balikin uang lo." Rizkan menghela napas panjang. Ia lalu mengeluarkan ponselnya, berniat untuk mentransfer uang ke rekening Rizki. Sifatnya yang loyal seperti ini memang selalu mendapat pujian dari beberapa orang, tetapi juga sering menjadi tempat mengutang bagi orang-orang tak tahu diri seperti Rizki. Namun, sialnya ia tak bisa melihat orang kesusahan. Apalagi keluarganya sendiri. Dan kali ini, ia harus kembali merelakan tabungan masa depannya berkurang. "Tiga juta lagi deh, Riz," ucap Rizki dengan cengiran lebarnya. "Gila lo ya! Mau lo buat apa uang sepuluh juta coba?" "Tiga jutanya buat beli tiket konser JKT 48, Riz. Tenang aja, nanti gue ganti." "Enggak," tolak Rizkan langsung yang lantas segera pergi meninggalkan Rizki yang terus memanggilnya. Begitulah Rizki, dikasih hati minta jantung. Dan kegemarannya terhadap JKT 48 terkadang membuat Rizkan pusing sendiri. Rizki adalah penggemar garis keras idol grup yang satu itu. Sampai-sampai semua kameranya diberi nama member JKT 48. Seperti misalnya Haruka, Nabilah, Melodi, dan yang lainnya. Benar-benar aneh. Rizkan melajukan mobilnya menuju jalan raya, bergabung menjadi satu bersama beberapa orang yang masih menikmati akhir pekan yang akan berakhir sebentar lagi sebelum besok kembali pada penatnya rutinitas sehari-hari. Asap kendaraan bergumul menjadi satu dengan rintik hujan yang baru turun dari langit, memancarkan bau basah yang bercampur dengan bau bensin dan mesin. Sangat tidak enak sekali saat bau tersebut masuk ke hidung. Itu sebabnya Rizkan menutup jendelanya lantas menghidupkan AC. Walaupun di luar hujan, tetapi tetap saja tak ada sedikit pun kesejukan yang ia rasakan. Apalagi sebabnya kalau bukan karena jalanan yang dikepung oleh asap dari masing-masing kendaraan yang berderet di sepanjang jalan. Ponsel Rizkan tiba-tiba berdering, menambah kebisingan di jalan raya. Ia lalu mengambil ponselnya lantas menjawab panggilan dari si penelepon sembari menghentikan mobilnya saat kendaraan di depannya berhenti karena lampu lalu lintas sedang menunjukkan warna merah. "Kau udah di mana, bang? Aku udah di kafe ini." Ebi—sang penelepon langsung mencecarnya dengan pertanyaan tanpa salam. Dan jangan lupakan logat Medan yang khas dari pria berusia dua puluh delapan tahun itu. "Gue lagi di jalan. Bentar lagi sampe." "Ligat sikit ya, bang. Si Teguh udah manyun aja kutengok moncongnya nungguin kau nggak datang-datang." Rizkan terkekeh pelan. Kata yang digunakan Ebi memang ajaib. Kalau kata teman-temannya, hanya Ebi dan opung-opungnya lah yang tahu apa arti dari setiap kata yang keluar dari mulut pria itu. Yang herannya, sudah hampir empat tahun Ebi menetap di Jakarta, tetapi logat Medan-nya masih terasa kental. "Iya-iya. Bentar lagi sampe," jawab Rizkan kemudian seraya melajukan mobilnya ketika lampu sudah berubah hijau. "Siplah, bang." Dan sambungan pun terputus. Ia lalu mengencangkan laju mobilnya supaya bisa cepat sampai. Sejujurnya, ia sedikit menyesal mengajak kedua temannya nongkrong di sore hari seperti ini. Bagaimana tidak, jalanan saat sore di akhir pekan seperti ini selalu padat sehingga membuatnya harus merelakan beberapa menit waktunya tebuang sia-sia di jalanan. Entah kapan Jakarta tidak macet. Setelah sampai di tempat tujuan, Rizkan segera memarkirkan mobilnya lantas mencari kedua temannya yang sudah menunggunya di dalam. Setelah ketemu, ia kemudian menghampiri mereka yang ternyata sudah memesan makanan dan minuman terlebih dahulu. "Sorry lama," ucap Rizkan seraya mengambil duduk. "Pesen aja dulu, bang," suruh Ebi yang lantas memanggil pelayan. Setelah memesan, Rizkan mulai bergabung mengikuti apa yang temannya obrolkan. Mulai dari membicarakan tentang pertandingan sepak bola sampai ke masalah pekerjaan. Ya, mereka memang menjadi teman dekat setelah sebelumnya pernah sama-sama ditugaskan di Kepulauan Riau. "Eh, lo udah pesen tiket konser JKT 48 belum?" tanya Teguh kepada Ebi, mengganti topik ke arah yang lebih ringan. "Udahlah. Nomor satu aku kalo soal JKT 48," jawab Ebi dengan semangat. Rizkan menghela napas panjang, memilih untuk fokus pada ponselnya saja setelah makanannya habis. Ia tidak mengerti kalau sudah membahas tentang hal itu. Dan ia heran kenapa orang-orang di sekelilingnya selalu membicarakan tentang idol grup yang satu itu. Ia bahkan tak kenal siapa mereka. Baru saja Rizkan ingin memainkan game di ponselnya, tetapi tubuhnya yang tiba-tiba basah membuatnya langsung mengurungkan niatnya. Dengan panik ia segera menoleh ke samping, memastikan bahwa di sini tidak sedang terjadi tsunami lokal. Namun, pikiran bodohnya itu tak terjadi karena yang ia lihat saat ini hanyalah seorang gadis yang sedang menatapnya dengan amarah yang tampak jelas di kedua matanya. "Berengsek lo! Dasar banci! Sukanya nyakitin hati cewek melulu!" teriak gadis asing tersebut, membuat semua pasang mata menoleh ke arahnya dengan heran. Rizkan kebingungan sendiri saat ia sadar bahwa dirinya lah yang menjadi sasaran kemarahan gadis tersebut. "Lis, udah," ucap teman dari gadis itu. "Diem, Beby. Ini gue lagi belain elo." "Mbak, temen saya salah apa?" tanya Teguh yang juga merasa kebingungan. "Diem lo! Gue nggak ada urusan sama lo!" "Eh, bagudung kali ini cewek," celetuk Ebi yang mulai naik pitam. Gadis itu langsung melayangkan pelototan tajamnya kepada Ebi. "Lo bilang apa tadi? Sini lo kalo berani!" Ebi yang sudah terpancing emosi langsung bangkit dari duduknya, tetapi Teguh segera menahannya. "Halah! Beraninya sama cewek doang lo. Banci!" gadis itu kembali memaki. Ia lalu meninggalkan Ebi dan kembali menatap Rizkan yang sejak tadi masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. "Elo—" "Geulis! Dia itu bukan Rizki. Dia kembarannya Rizki!" teriak Beby pada akhirnya, memberitahu temannya bahwa dia salah orang. Gadis yang bernama Geulis itu langsung menghentikan aksi marah-marahnya. Ia lalu menoleh ke arah Beby dengan wajah bingung yang terlihat begitu kentara. "Maksud lo apa?" Beby mendekat ke arah Geulis lantas membisikkan sesuatu di telinga sahabatnya itu. "Gue udah bilang kalo dia itu bukan Rizki, tapi kembaran Rizki. b**o banget, sih lo." Seketika wajah merah padam Geulis langsung berubah menjadi pucat. Ia lalu menatap sekelilingnya yang kini masih terus menatap ke arahnya. Pandangannya kemudian berputar ke arah Rizkan yang sekarang sedang memasang wajah datarnya dan membuat Geulis merasa tak enak hati. Apalagi melihat pria itu yang sudah basah kuyup akibat ulahnya. "Hehehe ... maaf ya, mas. Saya tadi lagi latihan akting. Saya mau ikut casting AADC 3," ucap Geulis sambil menahan malu. Ia lalu menarik tangan Beby lantas segera kabur dari sana. Dan Rizkan, pria itu hanya bisa memejamkan matanya dengan amarah yang sudah meledak-ledak dalam dirinya akibat perbuatan gadis yang tak ia kenal itu. Benar-benar kurang ajar dan tidak sopan. Setelah menyiram dirinya dan membuat dirinya malu, gadis itu dengan seenaknya pergi tanpa mau bertanggung jawab.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD