Bab 1. Pria Otoriter

1774 Words
Aurora mendesah panjang untuk kesekian kali hari itu. Punggungnya menempel malas pada sofa empuk di ruang tamu apartemen yang disewa Matthew. Dari balik kaca jendela yang tinggi dan lebar, matanya kosong menatap lalu-lalang orang-orang di jalan. Ada yang berjalan cepat sambil menggenggam kopi, ada yang sibuk berbicara dengan ponsel menempel di telinga, ada pula pasangan yang tertawa riang sembari menggandeng tangan satu sama lain. Semua tampak sibuk dengan dunianya masing-masing. Berbeda dengannya. Dia hanya terkurung di ruangan luas yang dingin dan asing. Kata suami pun masih terasa janggal ketika ia pikirkan. Bagaimana mungkin ia memanggil pria itu dengan sebutan yang begitu sakral, sementara hatinya bahkan belum bisa menerima kenyataan mereka menikah? Tiga hari sudah mereka di Kanada, dan tiga hari pula Matthew selalu mengulang kebiasaan yang sama. Pergi pagi sekali—bahkan ketika Aurora masih mengantuk dan belum sempat benar-benar membuka mata—dan pulang larut malam ketika Aurora sudah terlalu lelah menunggu. Seolah rutinitasnya hanya menyisakan bayangan samar di apartemen ini. Yang ironis, Matthew masih menyempatkan diri menyiapkan sarapan setiap pagi sebelum berangkat. Aurora selalu menemukannya di meja: roti panggang hangat, telur setengah matang, bahkan segelas jus segar. Sederhana, tapi cukup membuatnya heran. Pria sesibuk itu masih sempat melakukan hal yang dianggap… manis. Tapi apa gunanya? Hanya sarapan yang ditinggalkan, bukan sosoknya. Aurora memeluk lututnya, dagunya bertumpu di atasnya. Aku bahkan tidak berharap dia menemaniku, tapi… Desahannya terhenti. Ia menggeleng pelan, menepis pikirannya sendiri. Tidak, ia memang tidak berharap Matthew menemaninya. Ia hanya merasa hampa. Sepi. Terlalu sepi di negeri orang yang bahkan bahasanya pun belum begitu ia kuasai. Seandainya ia punya teman di sini, mungkin segalanya tidak akan sesulit ini. Tapi nyatanya tidak ada. Setiap hari hanya dikelilingi dinding putih apartemen, layar televisi yang menyiarkan berita dalam bahasa asing, dan suara detik jam yang terdengar semakin menusuk telinganya. Matthew sudah menyediakan segalanya—mobil, black card, fasilitas apapun yang bisa dipakai. Tapi apa gunanya kalau Aurora sama sekali tidak berani pergi sendirian? Bayangan tersesat di jalan asing, salah arah pulang, atau bahkan sekadar salah menyeberang di lampu lalu lintas membuatnya enggan melangkah keluar. “Kalau tahu begini, lebih baik aku tinggal di London,” gumamnya lirih. Bibirnya mencebik sebal, tubuhnya meringkuk malas. Aku bodoh sekali mau ikut dengannya. Tangan Aurora terangkat, mengacak rambutnya hingga berantakan. “Argh!” serunya kesal pada diri sendiri. Ia lalu merebahkan tubuhnya di sofa, mengambil ponsel untuk mencari hiburan. Ia membuka media sosial, jari-jarinya menggulir layar tanpa tujuan hingga sebuah story yang sedang viral muncul. Refleks ia klik, dan seketika matanya melebar. Foto itu terpampang jelas: dirinya dan Matthew. Aurora dalam gaun putih panjang, Matthew dengan tatapan tajam sekaligus samar yang mengarah padanya. Sebuah tatapan yang bahkan Aurora sendiri tidak pernah bisa artikan. “Oh my God…” bisiknya, tubuhnya langsung tegak. Ia memperbesar foto, meneliti detailnya. Untung saja wajahnya tidak begitu jelas terlihat, hanya sebagian profil samping yang tampak samar. Komentar yang berjejer di bawah foto pun ramai bertanya siapa wanita itu. Aurora mendesah lega. Kalau sampai semua orang tahu siapa dirinya, mungkin hidupnya akan lebih runyam. Ia menatap caption yang tertera di akun suaminya. ‘My lovely wife.’ Aurora membelalakkan mata, lalu buru-buru menggulir komentar. “Ini akun asli?!” serunya tidak percaya ketika melihat centang biru di samping nama Matthew. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena senang, melainkan shock. Ia merasa seperti sedang menjadi penguntit profesional. Beruntung akun Matthew tidak dikunci, jadi Aurora bebas melihat apa pun tanpa perlu mem-follow. Matanya menelusuri jumlah pengikut yang nyaris jutaan, didominasi artis, model papan atas, dan pengusaha terkenal. Semua nama dengan centang biru yang membuat Aurora seketika iri. Kapan aku bisa punya pengikut seperti ini? Pikirnya sambil merengut. Saat ia membuka komentar, hampir ribuan wanita menjerit patah hati. Ada yang menulis ucapan selamat, ada yang menyesali, ada yang menyebut Aurora wanita paling beruntung di dunia. Aurora mendengus. Beruntung apanya? Namun, matanya tiba-tiba berhenti di sebuah nama: Rose_M. Aurora membacanya berulang kali. Itu satu-satunya komentar yang dibalas oleh Matthew. ‘You did it, okay.’ Dan balasan Matthew hanya, ‘Don’t ever think I’m serious.’ Aurora menegang. Kata-kata itu sederhana, tapi tajam menusuk. Seperti pengingat dingin bahwa pernikahan mereka hanyalah sandiwara. Hanya sebuah kontrak satu tahun. Mood-nya langsung ambruk. Ia membuang ponselnya ke sofa, menarik napas panjang. “Sialan,” desisnya, merasakan sesuatu yang tidak bisa ia beri nama—antara kecewa, sakit hati, atau sekadar kesal. Belum sempat ia menenangkan diri, ponselnya bergetar. Aurora menghela napas berat, lalu mengambilnya lagi dengan malas. Nama kontak yang terpampang membuatnya otomatis mendengus: Perusak Mood. Ia menatap layar beberapa detik sebelum akhirnya menggeser tombol hijau. Suara berat itu langsung terdengar tanpa basa-basi. “Bersiaplah, aku akan menjemputmu.” Klik. Panggilan langsung terputus. Aurora melongo. Bahkan ia belum sempat membuka mulut untuk bertanya. “Astaga… dia benar-benar…” Tangan Aurora mengepal, seakan ingin melempar ponselnya ke dinding. Tidak salah memang kalau ia menamai Matthew dengan sebutan Perusak Mood. Pria itu selalu tahu bagaimana merusak ketenangan hatinya dalam hitungan detik. Tapi meski kesal, Aurora tetap bangkit. Ia berjalan ke kamar, membuka lemari, lalu menatap sederet pakaian yang dibelikan Matthew untuknya. Sejenak ia menghela napas. Kenapa aku masih menurut saja? Mungkin karena ia tidak mau membuat masalah lebih besar. Mungkin karena ia tahu, suaminya yang dingin itu tidak segan mempermalukannya di depan umum kalau ia menolak. Dengan enggan, Aurora memilih gaun kasual yang pantas, lalu berdiri di depan cermin. Pandangannya kosong. Untuk sesaat, ia bahkan tidak mengenali pantulan dirinya sendiri. “Bersiaplah katanya… seenaknya saja.” Ia merengut, memelintir bibir. Tapi pada akhirnya, tangannya tetap merapikan rambut, mengenakan jaket tipis, lalu mengambil tas. Jantungnya berdegup pelan—entah karena cemas, kesal, atau… sebuah rasa yang bahkan tidak mau ia akui. * “Kau ingin membawaku ke mana?” tanya Aurora dengan nada dingin, seolah-olah setiap huruf yang keluar dari bibirnya hanyalah bentuk keterpaksaan untuk berbicara. Tatapannya lurus ke depan, meski matanya sebenarnya lebih banyak dipenuhi rasa malas dan enggan. Matthew hanya melirik sekilas, menahan senyum tipis di wajahnya saat melihat ekspresi istrinya yang masam. “Makan,” jawabnya singkat, nada suaranya tenang tapi tegas. Tangannya mantap menggenggam kemudi, pandangannya kembali terfokus pada jalanan yang diterangi lampu kota. “Kau bosan, bukan, hanya berdiam diri di kamar seharian?” Aurora tertawa pendek, getir, lalu menoleh menatap profil samping wajah suaminya. “Kalau kau tahu aku bosan, kenapa tidak membiarkanku tinggal di London saja, Tuan Emmanuel?” nada sarkas menyemburat jelas dari ucapannya. Bibirnya mengulas senyum sinis, meski matanya sama sekali tak bercanda. “Jangan lupa, kita hanya menikah untuk satu tahun!” Matthew mengernyit samar, lalu sebuah senyum sinis melintas di wajahnya. “Bagaimana mungkin aku lupa, Wife?” Nada itu terdengar licin, seolah sengaja menekankan sebutan yang membuat Aurora selalu muak mendengarnya. “Percayalah, setahun ini aku akan memainkan peranku dengan baik… menjadi suami yang sempurna untukmu.” Aurora mendengus keras. Cih! Suami sempurna? Omong kosong apa lagi ini. Ia berdecih dalam hati, matanya menatap keluar jendela, seolah pemandangan lampu kota yang berkelebatan lebih pantas ia ajak bicara daripada pria di sampingnya. “Tidak perlu!” sergahnya cepat, wajahnya dipasang setegar mungkin, menolak menampakkan kelemahan sedikitpun di depan Matthew. Pria itu justru tertawa lirih, rendah, tapi cukup untuk membuat bulu kuduk Aurora meremang. “Kau takut jatuh cinta padaku, bukan?” katanya, kali ini sengaja mencondongkan tubuh sedikit, suaranya menurun seperti bisikan berbahaya yang menusuk telinga. “Percayalah, Aurora… tidak ada wanita yang menyesal setelah berkencan denganku. Bahkan banyak yang meminta lebih, memohon agar aku tetap menjadi bagian dari hidup mereka.” Ia menoleh, menatapnya dengan tatapan tajam sekaligus penuh percaya diri. “Dan kau, Wife, cukup beruntung bisa menyandang gelar itu. Meskipun hanya untuk satu tahun, itu berarti kau memiliki hak penuh atas diriku.” Aurora membalas tatapan itu dengan senyum mencemooh, dingin, menusuk. “Ingat kontraknya, Tuan Emmanuel,” ujarnya pelan tapi jelas, seakan ingin memastikan setiap kata menancap di telinga pria itu. “Aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu, dan kau pun tidak akan mencampuri urusan pribadiku.” Matthew tersenyum miring, seolah kata-kata istrinya itu sama sekali tidak berpengaruh. “Kontrak itu hanya kita berdua yang tahu,” balasnya tenang. “Dan kita bisa membatalkannya kapan saja jika aku mau.” “No!” Aurora spontan bersuara lebih keras, tidak terima dengan nada superior itu. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal di pangkuan. “Pernikahan ini bukan tentang kita, ini pernikahan bisnis. Seharusnya kau mengejarnya, bukan malah terjebak di sini bersamaku!” Ujung suaranya bergetar, mungkin karena emosi, mungkin juga karena kelelahan menahan diri. Aurora menggertakkan giginya, bibirnya bergerak menggumam sumpah serapah lirih, “Sialan…” Tentu saja telinga Matthew terlalu tajam untuk melewatkan itu. Sekilas senyum puas melintas di wajahnya, meski ia memilih untuk tidak menanggapi. Aurora tahu benar—pernikahan ini bukan keinginan siapa pun di antara mereka. Ia terpaksa, Matthew pun terpaksa. Semua terjadi karena urusan bisnis. Sejak awal, Ayahnya menjodohkan Matthew dengan putri sulung keluarga Riedl, Beverly. Namun, Beverly menolak keras, bahkan memilih kabur ke luar negeri demi melepaskan diri dari pernikahan yang dianggap jerat. Keluarga besar sudah terlanjur tahu bahwa salah satu putri Riedl akan menjadi pasangan putra sulung Emmanuel. Maka pilihan jatuh pada Aurora, adik perempuan yang bahkan tidak pernah dipersiapkan untuk itu. Itulah awal mula perjanjian kontrak ini. Ironisnya, Matthew dan Beverly bahkan belum pernah saling bertemu. Beverly tidak lari karena cinta pada pria lain, tapi karena prinsipnya sendiri. Ia hanya ingin menikah ketika sudah siap, paling cepat di usia 28. Dan saat itu usianya baru 27—hanya setahun lagi. Sayangnya, orang tuanya keras kepala. Keinginan pribadi tak ada artinya di hadapan gengsi keluarga. Aurora, yang tengah menempuh studi kedokteran di Paris, dipaksa pulang dengan alasan yang bahkan tidak pernah dijelaskan jelas oleh kedua orang tuanya. Rindu yang ia simpan untuk keluarga menutup logikanya. Ia menurut, pulang, lalu tiba-tiba saja dijebloskan ke dalam ikatan pernikahan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal. Kini, di dalam mobil yang beraroma kulit mewah, bersama laki-laki yang hanya beberapa hari lalu sah menjadi suaminya, Aurora merasa seperti tokoh sampingan dalam drama yang tidak pernah ia pilih untuk perankan. Matthew akhirnya kembali membuka suara, nadanya terdengar santai, namun setiap katanya tajam dan menghujam. “Aku tidak terbiasa mengejar,” ujarnya sambil menyalakan lampu sein, matanya tetap lurus ke depan. “Aku terbiasa dikejar. Jadi, persetan dengan kakakmu, karena kenyataannya sekarang… kau adalah istriku.” Aurora menutup mata, menarik napas panjang. Sungguh, jika ia terus menanggapi pria itu, rasanya paru-parunya akan meledak karena menahan emosi. Pada akhirnya ia memilih diam, membiarkan percakapan berhenti di sana. Sisa perjalanan berlangsung sunyi, hanya ditemani dengung mesin dan cahaya lampu kota yang berlari mundur di balik kaca. Dalam hening itu, Aurora kembali menyadari satu hal: setahun bersama Matthew Emmanuel akan terasa bukan setahun, tapi seabad. -TBC-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD