BAB 3 - KAKAK DUA ADIK

1378 Words
"Berhenti kalau tidak kuat, Ra, kerjaan seperti ini gak cocok buat kamu," tegur Mayang, sahabatnya yang saat itu bekerja sebagai pelayan cafe. "Mau kerja di mana lagi, May, kamu kan tau sendiri, aku udah coba ke sana ke sini buat cari kerja, tapi hasilnya nihil kan? Kamu sih gak coba masukkan aku ke cafe ini, mana tau udah bisa." Mayang yang semula membersihkan meja tempat Dara duduk dengan kain, langsung duduk di salah satu kursi di dekat Dara sembari menghela napas kasar. "Kamu kayak gak tau ini cafe gimana sih, Ra, lihat tuh gak ada pelanggan sama sekali, sepi. Ngegaji kami yang cuma lima orang sama dia chef aja dia kelabakan, apa lagi harus nambah orang. Mana bisa, Ra. Lagian kamu juga tau kan, gaji di sini kecil. Aku di sini karena nih cafe punya Tante aku, sekalian bantu-bantu, lha kamu? Buat bayar sewa aja pasti udah habis. Sementara kamu harus kirim uang ke Ibu dan anak kamu di Malang, kan?" "Iya sih." "Udah deh, Ra, coba cari-cari lagi. siapa tau beruntung ada perusahaan yang mau nerima kamu. Ingat lho, Ra, kamu gak mungkin selamanya seperti ini kan? Kalau sampai Ibu dan Anaya tau, gimana coba? Kamu tega lihat mereka terpukul kalau sampai mereka tau?" "Aku juga pengen berhenti, tapi mau gimana lagi." Mayang mengeluarkan handphonenya, lantas menunjukkan info terbaru yang dia dapat dari media sosial miliknya ke Dara. "Lihat, ada pekerjaan buat kamu, jadi office girl di perusahaan property, coba aja, siapa tau keterima." Dara membaca info itu dengan seksama. Jadwal wawancaranya hanya tinggal besok. Dara menatap Mayang yang masih duduk di sebelahnya, anggukan kepala Mayang membuat Dara semakin yakin, bahwa ini adalah jalan terbaik baginya untuk terbebas dari jerat hidup yang dia pilih saat ini. *** Dara duduk dengan pakaian rapi di depan seorang pria berkemeja biru muda. Dia tampak gugup, melirik pria di depannya yang sedang memeriksa daftar riwayat hidup seorang Dara Adiskha. Pakaian kemeja putih dengan dipadukan celana panjang hitam, menjadi stelan terbaik baginya hari ini. Dara tidak berani berpenampilan berlebihan, karena sadar bahwa posisi yang ingin dia capai di wawancara kali ini, hanya sebatas menjadi office girl. Sudah lima belas menit dia di wawancara. Sebelumnya ada beberapa pelamar lainnya yang mengantri bersamanya, dan lebih dulu dipanggil ke dalam ruangan ber-AC itu. Dan sebagai peserta terakhir, Dara hanya bisa bersabar menanti keputusan yang katanya, akan langsung diberikan hari ini juga, saat sesi wawancara. "Sebelumnya pernah bekerja di rumah makan?" tanya pria itu. "Iya, Pak. Saya juga pernah bekerja di rumah sakit sebagai cleaning service juga. Tapi gak lama karena ada tawaran kerja di rumah makan itu." "Berapa lama di rumah sakit dan rumah makan itu?" "Di rumah sakit hanya lima bulan, Pak, dan di rumah makan hampir satu tahun setelah." "Dan sekarang, apa pekerjaan anda?" tanya pria itu lagi yang berhasil membuat Dara terdiam. Dia menatap sang pria dengan rasa gugup yang teramat sangat. Dara bingung harus memberikan jawaban apa. Mustahil rasanya dia menjawab kalau kini, dia melakoni pekerjaan ekstrem yang berhubungan dengan rahim. "Saya menganggur, Pak. Dan sesekali membantu teman di cafenya," jawab Dara berbohong di kalimat terakhirnya. Pria itu menganggukkan kepala. "Di sini tertulis kalau kamu punya satu anak, sebenarnya kami ragu kalau harus menerima wanita yang sudah berkeluarga. Karena takutnya dia sesuka hatinya izin dengan alasan anak sakit, anak begini, atau bahkan membawa serta anaknya ke sini." "Anak saya tidak di kota ini, Pak!" jawab Dara cepat. "dia berada di Malang, tinggal bersama neneknya sejak tiga tahun lalu." "Dan sama suami?" "Saya sudah bercerai, Pak." Dara menundukkan kepala. "Oh, maaf, soalnya kamu tidak mencantumkan status pernikahan kamu di CV kamu ini." "Iya, Pak, maaf." Pria itu menutup berkas Dara, menatapnya dengan penuh pertimbangan yang membuat Dara menunduk cemas. Dalam hatinya, lantunan doa terus dia panjatkan, berharap pekerjaan itu bisa dia dapatkan demi terbebas dari pekerjaan menyewa rahimnya. "Kalau KAU beneran menyayangi hamba-MU secara adil, tolong tunjukkan padaku di kesempatan ini, Ya Allah." "Mbak Dara Adiskha," panggil Pria itu yang membuat Dara mengangkat kepalanya sembari menjawab singkat panggilannya. "Kami menerima anda bekerja di sini, dan anda bisa bekerja mulai besok jam delapan, sampai jam empat sore." Dara benar-benar dibuat kaget bukan main bercampur rasa senang yang luar biasa mendengarnya. Senyumannya merekah, air matanya jatuh, Tuhan benar-benar menyayanginya, itulah yang kembali terucap di hatinya saat mendengarnya. Wajah Anaya, terbayang di kepalanya. Semua ini demi Anaya dan sang Ibu. Dara berjanji akan menjadi yang lebih baik dari sebelumnya. Dia tidak ingin mengambil pilihan yang salah lagi. Apa pun yang terjadi. *** Dara berbaring di atas tempat tidur malam harinya. Tatapannya tertuju ke seragam office girl berwarna abu-abu yang sudah dia terima langsung dari perusahaan Aditama Arya itu. Ukuran yang pas membuat Dara tidak perlu menanti lama hingga ukurannya kembali dijahitkan. Dara bisa langsung memakainya, dan besok adalah hari pertama baginya menjalani harinya yang baru. Dara meraih handphonenya, memandangi wajah Anaya di layar yang sedang berada di pangkuannya. Sudah cukup lama dia tidak bertemu dengan sang anak. Bahkan lebaran kemarin pun, Dara memutuskan tidak pulang karena sedang hamil besar. Dan hal itu membuat Anaya menangis di panggilan telepon kala itu. Entah apa yang ada di benak sang anak dan sang ibu saat ini. Keduanya tahu, bahwa Dara bekerja di luar negeri sebagai TKW, tapi kenyatannya Dara menetap di kota Jakarta yang menjadi lokasinya mencari mangsa. Dara mencari nomor sang Ibu, lantas menekannya untuk memanggilnya. Suara nada sambung terdengar. Tidak berapa lama, suara wanita yang sangat dia rindukan pun hadir di telinga. "Nak, kamu sehat?" tanya Mirna, sang ibu dengan suara bergetar menahan tangis kerinduan. "Alhamdulillah Dara sehat, Bu, Ibu dan Anaya gimana?" tanya Dara yang terus mencoba untuk tidak lemah karena tangisan. Dara menahan air matanya untuk tidak jatuh. "Alhamdulillah kami semua baik-baik saja di sini," jawab Mirna. "Gimana pekerjaan kamu di sana, apa semua baik? Majikan kamu gak jahat kan, Nak?" Sosok semua pria yang menggunakan jasanya terbayang seketika. Semua sikap mereka yang terkadang baik, terkadang buruk, hingga sikap Bobby yang melemparkan uangnya ke dirinya, membuat Dara menutup rapat mulutnya. Lagi-lagi Dara menutup mulutnya rapat-rapat. "Mereka baik, Bu, sangat baik," jawab Dara. "insyaallah Dara akan kirim uang bulanannya segera ya, Bu. Nanti kalau Dara dikasih izin ke luar, Dara akan transfer uangnya. Atau nanti kalau uangnya sudah Dara masukkan ke bank, Dara segera transfer via banking." "Terserah kamu saja, Nak. Uang ibu juga masih ada." "Masih ada?" tanya Dara heran. "Uang bulan lalu gak dipakai, Bu?" "Dipakai kok, cuma sekarang Ibu sudah balik jualan sarapan pagi lagi. Lena sudah sehat, jadi bisa bantuin Ibu jualan." Dara menghela napas kesal. "Bu, kan udah Dara bilang, jangan jualan lagi. Ingat kesehatan Ibu." "Ibu masih kuat, Nak, lagian ini hobby ibu, kalau gak dilakuin ibu malah ngerasa gak enak badan terus." Dara hanya menghela napas kesal mendengar bantahan yang sama. "Kamu kapan pulang? Apa tahun ini gak dikasih izin pulang, Nak?" Dara terdiam. Dia tahu, baik sang ibu mau pun Anaya, ingin dia kembali walau hanya sesaat. Sayangnya kondisinya waktu itu, membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Dara sendiri pun ingin pulang dan menetap di sana. "Kita buka usaha saja di sini, Nak, biar kamu gak jauh terus dari Anaya. Kasihan dia selalu diledekin teman-teman di sekolah karena ibunya gak pernah hadir." "Maaf, Bu, Dara belum bisa menetap di sana. Ada kontrak yang harus Dara selesaikan, dan kalau Dara mengingkarinya, Dara malah harus membayar." Dara beranjak duduk, lantas bersandar di kepala tempat tidurnya. "Anaya mana, Bu?" "Dia sudah tidur, besok ada kuis katanya di sekolah." Mirna tersenyum tipis. "Anakmu pintar, Ra, dia selalu juara di kelas dan punya banyak teman. Bahkan dia mau diikutkan lomba cerdas cermat di sekolah, tapi dia masih menolaknya." "Kenapa, Bu?" "Entahlah, Ibu gak tau. Dia selalu sedih setiap kali ditanya soal itu. Usahakan pulang ya, Nak, minimal beberapa hari saja. Kasihan Anaya." "Iya, Bu, nanti Dara usahakan. Ya sudah ya, Bu, Dara tutup dulu. Jangan begadang ya, Bu." "Iya, Nak, jaga diri kamu baik-baik di sana, makan yang teratur. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Panggilan telepon di akhiri. Dara meletakkan handphonenya ke atas meja, memperhatikan bingkai foto besar yang sengaja dia pajang di kamarnya. Ada dirinya, Anaya dan sang Ibu di sana, tampak bahagia duduk menikmati suasana pagi di depan rumah. Air mata Dara mengalir, membayangkan ada dua sosok gadis kecil lainnya terpajang di sana. "Anaya, kamu sudah jadi kakak dua adik, Nak. Maafkan Bunda ya?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD