PART FOUR

2884 Words
Setibanya di rumah Lex, Myesha tampak menatap dengan takjub. Mungkin rumah kami sesuatu yang aneh baginya, mengingat rumah kami terbuat dari tumpukan kerang yang disusun sedemikian rupa hingga membentuk atap dan dinding.  “Kalian yang membuatnya?” tanyanya dengan wajah berbinar penuh penasaran sembari menunjuk ke arah rumah Lex. “Tentu saja. Tidak mungkin kan rumah ini berdiri dengan sendirinya?”  Yang menyahuti adalah Lex, masih dengan raut datar dan nada suara sinisnya. Dia berenang menghampiri pintu, membukanya sebagai isyarat mengizinkan kami untuk masuk ke dalam.  Myesha masih menggulirkan mata menatap sekeliling, kedua matanya melebar kagum dengan mulut yang terbuka menunjukan dia benar-benar terkejut melihat tempat tinggal kami.  Aku menyentuh lengan Myesha. “Ayo masuk,” ajakku karena akan bahaya jika sampai ada penghuni Atlantis yang melihat manusia berkeliaran di sini.  Myesha menurut tanpa perlawanan, masuk ke dalam rumah Lex masih dengan wajah berbinar kagum.  Lex menyodorkan rumput laut di hadapan Myesha ketika kami sudah duduk melingkari meja batu. Myesha mengernyitkan dahi, terlihat tak suka dengan makanan yang dihidangkan Lex untuknya.  “Ini apa?” tanyanya, mengangkat rumput laut yang masih segar itu seraya mengendusi aromanya. “Rumput laut. Biasanya kami memakan itu,” jawabku, mencoba menjelaskan. “Hanya rumput laut ini makanan kalian?”  Aku menggeleng, “Tidak juga, terkadang kami memakan ganggang laut dan tanaman laut lainnya.”  Myesha meringis seolah tengah menahan jijik. “Kalian memakannya mentah seperti ini?”  Aku dan Lex saling berpandangan, heran mendengar pertanyaan Myesha. Apa pun makanan yang biasa dimakannya di daratan tentunya berbeda dengan kami. Melihat ekspresinya yang seperti itu, ku tebak dia tak pernah memakan tanaman laut sebelumnya.  “Memangnya di daratan biasanya kalian memakan apa?” Aku yang bertanya karena rasa penasaran mulai berkecamuk di dalam benakku. Aku penasaran dengan kehidupan manusia di daratan.  “Tentu saja makanan mereka bangsa kita. Ikan di laut, kan?” terka Lex masih sesinis sebelumnya. Dia berdecak jengkel, “Sudah kuduga seharusnya kita tidak mengajaknya ke sini. Lihat, dia bahkan tidak menghargai makanan yang kita hidangkan untuknya.”  “Bukan aku tidak menghargai, kau salah paham,” sela Myesha cepat, menampik perkataan Lex.  “Tentu saja aku juga pernah memakan rumput laut seperti kalian. Hanya saja biasanya kami mengolahnya dulu. Seperti memasaknya atau mencampurkan rumput laut ini dengan bahan makanan lain. Maksudku ...” Myesha menggigit bibir dalamnya, kembali meringis menahan jijik. “... aku tidak pernah memakan rumpat laut mentah-mentah. Entahlah ... aku tidak yakin dengan rasanya.”  Lex mendengus kasar sebelum tangannya bergerak cepat untuk merebut rumput laut di tangan Myesha.  “Kalau tidak mau ya sudah. Lebih baik kau pergi saja dari sini. Kehidupan kita berbeda, jelas kau tidak akan suka,” ujar Lex, luar biasa ketus.  Myesha geragapan, dia bangkit berdiri dari duduknya, berusaha mengambil kembali rumput laut yang direbut Lex, namun Lex tentu tak memberinya kesempatan kedua.  “Aku minta maaf jika perkataanku menyinggung perasaanmu. Kembalikan rumput lautnya, aku akan memakannya.” “Wajahmu terlihat jijik melihat makanan kami.”  Myesha menggeleng cepat, “Bukan jijik, hanya ... ragu saja karena aku belum pernah memakannya mentah-mentah. Kembalikan padaku, aku lapar sekali."  Myesha mengulurkan kedua tangannya dalam keadaan menengadah seolah dia benar-benar tulus meminta Lex mengembalikan rumput laut itu. Aku mendesah lelah melihat sikap Lex yang begitu ketus pada Myesha.  “Lex, berikan padanya. Biarkan dia memakannya.” “Tapi ...” “Ayolah Lex, itu kan alasan kita membawanya ke Atlantis? Untuk memberinya makan,” sahutku, mengingatkan Lex alasan kami membawa Myesha ke sini.  Lex mencebik hingga pada akhirnya dia melemparkan rumput laut itu ke atas meja batu. Aku memungutnya dan kuberikan pada Myesha. “Makanlah. Seharusnya rumput laut ini aman untukmu. Lagi pula tadi kau bilang kalian juga sering memakannya, kan?”  Myesha mengangguk, dengan wajah berbinar menerima rumput laut yang kuulurkan dan kali ini tanpa ragu dia memasukannya ke dalam mulut.  “Hmm ... ternyata rasanya lumayan. Tak seburuk yang kuduga. Aku menyukainya,” katanya dengan mulut yang sibuk mengunyah rumput laut.  Aku memperhatikan bagaimana Myesha makan sedangkan Lex ... seolah tak tertarik, dia memilih memandang ke arah lain.  “Myesha, kau belum menjawab pertanyaanku tadi?” tanyaku, Myesha mengangkat satu alisnya.  “Pertanyaan yang mana?” Dirinya balas bertanya. “Tentang makanan kalian di daratan.” “Oh, pertanyaan yang itu,” sahut Myesha, dia menegakan posisi duduknya yang sempat sedikit merosot. “Banyak yang kami makan. Hewan-hewan seperti ayam, sapi, kambing dan hewan lainnya yang memang dagingnya bisa kami makan. Kami juga memakan telur. Sayuran dan banyak lagi sampai aku bingung menjelaskannya.”  “Termasuk ikan, kan?” sela Lex. “Akui saja kalian juga sering memakan ikan-ikan di laut?”  Myesha meringis, kedua matanya bergulir gelisah sebelum sebuah anggukan kecil diberikannya. Lex mendecih kembali membuang muka sembari menggelengkan kepala.  “Tapi yang kami makan bukan mermaid seperti kalian. Hanya ikan-ikan biasa yang ditangkap nelayan.” “Tetap saja ikan-ikan di laut itu kerabat kami!” Lex membentak disertai dirinya yang bangkit berdiri dari duduknya. “Lex ...” Aku menyentuh lengannya seraya mengusapnya lembut mencoba menenangkan dia yang tersulut emosi.  “Sudahlah, Myesha tidak salah. Jangan marah padanya. Toh, memang sudah sejak dulu manusia memakan ikan di laut.” “Benar yang dikatakan Ashley, aku bahkan tidak pernah menangkap ikan di laut. Aku hanya memakan ikan yang disajikan untukku. Tentu saja aku juga tidak pernah tahu bangsa mermaid itu benar-benar ada.” Myesha membela diri. Lex mendecih tak terima namun dia kembali duduk ketika aku menarik tangannya.  “Bagaimana kalau kita membahas hal lain? Jangan membicarakan tentang ikan lagi karena membahasnya hanya akan membuat kalian emosi kan?” Myesha berucap dengan pelan seolah dia takut mengatakan sesuatu yang salah hingga menyulut emosi Lex lagi.  Aku tersenyum setuju, “Ceritakan tentang daratan? Kami penasaran dengan kehidupan kalian.” Aku mengalihkan pembicaraan. Myesha yang sempat lesu kini kembali memasang raut antusias.  “Sama seperti kalian, kami juga memiliki rumah di daratan. Kehidupan kami juga bisa dikatakan sudah modern. Banyak kendaraan super cepat dan praktis yang bisa mengantar kami ke tempat tujuan. Alat-alat elektronik yang digunakan sebagai alat komunikasi maupun sarana hiburan.”  Myesha tiba-tiba berdiri dari duduknya. “Lihat, kami juga terbiasa mengenakan pakaian dengan berbagai model tentunya.”  Tatapanku tertuju pada pakaian yang dikenakan Myesha, sederhana namun menutupi tubuhnya meski kaki jenjangnya masih terekspos jelas.  “Berbeda dengan kalian yang ... ehhmmm .... bagaimana ya mengatakannya?”  Myesha kembali menggulirkan bola matanya gelisah, menatapku lalu beralih menatap Lex seolah dia tengah menelisik  penampilan fisik kami.  Sebenarnya tanpa dia jelaskan pun aku mengerti maksud ucapannya karena kami memang tak mengenakan pakaian seperti dirinya. Aku hanya menggunakan kerang untuk menutupi area sensitifku di bagian d**a sedangkan para merman seperti Lex memang selalu bertelanjang d**a, tak mengenakan penutup tubuh apa pun. Kulit kami dipenuhi sisik yang sudah secara alami menutupi bagin-bagian vital tubuh kami. Tidak seperti kulit Myesha yang begitu putih dan mulus. Mungkin semua manusia di daratan memang memiliki kulit yang sama seperti Myesha.  “Intinya banyak perbedaan di daratan dengan di sini. Tentu saja karena di sini dunia di bawah laut.” tambah Myesha sembari menggaruk belakang kepalanya. “Tapi sungguh tempat ini sangat indah. Bolehkah aku berkeliling untuk melihat-lihat?”  Aku dan Lex kembali berpandangan. Lex mendesah dengan kepalanya yang menggeleng tegas.  “Sudah kami katakan padamu tadi, penghuni Atlantis tidak akan menerimamu di sini. Kau adalah makhluk yang paling berbahaya bagi bangsa kami sekaligus makhluk hidup yang kami hindari,” sahut Lex. “Bukankah kau bisa menggunakan sihir?” Tatapan Lex menghunus tajam pada Myesha. “Kau membuatku bisa bernapas di dalam air dengan kekuatan sihirmu. Seharusnya kau juga bisa mengubah kakiku menjadi ekor seperti kalian agar tidak ada yang curiga bahwa aku ini manusia dari daratan.”  Aku melebarkan mata, menyadari kebenaran ucapan Myesha. Bagaimana bisa hal ini tak terpikirkan olehku? “Aku hanya ingin melihat-lihat. Kalian tenang saja, aku tidak akan membuat ulah yang membahayakan kalian.”  Aku menatap Lex yang masih memfokuskan atensinya pada Myesha.  “Lex, dia benar. Kau pasti bisa merubah kakinya menjadi ekor.”  Lex menoleh padaku, memasang wajah malas dan tak berminat yang kentara. “Aku tidak ingin mengambil resiko sekecil apa pun. Coba pikirkan bagaimana reaksi penghuni Atlantis jika sampai identitasnya sebagai manusia diketahui?”  “Aku tidak akan mengacau. Sungguh. Aku hanya akan diam dan mengikuti kalian kemana pun kalian membawaku pergi.” Myesha menyela dengan cepat. Dengan berani menyentuh lengan Lex yang berada di atas meja batu, membuatku terbelalak melihatnya karena Myesha menggenggam tangan Lex sebegitu eratnya.  “Aku mohon. Aku hanya ingin melihat-lihat dunia kalian.” Myesha memasang wajah memelas, Lex terdiam beberapa saat sebelum hembusan napas kasar itu akhirnya meluncur.  “Ck ... baiklah. Jika kau mengacau aku tidak akan segan-segan membunuhmu,” ancam Lex. Myesha mengangkat dua jarinya, jari telunjuk dan tengah disertai seyuman lebar. “Aku janji akan jadi gadis penurut,” sahutnya.  Lex bangkit berdiri, berjalan menghampiri Myesha. Dia menarik tangan Myesha agar ikut berdiri hingga akhirnya kedua tangannya mendarat di kedua kaki Myesha. Ketika bibir Lex tak hentinya bergerak, aku tahu dia sedang menggunakan sihirnya.  Aku hanya diam memperhatikan ketika cahaya mulai muncul mengelilingi kedua kaki Myesha hingga akhirnya keajaiban terjadi. Kedua kakinya kini berubah menjadi ekor yang cantik berwarna putih kemerahan.  “Woow ... aku merasa menjadi mermaid sekarang,” ujarnya girang. “Apa sekarang aku bisa berenang?” “Coba saja gerakan ekormu.”  Myesha menuruti perkataan Lex, dia menggerak-gerakan ekor dan kedua tangannya. Sekali lagi keajaiban terjadi karena Myesha yang tadinya tak bisa berenang kini mampu berenang dengan lincahnya seperti kami.  “Ini menakjubkan, aku bisa berenang. Kekuatanmu sungguh luar biasa Lex,” puji Myesha tampak tulus, dia menoleh padaku setelahnya. “Apa kau juga bisa menggunakan sihir, Ashley?” tanyanya dan dengan berat hati aku menggeleng.  “Hanya beberapa saja yang menguasai sihir salah satunya keluarga Lex. Keluarga Lex memang penyihir karena itu kekuatannya menurun pada Lex. Sedangkan aku ... aku hanya mermaid biasa tanpa kemampuan sihir,” jawabku, menjelaskan kondisi bangsa kami yang memang tak semuanya menguasai sihir.  “Oh, begitu. Kupikir kalian semua menguasai sihir. Ternyata hanya segelintir saja. Dan kau menjadi salah satu yang beruntung karena menguasai sihir, benar kan Lex?”  Entah ini perasaanku saja atau memang suatu kenyataan, aku merasa tatapan Myesha pada Lex sekarang berubah seolah terselip ketertarikan sebagai lawan jenis. Aku merengut tak suka terutama saat Myesha dengan berani merangkul lengan Lex.  “Ayo, kita mulai berkeliling. Aku sudah tidak sabar ingin melihat keindahan dunia kalian yang bernama Atlantis ini.”  Tanpa permisi Myesha menarik tangan Lex agar mengikutinya, sukses membuatku menggeram kesal di sini.  Aku berenang cepat untuk mengejar mereka yang berenang lebih dulu. Satu lagi yang membuatku kesal, Lex sama sekali tak menepis tangan Myesha. Mereka berenang sambil bergandengan tangan. Cih ... ini benar-benar menyebalkan.  Ketika akhirnya kami berhenti berenang karena tiba di sebuah terumbu karang. Aku cepat-cepat meraih tangan Lex yang bebas dari genggaman tangan Myesha. Aku menarik Lex, merangkul lengan kekarnya dan merapatkan tubuh kami. Aku tidak akan membiarkan Myesha mendekati Lex lebih dari ini. Lex hanya milikku.  Myesha menatap kebingungan padaku yang tiba-tiba menempel erat pada Lex. Apa pun yang dia pikirkan, sungguh aku tak peduli. Yang pasti aku sedang melindungi milikku.  “Ash, kau kenapa?” tanya Lex, satu alisnya terangkat naik. “Kenapa apanya?” Aku balas bertanya. “Kenapa memelukku begini?” “Kenapa memangnya? Tidak boleh?!” sahutku galak pasalnya aku sedikit membentak Lex.  Lex memundurkan wajah dengan raut mengernyit bingung hingga pada akhirnya dia menyerah. Menggeleng pasrah membiarkanku terus memeluknya erat.  Myesha tersenyum kecil melihat kami sebelum dia merubah fokusnya ke arah terumbu karang yang terpampang indah di hadapannya.  “Indah sekali. Ini pengalaman pertamaku melihat dunia bawah laut. jadi ini ya yang dinamakan terumbu karang.”  Myesha berniat menyentuh terumbu karang itu dan terkesiap hingga suara jeritannya mengudara karena tiba-tiba keluar seekor gurita dari terumbu karang tersebut.  Myesha tertawa lantang setelahnya. “Waah ... ada gurita,” katanya heboh seolah baru pertama kali melihat kerabat kami yang satu ini.  Myesha berniat menyentuh gurita itu, namun urung karena sang gurita berjalan cepat untuk menghindar.  “Padahal aku ingin menyentuhnya,” ucapnya dengan memasang wajah kecewa. “Perlihatkan lagi keindahan dunia kalian,” pintanya. Aku dan Lex berenang mendahului, membiarkan Myesha mengikuti kami dari belakang.  Tatapan takjub serta pekikan girang tak hentinya meluncur dari mulut Myesha ketika dia melihat ikan-ikan berbagai jenis, berenang di dekatnya. Dia tersenyum lebar di sepanjang perjalanan kami disertai raut wajahnya yang berbinar senang. Bagiku ekspresinya itu membuatnya terlihat cantik berkali-kali lipat dibanding sebelumnya.  Aku yang tengah memperhatikan Myesha tanpa sengaja menoleh ke arah Lex yang berdiri di sampingku. Aku terpaku dengan jantung berdebar tak nyaman, menyadari bagaimana Lex memandang Myesha seolah dirinya terpesona. Aku memukul lengan Lex cukup kencang membuat pria itu tersentak dan mengerjapkan matanya berulang kali.  “Kenapa kau memukulku?” tanyanya tak suka. “Matamu melihat kemana?” Aku memicingkan mata penuh selidik saat menanyakan ini.  Lex mencibir, “Tidak ada. Memangnya apa yang kulihat?” katanya mengelak. “Dan lagi, bisa tidak lepaskan aku? Jangan memelukku begini.” “Memangnya kenapa?” “Malu dilihat orang. Kau ini kenapa? Aneh sekali hari ini.”  Aku memutar bola mata, tak ku pedulikan usaha Lex yang berniat melepaskan rangkulan tanganku pada lengannya. Aku tetap memeluknya agar Myesha tak memiliki kesempatan untuk mendekati Lex lagi.  “Apa ada lagi yang ingin kalian tunjukan padaku?” tanya Myesha, serempak membuat kami menoleh padanya. “Kau mau melihat pusat Atlantis?” tanya Lex, aku membulatkan mata tak menduga dia berniat membawa Myesha ke pusat Atlantis. Hei ... tempat itu penuh dengan bangsa kami.  “Lex, jangan gila. Bahaya sekali kita membawa Myesha ke pusat Atlantis,” tegurku dan Lex hanya membalas dengan menyentil ujung hidungku lumayan kencang hingga aku meringis kesakitan.  “Tidak akan ada yang curiga. Dia memiliki ekor sekarang, apa kau lupa?”  Aku memberengut, tak mampu berkata-kata untuk membantah dan hanya bisa mengikuti dalam diam ketika Lex berenang membawa kami menuju pusat Atlantis.  Kedua mata Myesha melebar sempurna ketika kami tiba di pusat Atlantis. Tempat terindah dan teramai di dunia kami. Di tempat inilah biasanya para mermaid dan merman saling berinteraksi.  “Indah sekali. Di sini juga sangat ramai ya. Sepertinya tempat ini semacam pusat kota.” “Tempat ini bernama Aquamarine, pusat Atlantis.” Aku yang menjelaskan dengan membusungkan d**a bangga karena Myesha sendiri pun mengakui keindahan tempat ini.  Banyak bangunan tinggi di sini yang kesemuanya didirikan dengan menggunaka sihir. Yang mendirikannya tentu saja para leluhur kami yang menguasai sihir seperti keluarga Lex.  “Bangunan itu ... apa itu istana?” Myesha menunjuk ke arah bangunan mewah yang berdiri kokoh. Banyak ikan yang berenang mengelilingi bangunan itu. “Ya, itu istana.” Kali ini Lex yang menyahut. “Jadi dunia kalian dipimpin seorang raja?” “Seorang ratu lebih tepatnya.” Lex kembali menyahut.  Myesha mengangguk-anggukan kepala, “Di daratan juga ada beberapa negara yang sistem pemerintahannya masih berbentuk kerajaan. Meskipun lebih banyak sudah menjadi negara republik.”  Aku dan Lex mengernyit bersamaan, tentu kami tak paham maksud ucapan Myesha. Gadis itu terkekeh geli saat menyadari raut kebingungan kami.  “Maaf, maaf, tentu saja kalian tidak mengerti dengan sistem pemerintahan yang aku maksud bukan? OK, kita ganti topik saja,” katanya, sebelum kembali menunjuk ke arah istana tempat tinggal sang ratu. “Apa kita bisa masuk ke dalam istana itu?”  “Tidak bisa. Hanya sang ratu, para ksatria dan pelayan yang boleh masuk ke dalam,” sahutku. “Oh, begitu ya. Apa ratu kalian memiliki suami dan anak? Hmm ... maksudku memiliki keluarga?”  Aku dan Lex menggeleng bersamaan. “Ratu kami tidak memiliki pasangan. Dia hidup sendiri di dalam istana.”  Myesha melongo seolah dia benar-benar terkejut mendengar jawabanku. “Ratu hidup sendirian di dalam istana? Memangnya dia tidak kesepian?” “Yang Mulia Ratu sering keluar istana untuk memastikan keamanan rakyatnya. Dia tidak kesepian karena banyak pelayan yang melayani dan menemaninya. Bahkan banyak juga ksatria yang berjaga di istananya.” Lex ikut menimpali. “Bukan itu maksudku. Bukankah dia membutuhkan seorang penerus tahta untuk menggantikannya kelak jika dia tiada?”  “Sang Ratu akan hidup abadi, penerus tahta tidak dibutuhkan,” sahutku cepat merasa tersinggung karena kami semua selalu mendoakan agar Yang Mulia Ratu selalu hidup sejahtera. Sang Ratu akan hidup abadi dan tidak akan pernah tiada, itulah harapan dan permohonan kami pada Sang Pencipta. “Oh, benar juga, tentu saja kalian hidup abadi. Kalian berbeda dengan manusia yang waktu hidupnya sangat sebentar. Umur kalian panjang bukan?” Aku dan Lex mengangguk bersamaan. Bangsa kami memang berumur panjang bahkan mungkin julukan makhluk abadi memang cocok disematkan  pada kami. Kami bisa bertahan hidup ratusan bahkan sampai ribuan tahun lamanya. Terkecuali bagi mereka yang memiliki kelainan sepertiku. Karena kelainan yang ku derita, sebenarnya umurku tidak akan panjang. Sekali lagi berkat kekuatan sihir Lex yang menopang hidupku, aku masih bisa bernapas hingga detik ini.  Aku semakin mengeratkan pelukanku pada lengan Lex ketika mengingat betapa aku berhutang nyawa pada pria ini. Aku benar-benar tak bisa hidup tanpanya. Aku akan melakukan apa pun agar bisa tetap bersamanya.  “Di sana ramai ya. Sebenarnya aku ingin ke sana tapi sepertinya kita akan jadi pusat perhatian,” ucap Myesha tiba-tiba dengan tatapannya yang tertuju pada Aquamarine yang memang dalam keadaan ramai. Walau sebenarnya tak pernah sepi karena bangsa kami hilir mudik di sana.  “Bagaimana kalau kita pergi ke tempat lain? Ke tempat para hiu tinggal mungkin. Aku penasaran ingin melihat mereka dari dekat.”  Aku mengangguk pada Lex sebagai isyarat mengajaknya untuk mengabulkan keinginan Myesha. Lex memutar bola matanya tampak malas toh pada akhirnya dia menurut juga.  Kami kembali berenang, kali ini menuju habitat para hiu. Mereka tinggal di gua-gua dan terumbu karang yang membentuk lorong-lorong. Mereka juga sering berenang ke dasar laut paling dalam bahkan ada beberapa dari mereka yang lebih senang menetap di palung laut. Mereka predator yang senang memangsa ikan-ikan kecil bahkan tak jarang menyerang bangsa kami. Karena itu, Yang Mulia Ratu mengusir mereka dari Atlantis sehingga mereka menetap di tempat terpencil seperti ini. Mereka pun telah membuat perjanjian dengan sang Ratu bahwa mereka tidak akan mengganggu penghuni Atlantis.  Myesha berteriak girang ketika melihat kerumunan hiu putih tengah berenang keluar dari gua tempat tinggal mereka.  “Aku benar-benar bisa melihat hiu dari dekat. Apa aku boleh menyentuh mereka? Seharusnya mereka tidak akan menyerangku karena aku terlihat seperti kalian, kan?”  Myesha berenang tanpa menunggu kami menyahut. Dia hendak menghampiri kerumunan para hiu. Meski mereka telah terikat dengan perjanjian dengan sang ratu. Namun, mengingat kami sendiri yang datang kemari sama saja dengan kami memberikan nyawa pada mereka.  “Sial!” umpat Lex melihat bagaimana Myesha berenang mencoba mendekati kerumunan hiu putih. “Myesha, jangan ke sana!!”  Aku terpaku ketika Lex menghentakan tanganku begitu saja hingga rangkulanku terlepas. Dia meninggalkanku sendiri dan berenang cepat untuk mengejar Myesha.  Tak sulit bagi Lex untuk menangkapnya sebelum mereka tiba di dekat para hiu. Darahku berdesir gelisah saat melihat bagaimana Lex menarik tangan Myesha dari belakang hingga tubuh gadis itu membentur dirinya. Bagaimana tatapan mereka saling bertemu dan saling menyelami iris masing-masing.  Sebuah firasat buruk ku rasakan ketika mereka tak kunjung melepas kontak mata. Sebaliknya, raut ketertarikan dari keduanya begitu kentara terlihat. Hatiku berdenyut sakit ketika Lex memeluk Myesha, membawanya berenang untuk menjauh dari sana.  Siapa pun tolong katakan padaku, firasatku salah bukan? Mereka tidak akan saling tertarik bukan? Sungguh ... aku mulai ketakutan sekarang. Takut Myesha akan merebut Lex dariku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD