Bab 2

2082 Words
Huo Ying menatap hamparan luas taman bunga yang berada di belakang istana khusus para istri raja. Kedua mata coklatnya menatap sendu sosok yang berdiri menatap langit di antara bunga mawar di tengah-tengah taman. Ikut merasakan sedih yang di rasakan oleh sang junjungan. Ikut merasakan kekosongan yang kini melingkupi sang penguasa. Pria itu menghela nafas. Sudah lima tahun berlalu dan keadaan istana malah semakin dingin. Tak ada setitik kehangatan dan keceriaan yang hadir. Sejak kematian permaisuri pertama, kerajaan kini bagaikan dilanda musim dingin berbadai tanpa henti. Semua menjadi ikut membeku dan tak ada kehangatan sedikit pun. Pikiran pria bermanik lembut itu melalang buana. Kembali memutar kenangan masa silam yang begitu indah. Kenangan yang tak akan pernah di lupakannya. Kenangan dimana keadaan istana bagaikan surga dunia. Penuh canda tawa. Penuh kehangatan dan suka cita. Penuh kegembiraan. Dimana sang pemilik cahaya masih hidup. Menerangi setiap hati yang melihatnya. Dan semua kebahagiaan itu lenyap dalam satu malam yang tak terduga. "Yang Mulia. Sudah saatnya anda kembali. Hari sudah beranjak gelap." Huo Ying berbicara sehalus mungkin. Mencoba untuk tidak menyinggung perasaan sang raja. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut sang penguasa, dan Huo Ying semakin menatap sendu punggung tegak milik rajanya tersebut. Hatinya ikut nelangsa mendapati rajanya kini bagaikan seorang manusia tanpa nyawa dan hati. "Yang Mulia .. " Raja akhirnya membalikkan tubuhnya. Kemudian berjalan meninggalkan taman indah tersebut dalam diam. Melewati pelayan kepercayaannya tanpa kata. Berlalu dengan ke sendirian nya. Huo Ying kembali mengambil nafas dalam. Kemudian ia ikut melangkah mengikuti kemana tuannya pergi. Dengan setia ia berjalan di belakang sang junjungan. Setia menemani kemanapun tuannya pergi. "Lapor Yang Mulia." seseorang menghadap. Membungkuk memberi salam pada Raja Kerajaan Konoha. Berlutut dengan satu kaki dan menunduk dalam, "Pangeran sejak tadi pagi belumlah kembali." ucap prajurit itu. Zhuo Zu melirik prajurit itu singkat. Kemudian tanpa banyak kata ia berlalu. Lagi-lagi tak ada sepatah kata pun yang keluar. Dan itu cukup membuat prajurit itu diam seribu bahasa. Huo Ying berjalan menghampiri prajurit tersebut. Ia menepuk bahu prajurit itu dan membuat prajurit itu mendongak menatapnya, "Kerahkan sepuluh prajurit dan cari pangeran!" perintahnya tegas. Prajurit itu menatap Huo Ying sedikit lama. Sebelum kemudian mengangguk mantap, "Baik, laksanakan!" jawabnya sebelum memberi salam dan berlalu. Huo Ying menatap punggung prajurit itu hingga hilang dari pandangan. Kemudian ia kembali melangkahkan kakinya menyusul raja. Membiarkan masalah pangeran di tangani oleh para prajurit. ~•••••~ Ying Hua berjalan santai sembari memakan kacang kenari yang dibelinya. Dia terkadang bersenandung kecil, merasa senang dengan keadaan desa yang di kunjunginya kali ini. "Ternyata pasar ini lebih ramai dari pada pasar di desa kita kak." Xi Feng bergerak liar menatap para penjual yang menawarkan barang mereka di pinggir jalan. Remaja itu kini sudah kembali memakai pakaian aslinya dan tidak menyamar lagi menjadi seorang tabib. Ying Hua mengangguk mengiyakan. Dia asik mengunyah kacang kenarinya dan sedikit tidak menghiraukan Xi Feng. "Kakak Mei Lan pasti akan sangat senang jika kesini. Kapan-kapan aku akan mengajaknya." kata Xi Feng sekali lagi. Remaja itu masih setia menengokkan kepalanya kesana kemari melihat para pedagang. Ying Hua yang hendak memasukkan kacang kenari kedalam mulutnya terhenti, kedua mata hitamnya melirik Xi Feng, "Aa, ide bagus. Ajak paman dan kakak senior sekalian." ucapnya tenang sebelum memasukkan kacang kenari yang sempat menggantung di depan mulutnya. Xi Feng menggaruk belakang kepalanya saat mendengar jawaban tenang dari Ying Hua. Rasa-rasanya ada yang aneh. Tapi apa? Ia tak mengucapkan sesuatu yang salah, kan? "Apa aku melakukan kesalahan?" Ying Hua menggelengkan kepalanya, dengan santai ia kembali asik bergelut dengan kacang kenari yang ada di genggamannya. Ia kini mengabaikan Xi Feng yang masih asik berfikir kesalahan yang ia lakukan. Saat asik-asiknya mereka berdua berjalan. Keduanya di kejutkan oleh sesuatu keributan yang terjadi di hadapan mereka. Membuat mereka berhenti dan menatap kedepan dengan serius. Dan bersiaga saat terdengar suara seseorang jatuh menimpa gerobak di samping mereka. "Pasang kuda-kuda Xi Feng." Ying Hua berujar serius. Ia memakan kacang kenari yang ada di genggamannya sekaligus. Matanya menatap orang-orang yang berlari berhamburan menyelamatkan diri. "Baik kak." Xi Feng ikut memasang wajah serius. Tatapannya kini tertuju pada dua orang dewasa dan satu anak kecil yang tengah di hadang oleh segerombolan orang-orang bertopeng, "Kak, bukankah itu bocah yang keluar dari kedai tadi?" tanyanya saat melihat bocah lelaki berpakaian merah tua yang ada di belakang dua orang dewasa yang memasang kuda-kuda. "Kau mengetahuinya?" tanya Ying Hua. Kedua mata hitamnya ikut menatap arah pandang Xi Feng. "Ya, aku sempat berpapasan dan menyenggolnya sedikit tadi." "Sudah kuduga." Xi Feng mengernyitkan dahinya saat mendengar ucapan dari Ying Hua. Ia menolehkan kepalanya sejenak dan menatap kakaknya tersebut, "Apa yang kau duga kak?" Ying Hua tak segera menjawab, ia melirik sekilas Xi Feng, "Kau akan mengetahuinya setelah membantuku membantu mereka." "Aku tidak ingin melakukan hal yang merepotkan kak." alis Xi Feng menekuk tajam. Merasa enggan dengan keinginan sang kakak cantiknya. "Kalau tidak mau ya sudah, aku tidak memaksa." putus Ying Hua sembari berjalan lebih dekat kearah yang menjadi pusat perhatiannya tadi. Mata hazel milik bocah berpakaian merah tua itu menatap datar seseorang yang duduk dengan angkuh di atas kuda. Merasa bosan dengan apa yang akan terjadi. Lagi-lagi ada seseorang yang menginginkan nyawanya. "Bunuh bocah itu. Berikan kepalanya padaku!" pria yang duduk di atas kuda itu menatap penuh minat bocah lelaki tersebut. Wajahnya yang tertutup topeng berbentuk menyeramkan membuat tak bisa melihat kebegisan orang tersebut.           Kedua orang yang ada di hadapan bocah itu langsung waspada. Tangan mereka mengerat pada senjatanya masing-masing. Matanya awas menatap musuh yang kini bergerak mengelilinginya. "Apapun yang terjadi, lindungi pangeran, Shu." salah satu dari kedua pria itu bersuara. Pria dengan pakaian jingga itu menatap musuh penuh benci. Shu mengangguk, pria yang tadi sempat tersungkur di hadapan bocah yang berada di belakangnya itu menyeringai, "Aku tidak berniat untuk mundur dan kabur, Jie." utarnya mantap. "Aaa,," tangan Jie mengerat pada kapak berukuran sedang yang menjadi senjata andalannya, "Pangeran, sebaiknya anda tetap berada di sekitar kami." tambahnya tanpa menatap bocah lelaki di belakangnya. Musuh mulai bergerak dan menyerang. Kedua pria itu dengan gesit melawan. Mereka tetap berjuang meski jumlah musuh sepuluh kali lipat dari mereka. Tak ada niat sedikit pun untuk mundur. Bocah bermata hazel itu masih menatap datar pertarungan yang terjadi di sekitarnya. Ingin rasanya ia bergabung, akan tetapi ia tak ingin melakukan hal yang merepotkan kedua pengawal pribadinya. Sebelah tangannya mengerat pada pedang berukuran kecil yang ia miliki, melampiaskan rasa amarah yang hinggap karena pertarungan ini. Dan kedua matanya sedikit terbelalak saat melihat kedua pengawalnya kini saling memisahkan diri. Sial, ternyata musuhnya bergerak memecah dan memisahkan para pengawalnya dari dirinya. Pertarungan cukup sengit itu akhirnya berhasil di menangkan oleh musuh. Kedua pengawal pangeran kecil berhasil di lumpuhkan. Bagaimana tidak bisa lumpuh? Jumlah musuh yang begitu banyak cukup membuat mereka kepayahan dan akhirnya konsentrasi nya pecah. Kini akhirnya mereka duduk berlutut berhadapan di sisi kanan dan kiri. "Pangeran, larilah jika bisa!!" Shu berteriak. Pria itu sedikit memberontak saat melihat para musuh yang mendekat mengepung sang pangeran, "Lawan dengan kemampuan anda dan lari!!" teriaknya memberitahu. Bocah itu tetap diam. Tak menghiraukan teriakan para pengawal yang mencemaskannya. Baginya, jika ia mati hari ini, ia sudah siap. Toh dengan begitu ia tak akan mengalami hal yang lebih merepotkan dari ini. Ia sudah muak berhadapan dengan para musuh yang menginginkan kematiannya. Orang yang duduk di atas kuda tertawa. Merasa jika kemenangan sebentar lagi ia dapatkan. Ia mengangkat pedangnya. Kemudian menunjuk bocah itu dengan pedang yang mengkilat di ujungnya, "Ambil kepalanya sekarang, prajurit!!" perintahnya keras dan langsung di laksanakan oleh prajuritnya. Anak buah orang itu yang berjumlah tiga orang dari arah depan segera menyerbu bocah itu secara serentak. Mengangkat pedang mereka masing-masing dan mengayunkannya pada sang bocah yang tetap berekspresi tenang dan datar. Tak merasa takut meski ajal sudah di depan mata. Dengan tegak ia masih menatap lurus pada mata sang ketua musuh yang duduk angkuh di kudanya. Ying Hua yang melihat kejadian di depannya kini menjadi semakin geram. Tanpa banyak kata lagi ia melompat, masuk kedalam pertarungan tak seimbang itu. Memutar tubuh menghadap bocah lelaki tersebut dan menyejajarkan tubuhnya. Sebelah tangannya yang memegang pedang bersarung dan berganggang merah dengan bandul bunga Sakura yang cukup cantik itu ia arahkan kebelakang punggung. Kemudian di susul tangan yang lain sedikit menarik ganggang pedang. Membuat suara yang cukup nyaring saat pedang itu bertubrukan dengan pedang milik para musuh. Bocah berpakaian merah tua itu terkesiap saat ada seseorang yang datang dan melindungi dirinya. Dengan mata bulat hazelnya ia menatap seseorang -yang diyakininya seorang pria- berpakaian abu-abu dan memakai tudung bambu itu dengan terkejut. Wajah datarnya kini tergantikan karena kedatangan orang asing tersebut. Ying Hua menyeringai tipis di balik tudungnya, ia menggerakkan kakinya menjegal kaki tiga musuh di belakangnya. Membuat ketiga musuh itu terjerembab di atas tanah karena ulahnya. Kemudian ia berdiri dan berbalik, tak lupa pula kembali menyarungkan pedang miliknya. Sang pimpinan musuh terlihat berang karena kedatangan Ying Hua. Pria dengan tubuh besar itu menggeram tak terima. Mata yang ikut bersembunyi di balik topeng itu mengkilat tajam menatap seseorang yang kini tengah berdiri sembari menunduk. Menyembunyikan wajahnya. Dan ia bersumpah akan merusak wajah orang tersebut.  Ying Hua yang semula menundukkan kepalanya kini secara perlahan mendongak. Wajahnya tampak tenang. Menatap sang pemimpin yang di yakininya tengah di landa kekesalan. Tak ada sepatah katapun yang keluar, hanya sebuah seringai mengejek yang menurut pemimpin itu menyebalkan. "Beraninya kau ikut campur urusanku. Kau mau mati, hah?!!" gertak sang pemimpin. Aura kemarahannya terpancar dengan jelas dan bisa membuat siapa saja yang mendengar merasa takut. Namun sayangnya, orang yang di depannya kini merasa tak takut sama sekali. Ying Hua meletakkan pedang kesayangannya ke bahu. Berjalan santai kedepan untuk menatap lebih jelas pria yang duduk di atas kuda. Wajah ayu yang tidak bisa di sembunyikan secara sempurna itu menampilkan ekspresi yang menurut para musuhnya sangat menyebalkan. Masih tak ada sepatah katapun yang keluar. Hingga akhirnya ia menghentikan langkahnya, dan mendongakkan kepalanya lebih tinggi, "Pe-nge-cut!" pada akhirnya ia berucap, secaya menancapkan pedangnya ketanah. Sang pemimpin itu semakin geram. Ia mendesis penuh amarah, "Apa kau bilang?!" teriaknya lebih kencang dari sebelumnya. Ying Hua tersenyum miring, "Aku bilang, Pe-Nge-Cut!!" ia mengeja lebih detail dari sebelumnya. Menaruh sebelah tangannya yang bebas ke pinggang. Gadis itu berdiri pongah dihadapan musuh, "Hanya seorang pengecut yang melawan bocah kecil dengan membawa banyak pasukan. Itu sama saja memberitahu jika kemampuanmu lebih payah dari bocah itu!" jelasnya seraya menunjuk bocah yang ada di belakangnya menggunakan kepala. "Itu bukan urusanmu!" sang pemimpin itu meludah, "Sebaiknya kau pergi sebelum kepalamu juga menjadi tumbal!" Ying Hua tertawa dan menutup mulutnya menggunakan sebelah tangan. Ia kembali memanggul pedangnya dan berjalan mondar mandir. Kembali mengejek sang musuh, "Bodoh!" oloknya menggunakan kosa kata andalannya, "Coba saja, pisahkan kepalaku ini jika bisa." tantangnya sambil mengetuk kepalanya sendiri menggunakan ibu jarinya. Pemimpin itu kembali meludah, "Baik jika itu maumu! Bunuh mereka!" teriaknya pada semua anak buahnya. Ying Hua menyeringai saat melihat anak buah sang pemimpin penyerangan itu serentak menyerbunya. Ia mundur tiga langkah, mendekat pada sang bocah yang masih setia berdiam diri, "Jangan jauh dariku, bocah! Gunakan pedangmu jika kau mempunyai sedikit kemampuan!" ucapnya seraya bersiap menerima semua serangan. ~•••••~ Gadis berhelaian coklat panjang itu tersenyum saat ada pria yang di kenalinya berjalan mendekat kearahnya. Ia yang tengah duduk seraya memilah-milah sayuran segera berdiri dan menyambut pria tersebut. "Baru pulang kakak senior?" tanya nya sembari membantu pria itu melepaskan mantelnya. Pria itu mengangguk, "Apa Ying Hua dan Xi Feng sudah kembali?" Gadis itu menggeleng, "Belum, dan ayah sekarang tengah dalam keadaan yang tidak baik. Ia marah karena sampai sekarang adik belum kembali." "Apa sudah ada orang yang disuruh mencarinya?" "Belum." Pria itu menghela nafas, "Kalau begitu aku akan mencarinya." "Kak Guo Zhi," Pria itu kembali berhenti dan menoleh pada gadis berhelaian coklat tersebut. "Ayah menyuruh untuk tidak mencarinya dan membiarkannya saja." ucap gadis itu. "Tapi, Mei Lan. Jika terjadi apa-apa dengan mereka bagaimana?" "Biarkan saja!" ucap seseorang dari arah dalam rumah. Guo Zhi segera membungkukkan sedikit tubuhnya saat orang itu muncul dari balik pintu, sedangkan Mei Lan menundukkan kepalanya. "Paman." "Ayah." Hui Zhong menatap sang putri dan Guo Zhi secara bergantian. Wajahnya tampak keras dan kaku. Sudah dipastikan jika pemimpin padepokan itu tengah menahan amarah, "Biarkan saja mereka. Jangan ada yang mencarinya jika tidak ingin mendapatkan hukuman dariku!" tegasnya sembari berlalu. Guo Zhi dan Mei Lan masih terdiam sampai Hui Zhong menghilang di balik dinding lain padepokan. Rasa cemas hinggap di hati keduanya, mengetahui fakta jika adik-adik mereka akan mendapakan masalah lagi dengan pemimpin padepokan tersebut. "Semoga adik bisa lolos dari amarah ayah." doa Mei Lan, ia menangkupkan kedua tangannya di depan d**a. Sedangkan Guo Zhi hanya menatap Mei Lan dan mengamini doa gadis itu dalam diam. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD