Opening: Kontrak Nikah
SURAT PERJANJIAN
Bahwasanya pada Hari Rabu tanggal 04 Juni 2030 telah dibuat kesepakatan antara:
Axel Matthew Emmanuel, yang disebut sebagai PIHAK PERTAMA.
Dengan
Aurora Quella Riedl, yang disebut sebagai PIHAK KEDUA.
Berikut adalah perjanjian yang akan disepakati oleh kedua pihak:
Pihak pertama berhak memberi nafkah kepada pihak kedua
Pihak pertama berhak untuk menyentuh pihak kedua
Pihak kedua tidak boleh mencampuri urusan pihak pertama
Pihak kedua dilarang keluar tanpa izin dari pihak pertama
Berlaku selayaknya suami-istri di depan keluarga
Pihak kedua dilarang jatuh cinta kepada pihak pertama
Demikian surat perjanjian ini dibuat dengan sadar oleh kedua belah pihak tanpa ada paksaan apa pun. Surat ini berlaku selama satu tahun. Jika ada salah satu pihak yang melanggar dari perjanjian di atas, maka pihak tersebut akan dikenakan sanksi dan hukuman.
Pihak Kedua, Pihak Pertama,
Aurora Q. Riedl. Axel M. Emmanuel.
Aurora menatap kertas itu dengan sorot mata membara. Jemarinya yang lentik meremas pinggiran dokumen, seakan ingin merobek lembaran putih yang terasa lebih hina dari kertas bekas di pasar. Tulisan hitam yang tercetak rapi itu seperti racun yang hendak merenggut kebebasannya.
“Gila…” gumamnya serak, bibirnya bergetar menahan amarah. “Ini benar-benar memuakkan!”
Seketika ia menghempaskan surat itu ke meja kaca, bunyinya memantul memenuhi ruang kerja yang hening. Aurora mendongak, menatap lelaki yang duduk dengan santai di kursi kulit berwarna hitam, seakan dialah hakim sekaligus algojo yang berkuasa atas hidupnya.
Axel Matthew Emmanuel.
Lelaki itu menatapnya dari balik sorot mata tajam yang bagaikan elang—dingin, penuh perhitungan, dan menyakitkan. Rahang kokohnya terkatup rapat, garis senyum sinis tersungging tipis di sudut bibir. Senyum itu bukan ramah, melainkan tantangan.
Aurora ingin sekali bangkit dan menampar wajah sombong itu. Ia muak! Andai saja keluarganya tidak memaksanya untuk menikah dengan pria arogan ini, dia pasti sudah memilih Leo—pria setengah wanita yang selalu membuatnya tertawa setiap kali mampir ke salon. Leo mungkin tidak sempurna, tapi jelas lebih manusiawi daripada monster berjas hitam yang kini duduk di depannya.
“Hah! Semua perjanjian ini cuma menguntungkanmu!” Aurora mengangkat dagunya, suaranya pecah karena emosi. “Aku tidak akan pernah menandatanganinya!”
Matthew menyandarkan tubuh ke kursinya. Jemarinya yang panjang mengetuk pelan permukaan meja, berirama tenang tapi mengancam. Pandangannya tak bergeser sedikit pun, menusuk seperti ingin menelanjangi setiap lapisan pertahanan Aurora.
“Lalu… apa yang kau inginkan?” tanyanya datar, seolah yang sedang ia bicarakan hanyalah angka dalam kontrak bisnis.
Aurora menggenggam erat roknya, berusaha menahan getaran di tubuhnya. “Aku ingin kau tidak mencampuri urusanku! Kau tidak boleh menyentuhku! Kau tidak berhak melarangku, dan satu hal lagi…” suaranya meninggi, napasnya memburu. “Aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu!”
Alis Matthew terangkat sebelah, wajahnya sama sekali tidak berubah. Hanya saja, sorot matanya kian menusuk, penuh penilaian.
“Aku hanya tidak ingin kau merusak reputasiku di luar sana,” ujarnya dingin. “Karena sebentar lagi statusmu akan berubah menjadi istriku. Paham?”
“Kita bisa merahasiakan pernikahan ini,” balas Aurora cepat, hampir putus asa. “Tak seorang pun perlu tahu. Aku hanya butuh kebebasan. That’s it!”
Sejenak keheningan menggantung. Lalu, kursi Matthew bergeser pelan ketika tubuhnya berdiri. Suara gesekan roda kursi di lantai kayu terdengar menegangkan, seolah alarm bahaya bagi Aurora.
Aura ruangan mendadak berubah—lebih berat, lebih pekat. Jantung Aurora berdebar kencang ketika Matthew melangkah mendekat, tubuhnya yang tinggi menjulang bagai dinding hitam yang tak bisa ditembus.
Sekejap kemudian, ia membungkuk, kedua tangannya menekan sofa di sisi Aurora, mengurung tubuh mungil itu di antara lengan dan dadanya. Wajahnya mendekat begitu dekat, napas hangatnya menyapu kulit Aurora, membuatnya ingin mundur namun tak bisa.
“Merahasiakan, katamu?” desisnya pelan, suara rendahnya serupa bisikan iblis. “Aku tidak ingin menyembunyikan apa pun, Aurora. Tidak dari keluargaku, dan tidak juga dari keluargamu.”
Aurora menatap balik, matanya bergetar tapi tak mau tunduk.
“Mereka tidak akan pernah menyetujui—” gumamnya terbata.
Matthew menyela, suaranya tajam, “Itu bukan urusanmu. Yang perlu kau lakukan hanyalah mempersiapkan dirimu… untuk tidak jatuh hati padaku.”
Aurora terdiam, bibirnya membentuk garis tipis.
Sebelum ia sempat membalas, bibir Matthew sudah menempel pada bibirnya—kasar, mendesak, seolah ingin menunjukkan siapa yang benar-benar berkuasa. Aurora meronta, tangannya mendorong d**a bidang itu, tapi genggaman Matthew pada sofa membuatnya tak berkutik.
Rasa asin air mata mulai memenuhi matanya, bukan karena lemah, tapi karena benci—benci karena tubuhnya bereaksi, bergetar antara marah dan takut, benci karena pria ini berhasil membuatnya kehilangan kendali.
Di antara lumatan yang penuh paksaan itu, Aurora tahu satu hal: kontrak ini bukan sekadar lembaran kertas. Ini perang.
Dan ia tidak akan kalah.
-TBC-