BAB 1 - DIA YANG KULAHIRKAN
*PROLOG*
Suara tangisan bayi menggema di ruang bersalin. Semua orang yang menanti di luar, tampak bahagia, ada yang sampai bersujud di lantai, ada yang saling berpelukan, dan ada yang bersandar di kursi dengan ekspresi wajah lega. Akhirnya waktu yang dinanti tiba juga. Setelah penantian panjang hampir dua jam lebih, akhirnya suara tangisan bayi itu menggema di telinga siapa pun yang mendengarnya.
Seorang dokter ke luar dengan wajah sumringah. Seorang pria bertubuh tinggi 170 cm dengan wanita yang sejak tadi berdiri di sampingnya yang tingginya sebahunya, datang mendekat. Dia tersenyum, menepuk pelan pundak sang pria yang masih tampak cemas menanti.
"Selamat ya, Pak, anaknya sudah lahir," ucap dokter bernama Lydia itu yang membuatku keduanya saling berpelukan. "Semuanya bisa lihat langsung di ruang bayi setelah dia dibersihkan. Siapa ya ayah dari anak itu?"
"Saya, Dokter!" jawab pria itu cepat tanpa basa basi terlebih dulu. Dokter Lydia tersenyum simpul mendengar jawaban dari pria itu.
"Ouw, kalau begitu sebagai suaminya, anda juga bisa lihat istri anda dulu di dalam, kondisinya sedikit lemah."
Keduanya saling berpandangan, lantas kembali menatap Dokter Lydia. Pria itu malah menggeleng pelan.
"Saya bukan suaminya, Dokter," ucapnya yang membuat Dokter Lydia mengerutkan kening. "Dia istri saya." Tunjuknya ke wanita di sebelahnya. "Dan anak itu, anak kita berdua."
"Ha???" tanya Dokter Lydia bingung bukan main.
*SATU TAHUN YANG LALU*
Pria itu melemparkan uang ke atas tempat tidur. Cukup banyak, hingga memenuhi seluruh tempat tidur. Tampak seorang wanita duduk di sana, selimut sengaja dia tarik hingga menutupi hampir seluruh tubuhnya menyisakan leher ke atas. Dia tidak memakai pakaian sehelai pun, sedangkan pria di hadapannya, tampak sibuk memasang kancing kemeja putihnya.
Sesuai perjanjian, dia sudah menikmatinya semalam penuh. Berharap hasilnya akan memuaskan walau harus menanti selama sembilan bulan sepuluh hari. Entah akan berhasil atau tidak, yang pasti jika bulan depan gagal, maka hal yang sama seperti malam ini akan kembali terulang. Pria itu menikmatinya, tapi tidak dengan Dara Adiskha, gadis berusia dua puluh lima tahun yang sebenarnya tidak ingin terjerat di kehidupan seperti yang saat ini dijalani.
"Itu uang tanda jadi!" ucapnya sedikit kasar di telinga Dara yang hanya bisa melihat uang di hadapannya. "Dua ratus lima puluh juta, sisanya ada di koper itu. Dan dua ratus lima puluh jutanya lagi, setelah hasilnya bisa aku dapatkan."
"Aku bukan p*****r sampai anda melemparkan uang itu. Anda bisa meletakkannya saja di koper bersama uangnya yang lain," cetus Dara kesal.
"Iya iya saya tau, saya cuma ngerasa ingin melakukannya. Maaf," ucapnya santai. "Pergunakan uang itu untuk beberapa bulan ke depan, kalau berhasil, kita akan ketemu setiap bulannya buat kontrol."
Dara hanya mengangguk dan menatap kepergian lelaki itu dari kamar hotel. Dara menghela napas berat, memperhatikan uang yang berserakan di bab atas tempat tidur dan juga di lantai.
Dia persis seperti p****************g yang berhasil menikmati mangsanya. Tanpa punya hati, melempar semua uang ke wanita yang berhasil dia nikmati semalam. Tampaknya dia pria baik, namun sayangnya tidak. Dia menjijikkan. Itulah yang bisa dikatakan Dara tentangnya.
Dara sudah berpakaian rapi. Rambutnya basah setelah habis keramas. Dia menatap pantulan dirinya di cermin. Ada kesedihan di kedua matanya membayangkan akan seperti apa hidupnya ke depan.
"Beneran kamu kerja di kantoran, Nak? Ibu bangga sama kamu."
"Ma, uang sekolah kakak belum dibayar, besok ada ujian dan kakak terancam gak ikut ujian kalau gak bayar uang sekolah."
Suara sang ibu dan juga sang anak terngiang di telinganya. Dia benar-benar tidak punya pilihan lain. Semua lamaran sudah dia layangkan, tapi tetap saja tidak ada satu pun yang diterima. Bahkan Dara sudah mencoba berjualan makanan di pinggir jalan, tapi sama saja. Hasilnya tidak bisa menutupi kebutuhan rumah dan juga biaya sekolah Anaya, anak semata wayangnya hasil dari pernikahannya di usia yang masih dikatakan belia, delapan belas tahun. Hanya karena perjodohan sang bapak, Dara harus merelakan masa mudanya dengan menikahi jodoh pilihan sang Bapak yang ternyata hanya seorang b******n.
Dara meraih tas tangannya di atas meja rias, meraih koper berisikan uang, lantas melangkah ke luar dari kamar. Dengan anggunnya dan pakaian kemeja putih dengan dipadukan celana panjang hitam dan blazer yang juga senada dengan celana, Dara melangkah di lorong menuju lift hotel. Dia tampak seperti wanita kantoran yang elegan. Siapa pun yang melihat, tidak akan pernah menyangka bahwa sebenarnya, dia adalah wanita sewaan. Lebih tepatnya menyewakan rahimnya untuk disewakan pasangan yang tidak bisa memiliki keturunan.