Ketika malam tiba, aku merenung sendirian di dalam rumah, orangtuaku belum kembali dari Istana. Setiap hari memang seperti ini, orangtuaku yang sibuk melaksanakan tugas mereka di Istana, sedangkan aku hanya duduk melamun di rumah. Inilah yang menjadi alasanku setiap hari menghabiskan waktu bersama Lex, karena aku memang selalu ditinggal sendirian oleh orangtuaku.
Jika boleh jujur, aku sangat kesepian. Keberadaan Lex menjadi obat pelipur lara dan penepis rasa sepi dalam hidupku.
Dan sekarang ... setelah Lex tak ada lagi di Atlantis, aku benar-benar merasa sebatang kara. Aku kehilangan seseorang yang selama ini membuat hidupku terasa lebih berarti dan menyenangkan.
Aku sedang merebahkan diri di kasur batu yang biasa aku tiduri setiap malam. Ku pandangi botol kecil yang berisi cairan mantra untuk merubah ekorku menjadi sepasang kaki pemberian dari Mother Cassandra.
Aku tahu keputusan gila yang ku ambil untuk pergi ke daratan, pastinya tidak akan didukung oleh orangtuaku, bahkan Nora dan Nata pun pasti menentangnya keras. Karena itu ... ku putuskan akan menyembunyikan hal ini dari mereka.
Karena aku tak tahu kapan tepatnya aku akan kembali lagi ke Atlantis, serta ada kemungkinan aku tak akan kembali ke sini, aku harus menciptakan kenangan seindah mungkin dengan orang-orang yang ku sayangi. Setidaknya menciptakan momen manis yang tak akan pernah dilupakan baik olehku maupun mereka.
Di tengah-tengah lamunanku ini, suara seseorang masuk ke dalam rumah tertangkap jelas indera pendengaranku. Aku bergegas bangun, berenang cepat untuk menghampiri seseorang yang baru datang tersebut, ku tebak pasti itu ibu.
Kudapati tebakanku tepat sasaran ketika melihat ibuku sedang berkutat menyiapkan beberapa rumput laut dan ganggang laut yang baru ditangkapnya, dia letakan di atas kerang. Tentu saja menyiapkan makanan untuk kami santap sebentar lagi, sebelum tidur.
Melihat punggung ibuku, seketika sesuatu di dalam mata memberontak meminta pembebasan. Aku menahan mati-matian, aku tidak boleh menangis di depan ibu atau dia akan mencurigaiku.
Aku menghampirinya, memeluk tubuhnya dari belakang seraya menyenderkan kepala di bahunya. Kami memiliki tinggi badan yang sama.
“Kenapa, Ash?” tanya ibu tanpa memalingkan tatapannya dari rumput laut yang sedang dia tata rapi di atas kerang kosong.
“Tidak apa-apa, hanya saja tiba-tiba aku merindukan ibu.”
Suara kekehan ibuku meluncur mulus. Dia mengusap lembut kedua tanganku yang melingkari perutnya.
“Dasar anak manja,” ucapnya. “Kau sudah lapar belum?”
Aku menggeleng, “Sedikit. Ibu lapar?”
“Iya, ibu lapar. Tadi ibu sibuk sekali di Istana sampai tidak sempat makan siang.”
“Apa terjadi sesuatu di istana?” tanyaku. Dan ibu hanya menggeleng sebagai respon.
“Tidak ada yang terjadi sebenarnya, hanya saja Yang Mulia Ratu meminta ibu menemaninya berkeliling Atlantis. Sangat menyenangkan sekaligus melelahkan.”
“Apa ayah ikut menemani kalian?”
“Tentu saja, ayahmu itu kan pengawal pribadi Yang Mulia Ratu.”
Aku tersenyum tanpa ibuku tahu, diam-diam merasa bangga karena orangtuaku memiliki peran sangat penting di sisi penguasa Atlantis. Sekarang tak ada lagi yang perlu aku khawatirkan tentang mereka. Orangtuaku pasti baik-baik saja tanpa aku.
“Kita makan sekarang saja kalau begitu, Bu.”
Aku melepaskan pelukan, bergegas membantu ibuku membawa makanan kami ke atas meja batu yang biasa kami gunakan untuk makan.
Kami duduk melingkari meja batu tersebut. Ku lihat ibuku sangat lahap menyantap ganggang laut, sepertinya dia memang sangat kelaparan.
“Kenapa tidak makan, Ash?”
Aku ikut memasukan rumput laut ke dalam mulut. “Ini aku juga makan, Bu.”
Ibuku mengangguk disertai senyum.
Makan berdua seperti ini sering menjadi rutinitas kami, karena ayah akan pulang larut. Tak jarang ayah baru tiba di rumah setelah kami berdua tertidur. Ayahku memang terlampau sibuk di istana karena dia harus memastikan keamanan istana terjamin sebelum kembali ke rumahnya.
Tak membutuhkan waktu yang lama hingga kami selesai menghabiskan makanan kami, hanya menyisakan untuk ayahku nanti.
“Ash, kau baik-baik saja kan hari ini?”
Pertanyaan yang setiap hari selalu dilontarkan ibu, ini karena kondisi tubuhku yang lemah sehingga semua orang di sekelilingku selalu mengkhawatirkan diriku. Terkadang aku merasa bersalah pada mereka karena setiap saat mengkhawatirkanku. Kini aku hanya bisa berharap, semoga setelah kepergianku, tak akan ada lagi yang perlu mereka khawatirkan.
“Aku baik-baik saja seperti biasa,” sahutku sembari tersenyum lebar.
“Kemarin kenapa mengurung terus di dalam kamar? Sedang bertengkar dengan Lex?”
Aku sedikit tersentak, sesuatu yang wajar ibu bertanya seperti ini karena biasanya aku akan murung jika terlibat pertengkaran dengan Lex.
“Aku tidak bertengkar dengan Lex. Hanya sedang ingin bermalas-malasan saja.” Aku terkekeh kecil di akhir ucapanku.
Ibu mendengus pelan sembari menggeleng menahan senyum.
“Ibu tidur dulu ya, Ash. Lelah sekali rasanya.”
“Boleh aku tidur dengan ibu?”
Kedua mata ibu melebar sempurna, tentu dia terkejut karena sebelumnya aku tidak pernah bersikap semanja ini padanya. Aku hanya akan manja pada Lex, tidak pada yang lain termasuk orangtuaku sendiri.
“Boleh kan, Bu?”
“Tentu boleh, sayang.” Ibu mengulurkan tangan kanannya memberi isyarat padaku agar mendekat. “ Kemari.” Katanya.
Dengan ceria aku berenang ke arahnya, menerima uluran tangan ibu dan kami pun berenang dengan tangan kami saling bergandengan.
Kami berdua merebahkan diri di kasur batu yang biasa menjadi tempat tidur ayah dan ibu. Aku memeluk tubuh ibu dari samping, menenggelamkan wajahku di rambutnya yang panjang dan harum.
“Bu.”
“Hmmm ...”
Dengan jari-jari lentiknya, ibu mengusap-usap puncak kepalaku dengan penuh kasih sayang. Entah kenapa membuatku semakin sedih dan rasanya tak ingin berpisah.
“Ibu masih ingat tidak ketika ibu mengandungku?” tanyaku, memaksa ibu untuk bernostalgia dengan masa lalu.
“Tentu saja ibu ingat. Tidak mungkin ibu dan ayah bisa lupa.” Ibu merubah posisi tidurnya menjadi miring menghadapku. Menyentuh wajahku dengan telapak tangan lembutnya, sorot matanya saat menatapku terlihat tulus penuh kasih sayang.
“Kau adalah buah hati yang selalu kami nantikan. Sebelum kau lahir, ibu pernah beberapa kali mengandung, tapi selalu mengalami keguguran. Bertahun-tahun kami menunggu ibu mengandung lagi. Sampai empat tahun lamanya kami menunggu.”
“Ibu sempat khawatir tidak bisa mengandung lagi. Ibu bahkan pernah menyuruh ayahmu untuk mencari mermaid lain.”
Aku melebarkan mata, terkejut tentu saja karena aku baru mendengar hal ini.
“Ibu tidak keberatan ayah bersama mermaid lain? Ibu tidak cemburu?” tanyaku tak habis pikir.
“Cemburu tentu saja. Tapi bagi ibu saat itu yang terpenting ayahmu memiliki keturunan. Untunglah ayahmu menolak. Dia mengatakan sehidup semati hanya ibu yang akan menjadi pasangannya.” Ibu tersenyum malu saat mengatakan ini. “ Ayahmu meski di luar terlihat tegas sebenarnya dia cukup romantis.”
Aku terkekeh kecil, ikut bahagia mendengar betapa harmonisnya hubungan orangtuaku.
“Saat ibu mengandungmu dan akhirnya kau lahir, kami bahagia sekali. Ashley itu permata hati kami, sumber kebahagiaan kami. Kami sayang sekali pada Ashley.”
Kedua mataku berkaca-kaca, aku terharu luar biasa mendengar ibuku mengatakan itu dengan tulus. Seketika aku menghamburkan diri dalam pelukannya.
“Maaf ya, Bu, aku sering membuat ibu dan ayah khawatir karena tubuh lemahku ini.”
“Tidak, sayang. Ibu yang harus minta maaf karena sering kelelahan saat mengandungmu, kau jadi mengalami kelainan genetik. Ini salah ibu.”
Aku menggelengkan kepala, semakin mengeratkan pelukan pada ibuku tersayang.
“Bukan salah ibu atau siapa-siapa. Ini sudah takdirku, Bu. Aku sudah ikhlas menerimanya.”
Ibuku meneteskan air mata, membuatku tak kuasa menahan air mataku juga. Akhirnya kami berdua menangis bersama sambil berpelukan.
“Yang penting sekarang, Ashley sudah sembuh. Ini berkat Lex, ibu dan ayah sangat berhutang budi padanya. Kami tidak tahu harus membalas kebaikannya dengan cara apa.”
Aku mendongak saat mendengar ibu mengatakan ini, menatap wajahnya dengan serius.
“Jika Lex memintaku pada ayah dan ibu, apa kalian akan mengabulkan?”
Ibu mengernyitkan dahi, kebingungan mungkin mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba. “ Maksudnya memintamu menjadi pasangannya?”
Aku tersenyum kecil dengan semburat merah yang ku yakini muncul di wajahku karena terasa panas wajahku sekarang.
“Kau juga menyukai Lex, kan?” tanya ibu lagi dan dengan malu-malu aku mengangguk.
Ibu terkekeh, jari-jarinya mengusap air mata yang membasahi wajahku. “Jika kalian saling mencintai, tentu kami akan mengizinkan. Lex merman yang baik. Kami percaya dia bisa menjaga dan membahagiakanmu.”
Aku tersenyum lebar, lega karena ibuku mendukung hubungan kami. Walaupun sebenarnya aku ragu kami akan menjadi pasangan nantinya.
“Ayah dan ibu akan selalu mendukung apa pun keputusanmu. Kami percaya kau bisa menentukan kebahagianmu sendiri.”
“Walaupun aku harus pergi jauh dari kalian karena mengikuti Lex?”
Ibu mendesah lelah, wajahnya kembali terlihat sendu. “ Sebenarnya kalau bisa kalian jangan pergi kemana-mana, tetaplah di sini agar kita bisa tetap bertemu setiap hari. Tapi jika kalian berdua memutuskan untuk menjelajah, kami tidak mungkin melarang kalian. Tentu kami mendukung dengan syarat kalian harus sering mengunjungi kami.”
“Terima kasih, Bu. Aku sayang ibu. Ibu dan ayah harus selalu bahagia meskipun aku sudah tidak tinggal bersama kalian” ucapku. Aku kembali memeluk ibu, lebih erat dibanding sebelumnya.
Hingga akhirnya tak ada lagi yang terucap dari mulut kami dan ibuku tenggelam dalam tidur lelapnya tak lama kemudian.
Ketika ayahku tiba di rumah, aku bergegas bangun dan menghampirinya. Kudapati ayah sedang duduk sendirian di depan meja batu, menyantap makanan yang kami sisakan dalam sepi.
“Ayah sudah pulang?”
Ayah terenyak kaget saat aku menyapanya, aku refleks meringis. “Maaf mengagetkan ayah,” kataku tulus.
Ayahku tak mengatakan apa pun, dia melambaikan tangan, memintaku untuk mendekat.
Aku menurut dan kuhampiri merman gagah dan tampan yang menjadi pengawal pribadi sang Ratu, membuatku sangat bangga pada ayahku ini.
Lantas aku duduk di bawah, bersimpuh memeluk ekor ayahku. Ayah tersentak kaget hingga dia dengan segera merangkul tubuhku agar kembali berdiri.
“Ashley, kenapa duduk di bawah?” tanya ayahku terheran-heran.
Aku mengabaikan, tetap ku peluk ekor sosok merman yang sudah banyak berjasa untukku. Ayah yang selalu menjaga dan melindungiku setiap saat. Membela di garis depan saat ada yang menghina atau merendahkan putrinya yang bertubuh lemah ini. Ayah yang tak pernah menunjukan wajah kecewa karena memiliki putri tak berguna sepertiku di saat ayah-ayah lain saling membanggakan putra-putri mereka. Ayah yang selalu memelukku dengan penuh kasih sayang di saat kesedihan sedang melandaku. Ayahku ini adalah ayah terbaik.
“Kau kenapa? Bertengkar lagi dengan Lex?”
Aku terkekeh kecil, pertanyaan yang sama seperti ibuku tadi. Tampaknya semua orang sudah tahu bahwa sumber kesedihan dan kebahagiaanku memang Lex, tidak ada yang lain.
“Kami tidak bertengkar. Kami baik-baik saja, ayah.”
“Oh, ayah kira kalian bertengkar karena itu kau bersikap seperti ini karena ingin menghasut ayah agar memarahi Lex.”
Aku mendongak, memasang wajah cemberut dan sukses membuat ayahku tertawa lantang.
“Ayah pasti lelah sudah bekerja seharian ini. Aku pijat mau ya?”
Tanpa menunggu jawabannya, aku berenang cepat dan berdiri di belakang ayah. Aku pun mulai memiijat pundaknya.
“Tidak perlu, sayang. Lebih baik kau tidur saja. Tumben kau masih terjaga.”
“Aku menunggu ayah,” sahutku.
“Kenapa menunggu ayah?”
“Ingin saja. Memangnya kenapa? Tidak boleh?”
Ayahku mendengus pelan, “Boleh. Hanya aneh saja. Tidak biasanya kau begini.”
Benar, aku baru sadar selama ini aku selalu mengabaikan kedua orangtuaku terutama ayahku.
Aku pun melingkarkan kedua tanganku di lehernya, memeluk ayahku seerat yang ku bisa.
“Ayah, terima kasih untuk segalanya.”
Kedua mataku sudah berkaca-kaca sekarang.
“Ayah tidak pernah mengeluh atau kecewa memiliki putri tak berguna sepertiku padahal ayah pasti ingin memiliki putri yang sehat dan kuat. Yang bisa ayah banggakan di hadapan teman-teman ayah.”
Ayah mendengus kasar, dia balas menyentuh lenganku yang masih melingkar di lehernya. “ Kau ini bilang apa? Kenapa ayah harus kecewa dan mengeluh?”
“Sebaliknya, ayah bangga karena memiliki putri hebat sepertimu. Di Atlantis ini memangnya ada mermaid yang bisa mengalahkan kecantikanmu?”
“Tidak ada, kan? Putri ayah yang tercantik,” katanya memujiku.
Aku pun tertawa. “Ayah berlebihan.”
“Ayah serius. Tidak ada mermaid yang secantik dirimu di Atlantis ini.”
“Termasuk ibu?”
“Termasuk ibumu, kecantikanmu melebihinya.”
“Aku akan mengadukannya pada ibu.”
Ayah seketika memutar tubuhnya menghadapku. “Jangan. Kau ingin ibumu melempar ayah keluar. Tidak mengizinkan ayah tidur di kamar bersamanya.”
Aku kembali tertawa, wajah ayah yang panik benar-benar lucu menurutku.
“Ayah takut sekali pada ibu ya? Jika ibu marah, ayah selalu diam mendengarkan tanpa menyela atau membela diri.”
Ayahku menggeleng dengan cepat, “Bukan takut, hanya menghargai. Ibumu sudah banyak berkorban untuk ayah. Mengandung dan melahirkanmu lebih berat, tidak sebanding dengan kemarahannya. Jadi, ayah biarkan ibumu melampiaskan kemarahan sesukanya. Ayah akan mendengarkan.”
Aku mengulum senyum, ternyata yang dikatakan ibu tadi benar. Siapa sangka ayahku yang biasanya tegas dan galak di depan prajuritnya di istana, ternyata sangat romantis jika berkaitan dengan kisah asmaranya.
“Ibu beruntung ya memiliki pasangan seperti ayah.”
“Ayah yang beruntung memiliki ibumu. Dia mermaid yang hebat dan tegar. Berkatnya ayah bisa memiliki putri sempurna sepertimu.”
Aku tahu ayahku tulus mengatakannya, tapi sungguh aku merasa yang tejadi justru berkebalikan dengan ucapannya karena faktanya aku sangat lemah dan tidak berguna. Aku memiliki banyak kekurangan, tak ada yang bisa dibanggakan dari diriku.
Aku tersentak dari lamunan ketika tangan besar ayah tiba-tiba menyentuh daguku.
“Kenapa melamun?”
Aku menggeleng cepat. Kali ini aku memijit bahu kekarnya.
“Ayah maaf ya jika aku sering merepotkan dan membuat ayah khawatir.”
Ayahku mengernyitkan dahi, tampak heran. “Kenapa bicara begitu? Apanya yang merepotkan, kau justru sumber kebahagiaan ayah dan ibu.”
Dan sekali lagi ... ayah mengatakan hal yang sama dengan ibu membuatku tak kuasa menahan air mata ini agar tetap diam di tempat.
“Aku sayang ayah dan ibu,” ucapku tulus disertai lelehan air mata yang mulai turun.
“ Kami apalagi. Kau segalanya untuk kami.”
Aku berdiri di belakang ayah, sengaja agar ayah tak menyadari aku sedang menangis. Kembali ku pijit tengkuknya dengan gerakan perlahan.
“Ayah berjanjilah satu hal padaku.”
“Apa?” tanyannya.
“Jika suatu hari nanti aku tidak lagi tinggal bersama kalian. Kalian tidak boleh bersedih. Kalian harus tegar dan ikhlas.”
Ayahku berniat memutar tubuhnya, namun secepat kilat aku mencegahnya.
“Kalian harus selalu bersama dan saling mencintai. Kalau bisa buatlah adik untukku,” kataku sembari terkekeh di akhir ucapan.
Suara dengusan ayah mengudara.
“Kalian terlalu sibuk bekerja. Kalian harus banyak meluangkan waktu berduaan agar bisa cepat memberiku adik. Agar aku punya teman bermain saat kalian pergi.”
“Kenapa tiba-tiba meminta adik?”
“Agar rumah ini semakin ramai,” sahutku. “Kita bangsa mermaid berumur panjang dan awet muda. Harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memiliki banyak keturunan.”
“Putri ayah sudah dewasa ternyata, sudah siap memiliki keturunan dengan Lex sepertinya?”
Aku menegang mendengar ucapan ayah, ku pukul pelan punggung ayahku sebagai tanda aku tersinggung. Dan ayah hanya menanggapinya dengan kekehan santai.
“Ayah tidak keberatan aku bersama Lex?”
“Selama itu keinginanmu dan kalian saling mencintai, ayah setuju. Lex hebat dan kuat. Dia pasti bisa melindungimu. Ayah percaya padanya.”
Kelegaan luar biasa ku rasakan mendapati orangtuaku mendukung sepenuhnya kebersamaanku dengan Lex.
“Jadi bagaimana? Ayah mau berjanji untuk selalu menjaga ibu jika aku tidak bersama kalian lagi?”
“Iya, ayah janji. Jangan mengkhawatirkan kami. Apa kau dan Lex sudah berencana hidup bersama?”
Aku terdiam tak tahu harus menjawab apa.
“Kalau kalian sudah siap, suruh Lex menemui ayah dulu untuk meminta izin membawamu pergi bersamanya.” Ayah menambahkan dan aku hanya mengangguk saja.
“Satu lagi, ayah juga harus berjanji akan selamanya hidup bahagia bersama ibu. Jangan tergoda mermaid lain.”
Ayahku tertawa, sebelum dia mengangkat jempolnya. “Ayah berjanji. Lagi pula ibumu satu-satunya yang ayah cinta. Jangan khawatir, mustahil ayah berpaling dari ibumu.”
Aku tersenyum lebar, lega luar biasa karena dengan ini aku tak khawatir lagi pada orangtuaku jika aku pergi ke daratan besok.
“Ini sudah larut. Lebih baik kau tidur.”
“Ayah sudah ingin tidur?”
Ayah mengangguk cepat, ketika tiba-tiba dia membalik badan untuk menghadapku. Beruntung air mataku sudah tak keluar lagi. Dengan begini aku berhasil menyembunyikan tangisanku di depan ayah.
“Ini waktu yang tepat untuk mengabulkan permintaanmu yang tadi,” katanya sambil mengedipkan sebelah mata. “Memberimu adik, kan?”
Dan aku pun tertawa setelah paham sepenuhnya maksud ayahku.
Aku mengangguk setuju, mengecup pipi kanan ayah sebelum berenang pergi menuju kamarku sendiri.
“Selamat beristirahat, ayah. Aku sayang ayah dan ibu.”
Kata-kata yang aku ucapkan sebelum benar-benar menghilang di balik pintu.
Kini hanya tersisa Nora dan Nata. Aku ingat kami masih bertengkar, dan besok aku harus berbaikan dengan mereka. Ya, sekaligus mengucapkan salam perpisahan sebelum aku pergi ke daratan besok siang.