bc

Star Wash

book_age16+
643
FOLLOW
3.0K
READ
billionaire
sensitive
sporty
CEO
drama
comedy
bxg
city
small town
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

Menjadi Bujang Munggaran tidaklah mudah, dia harus memperjuangkan cita-cita juga cinta.

Sayangnya cinta Bujang salah sasaran. Asmi Anindita Lestari, perempuan yang Bujang cintai ternyata adalah seorang single parent.

Bagaimana kisah cinta Bujang? Sanggupkah dia meraih cita-cita juga cinta secara bersamaan?

cover by: Riandra_27

chap-preview
Free preview
Diawali Dengan luka
 Di atas tempat tidur besi terdapat sebuah gundukan. Tertutup kain lusuh yang aromanya semerbak. Kalau mendekat yang tidak kuat bisa saja pingsan, atau gejala paling ringan adalah mual berkepanjangan. Mak Lala berusaha menutup hidungnya, dengan harapan wewangian yang aromanya mengalahkan kembang tujuh rupa itu tidak terhidu. “Jang, ayam jago udah siap-siap matok rejeki kamu, lho. Gak mau bangun emang?” Sesuatu yang semula dikira gundukan itu bergerak. Dia menggeliat, duduk dan mengucek kedua matanya yang lengket bagai diberi lem aibon. Jam di atas nakas menunjukkan pukul setengah lima pagi, sebentar lagi azan subuh.  “Jang, Bangun gak kamu!” Mak Lala terus berteriak, perempuan berusia empat puluh lima tahun itu membuka tirai. Kemudian tersenyum kala melihat putra kesayangannya sedang melipat selimut. Ujang menggeliat lagi, kemudian menguap lebar-lebar, mirip kuda nil dari Afrika. Sekali lagi sebelum menyegarkan badan di kamar mandi lelaki berambut cepak itu melihat bantal. Dalam bayangannya perangkat tidurnya melambai-lambai. Menggoda agar Ujang kembali rebahan. Lima menit saja. Ujang berjalan ke arah yang salah, saat hendak terbuai dengan godaan untuk tidur lagi, Mak Lala masuk. “Mau ke mana, hei!” hardik Mak Lala. “Iya, iya, ini mau mandi, Emak cerewet amat, sih!” Mak lala melotot mendengar jawaban anak lelakinya, dia hendak menjitak kepala Ujang, tetapi lelaki itu berhasil berkelit. Ujang nyengir, buru-buru dia menyambar handuk lalu berjalan tergesa menuju kamar mandi. Air yang dingin membasuh tubuhnya. Dinginnya yang menggigit seketika membuat kantuk hilang. Dia menyabuni seluruh tubuhnya, memastikan gak ada kotoran yang menempel pada tubuhnya. Usai Mandi dan berpakaian rapi, Ujang menyusuri gang di kampungnya. Menuju masjid terdekat. Mak Lala selalu memberinya mukena jika dia malas salat di masjid. Sebab kata Mak Lala, laki-laki itu salatnya di masjid. Sarapan sudah terhidang di meja samping televisi. Tidak ada meja makan, tidak cukup tempat untuk menyimpan benda yang Ujang percaya hanya dimiliki oleh orang kaya tersebut. Nasi goreng tanpa bawang dan telur bersanding serasi dengan teh tanpa gula. Sarapan yang hampir dia nikmati setiap hari sepanjang hidupnya. Jika ada uang lebih, kerupuk akan melengkapi sarapan Ujang. Kalau tidak ada uang, singkong rebus jadi alternatif bahkan sering sekali Ujang harus kerja dalam keadaan perut kosong. Di pabrik nanti kadang ada roti atau biskuit dari staff yang selalu baik padanya. Dia memakai seragamnya, seragam seorang petugas kebersihan di salah satu pabrik kabel. Gajinya tidak cukup untuk sebulan, setidaknya dia membantu Mak Lala melunasi utang-utang peninggalan bapaknya. Ujang kadang bermimpi punya sepeda motor sendiri, kadang dia sedih, jika saja gajinya tidak digunakan untuk bayar utang-utang Bapak, mungkin dia bisa membeli sepeda motor, minimalnya sepeda motor bekas. Namun, pikiran itu buru-buru dia tepis. Jika dia menggunakan uangnya untuk sendiri kasihan Mak Lala yang harus berjuang sendiri. Usai sarapan, Ujang memakai sepatu yang solnya hampir terlepas kemudian bergegas. Dia pergi dengan riang, meski hidup dalam keterbatasan Ujang selalu riang gembira. “Jang, oy, tunggu, Jang!” Mardi tergopoh-gopoh menyusul langkah Ujang. Pria berambut keriting itu lebih beruntung dari ujang, dia bekerja sebagai buruh di pabrik tersebut, setidaknya penghasilannya sedikit lebih besar dari Ujang. “Jalan kaki lagi?” tanya Mardi, terengah karena menyusul langkah ujang yang tergesa. “Gue gak punya ongkos, lu mau ngongkosin?” Mardi merogoh kantong, hanya ada lembar lima ribu rupiah yang sudah lusuh. Mardi tampak berpikir sejenak. “Cukup,” ucapnya. “Pulangnya gimana aja siapa tahu ada yang mau nganterin kita. Lagian kalau pulangnya nanti jalan kaki pun tak masalah gak akan takut telat, ayo, cegat angkotnya.” Raut wajah Ujang berubah semringah, dia menghentikan laju angkot. Keduanya lantas duduk berdesakan di antara penumpang yang baru saja pulang dari pasar. Obrolan ibi-ibu dalam angkot tersebut memancing perhatian Mardi. Namanya Bujang Munggaran. Dalam bahasa Sunda arti Munggaran adalah yang yang pertama. Arti dari Bujang Munggaran adalah anak laki-laki pertama. Lahir dua puluh lima tahun silam di kota Garut. Ujang tidak hanya jadi anak laki-laki pertama, tetapi menjadi anak satu-satunya karena bapaknya meninggal saat Ujang berusia lima belas tahun. Sebagaimana orang yang sudah meninggal, Bapaknya Ujang meninggalkan banyak warisan, bedanya bukan harta. Melainkan utang banyak yang hingga sekarang belum juga lunas. Beruntung orang yang memberi utangan mengerti keadaan Ujang dan Mak Lala sehingga dia dapat mencicil setiap bulan semampunya. Karenanya cita-cita ujang menjadi dokter kandas. Uang tak ada, otak pas-pasan. Jadi polisi apalagi, pernah ikut tes, tetapi tidak lulus. Katanya Ujang kurang tinggi. Akhirnya ujang menganggur selama beberapa tahun. Berkat kebaikan Mardi yang sudah terlebih dahulu bekerja di pabrik kabel, akhirnya Ujang bekerja. Sebagai petugas kebersihan atau lebih kerennya biasa disebut OB. “Jang, lu khawatir gak dengan isu yang belakangan ini santer terdengar di pabrik?” tanya Mardi. Ujang yang sedang melihat pemandangan memalingkan wajah. Hal pertama yang dia lihat adalah kotoran mata Mardi. Ujang menegurnya, Mardi cengengesan seraya membersihkan belek matanya. Ibu-ibu dalam angkot tertawa kala melihat Mardi malu-malu. “Soal karyawan yang dirumahkan dan di PHK?” tanya Ujang akhirnya. Mardi mengangguk. Tatapannya fokus melihat jalanan, takut terlewat. Pasalnya angkot yang mereka tumpangi agak ngebut. “Kalo masih rezeki ya, pasti kita bertahan, Di.” Ujang sebenarnya juga resah, tetapi bisa apa? “Iya, sih, gue takut saja. Zaman sekarang nyari kerja kan susah,” keluh Mardi. “Kiri!” Dia menghentikan angkotnya. Tepat di depan pabrik, tidak terlewat. “Dua ya, Kang.” Mardi menyerahkan uang lusuh tadi pada sopir angkot. “Kurang serebu, Jang,” protes sopir. “Ngutang dulu, deh.” Mardi nyengir, Ujang berlalu masuk pabrik sementara sopir angkot misuh-misuh. Suasana seperti ini Mardi sempat-sempatnya menggoda ibu muda yang tadi duduk di sampingnya dengan mengedipkan sebelah matanya. Pabrik masih sepi. Biasanya jika berangkat dengan berjalan kaki Ujang akan datang bersama rombongan karyawan lainnya. Lumayan pikirnya, lelaki itu bisa berjemur sebentar di bawah sinar matahari yang hangatnya masih kalah dengan kehangatan pelukan Mak Lala. Kalau masih rejeki, Ujang dan Mardi pasti bertahan. Namun, jika memang bukan rezekinya di sini apa boleh buat. Tidak ada yang bisa memaksa. Ujang harus lebih keras cari kerja. Agar utang-utang bapaknya segera lunas. Hingga apa yang dia takutkan akhirnya terjadi. Ujang dan Mardi menerima sebuah amplop. Amplop yang sama dengan teman-teman yang harus menelan pil pahit karena PHK. Lelaki itu menghela napas, membayangkan betapa sedihnya jika Mak Lala tahu hal ini. “Jang, buka dulu, siapa tahu ada duitnya,” seloroh Mardi. Lagi sedih begini dia tidak berselera untuk bergurau. “Lu aja, Di. Gue mau pulang.” Ujang lesu. Mardi melongo, bukan karena ditinggal seorang diri oleh Ujang, melainkan karena amplopnya hanya berisi selembar kertas. Tidak ada uang seperti yang dia harapkan. Pabrik yang selama ini menjadi pencaharian Ujang dan Mardi. Kini jatuh bangkrut. “Ujang pulang, Mak. Gak bawa uang, hanya bawa luka juga beban baru buat Emak,” ratap anak muda yang berjalan tanpa semangat seperti prajurit yang kalah di medan perang.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

THE DISTANCE ( Indonesia )

read
580.1K
bc

Escape from Marriage - Kabur dari Derita Pernikahan Kontrak

read
257.2K
bc

Sweetest Diandra

read
70.5K
bc

Om Bule Suamiku

read
8.8M
bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.6K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Long Road

read
118.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook