Disinilah Aurora berdiri, tepat di depan Universitas Emmanuel, salah satu kampus bergengsi di London yang sering masuk daftar top ranking university dunia. Bangunannya menjulang tinggi dengan gaya arsitektur klasik bercampur modern, dinding kaca raksasa berpadu dengan tiang-tiang putih megah yang membuat siapa saja merasa kecil saat berdiri di halamannya.
Aurora menarik napas panjang. Baginya, kampus ini tak jauh dari “penjara mewah” milik keluarga Emmanuel—rumah besar yang diberikan mertuanya sebagai hadiah pernikahan. Sudah seminggu sejak ia dan Matthew kembali dari Kanada, dan selama itu pula Aurora dipaksa, terpaksa, mengurus berkas untuk pindah studi ke London hanya karena pria itu terlalu gila untuk membiarkan mereka berjauhan.
Seperti pernikahan betulan saja! Batinnya dengan getir.
Ketika ia melangkah ke arah gedung fakultas, sekelompok pria mahasiswa melintas. Salah satunya menyeringai lalu dengan aksen Inggris yang agak sengau berkata,
“Hey, gorgeous,” sebelum terkekeh bersama temannya.
Aurora mendengus pelan. Tatapan matanya menusuk pria itu sebelum ia menggelengkan kepala dan melanjutkan langkah. Ia terlalu malas meladeni godaan murahan seperti itu.
Begitu masuk ke lobi utama, ia dibuat takjub sejenak. Lantai marmer hitam berkilau, deretan papan digital menampilkan jadwal kuliah, dan lorong-lorong bercabang penuh dengan mahasiswa sibuk mengejar kelas. Aurora sampai di depan ruang kuliah. Dari balik kaca, ia bisa melihat seorang dosen wanita berambut cokelat tua yang tampak elegan sedang menjelaskan sesuatu dengan serius di depan layar proyektor.
Aurora mengetuk pintu pelan, lalu masuk setelah dipersilakan. Semua mata seolah langsung menoleh ke arahnya. Ia memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris dengan aksen khas Paris yang masih menempel. Dosen itu—yang kemudian ia tahu bernama Miss Issabel—mengangguk singkat setelah mengecek daftar.
“Yes, you’re the transfer student from Sorbonne, right? Please, have a seat.”
Aurora mengangguk sopan lalu melangkah menuju bangku kosong. Ia duduk di samping seorang perempuan dengan rambut ikal berwarna pirang keemasan. Perempuan itu menoleh dengan antusias, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
“Hai! Aku Gabby. Jadi kau benar-benar dari Paris? Wah, aku suka sekali kota itu! Kau lahir di sana atau hanya kuliah di sana? Bagaimana kehidupan malamnya? Pasti luar biasa kan?” ucapnya dengan suara agak keras, penuh energi khas mahasiswa baru yang tak sabar menjalin pertemanan.
Aurora membuka mulut hendak menjawab, tetapi suara tegas Miss Issabel memotong.
“Miss Gabriella, could you please keep the introduction for later? This is still class time.”
Gabby langsung menegakkan tubuhnya. “Sorry, Miss,” ujarnya cepat sambil tersenyum malu.
Aurora menahan senyum kecil. Satu hal yang ia sukai dari kelas internasional: semua orang berani menunjukkan kepribadian mereka, bahkan jika itu membuat mereka ditegur.
*
Matthew Emmanuel berjalan menyusuri koridor utama Em’ Corp. Headquarters dengan langkah angkuh yang sudah menjadi ciri khasnya. Sepatu kulitnya menjejak lantai marmer hitam mengilap, memantulkan suara teratur yang membuat beberapa karyawan di sekitarnya spontan menunduk. Aroma kopi mahal bercampur dengan kesibukan pagi—derit mesin fotokopi, suara telepon berdering, dan bisikan percakapan formal di antara staf yang buru-buru menenteng dokumen.
Begitu memasuki lantai eksekutif, suasana berubah total. Sunyi, steril, dan dipenuhi desain modern minimalis. Tidak ada karyawan sembarangan yang bisa berkeliaran di sini. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki akses. Pintu kaca otomatis terbuka, menampakkan ruang kantor pribadinya yang nyaris seluas satu lantai.
Ruangan itu bukan sekadar kantor—melainkan markas kekuasaan. Sisi kanan terdapat dinding kaca dengan pemandangan skyline kota London, sementara sisi kiri berisi deretan rak buku dan lemari arsip tertutup rapat. Di dalamnya tersimpan data-data vital perusahaan, kontrak bernilai miliaran, hingga blueprint proyek masa depan.
Dengan gerakan tenang, ia melepas jas Armani hitamnya, menggantungkannya pada gantungan baja khusus, lalu melonggarkan dasinya. Kursi kebesaran berbahan kulit hitam langsung menyambutnya ketika ia menjatuhkan diri ke sana, seakan melambangkan tahta yang ia kuasai.
Pikirannya melayang pada Aurora. Gadis itu… polos, keras kepala, dan sama sekali tidak terduga. Ia bertanya-tanya sejenak, masihkah gadis itu perawan? Pertanyaan itu bukan karena ia peduli—Matthew sudah terlalu sering berurusan dengan wanita yang jauh dari kata suci—melainkan karena Aurora begitu berbeda, dan perbedaan itu menimbulkan rasa penasaran yang sulit ia kendalikan.
Ketukan di pintu mengembalikan fokusnya. “Masuk,” suaranya datar, penuh otoritas.
Seorang wanita berpakaian rapi, sekretaris pribadinya, masuk sambil membawa tablet berisi jadwal. Dengan suara sopan, ia menjelaskan agenda hari ini: progress proyek apartemen 99 lantai yang akan menjadi ikon baru kota, rencana fasilitas mewah dari pusat perbelanjaan hingga waterpark indoor, serta jadwal rapat dengan investor Amerika malam nanti.
Matthew hanya mengangguk singkat. Ia tidak pernah butuh penjelasan panjang; yang ia perlukan hanya data padat dan jelas. “Kau boleh keluar,” titahnya dingin. Sekretaris itu segera undur diri.
Kesunyian kembali menyelimuti ruangan. Matthew menyandarkan tubuh, jemarinya mengetuk ringan permukaan meja kaca hitam. Ambisinya untuk menjadikan Em’ Corp. Nomor satu di dunia kian nyata. Setiap keputusan, setiap tender, selalu berakhir dengan kemenangannya. Ia tidak sekadar berbisnis—ia mendominasi.
Suara ponsel yang bergetar di meja memecah kesunyian. Sebuah pesan masuk. Dari Rose Camila Mexillan. Nama itu membuat rahangnya mengeras. Rose—kekasihnya sebelum pernikahan. Seorang wanita elegan dari keluarga Mexillan, salah satu keluarga terpandang dunia.
Ingin makan siang denganku?
Matthew mengetik balasan singkat.
Em’ Resto. See you there.
Layar ponsel redup kembali, dan ia menaruhnya di atas meja. Perasaan bersalah? Tidak. Pernikahan ini hanyalah kontrak bisnis, kesepakatan dua keluarga kaya untuk memperkuat d******i mereka. Jika ada yang dikorbankan, maka itu adalah Aurora.
Namun, anehnya, sejak pernikahan itu, Matthew justru semakin sering memikirkan gadis itu.
Ia berdiri, meraih jas kembali dan mengenakannya dengan gerakan refleks. Dari ruang kerjanya, ia bisa langsung mengakses lift pribadi yang terkoneksi ke basement, tempat mobil sport kesayangannya menunggu. Fasilitas itu membuatnya hampir tak pernah terlihat oleh para karyawan biasa. Sosok Matthew Emmanuel lebih sering terdengar sebagai legenda daripada benar-benar terlihat langsung.
Begitu sampai di basement, sopir pribadinya yang masih muda sudah bersiap. Namun Matthew hanya mengangkat tangan. “Aku akan mengemudi sendiri.”
Sang sopir buru-buru menunduk hormat, menyerahkan kunci mobil.
Matthew mengayunkan langkah menuju Lamborghini hitam mengilap yang sudah menunggu. Ia melirik jam tangannya. Masih pukul sepuluh. Ada dua jam sebelum makan siang bersama Rose. Waktu yang cukup.
Dengan suara mesin meraung halus, Matthew melajukan mobilnya keluar dari basement, meninggalkan gedung Em’ Corp. Yang kembali sunyi di lantai eksekutifnya.
*
Aurora mendesah pelan ketika dosen akhirnya menutup kuliah pagi itu. Suara kursi berderit, buku ditutup, dan laptop diklik pelan menandakan mahasiswa satu per satu bersiap meninggalkan kelas. Ia baru saja menghela napas lega ketika Gabby, gadis ceria yang sejak awal duduk di sebelahnya, langsung menepuk meja.
“Ayo kita pergi!” serunya penuh semangat.
Aurora mengangkat sebelah alis. “Pergi? Kemana?”
“Tentu saja berkeliling!” Gabby menggandeng tangan Aurora tanpa banyak basa-basi. “Oh gosh, Aurora, kau bukan tipe introvert yang Cuma pulang-balik kelas-rumahkan?”
Aurora terkekeh kecil. “Tentu saja bukan,” sahutnya cepat, walau dalam hati ia merasa energinya baru saja terkuras setengah.
“Bagus! Kalau begitu kau wajib ikut aku. Hal pertama yang harus kulakukan adalah menunjukkan padamu tempat terbaik di universitas ini—kantin. Bukan sembarang kantin, percayalah. Kau tidak akan menyesal.”
Aurora hanya bisa pasrah membiarkan dirinya ditarik keluar kelas, sementara Gabby terus berceloteh sepanjang koridor.
“Kau tahu, awalnya aku berencana kuliah bisnis agar bisa bekerja di perusahaan Em’. Tapi nilai ujianku tidak cukup, jadi aku masuk fakultas kedokteran. Walaupun begitu, aku masih bisa jadi dokter di rumah sakit milik Em’ Corp, kan? Kalau berhasil, aku yakin aku bisa kaya tujuh turunan!” katanya sambil terkikik. “Ah, coba bayangkan kekayaan keluarga Emmanuel… legendaris. Hidup mereka pasti penuh keberuntungan.”
Aurora hanya tersenyum samar, mendengarkan ocehan itu dengan hati sedikit mengerut. “Tidak semua hidup orang kaya itu beruntung, Gab,” ucapnya singkat. Suaranya terdengar ringan, tapi hatinya getir. Ia tahu benar, menjadi kaya tidak berarti bebas dari luka. Nyatanya, ia sendiri harus dikorbankan oleh kakaknya demi sebuah pernikahan bisnis.
Gabby menoleh curiga. “Dari cara bicaramu… jangan bilang kau orang kaya juga?”
Aurora buru-buru menangkis, “Aku hanya tahu dari teman.” Ia sudah terbiasa menyembunyikan identitasnya. Di Paris pun ia tidak pernah mengaku sebagai putri dari salah satu keluarga terkaya dunia. Ia lebih memilih hidup sederhana, bekerja paruh waktu, dan mengandalkan hasil jerih payahnya sendiri.
Gabby tampak puas dengan jawaban itu. “Ya sudahlah. Aku tidak pernah benar-benar tahu bagaimana hidup orang kaya, jadi aku selalu bersyukur dengan apa yang aku miliki. Aku di sini berkat beasiswa, dan aku akan gunakan kesempatan ini sebaik mungkin.”
Aurora tersenyum tulus kali ini. Ia menyukai Gabby. Gadis itu sederhana, jujur, dan apa adanya.
Sampai akhirnya, langkah mereka berhenti di depan sebuah bangunan besar dengan dinding kaca tinggi yang memantulkan cahaya matahari. Gabby berhenti dramatis, lalu berkata pelan dengan senyum misterius.
“Well, Aurora. Selamat datang di… kantin.”
Aurora tertegun. Matanya membesar, mulutnya sedikit terbuka. “Kantin?” ulangnya nyaris tak percaya.
Apa yang berdiri di depannya jelas-jelas lebih pantas disebut restoran hotel bintang lima. Bangunan itu menjulang megah dengan interior modern: dinding kaca transparan, chandelier kristal menjuntai dari langit-langit, meja-meja marmer dengan kursi kulit elegan, dan area bar panjang dengan lampu gantung industrial. Bahkan, ada pelayan berseragam rapi yang mondar-mandir membawa nampan seperti restoran mahal.
Aurora hampir kehilangan kata-kata.
“Kau tahu,” Gabby berbisik penuh drama sambil meraih tangan Aurora, “semua mahasiswa di sini bisa makan gratis. Apa pun yang mereka mau. Semuanya sudah ditanggung universitas.”
“Gratis?” Aurora memandang tak percaya.
Gabby mengangguk mantap. “Gratis. Royal sekali, bukan? Lalu, lihatlah itu.” Ia menunjuk ke arah bar panjang. “Ada smoothies bar, juice bar, bahkan tempat dessert. Tapi alkohol? Nggak ada selama jam kuliah, aturan ketat. Setelah jam kelas selesai, malam hari, biasanya tempat ini berubah jadi lounge mahasiswa. Keren, kan?”
Aurora menggeleng, masih syok. “Astaga, di Paris saja aku harus bekerja paruh waktu hanya untuk bisa makan croissant setiap pagi. Kalau di sini seperti ini, aku bisa… aku bisa—”
“Makan sepuasmu tiap hari,” sambung Gabby dengan tawa kecil. “Ah, Aurora, hidup kita lumayan manis kalau begini. Benar-benar beruntung mereka yang menikahi Tuan Emmanuel, kan? Aku jadi penasaran…”
Aurora terdiam. Kata-kata itu menusuk telak ke dalam dadanya, membuatnya menahan napas sejenak. Untung Gabby tidak tahu bahwa ia adalah wanita beruntung itu—istri Matthew Emmanuel.
Ia menepuk pundak Gabby pelan. “Aku benar-benar tidak percaya semua ini, Gab.”
“Percayalah, lama-lama kau akan terbiasa.” Gabby tersenyum lebar. “Ayo, masuk! Aku tunjukkan caranya pesan.”
Aurora hampir protes, “Tapi ini belum jam makan siang—”
“Tidak apa-apa. Sistemnya fleksibel,” potong Gabby. Ia lalu mengeluarkan sebuah kartu berwarna hijau tua dari dompetnya. “Ini kartu kantin. Tinggal ditempel di scanner, lalu saldo jatah makanmu otomatis terpotong.”
Aurora menatap kagum. “Kapan aku bisa dapat kartu itu?”
“Kau bisa memintanya ke admin kantin, cukup tunjukkan kartu identitas mahasiswa. Tiap jurusan punya warna berbeda.”
Aurora mengangguk, terkesan.
“Untuk hari ini, pakai punyaku. Aku masih ada jatah esok, jadi ambil saja.”
Aurora buru-buru menggeleng. “Tidak perlu, Gab. Aku punya uang, aku bisa beli sendiri.”
Gabby cemberut tapi akhirnya mengalah. “Baiklah. Tapi besok-besok aku traktir!”
Mereka berjalan menuju area makanan. Deretan buffet mewah terbentang panjang, lengkap dengan label nama dan asal negara hidangan. Aurora hampir tidak bisa memilih: sushi segar, steak, paella, ramen, salad tropis, bahkan menu vegetarian yang terlihat seperti karya seni.
Saat ia sedang kebingungan memilih, seorang gadis muncul di sampingnya. Umurnya tampak sebaya, dengan ekspresi datar namun tegas. “Kau Aurora, mahasiswa baru?” tanyanya.
Aurora menoleh cepat. “Ya, benar.”
“Kau di panggil ke ruang dekan. Sekarang.”
Gabby spontan melirik Aurora dengan bingung. “Apa kau ada masalah?”
Aurora menggeleng. “Tidak.”
“Cepatlah,” gadis itu menegaskan.
Aurora menoleh ke Gabby. “Kurasa kita akan makan siang setelah ini.”
Dengan napas pelan, Aurora meninggalkan restoran megah itu, mengikuti langkah gadis yang membawanya menuju ruang dekan.
-TBC-