Pernikahan itu sama sekali bukan pesta megah yang penuh gemerlap lampu dan ratusan tamu undangan. Tidak ada taburan bunga di sepanjang jalan, tidak ada dentuman musik orkestra yang meriah, dan tidak ada pawai panjang pengantin yang biasa menghiasi pesta kaum bangsawan. Pernikahan ini hanyalah sebuah perayaan kecil, terbatas, hanya dihadiri keluarga inti dan segelintir tamu yang dianggap penting. Semua tampak tertutup, formal, dan kaku—seakan menyembunyikan fakta bahwa ini bukanlah pernikahan karena cinta, melainkan pernikahan yang lahir dari paksaan dan kepentingan keluarga.
Aurora berdiri di tengah ruangan dengan gaun putih yang menjuntai menyapu lantai. Gaun itu tampak indah dipandang, penuh detail renda dan kilau mutiara yang halus. Namun, bagi Aurora, gaun itu terasa bagai beban yang mengikat tubuhnya. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah lantai menariknya untuk jatuh. Belum lagi heels setinggi lima belas sentimeter yang membalut kakinya—sungguh menyiksa, seakan setiap menitnya menjadi ujian kesabaran.
Benar-benar menyiksa dirinya.
“Congratulations, Aurora!” Suara riang Jennifer memecah lamunannya. Sahabat masa kecilnya itu melangkah mendekat, gaun biru pastel yang dipakainya bergoyang mengikuti langkahnya. Jennifer langsung memeluk Aurora dengan erat, seolah ingin memindahkan semangat ke tubuh sahabatnya yang lesu. “Kalau saja aku tahu pria yang dijodohkan denganmu adalah Matthew Emmanuel, mungkin aku sudah menikungmu duluan!” ucapnya sambil terkikik, berusaha menghidupkan suasana.
Aurora hanya mampu tersenyum miris sambil memukul bahu Jennifer ringan. “Aku lelah, Jenni. Rasanya ingin kabur saja…” bisiknya lirih, lalu meneguk wine di tangannya. Cairan merah itu seakan jadi satu-satunya penghibur di pesta yang terasa seperti penjara mewah ini.
Jennifer menghela napas panjang, menatap sahabatnya dengan pandangan penuh khawatir. “Jangan bertingkah aneh, Aurora. Kau tahu, kabar akan cepat menyebar. Dimana suamimu? Sejak tadi aku tidak melihatnya.”
Aurora hanya mengangkat bahu dengan acuh. Hampir setengah jam Matthew menghilang, dan Aurora sama sekali tidak berniat mencarinya. Bahkan kalau bisa, ia ingin lelaki itu benar-benar lenyap. “Kalau bisa, aku berharap tidak perlu bertemu dengannya lagi selamanya.”
Namun, kalimat itu baru saja terucap ketika sebuah suara berat menyelinap di belakangnya.
“It’s not gonna happen, Aurora.”
Aurora merasakan bulu kuduknya berdiri. Napasnya tercekat. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang berdiri di belakangnya, karena hanya satu suara yang bisa membuatnya merinding seperti ini.
Matthew Emmanuel.
Lelaki itu tiba-tiba sudah berada di sisinya, merangkul pinggangnya dengan gerakan yang terlalu akrab untuk sebuah pasangan yang nyatanya asing. Senyum yang menempel di wajahnya tidak pernah ia berikan pada Aurora sebelumnya—senyum itu bukan untuknya, melainkan untuk dunia yang sedang memperhatikan.
“Saya Matthew,” ucapnya memperkenalkan diri dengan nada yang tenang tapi penuh wibawa.
Jennifer, yang sedari tadi tertegun menatap lelaki tinggi berjas hitam itu, tergagap menyambut uluran tangannya. “Jennifer. You can call me Jenni as well,” sahutnya gugup, pipinya memerah.
“Sure, why not.” Matthew tersenyum sekilas sebelum menundukkan pandangan pada Aurora yang kini menunduk dalam rangkulannya. “Would you like to dance with me, Wife?”
Aurora bisa merasakan tatapan Jennifer yang berbinar penuh harap agar ia menerima ajakan itu. Namun hatinya justru memberontak. Jennifer bahkan mengedipkan sebelah mata, berbisik kecil, “Have fun, guys,” sebelum meninggalkan mereka berdua di tengah sorotan mata para tamu.
Begitu Jennifer berlalu, Aurora langsung menepis tangan Matthew dari pinggangnya dengan kasar. Tatapannya penuh sinis, seolah ingin menyalakan api perang di ruangan penuh orang ini. Ia berjalan menjauh, memilih duduk di sebuah meja bundar yang dihias manis dengan bunga lili putih.
Aurora menghela napas panjang, tangannya mengusap betis yang mulai pegal. “Sial, sepatu ini…” gerutunya lirih.
Matthew mengikutinya dengan langkah tenang. Ia berdiri tegak di hadapan Aurora, lalu dengan suara tegas yang tak memberi ruang untuk penolakan, ia berkata, “Lepas heels-mu.”
Aurora mendongak, menatapnya dengan penuh perlawanan. “Tidak perlu—”
Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, Matthew berjongkok. Gerakan itu membuat beberapa pasang mata tamu undangan menoleh ke arah mereka. Dengan cekatan, Matthew melepas heels yang menghimpit kaki Aurora dan menggantinya dengan sepatu putih rendah yang entah sejak kapan ia siapkan. Gerakan tangannya halus, penuh perhitungan, seolah ia memang terbiasa memperlakukan wanita dengan cara ini.
Aurora terdiam. Hatinya tersentuh sejenak, meski akalnya cepat-cepat mengingatkan bahwa semua ini hanyalah sandiwara.
“Perfect,” gumam Matthew, lalu berdiri kembali.
Sekeliling mereka terdengar decakan kagum dari para wanita. Beberapa bahkan berbisik pelan, iri pada Aurora yang tampak begitu diperlakukan bak ratu oleh suaminya. Aurora ingin berteriak bahwa semua ini hanyalah pura-pura. Bahwa pernikahan ini tidak lain hanyalah kontrak dingin tanpa cinta. Namun bibirnya terkunci.
Ia benci harus berakting. Aurora bukan seorang aktris. Ia hanyalah seorang mahasiswi kedokteran yang tengah berjuang menyelesaikan kuliahnya di Paris.
Sementara itu, dunia Matthew sama sekali asing baginya. Ia hanya mendengar rumor—bahwa Matthew adalah pria berhati dingin, pengusaha kejam yang tak segan menjatuhkan siapa saja yang menghalanginya. Bahwa para investor segan padanya bukan karena rasa hormat, melainkan rasa takut. Namun di balik semua rumor itu, ada fakta yang tak bisa disangkal: Matthew adalah seorang profesional. Tegas, tanpa kompromi, dan berkomitmen pada hasil. Di usianya yang baru 33 tahun, ia sudah memiliki jaringan perusahaan EM’ Corp yang tersebar di berbagai negara.
Aurora menunduk, mencoba mengalihkan pikiran ketika mendengar suara Matthew lagi.
“Setelah ini kita akan terbang ke Kanada.”
Aurora menoleh cepat, matanya membesar. “Kanada?”
“Ya, Aurora. Ada bisnis yang harus kulakukan di sana. Dan kita bisa sekalian berbulan madu.”
Aurora mendelik, wajahnya menegang. “Tidak ada bulan madu, Tuan Matthew Emmanuel! Aku tidak akan ikut denganmu.”
Matthew hanya mengangkat alisnya, lalu menunduk mendekat ke telinga Aurora. Senyumannya tipis namun sarat ancaman.
“Oh ya? Kalau begitu… bagaimana jika aku katakan kepada semua orang di sini bahwa istriku menolak keinginanku? Menolak untuk pergi berbulan madu denganku?”
Aurora tercekat. Dadanya naik turun menahan amarah. Lelaki ini benar-benar tahu cara menekan titik lemahnya. Pandangan keluarga, sorotan para tamu—semua itu bisa jadi senjata Matthew.
Aurora menggertakkan giginya. Sialan.
Ia tahu, untuk saat ini ia harus mengalah. Tapi ia bersumpah, lain kali ia tidak akan membiarkan lelaki itu menang begitu saja. Ia sudah memikirkan banyak rencana, termasuk melanjutkan kuliahnya di Paris agar bisa menjauh sejauh mungkin dari Matthew.
“I hate you, Matt…” desisnya pelan, tapi cukup jelas terdengar.
Matthew menatapnya, senyumnya mengembang, bukan karena tersinggung melainkan karena merasa menang. “And soon…” bisiknya pelan, “…you will say that you love me so much.”
Aurora berbalik, melangkah menjauh, gaun putihnya bergoyang mengikuti gerak tubuhnya yang penuh amarah. Matthew hanya berdiri diam, menatap punggung istrinya yang semakin menjauh. Namun senyum kecil itu masih melekat di wajahnya—senyum seorang pria yang tahu bahwa permainan baru saja dimulai.
-TBC-