PART THREE

2938 Words
Gadis itu kehilangan kesadarannya. Kedua matanya terpejam erat dengan dadanya yang kembang kempis tampak lemah. Melihat kondisinya sukses membuatku panik luar biasa.  Aku menatap wajah Lex yang terlihat datar seolah dirinya tak merasa iba sedikit pun pada gadis ini. Bahkan dia tak membantuku membawanya.  “Lex, bagaimana ini? Kita harus menyelamatkannya.” “Biarkan saja dia,” jawab Lex begitu mudahnya, membuatku menggeram dalam hati karena tak menyangka dia bisa bersikap sekejam itu pada gadis ini. Memang dia manusia yang berbahaya untuk bangsa kami, tapi di mataku tetap saja dia makhluk hidup sama seperti kami. Dan tak mungkin aku membiarkannya mati tenggelam di saat aku ada di sini. Melihat dengan mata kepalaku sendiri kejadian yang menimpa dirinya. Hatiku tak tega.  “Kita harus menyelamatkannya. Dia bisa mati jika tidak cepat-cepat ditolong,” ujarku, bersikeras untuk menyelamatkan gadis dalam pelukanku ini.  Lex menghela napas panjang, raut wajahnya masih terlihat ragu. Namun pada akhirnya dia mengangguk dengan penuh keterpaksaan.  Dia membantuku mengambil alih gadis ini, dan kami pun berenang menuju gunung batu tempat kami biasa berdiam diri sambil menatap daratan.  Lex meletakan gadis itu di atas batu, kondisinya terlihat semakin lemah dari waktu ke waktu. Aku benar-benar tak tahu apa yang harus kami lakukan untuk menyelamatkannya.  “Apa yang harus kita lakukan sekarang, Lex?” tanyaku pada Lex yang hanya terdiam sambil memandangi wajah si gadis yang semakin terlihat pucat. “Apa kita bawa saja dia ke Atlantis dan meminta bantuan orang lain?”  Lex mendelik tajam padaku sebelum hembusan napas kasar itu meluncur dari mulutnya.  “Jangan gila, Ashley. Kau pikir penghuni Atlantis akan mengizinkan dia masuk wilayah kita? Tentu saja itu tidak mungkin. Manusia adalah makhluk yang paling dianggap berbahaya di dunia Atlantis.”  Aku mengangguk-anggukan kepala, setuju sepenuhnya dengan penuturan Lex ini.  “Lagi pula, dia ini manusia. Dia tidak bisa bernapas di dalam air seperti kita. Mereka hanya bisa menghirup udara daratan,” tambahnya dan sekali lagi aku mengangguk menyetujui.  “Jika kita terus membiarkannya seperti ini, dia akan mati.” “Kurasa karena tenggelam tadi, air masuk ke dalam tubuhnya. Mungkin memenuhi saluran pernapasannya.” Lex menerka kondisi si gadis dan perkatannya ini membuatku semakin kalang kabut. Kebingungan sendiri. Inilah pertama kalinya aku berinteraksi dengan manusia. Dan kondisinya kini tengah berada antara hidup dan mati. “Jadi, kita harus bagaimana?” tanyaku lagi, mulai putus asa karena belum juga menemukan cara untuk menyelamatkannya.  “Kita harus mengeluarkan air dalam saluran pernapasannya,” kata Lex. “Bagaimana caranya?”  Lex tak menyahut, dia memperhatikan tubuh sang gadis. Kembang kempis pada dadanya semakin lemah dan berat. Nyawanya benar-benar berada di ujung tanduk.  “Aku tidak tahu cara ini akan berhasil atau tidak, tapi ... aku akan mencobanya.”  Setelah mengatakan itu, Lex menekan d**a si gadis yang terus kembang kempis dengan kedua tangannya, menekannya berulang kali namun tak ada perubahan yang terjadi pada gadis manusia ini. Kedua matanya tetap terpejam erat. Lex menghentikan gerakan tangannya, dia menatap padaku dan mengangkat kedua bahunya tampak menyerah. “ Sepertinya takdir dia memang harus mati seperti ini.” katanya enteng.  Aku menggeram dalam hati, mendorong Lex dengan sikut agar aku bisa lebih dekat dengan gadis manusia yang terbaring kaku di atas puncak gunung batu. Ku lakukan apa yang dilakukan Lex tadi, menekan dadanya dengan kedua tanganku. Aku tak menyerah, terus ku lakukan itu hingga keajaiban pun terjadi. Air keluar dari mulut si gadis.  “Lex lihat, aku berhasil,” ujarku riang.  Dengan malas Lex melihat ke arah telunjukku yang tengah tertuju pada mulut si gadis yang terus mengeluarkan air. Sepertinya cara yang terpikirkan Lex berhasil mengeluarkan air yang masuk ke dalam tubuhnya.  “Tapi dia masih tidak sadar. Mungkin harus ada hal lain yang kita lakukan selain mengeluarkan airnya,” kata Lex, aku tertegun mendengarnya.  Apa lagi yang harus kami lakukan untuk menyelamatkannya? Kepalaku rasanya ingin meledak memikirkan cara menyelamatkan makhluk bernama manusia ini.  “Dia ini jadi seperti ini karena terlalu banyak menelan air. Mungkin saluran pernapasannya tersumbat karena terisi air.” Lex mengutarakan pemikirannya dan aku hanya menjadi pendengar yang baik.  Untuk urusan melakukan analisis, Lex memang ahlinya. Dia sangat pintar, selalu menemukan cara untuk menyelesaikan setiap masalah. Karena alasan itulah aku sering mendatanginya saat tertimpa masalah rumit. Dan karena kepintarannya ini pula aku jatuh cinta padanya.  “Bagaimana jika kita mencoba membantunya bernapas?” tanya Lex tiba-tiba membuatku terenyak karena sempat terfokus pada lamunan panjang.  “Caranya?” Aku balas bertanya. Memangnya bagaimana cara membantu gadis ini bernapas? Aku tak menemukan caranya sama sekali.  Lex mendekati wajah si gadis, entah apa yang sedang dia periksa. Ku perkirakan mungkin dia sedang mencari dimana saluran pernapasannya. Lex mendekatkan jarinya ke hidung sang gadis.  “Sepertinya dia bernapas melalui hidung,” katanya kemudian. “Kita juga bernapas melalui hidung dan mulut, kan? Hanya saja kita mempunya kelenjar insang sehingga kita bisa bernapas di dalam air,” balasku. Kuperhatikan tubuh manusia ini dan menyadari ada banyak kesamaan di antara kami. Yang membedakan hanyalah dia tak memiliki ekor sepertiku, sebaliknya dia memiliki sepasang kaki yang sangat indah dan jenjang.  Dia juga tak memiliki sisik, tidak sepertiku yang memiliki sisik di beberapa bagian tubuhku. Ada sirip juga di sepanjang kaki dan sikutku. Namun gadis menusia ini tak memilikinya. Kulitnya terlihat mulus dan putih, membuatku iri melihatnya. Rambut gadis ini juga indah, berwarna hitam lurus mencapai punggung. Dengan lekuk wajah yang cantik meski dirinya sedang memejamkan mata. Jika kedua matanya terbuka, aku yakin dia akan terlihat lebih mempesona.  “Kurasa tidak mungkin kita memberinya napas melalui hidung. Bagaimana jika kita coba membantunya bernapas melalui mulut?” Lex kembali meminta pendapatku. Meski tak mengerti, ku anggukan kepala menyetujuinya.  “Coba saja. Siapa tahu berhasil daripada kita diam saja menunggu dia mati, kan? Usaha kita menyelamatkannya sia-sia berarti,” sahutku. “Harus aku yang melakukannya?” Lex menunjuk dirinya sendiri. “Kau yang punya ide, kan? Tentu saja harus kau yang melakukannya. Lagi pula, aku tidak mengerti maksudmu membantunya bernapas melalui mulut itu seperti apa?” “Sudah kuduga, kau sejak tadi tidak mengerti apa yang kukatakan.” Lex menggelengkan kepala, “Ashley, Ashley ... kepolosanmu berlebihan.”  Aku memberengut tak suka. Dan tersentak saat melihat apa yang dilakukan Lex setelahnya. Dia membuka paksa mulut si gadis dengan satu tangannya lantas mendekatkan bibirnya pada bibir gadis itu. Aku terbelalak tentu saja, Lex mencium gadis ini tepat di depan mataku.  Ciuman itu berlangsung cukup lama. Awalnya aku hanya diam mematung sebelum akal sehatku berhasil menarik kembali kewarasanku. Aku menarik tangan Lex, memaksa agar ciuman mereka terlepas.  “Apa yang kau lakukan? Kenapa kau menciumnya di depan mataku?!” bentakku pada Lex. Lex mengernyitkan dahi tampak kebingungan.  “Kau yang menyuruhku membantunya bernapas kan? Itulah yang kulakukan barusan,” jawabnya, membela diri.  Aku memicingkan mata, menatapnya penuh curiga.  “Jadi, itu maksudmu membantunya bernapas melalui mulut?”  Lex mengangguk, “Begitulah.” “Itu namanya berciuman, Lex. Bukan membantunya bernapas!” Aku berteriak lebih kencang dari sebelumnya membuat Lex menutup telinganya dengan kedua tangan. “Aku tidak menciumnya. Aku hanya meniupkan napas padanya. Sudah ku katakan kita harus membantunya bernapas, kan?”  Aku kembali memberengut dengan tatapan mataku yang terfokus pada bibir Lex. Membayangkan ciuman pertama Lex diberikan pada gadis manusia itu, sungguh membuat hatiku panas bagai terbakar api.  Kami berdua masih bersitegang sebelum suara batuk membuat atensi kami buyar. Bersamaan kami menatap ke arah si gadis yang kini sedang terbatuk hebat. Air menyembur keluar dari mulutnya. Kedua matanya yang terpejam mulai bergerak gelisah, siap terbuka. Lex menarik tanganku, membawa diriku menceburkan diri ke dalam air dan hanya menyisakan kepala sampai leher.  Gadis itu benar-benar membuka matanya. Sesuai dugaanku, dia terlihat lebih cantik saat matanya terbuka. Iris pekatnya yang menatap kami terlihat begitu menawan.  “K-Kalian siapa?” tanyanya. Dia menggulirkan mata ke sekeliling. “A-Aku dimana?” Dia terlihat panik, wajar sebenarnya karena sekarang dia sedang berada di tengah lautan.  “Kenapa aku bisa ada di tengah-tengah lautan seperti ini?” “Kau tenggelam tadi jadi kami menyelamatkanmu,” jawabku, mencoba menjelaskan.  Gadis itu terdiam dengan kepala tertunduk. Ketika dia mendongak, atensinya kembali tertuju pada kami berdua.  “Oh, aku ingat. Mereka mendorongku ke laut. Aku terseret ombak ke tengah laut dan tenggelam. Aku memang tidak bisa berenang karena tahu itu makanya mereka mendorongku. Mereka ingin membunuhku,” ucapnya pelan namun aku dan Lex masih bisa mendengarnya dengan jelas.  “Kalian berdua siapa? Terima kasih sudah menolongku.”  Aku dan Lex saling berpandangan. Gadis ini terlihat baik dan ramah. Dia tersenyum lebar membuat kecantikannya semakin terpancar jelas.  “Namaku, Alexei Heather dan dia ...” Lex menunjuk padaku dengan telunjuknya. “Namanya, Ashley Delaney.”  Gadis itu tiba-tiba mengulurkan tangannya pada kami, aku dan Lex kembali berpandangan.  “Myesha Rawnie ... itu namaku,” sahutnya. Aku melongo, namanya indah. Itulah yang kupikirkan pertama kali saat mendengar dia memberitahukan namanya.  Tangannya masih terulur pada kami, aku mengengkat tangan kanan berpikir untuk menyambutnya. Aku tersentak saat dia menarik tanganku yang balas terulur padanya, menggenggam tanganku erat, rasa hangat seketika menjalari telapak tanganku. Suhu tubuhnya sangat hangat berbeda dengan bangsa kami yang selalu dingin.  “Tanganmu dingin sekali,” katanya. “Mungkin karena terlalu lama berendam di dalam air. Ayo ke sini, bergabung bersamaku,” ajaknya ramah. Aku berniat mengangkat tubuh dan bergabung bersamanya namun urung karena Lex mencegah. Pria itu menggelengkan kepala sebagai peringatan agar aku tidak menuruti keinginan Myesha.  “Kenapa? Naiklah dan duduk bersamaku di batu ini. Apa kalian tidak kedinginan berendam di air terus? Apalagi ini air laut? Bagaimana jika ada Hiu lalu dia menggigit kaki kalian?” “Hiu teman kami, mereka tidak akan menyerang.” Lex yang menjawab. “Hiu teman kalian?” ulang Myesha, sebelum dia tertawa seolah ucapan kami terdengar lucu di telinganya.  “Mustahil kalian berteman dengan Hiu. Mereka itu makhluk laut yang buas. Jika mencium aroma manusia apalagi darah, mereka akan langsung menggigit dan memakan kita. Kurasa mustahil Hiu mau berteman dengan kalian kecuali jika kalian memeliharanya. Apalagi mereka hidup di lautan artinya mereka liar kan?” “Lex tidak berbohong,” ujarku, melihat bagaimana Lex memicingkan mata karena tersinggung mendengar ucapan Myesha. Aku cepat-cepat membela Lex.  “Kami memang berteman dengan semua penghuni lautan,” tambahku. Myesha berhenti tertawa. Dia menatap kami dengan ekspresi wajah penuh kecurigaaan. Bibirnya mengulum tampak menahan senyum. “Kalian berteman dengan semua penghuni lautan?” tanyanya dan aku mengangguk sebagai respon. “Masa? Maksudnya selain berteman dengan Hiu, kalian juga berteman dengan paus, singa laut, kura-kura, ikan-ikan ...” “Semua penghuni laut tanpa terkecuali, mereka teman kami.” Lex menimpali, ucapan Myesha yang belum selesai menjadi menggantung di udara.  “Sulit dipercaya. Bagaimana bisa manusia berteman dengan ikan? Yang ada ikan itu menjadi makanan manusia.”  Lex menggeram menahan marah dan aku cepat-cepat menahan Lex yang berniat menarik tubuh Myesha jatuh ke dalam air.  “Tenang, Lex. Jangan marah.” “Apa aku bilang, seharusnya kita tidak menyelamatkan manusia, seharusnya kita biarkan dia tenggelam dan mati. Mereka tidak tahu berterima kasih malah mengejek kita. Mengatakan kalau bangsa kita adalah makanan mereka.” “Kenapa kalian marah? Apa yang salah dengan ucapanku? Bukankah memang benar ikan itu biasa dijadikan makanan oleh manusia seperti kita?”  Aku dan Lex menoleh pada Myesha bersamaan, ekspresi gadis itu terlihat kebingungan.  “Jangan samakan kami dengan kalian.” Lex menyahut masih dengan nada sinis pada suaranya. “Kenapa begitu? Bukankah kalian juga manusia sepertiku?”  Tampaknya Lex telah gagal menahan emosi, dia keluar dari dalam air, mendudukan diri di puncak gunung batu. Di detik bersamaan kedua mata Myesha melebar sempurna, luar biasa terkejut karena melihat kami berbeda dengannya. Kami memiliki ekor layaknya ikan. Aku berdecak melihat perbuatan Lex yang membongkar identitas kami pada Myesha. Merasa tak memiliki pilihan lain akhirnya aku ikut bergabung bersama Lex. Keluar dari air, menunjukan jati diriku yang sesungguhnya pada Myesha.  “Seperti yang kau lihat, kami berdua bukan manusia,” ucapku pada Myesha yang masih melongo seolah lupa cara berkedip, dia terus memandangi kami.  “K-Kalian ... mermaid dan merman?” “Begitulah,” sahut Lex. “Jangan pernah menyamakan kami dengan manusia seperti kalian. Semua penghuni laut termasuk ikan-ikan yang sering kalian makan adalah teman kami, kerabat kami.” Lex berujar penuh emosi. Sebenarnya jika boleh jujur, aku juga merasa kesal seperti Lex, namun aku berusaha menahannya.  Aku mendesah lelah, tak tahu setelah ini apa yang akan terjadi karena identitas kami kini diketahui Myesha. Aku belum tahu dia berhati jahat atau sebaliknya, yang pasti kenyataan dia berasal dari bangsa manusia, aku benar-benar khawatir sekarang.  “Kalian sangat indah.”  Aku dan Lex saling berpandangan, sangat terkejut mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut Myesha.  “Aku sering membaca buku dongeng tentang kalian. Aku menganggap keberadaan kalian hanyalah sebuah mitos. Tapi sekarang aku melihat kalian dengan mata kepalaku sendiri. Ini sangat menakjubkan.” “Kau tidak takut pada kami?” tanyaku dan Myesha hanya menggeleng sebagai respon. “Tidak. Kenapa aku harus takut? Kalian sudah menyelamatkanku artinya kalian sangat baik.” “Tapi kalian ... bangsa manusia selalu melakukan kejahatan pada kami. Jika kau mengabarkan keberadaan kami pada teman-temanmu, aku yakin kalian akan menyerang kami lagi seperti dulu,” kata Lex, kurasa kenangan pahit di masa lalu kini sedang terlintas di pikirannya.  “Kalian pernah diserang manusia?” “Ya. Banyak kerabat kami yang meninggal akibat p*********n kalian 15 tahun lalu.”  Sudah ku duga, Lex memang mengingat kejadian di masa lalu, ucapannya barusan adalah buktinya.  Myesha termenung seolah dia tengah bergelut dengan pemikirannya sendiri. Entah apa yang dia pikirkan tentang kami sekarang? aku hanya bisa berharap dia tidak merencanakan sesuatu yang buruk.  “Kalian jangan khawatir. Aku tidak akan memberitahu siapa pun tentang keberadaan kalian,” kata Myesha tiba-tiba. Aku dan Lex tentu tidak mempercayainya begitu saja.  “Aku berani bersumpah.” Myesha mengangkat tangan kanannya disertai suaranya yang kembali mengudara. “Jika aku melanggar sumpahku dan memberitahu orang lain tentang keberadaan kalian. Bunuh saja aku. Aku tidak akan melawan,” tambahnya.  Aku tersenyum lega detik itu juga, berpikir Myesha sepertinya tak sejahat yang kami kira. Dia manusia berhati baik. Namun, Lex sepertinya tidak berpikir demikian, tatapannya masih memicing tajam dan penuh curiga pada Myesha.  “Boleh aku melihat tempat tinggal kalian?” Myesha melontarkan sebuah pertanyaan yang sukses membuat kami tersentak kaget kali ini. “Lebih baik kau kembali ke tempat asalmu, di daratan. Sumpahmu tadi aku pegang. Jika kau melanggar, akulah yang akan membunuhmu.”  Aku meringis mendengar sahutan Lex, kendati demikian aku mendukung sepenuhnya ucapan pria itu.  “OK, aku setuju. Tapi sampai kapan pun kau tidak akan membunuhku karena aku tidak akan melanggar sumpahku.” Myesha berujar dengan penuh keyakinan membuatku perlahan mulai mempercayai ketulusannya. “Apalagi kalian sudah menyelamatkanku, aku tidak mungkin mencelakai kalian.”  “Sekarang aku mohon bawa aku ke tempat tinggal kalian.” “Kenapa kau tidak mau kembali ke tempat asalmu?” Kali ini aku yang bertanya. “Kalian lihat sendiri kejadian apa yang menimpaku hingga aku terdampar di lautan, kan? Aku didorong oleh teman-teman di kampusku. Mereka membenciku. Aku sering dijahati oleh mereka.”  Aku mengernyitkan dahi, bingung tentu saja. Kenapa Myesha disakiti oleh temannya sendiri. Hal seperti ini tak pernah terjadi pada bangsa kami karena kami selalu saling melindungi dan menyayangi satu sama lain. Mungkinkah manusia memang seperti itu? Sering menyakiti sesamanya?  “Kenapa kau disakiti temanmu sendiri?” Dan Lex tampaknya sama herannya denganku, terbukti dari pertanyaannya itu. “Karena mereka jahat. Mereka membenciku dan senang menyakitiku. Berkali-kali aku dibully oleh mereka. Aku tidak ingin kembali ke sana, setidaknya jangan sekarang.”  Myesha menggenggam tangan Lex, Lex berusaha menarik tangannya namun Myesha menggenggamnya begitu kuat.  “Aku mohon bawa aku ke tempat tinggal kalian. Aku tidak ingin kembali disakiti oleh mereka,” pintanya dengan kedua matanya yang berkaca-kaca nyaris menangis. Dan sungguh aku tak tega melihatnya.  “Lex, kita ajak saja dia ke rumah kita,” saranku. Lex mendelik tajam padaku jelas dia tak setuju. “Semua orang akan marah pada kita jika ketahuan membawa manusia ke Atlantis.”  Aku terdiam, yang dikatakan Lex memang benar.  “Kalian bisa menyembunyikanku. Aku tidak akan lama menetap bersama kalian. Hanya sementara sampai teman-temanku pergi dari pantai ini.” “Kenapa kalian ada di pinggir laut? Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Lex. “Kami sedang melakukan penelitian tentang terumbu karang. Tugas dari kampus. Mereka itu teman satu kelompokku. Seperti yang kalian lihat, meski mereka temanku, mereka sangat jahat padaku. ingin mencelakaiku.” “Jika kau tidak kembali, bukankah mereka akan mencarimu?” Aku yang menanyakan ini. “Mereka tidak akan mencariku. Bukankah mereka sengaja mendorongku ke laut padahal tahu aku tidak bisa berenang? Mungkin mereka akan senang jika aku tidak kembali. Mereka akan membual mengatakan aku tenggelam karena kecelakaan.”  Aku dan Lex saling berpandangan untuk kesekian kalinya, heran dengan kehidupan Myesha yang aku rasa sangat aneh. Bagaimana bisa teman-temannya sekejam itu?  “Kenapa mereka begitu kejam padamu?” Aku kembali bertanya. “Sampai ingin membunuhmu.” “Salah satu dari mereka itu musuhku. Dan yang lainnya hanya menuruti perintahnya untuk menyakitiku. Kelak akan ku ceritakan pada kalian alasan aku bermusuhan dengannya. Tapi tidak sekarang, aku lapar sekali.”  Myesha memegangi perutnya dan benar yang dia katakan, dia memang kelaparan karena suara perutnya bahkan terdengar hingga ke telinga kami.  “Lex, kita bawa saja Myesha ke Atlantis,” saranku. “Tapi ...” “Sembunyikan dia di rumahmu. Kau tinggal sendirian, jadi dia pasti aman.”  Lex terdiam sedangkan Myesha terlihat senang, senyumannya begitu lebar hingga kedua matanya menyipit.  “Eh, tapi Myesha tidak bisa bernapas di dalam air. Mustahil dia bisa ikut ke Atlantis.” Aku benar-benar baru menyadari hal ini. Betapa bodohnya aku. “Myesha, maaf. Kami tidak bisa membawamu ke Atlantis. Kau tidak bisa bernapas di dalam air sedangkan rumah kami ada di dalam air.”  Myesha yang mungkin baru menyadari hal ini tampak merosotkan bahu. Raut leganya menguap entah kemana digantikan oleh raut sedih, membuatku kembali iba.  “Kalau begitu tinggalkan saja aku di sini. Lebih baik aku mati kelaparan dan kedinginan di sini daripada mati di tangan mereka,” ucapnya lirih. Cukup lama suasana hening melanda di antara kami bertiga. Myesha yang menundukan kepala tampak putus asa. Aku yang sedang berpikir keras mencari cara untuk menolong Myesha. Serta Lex yang juga diam membisu.  Ketika suara pria itu mengudara dan sukses menarik atensi kami berdua, aku dan Myesha secara serempak menatap ke arahnya.  “Baiklah. Aku akan membawamu ke rumahku,” ucap Lex. “Bagaimana caranya? Dia tidak bisa bernapas di dalam air?” tanyaku, tak habis pikir dengan keputusan Lex ini.  Lex tak menjawab, namun tiba-tiba dia meletakan telapak tangannya di leher Myesha. Cahaya mengelilingi leher gadis itu. Mulutku terbuka tanpa sadar, baru ingat bahwa Lex memiliki kemampuan sihir.  “Sekarang kau bisa bernapas di dalam air,” ucap Lex. “Tapi hanya sementara, mungkin hanya bertahan dua sampai tiga hari saja.” “Aku bisa bernapas di dalam air, bagaimana bisa?” Myesha terlihat terkejut dan tak percaya. “Lex memiliki kemampuan sihir, jadi yang dikatakannya benar. Berkat sihirnya kau bisa bernapas di dalam air sekarang.” Aku ikut menjelaskan agar Myesha mengerti alasan dirinya bisa bernapas di dalam air.  “Kalian menguasai sihir?” “Ada beberapa dari kami yang menguasai sihir, salah satunya Lex,” jawabku. Myesha tersenyum, menatap intens pada Lex yang duduk di sampingnya.  “Kalau begitu, mari pergi ke dunia kalian. Dunia yang kalian namakan Atlantis itu, aku tidak sabar ingin melihatnya.”  Aku dan Lex melompat ke dalam air. Myesha tampak ragu, hingga akhirnya dia ikut melompat. Tercengang saat tahu dirinya benar-benar bisa bernapas di dalam air.  Aku dan Lex menggenggam tangan Myesha, bersama-sama menarik gadis itu ke dalam air. Kami berdua menariknya menuju dunia kami, Atlantis. Dan mulai hari ini sampai dua atau tiga hari kedepan, Myesha akan menetap di rumah Lex.  Untuk saat ini aku hanya bisa berharap, semoga keputusan kami membawa Myesha ke Atlantis merupakan keputusan yang benar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD