BAB 2 - TUGAS SELESAI

850 Words
Pintu kamar inap Dara terbuka. Dara yang baru saja selesai makan siang dari rumah sakit, menoleh ke arah pintu yang ternyata ada sepasang suami istri yang datang sembari .membawa seorang bayi di gendongan sang wanita. Dara melihatnya dengan perasaan sedih bukan main. Sejak dua hari lalu dia ingin melihatnya, namun anehnya kedua orang tua itu malah tidak mengizinkannya. Dan kini, mereka datang tanpa diundang. "Hai, Mbak," sapa sang wanita ramah yang hanya dibalas senyuman oleh Dara. "Mbak mau gendong?" tanyanya yang membuat rasa haru semakin menjadi-jadi di diri Dara. Dia tidak menyangka bisa diizinkan menggendong anaknya sendiri. Anak perempuan yang tidak lain adalah adik kandung Anaya, walau sang gadis cilik tidak pernah tahu akan hal itu. "Bolehkah?" tanya Dara dengan nada suara bergetar. "Tentu saja," jawab wanita itu lantas memberikannya ke Dara. Dara menimangnya, duduk di atas tempat tidur dengan gadis cilik itu berada di pangkuannya. Dia begitu lucu. Hidungnya mancung persis seperti Anaya dulu. Air mata Dara melesat jatuh yang dengan cepat dia hapus sebelum semakin melemahkannya. "Amelia Salsabila, itu namanya, Mbak." Dara menatapnya penuh haru, memanggilnya dengan sebutan Amelia sembari kembali menangis. Secara tiba-tiba, Amelia bergerak dan menangis keras, membuat pria yang kini menjadi ayah itu, berniat bergegas mengambilnya. Namun Dinda, panggilan sang ibu angkat dari Amelia, malah mencegahnya. "Mbak, aku bisa minta tolong sesuatu?" tanya Dinda yang langsung dijawab anggukan oleh Dara. "Tolong kasih ASI pertamamu, Mbak. Aku tau ini sudah terlambat, seharusnya dua hari lalu aku mengajaknya bertemu denganmu, tapi saat itu aku masih terlalu egois. Aku hanya memikirkan ketakutanku tanpa berpikir tentang Amelia yang butuh asupan ASI pertama dari kamu, Mbak. Jadi tolong, sebelum kita berpisah, berikan ASI pertamamu untuknya." "Berpisah?" tanya Dara. "Kami akan bawa Amelia ke kampungku, Mbak. Tapi maaf, aku gak bisa kasih tau di mana itu." Dara mengerti. Ini bukan kali pertama dia harus mengalami situasi seperti ini. Semua ini sudah berlaku selama tiga tahun belakangan, tepatnya semenjak setahun dia bercerai. Sudah dua kali rahimnya disewakan, dan Dara harus mengalami perpisahan seperti ini dengan anak-anak yang dia lahirkan. "Kami akan ke luar, Mbak, kalau sudah siap, tekan saja tombol pemanggil suster, kami akan masuk ke dalam sekaligus menuntaskan pembayaran sisanya." "Baiklah, terima kasih." Dinda mengangguk pelan, menggenggam tangan sang suami lantas mengajaknya ke luar. Dara menghela napas pelan, kembali fokus dengan sang anak di gendongannya lantas berusaha mendiamkannya. Tanpa mengulur waktu, Dara langsung melakukan tugas pertama seorang ibu pada anaknya. Air matanya kembali jatuh dan kali ini jatuh di atas tubuh Amelia. Kesedihan hadir begitu nyata. Entah sampai kapan dia harus melakoni peran menyakitkan ini. Rasanya, Dara sudah tidak sanggup lagi. *** Damar, sang ayah untuk bayi yang baru Dara lahirkan, tampak berdiri di samping Dara yang masih harus duduk di atas tempat tidur rumah sakit. Sesaat, dia membungkukkan tubuhnya mengucapkan terima kasih. Anehnya, semua kesombongan beberapa bulan lalu di wajahnya, lenyap di hari itu. Dia tampak berbeda, walau dengan wajah yang sama. "Dengan ini, kita resmi bercerai ya, Mbak," ucap Damar sembari memberikan surat perceraian. "aku juga sudah talak tiga Mbak Dara kemarin, disaksikan langsung sama istriku. Jadi mulai sekarang, kita gak ada hubungan apapun lagi ya." Dara mengangguk lemah sembari menerima surat perjanjian tanda selesai dengan Damar. Dara cukup lega menerimanya, namun tetap saja hatinya sakit bukan main berada di situasi ini lagi. "Aku gak tau harus gimana bilangnya, Mbak, rasanya uang lima ratus juga belum cukup untuk membayar semua jasa besarmu ini, Mbak." Dara hanya tersenyum. Walau hatinya sakit bukan main mengingat sang anak harus kembali dia relakan bersama pasangan lain. "Jaga anak itu," ucapnya lirih. "Apa pun yang terjadi ke depannya, dia tidak pernah salah apa-apa. Jangan lampiaskan kemarahan kalian padanya." "Pasti, Mbak," balasnya sembari tersenyum. Bobby lantas mengeluarkan bukti transfer dari handphonenya, lantas menunjukkannya ke Dara. "Uang sisanya sudah aku transfer, Mbak, dan sesuai permintaan Dinda, aku melebihkan lima puluh juta untuk Mbak. Semoga cukup untuk membalas budi baik Mbak yaa?" "Terima kasih," jawab Dara tidak tau lagi harus berkata apa. "Kalian akan berangkat hari ini" Damar mengangguk. "Maaf, kami gak bisa mempertemukan Mbak dan Amelia untuk yang terakhir kalinya. Kami harap, Mbak gak bertindak nekat ke depannya untuk mencari di mana kami berada dan mengusik kehidupan kami dan Amelia." "Aku tidak akan melakukan itu." Dara mencoba tegar. "Dia seutuhnya sudah anak kalian, bukan lagi anakku. Sesuai janji kita di awal." Dara tersenyum lebar. "Semoga bahagia dengan kehidupan baru kalian ya?" Damar menatapnya tak tega. "Mbak juga, semoga mendapatkan pasangan dan kehidupan yang lebih baik ya?" Dara hanya menganggukkan kepala menjawab kalimat Bobby. "Semua sudah selesai, jaga dia baik-baik selayaknya anak kandung kalian sendiri." "Pasti, Mbak." Damar dan Dara saling berpandangan sembari tersenyum satu sama lain. Lantas Bobby berpamitan pergi meninggalkan Dara yang kembali sendirian. Hanya sembilan bulan sepuluh hari Dara merasakan sang anak di rahimnya, dia tidak nyangka perpisahan itu kembali harus dia perankan dalam sketsa hidupnya. Dara menundukkan kepala, meneteskan air mata sembari memegangi perutnya sendiri. Rasanya sakit, bahkan Dara merasa dirinya benar-benar hina bukan main. Walau tujuannya membantu pasangan lain, tapi uang yang dia terima tidak lain adalah uang haram dari hasil perjanjian panas yang dia lakukan bersama pria berstatus suami wanita lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD