Sampai gajah bertelur unta!

1525 Words
“Il?” “Paan?” “Kamu mau ke mana?” “Ke neraka! Ikut?” “Namanya saja Ilyasa, kelakuan kayak Dajjal!” “Menghina namaku sama saja dengan menghina, pemberian ibuku!” “Eh, komedi putar! Emak kamu gak salah ngasih nama, tapi yang salah itu sikapmu. Minus banget tahu gak!” “Seneng menengo, gak seneng minggato. Gampang kan?” Jika memiliki kesabaran hanya sebesar beras, mending jauh-jauh deh dari pria bernama Ilyasa ini. Lengkapnya, Ilyasa Ananta. Pria muda yang sukses dalam bidang kuliner ini, sangat di gandrungin banyak kaum hawa. Wajah? Tentu saja tampan. Postur? Siplah pokoknya, pelukeble banget. Harta? Jangan di tanya! Di usianya yang belum genap kepala tiga ini, ia sudah memiliki restoran bintang lima. Belum lagi beberapa restoran kecil lainnya. Jika di tanya darimana dia mendapatkan kekayaan itu? Tentu jawabannya dari almarhum kedua orang tuanya. Tapi! Ada tapinya loh ya. Kekayaan yang di tinggalkan oleh kedua orang tuanya hanya sebuah kedai makan biasa yang ada di pinggir jalan. Karena kepintaran dan juga keramahannya serta tekad yang kuat, akhirnya dia bisa mengembangkan kedai makan menjadi restoran. Sangat sempurna kan, untuk dijadikan seorang suami? Lalu apa dia sesempurna itu? Tentu saja tidak. Karena sejatinya kesempurnaan hanyalah milik Allah. Ilyasa adalah pria sempurna di mata para wanita, tapi sikap dan sifatnya sangat teramat minus. Selengekan, petakilan dan ceplas-ceplos saat berbicara. Mungkin jika wajahnya tidak tampan, akan banyak wanita yang eneg dengan sikapnya. Termasuk asistennya yang bernama, Reivan ini. “Ini serius, Il. Kita harus ke Mall, kan kamu baru buka restoran baru di sana,” ucap Reivan. “Ya situ udah tahu, lalu kenapa bertanya aku mau ke mana?” Sabar! Reivan harus banyak-banyak menyetok sebuah rasa bernama SABAR, mungkin orang yang bernama SABAR saja, tidak akan bisa sabar jika berhadapan dengan Ilyasa. “Pakai mobil kamu ya?” tanya Ilyasa. “Eh, kerak neraka. Yang bisnya itu kamu. Kenapa harus pakai mobilku?” ucap Reivan. “Oh iya, lupa! Kamu kan babu ya.” “Bangke! Ya Allah, sabarkanlah hamba-Mu ini, dalam menghadapi kerak neraka yang masih hidup ini,” ucap Reivan. “Gak usah berlebihan, belum tentu juga maliakat Jibril ada di sini. Takutnya yang ada di sini Malaikat maut, kan gawat! Lagian nanti aku juga ingin pergi ke suatu tempat.” “Tuan Ilyasa yang terhormat, mari berangkat, ini sudah siang, dan tolong tinggalkan segala kekonyolan Anda saat ini juga,” ucap Reivan kesal. “Si Medina, udah jadwalkan soal orang yang mau menyewa restoran belum?” tanya Ilyasa. “Tanya aja sendiri, dia kan sekretaris kamu, bukan sekretaris aku,” ucap Reivan. “Dih, balas dendam. Ya udah lah yuk berangkat, jangan ngoceh muluk,” ucap Ilyasa “Ya ampun. Majikan mah bebas ya, mau ngomong apa pun bebas. Babu mah, bisa apa!” Begitu terus, sampai gajah bertelur unta juga, sikap Ilyasa akan seperti itu. Dan selama itu pula, kesabaran Reivan diuji. Keduanya pun pergi dengan membawa mobil masing-masing. Biasanya sih, mereka akan satu mobil, tapi kali ini Ilyasa memilih untuk menaiki mobilnya sendiri, karena nanti ia ingin pergi ke suatu tempat. Mobil yang dikendarai oleh Ilyasa kini sudah sampai di parkiran sebuah pusat perbelanjaan terbesar yang ada di kota itu. Dengan gagahnya, ia pun berjalan menuju restoran miliknya. Restoran kali ini tidak sebesar miliknya yang lain, karena usulan dari Reivan, jadi Ilyasa pun membuka cabang di sini. Dan ini adalah kedua kalinya ia mendatangi kota ini. Baru beberapa langkah, Ilyasa menabrak seorang. Tentu saja Ilyasa harus mengeluarkan dakwahnya, meskipun ia bersalah, mana mau di salahkan. Saat asyik mengeluarkan suaranya, tiba-tiba mata ilyasa membelalak saat melihat seorang yang ia tabrak ternyata seorang wanita berhijab nan cantik. “Woi, Ukhti, kok malah bengong? Naksir ya sama aku?” tanya Ilyasa dengan percaya dirinya. “Astagfirullah.” “Wyl, kamu gak apa?” Ilyasa memandang seorang wanita yang mencoba menolong wanita yang ia tabrak tadi. “Eh Mbak. Aku juga jatuh loh ini. Kok hanya Ukhti ini saja yang di tanyain?” tanya Ilyasa. “Eh, Mas. Kan situ yang nabrak sepupu saya, seharusnya situ minta maaf dong!” “Oh, sepupu toh. Tapi kok jauh banget sih. Yang ini Ukhti dan situ kok model kunti begini!” “Heh Mas. Ganteng doang gak ada akhlak, percima. Tukar tambah gih, kegantengan kamu sama beras!” “Enak–“ “DIAM! Ayo pergi, Fay!” ucap Wyla. “Gak bisa gitu dong, Wyl. Nih orang kudu minta maaf!” ucap Fayyana. “Wil? Wanita Idaman Lain?” tanya Ilyasa. Hal itu membuat Wyla dan Fayyana membelalakkan matanya. “Enak aja, namanya Arlane Twyla Lopika. Pakai TWYLA. Pakai ‘Y’ gak pakai ‘i’,” ucap Fayyana. “Oke, aku Ilyasa. Semoga bisa bertemu lagi Ukhti Wyla,” ucap Ilyasa lalu bangun dan pergi meninggalkan Wyla dan Fayyana yang melongo. “Tuh laki kenapa coba?” tanya Fayyana. Wyla hanya diam saja, ia baru tahu jika pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Ilyasa itu, secara tidak langsung mengajaknya berkenalan. Caranya memang sangat bar-bar. Sedangkan Ilyasa, kini sudah senyum-senyum gak karuan. Pertama kalinya ia bertemu dengan seorang wanita dengan tatapan dingin dan wajah cuek, dan berhijab juga. Poin plus lah. “Kenapa cengar-cengir kayak kodok gitu? Habis kesambet ya?” tanya Reivan. “Habis ketemu sama bidadari,” jawab Reivan. “Bosan banget, dengarnya. Hampir tiap ketemu betina, ya kamu selalu bilang habis ketemu bidadari. Bahkan ketemu sapi pun kamu akan bilang bertemu bidadari,” ucap Reivan. “Kali ini beneran bidadari, Rei,” ucap Ilyasa. “Iya deh, iya,” ucap Reivan. “Namanya–“ “Nanti saja di bahas. Kita lihat-lihat restoran kamu dulu,” ucap Reivan. Ilyasa mendengus, tapi memang benar, mereka sudah sampai di restoran mereka. Keduanya pun mulai mengawasi dan memeriksa bagaimana perkembangan restoran yang baru saja satu minggu itu. Sejauh ini tidak ada hal yang mencurigakan, semua tampak lancar, pengunjungnya pun ramai, meski lebih banyak para muda-mudi yang berkunjung. Ilyasa memang sengaja mendesign restorannya dengan gaya kekinian, tujuannya memang untuk menarik pengunjung kaula muda. “Rei, barusan Medina, mengirim dokumen ke surel kamu. Kamu cek dulu sebelum dikirim ke aku,” ucap Ilyasa. “Hm.” Hanya satu deheman saja, bukannya kurang ajar, Reivan memilih menahan ucapannya demi menghindari debat unfaedah dari majikan gesreknya itu. “Rei?” “Apa lagi sih? Aku lagi memeriksa apa yang kamu katakan barusan,” ucap Reivan. “Kamu gak penasaran sama Ukhti yang tadi ketemu aku?” Mulai deh, ini nih. Hal yang Reivan malas dari Ilyasa. Tingkahnya yang gesrek dan juga kecerewetan pria ini. Sungguh membuat Reivan ingin menukarkan Ilyasa dengan sapi, agar bisa di korbankan saat hari raya idul Adha “Gak, mau ketemu Ukhti kek, ketemu kunti kek. Bodo amat, alu gak peduli!” ucap Reivan. “Namanya Arlane Twyla Lopika! Dia cantik loh, tapi tatapannya terlihat dingin,” ucap Ilyasa. “Siapa? Twyla Lopika, kamu bilang?” tanya Reivan. “Kamu kenal? Kamu tahu di mana rumahnya?” tanya Ilyasa. “Sepertinya tahu, dia kan designer terkenal yang di ibukota,” ucap Reivan. “Hah? Masa sih?” tanya Ilyasa. “Kalau gak percaya cari aja di internet,” ucap Reivan. Ilyasa pun menuruti apa kata Reivan, ia pun mengetikkan sesuatu di papa keyboard laptopnya. Matanya membelalak saat mengetahui siapa wanita yang ia panggil Ukhti tadi. “Masyaallah! Bidadariku memang cantik banget dan juga orang hebat,” ucap Ilyasa kagum. “Hah? Bidadarimu? Main comot aja, belum tentu dia mau sama kamu, bisa juga kan, dia itu mempunyai kekasih atau suami,” ucap Reivan. “Di sini tertulis dia masih sendiri,” jawab Ilyasa. “Tepi kan kit–“ “Pokoknya dia harus jadi milikku. Akan ku dapatkan dia bagaimanapun caranya,” ucap Ilyasa. Reivan menatap Ilyasa dengan tatapan membunuh, tanpa pikir dua kali, sebuah map pun melayang dan mendarat di kepala Ilyasa. Dan pelakunya adalah Reivan yang geram dengan ucapan Ilyasa. “Sakit BANGKE!” teriak Ilyasa seraya mengusap kepalanya. “Itu congor kalau ngomong bisa gak, di pikir dulu?” ucap Reivan. “Lah, emang aku ngomong apa?” tanya Ilyasa. “Kamu mau mendapatkan dia bagaimanapun caranya? Kamu tahu artinya itu apa? Kamu akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dia! Sadar gak kamu dengan kata-kata kamu itu?” “Sadar kok, Rei. Kan aku tidak lagi mabuk,” jawab Ilyasa. Dengan wajah tanpa dosa, Ilyasa mengatakan hal itu. Lagi-lagi Reivan menghadiahi sebuah pukulan di kepala majikan sekaligus sahabatnya itu. “Aku tidak akan membiarkan hal itu. Dekati dia dengan normal, jangan sampai kamu merusaknya atau merusak kariernya, kalau sampai itu terjadi, maka aku yang akan mengirimmu ke neraka!” ucap Reivan dengan nada dingin. Tunggu dulu! Otak Ilyasa langsung menangkap jika ada sesuatu yang mencurigakan dari nada bicara Reivan. “Kamu gak lagi cemburu kan, Rei?” tanya Ilyasa. “Cemburu? Cemburu matamu itu. Aku mengenal Twyla jauh sebelum aku mengenalmu! Jadi jangan macam-macam sama dia, asal kamu tahu ya. Khodamnya itu bukan main-main. Jangankan kamu, penghuni neraka sekalipun tidak akan berani sana kodamnya,” ucap Reivan. “Tadi kamu bilang gak kenal?” “Sak Karepmu wes!” *Bagiamana menurut Anda semua epribadeh?? apakah kalian suka sama nih lapak???? harusnya suka ya! kudu suka! Emak maksa!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD