PART TWO

3007 Words
“Apa yang kau lakukan di sini?”  Lex hanya mengangkat kedua bahu saat mendengar pertanyaan yang aku lontarkan padanya. “Menurutmu?” tanyanya.  Aku memutar bola mata malas, selalu seperti itu jawaban yang dia berikan setiap kali aku bertanya alasan dirinya begitu senang menyendiri di sini. Di puncak batu karang sambil menatap ke arah daratan. “Kau tahu kan di sini sangat berbahaya?”  Suara dengusan Lex terdengar kencang di telingaku. “Bahaya kenapa?” “Karena kapal manusia sering melewati tempat ini, bagaimana jika mereka melihatmu? Kau bisa ditangkap dan dibunuh oleh makhluk darat berkaki.”  Aku mengaduh ketika Lex tiba-tiba menyentil keningku hingga berdenyut rasanya karena dia menyentil dengan segenap tenaganya. Spontan aku mengusap-usap keningku. “Sakit Lex,” ucapku. Rasanya memang sakit, aku tak berbohong. “Salah sendiri bodoh,” katanya, yang membuatku memberengut seketika dan dia hanya terkekeh, menertawakanku.  Aku terpaku, kedua mataku seolah lupa cara berkedip saat melihatnya tertawa seperti sekarang. Sangat mempesona di mataku. Haah, mungkin memang benar aku sudah dibutakan oleh cinta. Entahlah, yang pasti saat bersama Lex adalah momen paling membahagiakan bagiku.  “Aku tidak mungkin duduk di sini jika melihat kapal mereka akan melintas. Kau pikir aku sebodoh dirimu?” “Iya, iya, aku memang paling bodoh. Lex sangat pintar. Puas?” Aku berujar dengan ketus, tentu saja aku hanya berpura-pura marah padanya. Aku hanya ingin membuatnya tertawa seperti tadi.  Namun tidak, dia sama sekali tak menertawakanku. Sebaliknya, dia menatap lembut. Mengulurkan tangan kanannya yang dia letakkan di puncak kepalaku, dia mengusapnya berulang kali, membuat kehangatan seketika menyeruak di dalam hatiku. Tak tertahankan hingga rasanya aku ingin melabuhkan diri dalam pelukannya. Tapi, tidak mungkin aku melakukan itu. Sejauh ini hubungan kami hanya sebatas sahabat. Aku tidak pernah menyatakan perasaanku padanya. Begitu pun dengan Lex, aku tak tahu perasaan dia padaku sebenarnya seperti apa. Baginya, adakah aku dalam hatinya? Aku sendiri tak tahu menahu.  “Kau tidak bodoh. Hanya terlalu polos. Terkadang kepolosanmu membuatku khawatir.” “Khawatir kenapa?” Aku menyela dengan cepat. “Takut kau dimanfaatkan orang lain,” jawabnya, masih dengan telapak tangannya yang sibuk mengusap puncak kepalaku. “Ashley, berjanjilah padaku. Kelak kau harus bisa menjaga diri. Gunakan otakmu dengan benar. Jangan mau dibodohi orang lain.” “Memangnya siapa yang mau membodohiku?”  Lex mengangkat kedua bahunya. “Entahlah, kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Hanya saja di dunia ini banyak orang jahat. Kau harus berhati-hati. Kau harus mampu menjaga dirimu sendiri. Jangan sampai terjebak tipu muslihat orang jahat yang ingin memanfaatkanmu.”  Aku mengangkat kedua ibu jari disertai cengiran lebar. Tak lupa aku mengangguk semangat, memberitahunya bahwa aku tidak akan pernah melupakan nasihatnya ini. “Orang jahat yang kau maksud itu pasti manusia, kan?”  Lex menjauhkan tangannya dari kepalaku. Tiba-tiba tatapannya menerawang ke arah daratan. “Kurasa tidak semua manusia jahat. Setiap makhluk, baik itu manusia bahkan bangsa kita sekalipun pasti selalu ada orang jahat. Orang jahat yang memiliki niat buruk pada orang lain.” “Oh, apa kau sedang membela manusia?” “Aku tidak membela mereka. Hanya mengutarakan pemikiranku saja,” jawab Lex, membantah pemikiranku. Aku mengangguk-anggukan kepala, “Keluargamu meninggal karena ulah manusia. Lex, apa kau memiliki keinginan untuk membalas mereka karena itu kau sering menyendiri di sini?”  Lex yang sedang menatap ke arah daratan itu seketika menoleh padaku. Dia mengerjapkan mata dengan alis mengerut. Lantas menggeleng setelahnya. “Tidak. Aku tidak berpikir ingin membalas mereka,” jawabnya. Dan sungguh aku terkejut mendengarnya. “Benarkah? Kupikir alasanmu sering duduk memandangi daratan karena kau sedang memikirkan cara untuk membalas para manusia yang sudah membunuh keluargamu. Kupikir kau membenci mereka.”  Lex tersenyum, kembali menggelengkan kepala, “Aku memang membenci mereka. Tapi bukan berarti aku ingin membalas mereka. Bagiku, semua yang menimpa keluargaku ini adalah takdir. Dan lagi, jumlah mereka sangat banyak, dengan cara apa aku membalas perbuatan mereka? Aku percaya hukum alam bekerja dengan adil. Mereka yang jahat akan mendapat balasannya.”  Aku membulatkan mata, kata-kata Lex ini membuatku tersadar telah salah menilainya selama ini.  “Kau ingin tahu alasanku sering menyendiri dan melihat daratan?” tanyanya dan tanpa ragu aku mengangguk antusias. “Dunia tempat tinggal kita, lautan sangat luas. Bahkan lebih luas dibanding daratan.” Aku mengangguk, menyetujui. “Meski begitu, terkadang aku merasa bosan terus berenang di lautan. Aku berpikir bagaimana rasanya jika aku pergi ke daratan? Pasti sangat menyenangkan mencoba sesuatu yang berbeda. Menapaki dunia lain selain Atlantis.” “Tidak, tidak. Jangan berpikir begitu, Lex. Mother Cassandra sering mengatakan, jangan pernah berpikir untuk pergi ke daratan. Apalagi terlibat dengan manusia. Mereka sangat berbahaya untuk kita. Mereka bisa membunuh kita dengan mudah. Bahkan air mata bangsa kita dianggap berharga dan diperebutkan oleh mereka. Banyak bangsa kita yang meninggal di tangan manusia,” sanggahku cepat, melarangnya agar tidak berpikiran konyol seperti itu lagi.  Lex terkekeh, dia tiba-tiba mencubit sebelah pipiku, membuatku meringis karena dia menariknya tanpa belas kasihan. Aku pun memukul lengannya agar cubitannya terlepas. “Sakit, Lex. Kau ini kenapa senang sekali menyentil keningku atau mencubit pipiku?” “Kau sangat menggemaskan, Ash. Lucu sekali.” Dan aku yakin wajahku memerah bagai kepiting rebus sekarang.  “Apa kau tidak pernah berpikir bahwa kita ini makhluk yang istimewa?” “Istimewa?” gumamku, mengulang ucapannya. Lex mengangguk, “Kita istimewa karena bisa hidup di dua dunia. Di lautan, sudah pasti. Kita juga bisa menghirup udara daratan tanpa hambatan apa pun. Mungkin satu-satunya rintangan hanyalah kita tidak memiliki kaki seperti manusia.”  “Aku menyukai tantangan. Suatu hari nanti, aku ingin sekali merubah ekorku menjadi sepasang kaki. Lalu pergi ke daratan. Tidak perlu terlibat dengan manusia. Aku hanya ingin berjalan-jalan di daratan. Merasakan bagaimana rasanya tinggal di daratan. Pasti sangat menyenangkan,” ucapnya dengan menggebu-gebu, terlihat begitu bersemangat menceritakan keinginannya. “Tapi kan mustahil ekor kita bisa diubah menjadi kaki,” sahutku. “Siapa bilang mustahil? Sebenarnya ada cara untuk mengubah ekor kita menjadi kaki seperti manusia.” Aku terbelalak, tentu saja terkejut, “Bagaimana caranya?” tanyaku antusias. Lex tiba-tiba mendekatkan wajahnya, aku refleks beringsut mundur. “R.A.H.A.S.I.A,” jawabnya, penuh penekanan. “Beritahu aku caranya, jangan pelit.” “Percuma memberitahumu, toh kau juga tidak akan bisa melakukannya,” sahutnya, membuatku penasaran setengah mati. “Lex, ayo beritahu aku caranya,” pintaku, masih berusaha membujuknya. “Daripada membicarakan ini bagaimana jika kita makan saja? Aku tebak kau pasti datang ke sini tanpa sempat memakan apa pun, kan? Kau baru selesai mendengar cerita Mother Cassandra dan langsung ke sini tanpa makan dulu.” “Aku sudah makan. Yang penting, cepat beri tahu aku cara merubah ekor kita menjadi sepasang kaki!” “Tidak!” Jawab Lex, tegas. “Kita pergi untuk makan.” “Aku tidak mau. Aku tidak lapar.”  Baru kukatupkan mulut, perutku sungguh tak bisa diajak kompromi. Mempermalukanku karena tiba-tiba perut ini berbunyi kencang. Sebenarnya aku memang kelaparan karena belum memakan apa pun. Lex menertawakanku lagi. Dan wajahku memerah lagi, menahan malu.  “Dasar pembual,” ejeknya. Aku membuang muka ke arah lain tak mampu membalas. “Mau makan di rumahku, tidak? Aku mengambil banyak rumput laut. Masih tersisa banyak, aku akan membaginya denganmu jika kau mau.” “Beritahu dulu cara mengubah ekor menjadi sepasang kaki, baru aku akan makan denganmu,” jawabku, masih keras kepala. “Oh, ya sudah. Aku makan sendiri saja kalau begitu.”  Lex berenang meninggalkanku setelahnya, membuatku gelagapan karena terlalu panik. Tak menyangka sedikit pun dia akan setega itu meninggalkanku sendirian di sini. “Lex, tunggu!!” teriakku. Aku berusaha menggoyangkan ekor dengan cepat agar bisa mengejarnya yang sudah berenang cukup jauh dariku. “Lex!!” Aku berteriak lebih kencang dibanding sebelumnya.  Terlalu memaksakan diri untuk berenang, aku merasa napasku mulai putus-putus. Aku berhenti berenang mencoba mengatur napasku agar kembali normal. Aku tidak menatap ke depan karena fokusku kini tertuju pada dadaku yang kembang kempis dengan cepatnya. Kuperkirakan Lex sudah sangat jauh dan mungkin tak bisa kukejar lagi.  Aku sudah menyerah untuk mengejarnya dan meyakini diriku sendirian di tempat sepi ini. Namun, ketika aku merasakan seseorang merangkulku dari belakang, aku sadar pemikiranku salah, aku tidak sendirian di sini. Aku menoleh ke belakang, senang luar biasa mendapati Lex yang melakukannya.  “Kau baik-baik saja?” tanyanya. Raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang kentara. “Napasku putus-putus. Tapi aku baik-baik saja,” jawabku, mencoba menenangkannya. “Maafkan aku, tidak seharusnya aku meninggalkanmu tadi. Padahal tubuhmu lemah begini.”  Aku memukul dadanya, ini tindakan refleks karena tersinggung mendengar kata-katanya. Lex tidak marah meski aku memukulnya cukup kencang. Sebaliknya, dia mendekapku dalam pelukan, rasa hangat menyeruak di sekujur tubuhku. Jangan lupakan jantungku yang berdetak tak karuan sekarang. Jarak kami begitu dekat.  “Ashley, aku sayang padamu. Kau tidak boleh sakit lagi. Kau harus kuat dan bertahan demi aku. Kau mengerti, kan?” Aku mengangguk tanpa ragu, membenamkan wajahku di d**a bidangnya. “Lex, mau berjanji satu hal padaku?” “Apa?” “Jangan pernah meninggalkanku. Tetaplah di sampingku, selamanya.”  Lex terdiam cukup lama, tak merespon sedikit pun. Hingga akhirnya aku mendongak untuk melihat ekspresi wajahnya. “Lex,” panggilku, menyadarkan dirinya yang seperti sedang melamunkan sesuatu.  Lex tersenyum lebar, dan memberikan anggukannya, “Tentu saja aku akan selalu di sampingmu. Memangnya kau pikir aku akan pergi kemana?”  Aku ikut tersenyum lebar, “Terima kasih. Aku bahagia saat bersamamu,” kataku. “Aku juga.” Aku kembali membenamkan diri dalam pelukannya, semakin erat dibanding sebelumnya.  “Sekarang kau sudah baikan?” “Sudah,” jawabku. “Kita pergi ke rumahku sekarang kalau begitu,” ajaknya dan aku menanggapinya dengan anggukan penuh semangat.  Lex menggenggam tanganku erat, membawaku berenang bersamanya. Dan di sepanjang perjalanan kami, tak hentinya kami melempar candaan yang mengundang gelak tawa kami berdua.  Kuharap selamanya kisah kami akan menyenangkan seperti ini. Kebersamaan kami akan selalu terjaga sepanjang masa.   ***   Kami duduk berhadapan, hanya meja terbuat dari batu yang memisahkan kami berdua. Saat ini kami sudah berada di rumah Lex. Rumah ini besar, terdiri dari beberapa ruangan, namun hanya ditempati oleh Lex seorang. Semenjak orang tua dan kakaknya terbunuh 15 tahun lalu, Lex memang tinggal sendirian di rumah ini. Aku sering berkunjung jadi rumah ini sudah seperti rumah kedua bagiku.  “Ini dia rumput laut spesial buatan Alexei Heather,” katanya, sok pamer sambil membuka kerang yang menutupi makanan kami.  Mulutku refleks terbuka, tatapanku takjub saat melihat ada sesuatu yang dicampurkan Lex dalam rumput laut yang sering menjadi menu makanan kami sehari-hari. Bukan hanya rumput laut sebenarnya, tapi semua tanaman laut, kami memakannya.  Aku terheran-heran karena ada benda bulat berwarna oranye berkilauan yang dicampurkan dengan rumpur laut yang disiapkan Lex ini. “Lex, ini apa?” tanyaku, kali ini aku mengambil benda-benda bulat tersebut. “Masa tidak tahu? Itu telur ikan badut,” jawabnya santai seolah tak mempedulikan reaksiku yang heboh. “Telur ikan badut? Kenapa bisa kau mencampurkannya dengan rumput laut? Ini kejahatan, Lex. Kita tidak boleh memakan sesama bangsa ikan.” Lex mendengus kasar sembari terkekeh, “Ini telur, Ash. Belum tumbuh menjadi ikan.” “Tapi, tetap saja ...” Aku menjeda ucapanku saat mengingat sesuatu. “Tunggu, bagaimana caranya kau mengambil telur-telur ini? Setahuku sarang telur ikan badut selalu dijaga ketat oleh orang tuanya. Di saat induknya pergi, ayahnya yang akan menjaga telur-telur mereka.” Lex mengangkat kedua bahu, dengan santai mulai melahap makanannya. “Saat aku memetik rumput laut. Aku tidak sengaja menemukan sarang telur ini. Lalu aku mengambilnya.” “Ini artinya kau mencurinya.” Lex mengangguk-anggukan kepala, tak membantah tuduhanku dengan mulut yang sibuk mengunyah. “Dasar pencuri,” tambahku. “Salah sendiri kenapa sarangnya ditinggalkan. Aku tidak melihat ada yang menjaga sarang telurnya. Jika ada yang berjaga, mana bisa aku mengambil telur-telur ini.” “Tetap saja kau mencuri. Aku jadi kasihan pada pasangan ikan badut itu, mereka pasti kebingungan mencari telur-telur ini,” kataku sembari menatap iba pada telur-telur yang kini tersisa sedikit karena sudah berpindah tempat ke dalam perut Lex. “Tenang saja, telur mereka masih banyak. Aku hanya mengambil sedikit. Mungkin mereka tidak sadar ada telur yang dicuri orang.” Aku berdecak, kepalaku menggeleng berulang kali. Tak percaya melihat reaksi Lex sesantai ini meski sudah mencuri telur orang lain.  “Kau tidak mau, ya? Kalau begitu, biar aku makan semua.” Dia mengambil telur terakhir yang menempel di rumput laut, membuatku gelagapan karena sebenarnya aku juga penasaran ingin mencicipi rasa telur itu.  “Jangan! Aku juga mau.” Namun terlambat karena dia sudah memasukannya ke dalam mulut. Aku berteriak tak terima detik itu juga. “Lex, kau benar-benar jahat ya. Tega sekali padahal aku juga ingin mencoba rasanya.” “Tadi katanya aku ini pencuri. Kau menyebutku penjahat juga.” “Ya, tapi kan aku juga ingin mencicipi rasanya.” Lex tertawa, dia berdiri dari duduknya dan berenang cepat untuk menghindariku yang bersiap menerkamnya. Aku kesal setengah mati padanya.  Dia berenang berputar-putar mengelilingi ruangan-ruangan di rumahnya. Aku mengejarnya tak gentar. “Kena kau!!” teriakku, saat dia tersudutkan. Kedua tanganku terentang bersiap menangkapnya. Dan saat itulah aku merasakan dia tiba-tiba memasukan sesuatu ke dalam mulutku yang memang sedikit terbuka karena aku sedang tertawa lebar. “Apa yang kau masukan ke mulutku?” tanyaku, penuh curiga. Aku berniat memuntahkannya namun Lex membekap mulutku dengan telapak tangan besarnya. “Sudah, kunyah saja. Kau bilang ingin mencicipi rasanya.” Mungkinkah yang Lex masukan ke dalam mulutku adalah telur ikan badut yang tadi dia ambil? Padahal aku yakin dia sudah memasukannya ke dalam mulut.  Aku menuruti perkataannya, kukunyah dua buah telur ikan badut di dalam mulutku. Kedua mataku melebar saat mencecap rasa lezat di dalam mulut. Benar-benar tak menyangka rasa telur ikan ini begitu lezat di lidah.  “Bagaimana? Enak, kan?” tanyanya. Tangannya sudah menjauh dari mulutku. Aku mengangguk semangat, “Enak sekali,” jawabku, tanpa ragu. “Eh, bukankah tadi kau sudah memasukan semua telurnya ke mulutmu?” “Kau kena tipu. Makanya aku bilang kau ini terlalu polos. Kau mudah tertipu, Ash,” katanya sambil menertawakanku. “Jahat sekali kau ini.” Aku memberengut, tak suka. “Tapi rumput laut dicampur dengan telur ikan ini memang lezat ya rasanya. Aku baru tahu,” tambahku. “Kau harus pandai berkreasi. Bagaimana bisa jadi istri yang baik kalau kau tidak mencoba berkreasi demi menyenangkan keluargamu?” “I-Istri?” gumamku, terbata-bata. Gugup karena Lex tiba-tiba membahas tentang istri.  Jangan katakan dia berniat melamarku? Aku menangkup wajahku dengan kedua tangan, aku yakin semburat merah sudah merajalela di wajahku sekarang.  “Iya, istri. Kelak kau pasti akan menikah, kan? Kau juga akan menjadi seorang ibu dari anak-anakmu.” “A-Aku akan menjadi istri siapa?” “Tentu saja pasanganmu nanti,” jawabnya enteng. “Menurutmu, siapa yang akan jadi pasanganku nanti?”  Seharusnya Lex tahu aku sedang memancingnya. Aku sangat berharap dia akan mengatakan dirinya yang akan menjadi pasanganku. Jantungku berdebar kencang menantikan jawaban yang akan terlontar dari mulutnya.  “Mana aku tahu.” Dan itulah jawabannya sembari mengangkat bahu.  Kedua bahuku merosot detik itu juga, tentu saja kecewa karena jawabannya tak sesuai harapanku. Aku cemberut dan berenang meninggalkannya. Kembali duduk di depan meja dan melahap rumput laut yang masih tersisa.  “Kenapa tiba-tiba diam?” tanyanya, yang kini sudah ikut bergabung bersamaku. Aku membuang muka, mulutku sibuk mengunyah makanan. “Pikir saja sendiri kenapa membuatku marah.” Lex memiringkan kepala, tampak kebingungan. Dan aku berpura-pura tidak peduli dengannya.  Lex mengembuskan napas lelah setelah cukup lama berpikir. Tanpa diminta mengambil rumput laut dan mengulurkannya ke depan mulutku. Dia membujukku dengan cara menyuapiku. Huuh, menyebalkan. “Ayo, buka mulutnya!” “Tidak mau. Aku bisa makan sendiri,” tolakku. “Baiklah, aku minta maaf, Ash. Walaupun aku tidak tahu apa salahku,” katanya dan aku semakin membuang muka. Dasar pria tidak peka. “Yang pasti siapa pun pasanganmu nanti, aku yakin dia pria paling beruntung di dunia.” Tiba-tiba saja dia mengatakan itu, membuatku refleks menoleh lagi padanya. “Kau tahu kenapa?” Aku menggeleng. “Karena Ashley Delaney adalah Atlantis Princess tercantik di dunia Atlantis. Mermaid paling baik, ramah dan menyenangkan. Ashley pembawa kebahagiaan untuk semua orang. Pasanganmu nanti pasti bahagia hidup bersamamu.” Dia tersenyum di akhir ucapannya. “Sekarang buka mulutnya, maafkan sahabatmu yang bodoh ini.” Aku mendengus menahan tawa, akhirnya mengalah dan membiarkan dia menyuapiku sampai rumput laut yang terakhir.  Apa dia tidak tahu bahwa dialah satu-satunya merman yang kuinginkan menjadi pasanganku kelak? Lex, benarkah kau tidak menyadari perasaanku ini? Apa mungkin cintaku bertepuk sebelah tangan?  Aku tak tahu kapan tepatnya jawaban semua pertanyaanku ini akan kudapatkan.   ***   Hari ini, seperti biasa aku dan teman-temanku mendengarkan cerita dari Mother Cassandra. Setelah selesai, kami berenang berhamburan menuju tujuan masing-masing. Aku menundukan kepala tanpa menoleh ke sekeliling, kejadian kemarin di rumah Lex masih belum bisa aku lupakan. Berenang di sampingku, Nora dan Nata.  “Ashley! Lihat tuh, pangeranmu sudah menunggu.” Nata menyenggol lenganku sembari berbisik girang di telingaku. Aku mendongak, mengikuti arah yang ditunjuk Nata. Dan benar saja, sosok Lex terlihat sedang bersandar pada sebuah batu karang. Dia menatap ke arahku, melambaikan tangan sebagai isyarat agar aku menghampirinya.  “Tumben sekali merman aneh itu menunggumu di sini.” Nora ikut menimpali. “Mungkin merindukan Ashley. Apa kalian sudah resmi berpacaran sekarang?” Nata menggodaku, terus menyenggol lenganku. Aku salah tingkah sekarang. “Tidak. Kami tidak ...” “Sudah sana, temui dia. Sepertinya dia sudah menunggumu lama di sana.” Nora menyela, dia mendorong punggungku pergi. Sekarang aku tak memiliki pilihan selain menurut. Kuhampiri Lex yang masih setia melambaikan tangan, memanggilku.  “Kenapa kau ada di sini?” tanyaku, begitu aku berdiri di hadapannya. “Menunggumu pastinya,” jawabnya santai. “Tumben sekali. Ada perlu apa?” “Haah, masih marah padaku, ya?”  Oh, sekarang aku tahu alasan dia menungguku di sini. Dia masih memikirkan kejadian kemarin. Ternyata kami berdua sama saja, masih belum bisa melupakan pembicaraan menyebalkan kami kemarin.  “Aku minta maaf, Ashley. Kata-kataku sepertinya menyinggungmu.” “Sudahlah, tidak perlu dibahas lagi.” “Jadi, kau sudah tidak marah?” Aku mengangguk malas. Tapi dia justru tersenyum lebar, berulang kali mengembuskan napas lega.  “Mau ikut denganku? Kita pergi ke tempat biasa, bersama-sama.” Aku memutar bola mata, toh pada akhirnya aku kembali mengangguk. Saat Lex mengulurkan tangan, tanpa ragu aku menerimanya. Kami pun berenang bersama menuju tempat favorit Lex menyendiri.  “Lex, seharusnya sesekali kau berbaur dengan merman yang lain. Apa kau tidak tahu dijuluki merman aneh oleh yang lain?” Bukannya tersinggung, Lex justru tertawa lantang. Aku mengernyitkan dahi, bingung melihat reaksi santainya ini. “Kenapa malah tertawa? Kau tidak terganggu mendapat julukan seperti itu?” “Kenapa harus terganggu?” katanya, balas bertanya. Aku tertegun, tak mampu menyahut lagi. “Memangnya mereka yang memberiku makan?” Aku melongo mendengar pertanyaannya ini. “Tidak, kan? Aku selalu mencari makananku sendiri. Jadi, untuk apa mempedulikan perkataan orang lain.”  “Bagiku, selama hidupku tenang dan tidak mengganggu orang lain, sudah lebih dari cukup. Aku menikmati hidupku yang seperti ini.” “Memangnya kau tidak kesepian?” Lex seketika menoleh padaku, “Kesepian?” gumamnya. “Ada kau di sampingku. Kenapa aku harus merasa kesepian?” Aku membeku seolah mati rasa karena hatiku serasa melayang saking senangnya mendengar jawabannya ini.  Aku tak mengatakan apa pun lagi setelah itu, hingga tanpa sadar kami sudah tiba di tempat tujuan. Seperti biasa, kami duduk di atas batu karang. Memandangi daratan.  Awalnya, semua berjalan lancar. Tak ada yang aneh. Namun, kepanikan terjadi saat aku melihat beberapa manusia sedang berkumpul di pinggir laut. Aku menarik tangan Lex untuk bersembunyi di balik batu karang agar mereka tidak melihat kami. Kami berdua menatap penuh waspada ke arah pantai, dan terkesiap saat melihat salah seorang dari mereka didorong hingga tenggelam di laut.  “Lex, kita harus menolong manusia itu!” teriakku, tanpa sadar. “Biarkan saja,” tolak Lex, tak berbelas kasihan.  Kumpulan manusia itu pergi, meninggalkan manusia yang tenggelam meronta-ronta sendirian di dalam air. Deburan ombak cukup besar membuat manusia malang itu semakin tertarik ke tengah laut. Aku tak sanggup melihatnya, hatiku tergerak untuk menolongnya. Aku pun melesat pergi, berenang cepat guna menghampiri sosok manusia yang masih meronta-ronta meminta pertolongan.  “Ashley, biarkan saja. Kau sendiri yang mengatakan jangan melibatkan diri dengan manusia!!” teriak Lex, yang mengejar di belakang.  Aku tak menggubrisnya. Aku terus berenang secepat yang kubisa. Hingga pada akhirnya aku berhasil meraih manusia yang sudah berhenti meronta. Tubuhnya mulai tenggelam ke dalam laut dan beruntung aku menangkapnya tepat waktu. Manusia ini seorang gadis. Memiliki paras cantik.  Jika saja saat itu aku tahu bahwa dia akan menjadi jurang pemisah antara aku dengan Lex, membuat hidup kami berdua berantakan di masa depan nanti, pasti aku tidak akan pernah menyelamatkannya. Ya, inilah awal kesalahanku dimulai. Tak seharusnya aku menolong gadis manusia ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD