PART SIX

2576 Words
Lex tidak main-main dengan ucapannya, terbukti dari kami yang sudah tiba di dekat daratan saat ini. Meski Lex menyuruhku untuk tidak ikut mengantar mereka, aku tetap bersikeras untuk ikut. Tidak mungkin ku biarkan begitu saja Lex pergi meninggalkan Atlantis untuk tinggal bersama Myesha di daratan. Ini ide tergila yang pernah ku dengar.  Myesha berjalan ke daratan setelah dirinya tiba di tepi, memasang wajah berbinar seolah dia lega karena akhirnya kembali ke tempat asalnya, dunianya.  Harapanku, dia akan pergi meninggalkanku dan Lex begitu saja. Namun, harapanku hanya angan-angan ketika dia berbalik badan, berjalan kembali menghampiri kami dan mengulurkan satu tangannya pada Lex.  “Ayo, Lex, saatnya kita pergi.” ajaknya.  Sebelum Lex bisa meraih tangan itu, aku menepisnya kasar. Aku pun merangkul lengan Lex agar tak mengikuti ajakan Myesha, agar dia tetap di dalam air bersamaku.  Lex menoleh padaku seraya mendesah pelan. “Lepaskan tanganku, Ash.”  “Tidak akan,” tolakku tegas. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi ke daratan.”  Lex memijit pangkal hidungnya terlihat frustasi, tapi sungguh aku tak peduli. Aku bertekad akan menahannya sebisaku agar tidak pergi kemana pun.  “Aku sudah menceritakan padamu alasanku selalu berdiam diri di puncak gunung batu. Aku ingin pergi ke daratan.”  “Tempat tinggalmu itu Atlantis bukan daratan. Kau merman, Lex. Duniamu di dalam lautan bukan di daratan.”  Lex dan Myesha saling berpandangan seolah saling berkomunikasi melalui tatapan mata dan sungguh melihat interaksi mereka ini membuatku naik darah.  “Ayo, kita kembali ke Atlantis.”  Aku menarik tangan Lex agar ikut berenang bersamaku. Dan aku tersentak ketika Lex menepis tanganku begitu kasar, membuat rangkulanku padanya terlepas sempurna. Wajah Lex memerah, aku tahu dia sedang menahan kesal mati-matian.  “Jangan mengatur hidupku, Ashley. Biarkan aku menjalani kehidupanku sesuai keinginanku. Aku ingin merasakan tinggal di daratan. Kau tidak punya hak melarangku,” katanya ketus membuatku tertegun di tempat. Lex tidak pernah bersikap kasar seperti ini padaku sebelumnya. Dan dia jadi seperti ini hanya karena seorang Myesha.  Aku mendelik tajam pada Myesha yang memperhatikan kami. Kebencianku pada gadis itu semakin bertambah besar dari waktu ke waktu.  Lex menghela napas pelan, mungkin sadar ucapannya telah melukai hatiku. Dia menyentuh daguku, mengangkat wajahku yang menunduk agar kembali bertatap muka dengannya.  “Ashley, di dunia ini kaulah yang paling mengerti aku. Kau pasti tahu persis inilah keinginan terbesarku. Aku ingin merasakan hidup bebas di daratan.”  “Manusia yang tinggal di daratan sangat berbahaya untuk kita, Lex. Terlebih jika mereka sampai tahu identitasmu yang sebenarnya. Kau bisa dibunuh.” “Jangan khawatir.” Myesha menyela ucapanku, aku kembali mendelik tajam padanya. Namun dia mengabaikan dan tetap berbicara. Ingin rasanya aku menyumpal mulutnya itu dengan ubur-ubur yang berenang-renang di sekitarku.  “Aku akan merahasiakan identitas Lex pada semua orang. Jadi kau tidak perlu khawatir, Lex aman bersamaku.” “Diam. Aku tidak bicara padamu.” “Jangan kasar begitu pada Myesha, ada apa denganmu? Biasanya kau tidak pernah sekasar ini pada orang lain.”  Aku kembali tersentak, untuk kesekian kalinya Lex membela gadis manusia itu.  Aku menghela napas panjang, mencoba sebisa mungkin membuat diriku tenang dan tidak tersulut emosi.  “Dengar, Lex,” kataku sembari menyentuh lengan Lex. “Kau tidak lupa kan kejadian 15 tahun lalu saat manusia menyerang Atlantis? Banyak bangsa kita tewas termasuk orangtua dan kakakmu. Sekarang ... kau justru ingin tinggal bersama manusia-manusia berbahaya itu. Apa kau sudah tidak waras Lex?”  “Tidak semua manusia sekejam itu. Masih banyak juga manusia berhati baik.”  Aku menggeram dalam hati, Myesha lagi-lagi menyelaku.  “Biarkan Lex menikmati hidupnya. Dia bilang bosan tinggal di Atlantis.”  Aku terbelalak, memutar leherku untuk kembali menatap Lex yang diam mematung.  “Kau benar bosan tinggal di Atlantis?” tanyaku, memastikan bahwa Myesha hanya mengatakan omong kosong.  Ketika Lex mengangguk, sungguh aku terkejut luar biasa.  “Aku bosan menjalani kehidupan monoton di Atlantis. Aku ingin suasana yang berbeda. Mencoba hal yang baru,” jawabnya seolah dia tak sadar keengganan yang tercetak jelas di wajahku untuk menerima keputusan gilanya ini.  “Kalau kau benar peduli padaku, Ash. Tolong jangan ikut campur. Jangan mengatur hidupku karena sekalipun kau melarang, aku akan tetap pergi ke daratan.” Lex melepaskan tanganku dari lengannya sebelum dia berenang ke tepian untuk menghampiri Myesha. Ketika bibirnya bergerak-gerak, aku tahu dia sedang membacakan mantra sihir. Dan benar saja, tak lama kemudian ekornya diliputi cahaya sebelum ekor itu berubah menjadi sepasang kaki seperti milik manusia normal. Dia juga sudah mengenakan pakaian lengkap layaknya manusia, tentu saja ini karena dia menggunakan sihirnya. Melihatnya tampak serupa dengan manusia, membuatku semakin terpesona.  “Lex.” Suaraku terdengar lirih saat memanggilnya. “Keputusanku sudah bulat. Aku tidak memiliki siapa pun di Atlantis. Aku juga tidak pandai berbaur dengan merman lainnya. Aku benar-benar bosan hidup di lautan.”  Aku menggelengkan kepala disertai kedua mataku yang berkaca-kaca. “Ada aku. Kau tidak sendirian.”  “Kau memiliki kehidupanmu sendiri, Ash. Egois jika aku menahanmu untuk selalu bersamaku.” “Aku tidak keberatan tetap berada di sampingmu.” “Aku yang keberatan.”  Air mataku kini meluncur mulus membasahi wajahku.  “Suatu hari nanti kau akan menemukan pasanganmu, dan aku akan berakhir sebatang kara.”  Aku kembali menggelengkan kepala berulang kali, ingin ku berteriak mengatakan bahwa hanya dialah yang ku inginkan menjadi pasanganku.  “Tapi sekarang aku tidak perlu khawatir akan hidup sebatang kara,” katanya tiba-tiba, membuatku mendongak memperhatikan gerak-gerik Lex.  Hatiku kembali dilanda rasa sakit tak tertahankan saat ku lihat Lex dan Myesha berpegangan tangan.  “Aku sudah menemukan seseorang yang ditakdirkan menjadi pasanganku.”  Aku membekap mulut, tak meragukan lagi bahwa ucapan Nora dan Nata memang benar adanya. Lex jatuh cinta pada Myesha.  “Kau juga harus menemukan pasanganmu sendiri. Kau harus bahagia. Maaf gara-gara selalu bersamaku, tidak ada merman yang berani mendekatimu.” “Tidak, Lex. Tidak seperti itu. Aku ...” “Kembalilah ke rumahmu. Cari kebahagiaanmu sendiri.”  Aku berenang semakin ke tepi, ku ulurkan tangan kananku pada Lex agar dia mau ikut bersamaku kembali ke Atlantis.  “Aku akan kembali jika kau ikut bersamaku.”  Lex menghela napas, aku tahu dia kesal. Namun, dia masih berusaha bersikap ramah padaku. Dia berjongkok sembari mengusap puncak kepalaku lembut, sesuatu yang selalu dia lakukan padaku.  “Ashley, aku sayang padamu. Kau orang terdekatku di Atlantis selain keluargaku,” katanya masih setia mengusap puncak kepalaku dengan telapak tangan besarnya. “Kembalilah. Biarkan aku mencari kebahagiaanku sendiri.”  Jari-jari tangannya beralih menghapus air mata yang tiada henti mengalir dari sudut mataku.  “Jadi kau tetap akan pergi?” tanyaku dan dia hanya mengangguk sebagai respon. “Kalau begitu biarkan aku ikut bersamamu. Aku akan ikut tinggal di daratan. Ubah ekorku menjadi sepasang kaki sepertimu. Kau bisa melakukan itu dengan sihirmu.”  Suara geraman Lex bisa ku dengar dengan jelas.  “Ashley, jangan membuatku kesal. Tidak ada gunanya kau tinggal di daratan bersamaku. Hidup di Atlantis jauh lebih aman bagimu. Kembalilah.” “Tidak!” tolakku tegas. “Jika kau pergi, aku juga akan pergi. Aku akan mengikuti kemana pun kau pergi. Kita akan selalu bersama.”  “Tubuhmu lemah, Ashley. Kau tidak akan tahan tinggal di daratan.” “Aku pasti bisa bertahan selama ada kau di sampingku.” “Kau hanya akan menjadi beban. Selain itu, aku tidak tahu kapan tepatnya akan kembali ke Atlantis. Jika aku merasa nyaman tinggal di daratan, mungkin selamanya aku akan tinggal di sini.”  Aku kembali tersentak, Lex mengatakan kata-kata yang membuat jantungku terasa ditikam benda tajam tak kasat mata.  “Berhenti membuatku kesal, Ashley. Kembalilah.”  Lex melangkah menjauh setelah mengatakan itu, dengan kejam meninggalkanku sendirian di dalam air.  “Sudahlah, Ash. Patuhi perkataan Lex. Dia benar, tidak ada gunanya kau ikut bersama kami. Kembali ke duniamu. Jangan lupa kau seorang mermaid. Duniamu adalah lautan. Mulai detik ini, Lex adalah milikku,” bisik Myesha pelan sehingga aku yakin Lex tak bisa mendengarnya. “Lupakan dia, Ashley. Karena aku tidak akan pernah membiarkan Lex kembali ke Atlantis. Aku membutuhkannya di sini.”  Aku membulatkan mata terutama saat melihat Myesha tersenyum sinis padaku. Tatapan matanya yang tajam serta seringaian yang tak lama kemudian muncul di wajahnya, menyiratkan sesuatu dan aku yakin dia memiliki niat yang buruk. Kini aku tahu sifat asli gadis itu. Dia tak sebaik yang ku duga. Mengetahui hal ini, aku semakin mengkhawatirkan Lex.  Myesha ikut melangkah menjauh, lantas berhenti tepat di samping Lex. Dengan sengaja dia menggenggam erat tangan Lex di hadapanku, berniat membawanya pergi.  “Lex, aku mohon jangan pergi. Kembalilah bersamaku ke Atlantis,” pintaku lirih dan sukses membuat Lex menghentikan langkahnya.  Harapanku kembali muncul ketika ku lihat dia balas menatapku sendu.  “Jaga dirimu baik-baik, Ash. Selamat tinggal.”  Dan sekali lagi harapan terakhirku sirna. Aku menangis sejadi-jadinya ketika Lex dan Myesha semakin menjauh hingga akhirnya kedua mataku tak sanggup lagi melihat mereka.   ***    Dua hari berlalu sejak Lex pergi ke daratan bersama Myesha, selama itu pula aku hanya mengurung diri di rumah. Aku yang biasa ceria menjadi pemurung bahkan orangtuaku tampak heran melihatnya. Mereka bertanya padaku apa yang terjadi, dan aku selalu berbohong dengan mengatakan tidak ada yang terjadi, aku baik-baik saja.  Padahal kenyataannya tidak begitu. Aku selalu menangis sendirian di dalam rumah setelah orangtuaku berangkat ke istana untuk bekerja.  Aku merasa sesuatu yang besar menghilang dari hidupku. Kehilangan Lex membuatku merasa kehilangan semangat hidup. Beberapa kali aku mencoba berpikir untuk merelakan Lex, semua ini tak lebih karena kebahagiaannya yang terpenting bagiku.  Akan tetapi, sekeras apa pun aku mencoba, selalu berakhir dengan kegagalan. Aku tidak bisa hidup tanpa Lex. Katakan aku menyedihkan. Katakan aku begitu bodoh mencintai Lex seolah tak ada merman lain di Atlantis ini. Kenyataannya inilah yang ku rasakan, hatiku hampa tanpa Lex. Dia segalanya bagiku.  Ketika aku berpikir akan mati perlahan karena terlalu sakit hati ditinggalkan Lex, aku pun memutuskan sesuatu yang besar dalam hidupku. Aku yakin jika ku ceritakan keputusanku ini pada orang lain, mereka akan mengatakan bahwa aku sudah kehilangan akal sehat. Aku tidak peduli, yang terpenting hanya inilah cara terbaik untuk membawa Lex kembali.  Saat ini, aku sedang berdiri di depan sebuah gua. Gua yang menjadi tempat tinggal penyihir yang paling dihormati di Atlantis, Mother Cassandra.  Aku menggigit bibir bawahku, keraguan itu masih ada. Aku yakin Mother Cassandra akan menentang keputusanku ini.  “Masuklah, Nak. Untuk apa kau berdiam diri di sana?” Aku tersentak begitu mendengar suara menggema dari dalam gua sedangkan sang pemilik suara tak terlihat dimana pun. Tentu aku mengenal betul suara ini, pemiliknya tidak salah lagi pastilah Mother Cassandra.  Sehebat itulah kemampuannya sehingga mengetahui kedatanganku meskipun dia tidak melihatku.  Keraguan itu akhirnya sirna saat tekad kuatku kembali muncul ke permukaan. Aku berenang cepat memasuki gua tersebut.  Suasana mencekam terasa kuat karena gua ini sangat gelap, hanya terlihat cahaya remang-remang dari beberapa terumbu karang yang bersinar redup di sepanjang lorong gua.  Ketika akhirnya aku tiba di ruangan dimana Mother Cassandra berada, ku temukan sang mermaid penyihir sedang meracik sesuatu di dalam kuali terbuat dari kerang besar.  “Ada apa kau datang kemari?” tanyanya tanpa mengalihkan tatapannya dari cairan yang sedang dia aduk-aduk dengan telapak tangannya tersebut.  “Hmm ... s-saya ingin meminta bantuan anda,” sahutku tak ingin berbasa-basi.  Gerakan tangan Mother Cassandra terhenti, dia mendongak, memakukan tatapannya padaku. Lantas dia berenang menghampiriku.  “Meminta bantuan apa?”  Aku yakin bola mataku sedang bergulir gelisah sekarang karena faktanya aku memang sedang dilanda kegugupan tiada tara.  “Katakan, Nak. Jangan ragu. Jika aku bisa membantumu. Pasti akan ku lakukan.”  Dan ucapannya itu membuat keraguanku menguap entah kemana. Aku pun menghela napas panjang, memantapkan hati sebelum akhirnya ku lontarkan tujuan utamaku mendatanginya.  “Saya ingin meminta bantuan anda untuk merubah ekor saya menjadi sepasang kaki seperti manusia.”  Kalimat itu akhirnya mengudara dan keluar dari mulutku. Aku mengamati ekspresi wajah Mother Cassandra yang sempat menegang beberapa detik sebelum akhirnya kembali normal dalam sekejap.  “Apa telingaku salah dengar? Kau memintaku membantumu merubah ekormu menjadi sepasang kaki? Katakan pendengaranku tidak berfungsi dengan baik.”  Aku menggeleng cepat, “Memang itulah yang saya minta. Anda tidak salah dengar.”  Aku refleks mundur ketika ku lihat perubahan mimik wajah lawan bicaraku. Mother Cassandra jelas sedang marah sekarang.  “Aku sudah sering menceritakan kisah menyedihkan para putri Atlantis yang memilih pergi ke daratan bukan? Aku sudah sering memberitahu kalian betapa berbahayanya manusia yang tinggal di daratan bukan?”  “Saya tahu,” jawabku, bergegas menyelanya. “Lantas kenapa kau ingin pergi jika tahu bahaya yang menantimu di sana?” “Karena merman yang saya cintai pergi ke sana. Saya harus membawanya kembali.”  Mother Cassandra diam seribu bahasa.  “Alexei Heather tergoda oleh gadis manusia. Gadis itu membawanya pergi ke daratan. Saya harus membawanya kembali ke Atlantis. Tolong bantulah saya.”  Aku menangkupkan kedua tangan di depan d**a, berharap tindakanku yang memohon belas kasihannya ini membuat hatinya mengiba dan tersentuh.  Mother Cassandra menghela napas panjang.  “Mau mendengarkan nasihat dariku?”  Meski sudah bisa ku terka nasehat seperti apa yang akan diberikannya, aku tetap memberikan anggukan sebagai bentuk sopan santun.  “Jika dia memilih pergi, biarkan saja. Kau harus belajar merelakannya. Di sini masih banyak merman yang jauh lebih baik darinya. Carilah kebahagiaanmu bersama merman lain. Karena pergi ke daratan akan menjadi kehancuran untukmu, Ashley.”  Kedua mataku berbayang sekarang, selalu seperti ini, air mataku berontak meminta pembebasan setiap kali membayangkan aku harus merelakan Lex pergi untuk selamanya.  “Saya tidak bisa melakukannya,” sahutku. “Bagi saya, dia bukan sekedar merman yang saya cintai.”  “Dia sahabat baik yang tumbuh dewasa bersama saya. Sejak kecil saya selalu menghabiskan waktu bersamanya. Lebih dari itu semua, dia juga pahlawan bagi saya, saya berhutang nyawa padanya. Berkat dia, saya masih bisa bernapas hingga detik ini.”  “Aku tahu, dia penyihir yang berbakat karena garis keturunan dari keluarganya yang memang turun temurun menjadi penyihir. Dia memang telah menyerahkan sebagian kekuatam sihirnya untuk menopang hidup dan tubuhmu yang lemah karena kelainan genetik. Tapi, Ashley ...” Mother Cassandra menjeda ucapannya, tampak enggan untuk melanjutkan. Melalui tatapan mata, aku mendesak dia untuk melanjutkan.  “Jika dia bukan seseorang yang ditakdirkan untukmu, kau harus merelakannya. Memaksakan diri hanya akan membuatmu terluka, percayalah padaku.”  Aku tersenyum kecil, tak merasa tersinggung sedikit pun karena aku tahu niatnya baik memberiku nasehat seperti ini. Sayangnya hatiku telah mantap untuk pergi menyusul Lex ke daratan. Ada alasan lain yang membuatku harus tetap pergi ke sana dan membawa Lex kembali ke Atlantis.  “Mencintai itu bukan berarti harus memilikinya, Ash. Apalah artinya jika dia hidup bersamamu tapi tidak bahagia,” tambahnya. “Bukankah kau pasti ingin melihatnya bahagia?”  Aku mengangguk, tak ku pungkiri memang itulah yang terpenting bagiku, kebahagiaan Lex.  “Seandainya dia jatuh cinta pada mermaid lain, saya pasti merelakannya. Walaupun sulit, saya pasti akan berusaha. Tapi ...” Aku membuang napas kasar. “... dia jatuh cinta pada gadis yang salah. Saya merasakan firasat dia bukan gadis baik-baik. Sepertinya dia memiliki niat buruk hingga mengajak Lex pergi bersamanya ke daratan.”  “Kenapa kau berpikir demikian?” “Hanya insting. Namun saya yakin sepenuhnya naluri saya ini tidak mungkin salah. Niat buruk itu terpancar jelas di kedua matanya.” “Kau juga mengenal gadis manusia itu?” “Bukan hanya mengenal,” sahutku. “Sayalah yang melakukan kesalahan besar dengan menyelamatkan nyawanya.”  “Mother, saya harus membawa Lex kembali ke Atlantis bagaimana pun caranya. Saya mohon, bantulah saya.”  Mother Cassandra terdiam, seolah tengah menimbang-nimbang keputusan yang harus diambilnya.  “Keputusanmu sudah bulat?” “Ya,” jawabku tak ingin mundur ataupun berubah pikiran.  Mother Cassandra mengembuskan napas pelan, sebelum dia berenang dan mengambil botol kecil dari salah satu rak berisi banyak ramuan sihir miliknya. Dia kembali menghampiriku setelahnya.  “Ambil ini.”  Dia mengulurkan botol kecil berisi cairan berwarna keunguan itu, aku menerimanya tanpa ragu.  “Cairan itu berisi mantra sihir yang bisa merubah ekormu menjadi sepasang kaki. Kau bisa pergi ke daratan setelah meminumnya. Dengan satu catatan.”  Aku menunggu antisipasi kelanjutan ucapannya.  “Kau harus kembali ke Atlantis setelah enam bulan berlalu karena efek sihir itu akan hilang dan kakimu akan kembali menjadi ekor.” “Enam bulan?”  Dia mengangguk. Dan aku tersenyum lebar karena merasa tenggang waktunya sudah lebih dari cukup untuk membujuk Lex kembali ke Atlantis. “Saya mengerti. Terima kasih, Mother.”  Aku berniat pergi namun tertahan karena lengannya yang menahanku.  “Satu lagi yang harus ku sampaikan padamu sebagai pantangan yang tidak boleh kau langgar.” “Pantangan? Apa itu?”  Mother Cassandra memandangiku dengan intens, membuatku tanpa sadar meneguk ludah.  “Jangan pernah melibatkan diri dengan urusan manusia. Kita memiliki kehidupan masing-masing. Kau juga dilarang keras melukai mereka apalagi sampai membunuh. Konsekuensinya akan berat untukmu nantinya.” “Konsekuensi apa yang akan saya terima jika saya sampai melanggar?” “Nasib setiap mermaid berbeda. Satu hal yang pasti, kau akan hancur, Nak. Jadi, jangan pernah melanggar pantangan itu.”  Aku mengangguk antusias sebagai respon. Lagipula tidak terlintas di benakku untuk melukai apalagi membunuh manusia. Aku hanya ingin membujuk Lex untuk kembali ke Atlantis. Ya, hanya itu tujuanku pergi ke daratan.  “Baik. Pesan anda ini tidak akan pernah saya lupakan. Sekali lagi terima kasih. Saya pamit.” “Tunggu sebentar, Ashley.”  Mother Cassandra menahanku untuk kedua kalinya. Dia beranjak mengambil sesuatu menyerupai pakaian yang biasa dikenakan manusia. Dia memberikan pakaian berbentuk gaun selutut itu padaku.  “Ambil ini, kau akan membutuhkannya begitu tiba di daratan.”  Aku menerimanya, setelah sekali lagi berpamitan, aku pun berenang pergi meninggalkan kediaman Mother Cassandra dengan wajah berbinar senang. Sebentar lagi aku akan menyusul Lex ke daratan. Tidak ada lagi yang membuatku senang selain ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD