Chapter 3 - Meet Again

1333 Words
Valentine memasuki rumah sederhananya kemudian duduk dengan lesu di sudut ranjangnya. Hari ini, entah dia mendapat kesialan atau justru keberuntungan macam apa? Hanya karena kesalahan kecil, dia harus bertatap muka dengan sang tuan muda yang ternyata memang seperti orang-orang katakan, yaitu ... menakutkan. Valentine masih tak habis pikir dengan jalan pikiran tuan muda yang bernama Davio itu. Tiba-tiba saja, tuan muda itu berada di depannya. Mengatakan sesuatu yang hampir membuatnya lari ketakutan. Kemudian setelahnya, pria itu melepaskannya begitu saja. "Vale? Kau sudah pulang?" Suara lembut seorang wanita yang menjadi satu-satunya tempat Valentine untuk berkeluh kesah, tiba-tiba terdengar membuat lamunan Valentine tadi buyar seketika. Dia Irriana. Kakak perempuan Valentine yang sangat menyayangi Valentine, meski bukan saudara sedarah. Valentine mengangguk. "Iya, Kak. Kantor sangat sibuk hari ini. Jadi, Aku sedikit terlambat pulang," jawabnya. Irriana mengangguk. Kehidupan ekonomi keluarga mereka yang pas-pasan, membuat Valentine belum bisa melanjutkan cita-citanya untuk kuliah. "Bibi pergi ke mana?" tanya Valentine begitu tak mendapati wanita yang sudah membesarkan mereka tak terlihat batang hidungnya. Riana mengangkat bahu. "Entahlah. Katanya, Bibi ingin menemui seseorang." Jawaban Riana membuat Valentine mangut-mangut. Bibinya bernama liz. Wanita berumur sekitar 50 tahunan, yang selama ini hidup bersama mereka. “Kenapa lama sekali? Hari bahkan sudah malam. Aku jadi, khawatir.” Riana mendekati Valentine, dan mengusap wajah Valentine dengan sayang. “Tidak perlu khawatir. Kau tau jika bibi tua kita, mahir bela diri.” “Dengan mengandalkan payung tuanya itu?” Riana tertawa kilas mendengar tanggapan Valentine yang malah terdengar lucu. “Sudahlah. Jangan khawatir. Sebentar lagi, bibi pasti kembali,” ucap Riana. “Oiya, makan malam mu, kakak simpan di lemari pendingin. Jangan lupa dihangatkan dulu, dan selamat makan. Kakak tidur dulu." Perkataan Riana kemudian, membuat Valentine mengangguk sambil tersenyum dengan manisnya. "Terima kasih banyak, Kak," tuturnya. “Oiya, jangan lupa pertemuan kita besok.” Valentine mengangguk dan Riana memberi Valentine kecupan jauh kemudian pergi dari sana. *** "Apa yang kau lakukan di sini?" suara dingin seorang remaja laki-laki berusia sekitar 17 tahun menggema di sana, kala mendapati anak perempuan cantik itu menatapnya dengan penuh tanya. "Liam, aku mau ke danau. Aku mau lihat bunga Daisy. Tapi, aku takut sama anjingmu yang hitam dan galak itu." Remaja bernama Liam itu mengernyitkan sebelas alisnya. "Cuma gara-gara itu kau menggangguku?" Anak perempuan itu mengangguk. "Iya. Karena anjingnya cuma takut sama kamu," jawabnya polos. Liam mengusap wajahnya kasar. Demi tuhan, dia tidak mau berdekatan dengan anak perempuan itu. Dia masih takut, wajahnya kena pukul lagi oleh ayahnya karena ketahuan mengecup bibir mungil anak gadis pamannya itu. Sungguh, saat itu dia lepas kendali. Katakan dia gila. Tapi, wajah manis dan kepolosan gadis kecil itu, membuatnya ingin menjadikan gadis itu satu-satunya miliknya. Usia mereka tidak berselisih terlalu jauh. Hanya sekitar 7 tahunan. Dan jika boleh, Liam akan segera mengklaim gadis kecil itu menjadi miliknya saat dia berusia 17 tahun nanti dan dia sendiri, sudah 24 tahun saat waktu itu tiba. "Liam, kau mau menemaniku 'kan?" "Tidak!" "Tapi, aku takut sama anjingnya." "Aku tidak peduli. Pergi aja sendiri. Aku sibuk!" Liam menekan kuas di tangannya. Tentu saja, perkataannya tadi akan membuat gadis kecil itu sedih. Tapi, apa boleh buat. Dia berusaha cuek, agar gadis itu pergi dan menjauhinya. Liam tidak mau, sifat Devil turunan kakeknya, membuat gadis manis itu membencinya. Liam mendengar ketukan sepatu menjauh. Akhirnya, gadis kecil itu menyerah dan pergi juga. Tapi, baru beberapa menit Liam membiarkan gadis itu pergi, tiba-tiba terdengar teriakan dan gonggongan anjingnya. "Bella!" Napas Davio memburu. Mimpi-mimpi itu selalu hadir dalam tidurnya. Bagaimana dia bisa melupakan gadis kecil di masa lalunya itu, jika gadis itu selalu muncul dalam mimpinya—setiap malam seperti sekarang. Bahkan panggilan gadis itu, seakan terus terngiang memenuhi pendengarannya. Davio mengusap wajahnya kasar. Informasi yang Ressam katakan, jika Isabella masih hidup, tentu saja membuatnya semakin gelisah. Sudah 10 tahun berlalu, dan gadis kecil yang dia panggil Bella itu, sudah pasti berubah menjadi wanita dewasa. Bella, sudah berumur 20 tahun dan entah bagaimana rupanya sekarang. Apa Dave merindukan Bella? Tentu saja. 10 tahun bukan waktu yang sebentar, untuk Dave bisa mengubur kenangan manis yang pernah dia dan Bella ukir bersama. Walaupun kenangan-kenangan itu, lebih banyak Bella yang sedih karena selalu dia abaikan dan dia bentak agar menjauhinya. Dave sudah mengatakannya. Bella selalu membawa pengaruh yang besar pada dirinya. Seakan, ada magnet khusus dalam diri Bella yang mampu membuatnya melupakan akal sehatnya. Dave akan bersikap posesif dan arogan atas apa pun yang berkaitan dengan Bella. Katakan Dave egois, karena dia hanya ingin, dirinya lah satu-satunya orang yang bisa melindungi Bella, dan selalu Bella butuh kan. Jadi, membuat Bella menjauhinya, adalah cara terampuh untuk menjaga Bella agar tetap aman dari kegilaannya saat itu . Dave mengambil ponselnya. Masih jam 3 pagi. Tapi, jika Bella datang dengan cara seperti ini, dia tidak akan bisa tidur lagi. "Ressam. Siapkan penerbangan untukku pagi ini juga. Aku akan pergi ke Italia." "Kenapa tidak menunggu saja, Tuan? Informan kita akan menyampaikan berita yang dia dapat, kurang dari 24 jam dari sekarang." Dave menghembuskan napasnya pelan. "Aku tidak bisa menunggu lagi. Aku akan menemukannya sendiri," jawabnya dan sambungan itu dia putus sepihak. Dave beranjak dari tempat tidur lalu melihat kepadatan kota lewat jendela besar yang tirainya dia buka. Malam ini, dia memilih bermalam di kantor, di ruangan khusus kamar pribadinya. Sedangkan Ressam, dia suruh untuk bermalam di mansion kakeknya. Entahlah, Dave merasa ruangan membosankan yang di tempatinya sekarang, menjadi ruangan ternyaman untuknya. Padahal, Anna dan Angel pasti sedang menunggunya. Dave melipat tangannya di depan d**a. Di tengah malam seperti ini, saat kenangan Bella mengganggunya lagi. Justru sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman tipis kala mengingat Office girl yang ketakutan setengah mati saat melihatnya di kamar mandi, hampir dia buat pingsan karena ke usilannya. Entahlah. Dave tidak menyangka juga, akan melakukan hal yang bahkan tidak pernah dia pikirkan akan terjadi dalam hidupnya. Menjahili tukang bersih-bersih? Yang benar saja? Jika orang lain tau, entah apa pendapat mereka untuk orang dingin tak tersentuh se kelas dirinya. Office girl itu, sukses membuat jiwa manusianya tersentuh. Pandangan Dave tiba-tiba tertuju pada satu objek di bawah sana yang berjalan mengendap-endap memasuki kantornya. Heran juga karena orang yang bisa memasuki pintu adalah orang yang memakai tanda pengenal sebagai karyawan. Security juga tampak masih santai siaga, saat orang yang memakai jaket dan menutup kepala itu berbincang dan melewati mereka. Herannya, kenapa orang itu mengendap-endap seperti mengincar sesuatu? Oke hari memang sudah pagi. Tapi, di jam seperti ini, belum ada karyawan yang datang. Jadi, ada maksud apa orang itu datang lebih awal? Dave mengambil jaket kulitnya kemudian melangkah cepat menuju pintu. Jika sampai orang itu berniat mencuri sesuatu, akan dia patahkan lehernya dan akan dia pecat semua security tidak becus yang bekerja di kantornya. Dengan langkah pelan namun pasti. Dave melihat rekaman CCTV yang terhubung di ponselnya. Ternyata, orang misterius itu menuju dapur dan sedang memegang sebuah benda. Entahlah, Dave tidak tau pasti benda apa itu. Hanya saja, orang itu memasukkan benda yang dia pegang tadi ke salah satu lemari yang berada di sana. Apa itu adalah sebuah bom untuk menghancurkan kantornya? Dave melangkah semakin cepat. Dia harus bisa menghentikan aksi penjahat itu sebelum semuanya terlambat. Sekarang, siapa pun bisa menjadi musuhnya. Entah untuk melengserkan kekuasaannya atau justru ingin menghancurkannya sampai titik akhir. Dave sudah sampai di pantri. Orang misterius itu rupanya masih berada di sana. Dengan sangat cepat, Dave mengunci pergerakan orang itu dengan menarik kedua tangannya ke belakang punggung dan meletakkan tangan Dave di leher orang itu dengan cekatan. Seperti posisi merangkul. Tapi, bergerak sedikit saja, Dave pastikan leher orang itu akan patah lalu tumbang. Anehnya, jantungnya berdebar begitu tubuhnya menempel dengan tubuh si misterius yang sangat kecil untuk ukuran laki-laki. Mendadak, tubuhnya terasa hidup saat menghirup aroma tubuh orang yang saat ini disanderanya. Dave merasa berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya kecanduan. Tapi, dia tidak bisa mengikuti perasaan yang mungkin saja hanya kamuflase dari mimpi-mimpinya. "Apa yang kau lakukan di sini huh?! Kau ingin meledakkan kantorku hah!? Jawab!" Ancaman Dave yang terdengar menakutkan, membuat orang misterius yang ternyata berjenis kelamin perempuan itu pun bersuara. "Tidak, Tuan. Saya hanya menaruh bekal untuk makan siang." Deg! Dave melepaskan belitan tangannya. Orang itu pun sontak terlepas dan melangkah sedikit menjauh. Begitu, penutup kepala yang orang itu kenakan terlepas, Dave sontak membatu dengan raut wajah tak percaya. "Kau—lagi?" ujarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD