Bab 6. Rumah Kedua

1995 Words
Aurora sudah berada di rumah keluarga Riedl yang luas dan elegan, dengan taman kecil yang tertata rapi di halaman depan. Aroma kopi hangat dan roti panggang dari dapur menyambutnya begitu ia membuka pintu, namun senyuman orang tuanya tidak tampak seperti biasanya. Ada ketegangan halus yang membuat Aurora segera menaruh tasnya di rak. “Mom, Dad?” panggil Aurora, suaranya ringan, mencoba menembus keheningan yang terasa canggung di ruang tamu. Sang ayah, Riedl, menatap Aurora sebentar sebelum menghela napas panjang. “Begini, Nak…” gumamnya perlahan, seakan menimbang kata-katanya, “kakakmu akan kembali kemari.” Alis Aurora seketika terangkat hampir menyentuh batas rambutnya. “Beverly?” Ayahnya menatap tajam sejenak, lalu sedikit jengkel. “Apa kau memiliki kakak lain selain Beverly?” Aurora terkekeh pelan, nada suaranya setengah bercanda tapi ada sedikit getir. “Ya, habisnya dia pulang tanpa berita dan pergi meninggalkan beban padaku. Semua urusan perjodohan itu… aku yang menyelesaikannya.” Kedua orang tuanya menghela napas, Chloe menatap putrinya dengan mata lembut, sementara Riedl masih menekankan garis rahang. “Untuk masalah itu, kita akan membicarakannya langsung dengan kakakmu nanti. Tidak perlu terburu-buru menanggapinya sendirian,” kata ayahnya tegas. Aurora mengambil apel yang sudah dikupas dari mangkuk di atas meja, menggigitnya perlahan. “Baiklah kalau begitu,” gumamnya, menelan potongan apel sambil mengangkat bahu. Ibu Aurora, Chloe, berdiri dan melangkah menghampiri putrinya, menaruh tangan lembut di bahu Aurora. “Apa kau masih menyimpan dendam pada kakakmu?” tanyanya dengan nada penuh perhatian, mata lembut menatap putrinya. Aurora menggeleng cepat. “Tidak, Mom. Hanya saja kuliahku jadi berantakan. Padahal aku ingin sekali lulus di Paris dengan mulus, bukan harus repot mengurus semua ini.” “Maafkan kami, Nak,” gumam sang Ibu sambil menyingkirkan helai rambut Aurora yang jatuh ke wajahnya. “Mom mengira kakakmu menyetujui perjodohan itu… tapi ternyata dia justru melarikan diri. Mom benar-benar tidak menyangka…” “Sudahlah, Mom,” desah Aurora pelan, nada suaranya campuran antara kesal dan pasrah. “Menyesal pun tak ada gunanya. Lagipula, aku sekarang sudah menikah dengan pria kepala tiga itu.” “Ssst! Tidak boleh berbicara seperti itu, apalagi di depan suamimu. Nanti dia tersinggung,” peringatan ayahnya terdengar tegas, dan Aurora seketika menelan kata-katanya. Aurora menoleh sebentar, tersenyum kecil tapi sinis. “Kenapa harus tersinggung? Dia memang kepala tiga!” sahutnya cepat, sebelum menggigit apel terakhirnya dengan sedikit tawa kecil yang hampir tidak terdengar. “Aurora!” Teguran ayahnya kali ini lebih tajam, namun Aurora sudah menundukkan kepala, menelan kata-kata itu, menyadari bahwa ketegasan ayahnya selalu berhasil membuatnya diam. Ia tahu betul batas-batasnya di depan Riedl. Chloe menghela napas, mengusap pelipisnya. “Tidurlah di sini malam ini, Nak. Mom ingin kau tetap di rumah, setidaknya semalam, agar kita bisa bicara lebih panjang tentang kakakmu dan… urusan lain.” Aurora memicing, sedikit ragu. “Tidak perlu, Mom. Matthew pasti tidak akan mengizinkannya,” jawabnya cepat, mencoba menutupi sedikit rasa bersalahnya. Ia tahu Matthew tidak suka ia menginap di rumah orang tua sendiri kecuali ada keadaan mendesak. Chloe tersenyum lemah, seakan memahami. “Mom mengerti, Nak. Suamimu memang harus lebih diutamakan, tapi Mom hanya ingin kau merasa nyaman di rumahmu sendiri.” Aurora berdiri, menyiapkan diri untuk pergi. “Aku pergi dulu, Mom, Dad. Ada yang harus aku lakukan mengenai tugas kampus,” ucapnya, sambil berusaha terdengar mmeyakinkan. Kedua orang tuanya hanya mengangguk, memahami maksud kata-kata Aurora yang halus itu. “Sampaikan salam Daddy untuk suamimu,” kata sang ayah, menambahkan sedikit senyum tipis di wajah seriusnya. “Ya, Dad. Bye,” jawab Aurora sambil melangkah keluar dari rumah, tasnya tergantung ringan di bahu. Udara pagi yang segar menyambutnya, sementara hati kecilnya sedikit lega. * Gabby mengajak Aurora berkunjung ke sebuah panti asuhan hari ini, sebuah tempat yang hangat meski sederhana, penuh tawa anak-anak dan aroma sabun serta makanan sederhana. Mereka berdua sudah berjanji bertemu di halaman depan panti, namun saat Aurora melirik jam tangannya, detik demi detik terasa lambat—Gabby belum juga muncul. “Hmm… sepertinya dia telat,” gumam Aurora pelan, sedikit mengernyitkan alis sambil menyandarkan punggungnya di pagar besi rendah. Ia mulai memperhatikan lingkungan sekitar. Halaman panti dipenuhi tawa anak-anak yang berlarian, beberapa sedang bermain karet, beberapa lainnya asyik mewarnai di bangku kayu di bawah pohon rrindang Tiba-tiba, seorang anak kecil berlari kencang tanpa memperhatikan arah. Ia menabrak Aurora tanpa sengaja, tubuh mungil itu membuat Aurora hampir kehilangan keseimbangan. Gadis kecil itu menatap Aurora dengan mata besar yang penuh rasa takut, langkahnya mundur beberapa langkah. Teman-temannya yang mengejar di belakang ikut berhenti, tampak menahan napas seolah menunggu reaksi Aurora. Namun, alih-alih marah, Aurora tersenyum hangat dan berjongkok agar tingginya sejajar dengan anak itu. “Hai,” sapa Aurora lembut, nada suaranya menenangkan. Gadis kecil itu menunduk, ragu-ragu, matanya berkaca-kaca. Aurora mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat dan dengan hati-hati menarik dagu gadis itu agar menatapnya. “Namamu siapa? Namaku Aurora,” gumamnya pelan, berharap membuat gadis kecil itu merasa aman. Dengan perlahan, gadis itu mengulurkan tangannya, menyentuh jemari Aurora. “Aku… Cecil,” jawabnya lirih. Aurora tersenyum tulus. “Wah, nama yang cantik, Cecil. Nah, kenapa kau berlari-lari begitu? Jangan sampai jatuh dan terluka, ya.” Cecil menunduk sejenak, lalu tersenyum malu-malu. “Aku Cuma… bermain,” gumamnya polos. Aurora menoleh ke belakang dan melihat anak-anak lain menunggu, beberapa menahan tawa, beberapa lainnya menatap penasaran. Ia mengangguk, membiarkan Cecil kembali bergabung dengan teman-temannya. “Baiklah, tapi ingat, jangan lari-lari terlalu jauh ya. Nanti kalau luka, siapa yang akan menolongmu?” Aurora mengacak lembut rambut hitam anak itu, membuat Cecil tertawa kecil sebelum kembali ke kawan-kawannya. Saat Aurora tersenyum menatap mereka, suara ceria terdengar dari belakang. “Aurora!” Aurora menoleh dan melihat Gabby muncul dari jalan setapak, tampak kerepotan membawa dua kantong besar berisi makanan dan beberapa perlengkapan untuk panti. Wajah Gabby memerah karena berjalan cepat, tapi matanya tetap bersinar antusias. “Maaf, aku terlambat. Aku belanja untuk ibu panti dan anak-anak di sini,” kata Gabby sambil menaruh kantong-kantong itu di lantai. Aurora tersenyum dan membuka kantongnya sendiri. “Tidak apa-apa. Aku juga membawa buah-buahan dan beberapa pakaian baru untuk anak-anak. Mungkin bisa dipakai atau diberikan sebagai hadiah kecil.” Gabby menatap Aurora dengan mata terbelalak. “Astaga, Aurora… padahal aku sudah bilang jangan bawa apa-apa.” Aurora menggeleng santai. Ia menaruh kantong-kantong itu di dekat tempat mereka berdiri, memastikan tidak menghalangi jalan masuk anak-anak. “Aku tidak mungkin datang dengan tangan kosong, apalagi ini kunjungan pertamaku. Dan… aku senang bisa membantu,” jawabnya tulus. Nada suaranya ringan, tapi penuh kehangatan yang membuat Gabby tersenyum kecil, sedikit terdiam karena kagum. Gabby akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah, kalau begitu… ayo kita masuk,” katanya, memberi jalan bagi Aurora. Mereka melangkah ke dalam panti, aroma sabun dan makanan sederhana menyambut mereka. Suara tawa anak-anak yang bergema di aula, berbaur dengan riuh langkah kaki mereka, membuat Aurora tersenyum lebih lebar. “Gabby… aku senang kita datang ke sini,” gumam Aurora lirih. Gabby tersenyum, menatap Aurora dengan mata berbinar. “Aku tahu, Aurora. Terkadang, hal sederhana seperti ini bisa membuat kita sadar apa yang benar-benar penting.” Aurora mengangguk, lalu memandang anak-anak yang berlarian, beberapa menghampiri mereka dengan rasa penasaran. Ia siap menyambut mereka, membagikan buah, pakaian, dan senyum hangatnya—memberi sedikit kebahagiaan di dunia mereka, sekaligus menenangkan hatinya sendiri. * Matthew sampai di mansion megahnya lebih awal pagi itu. Mobil mewahnya meluncur mulus di jalan masuk yang panjang, dikelilingi taman luas dengan pepohonan rindang. Namun, begitu melewati pintu utama, alisnya langsung terangkat—rumahnya terasa sepi. Aurora, istrinya, tidak terlihat di mana pun. Sebuah rasa tak nyaman menyusup ke dadanya. Matthew segera meraih ponsel di sakunya dan menekan nomor istrinya dengan cepat. Nada sambung terdengar, namun tak ada jjawaban Tanpa menunggu lama, ia mengalihkan panggilan dan menekan nomor kontak supir pribadinya, Kyle. “Halo, Tuan,” suara Kyle terdengar di ujung telepon, sedikit terbata-bata. “Dimana istriku?” Matthew menahan nada kesal yang mencoba tak ia tunjukkan. Kyle menelan ludah, suaranya sedikit bergetar. “Ada di panti asuhan… bersama Nona Gabby, Tuan.” Peningkatan detak jantung Matthew terasa. “Panti asuhan? Bukankah dia seharusnya di rumah mertuaku sekarang?” “Kata Nyonya Aurora, dia ingin mampir ke panti asuhan setelah dari rumah Mr. Riedl, Tuan,” jawab Kyle hati-hati. Matthew mematikan telepon dengan satu gerakan tegas, napasnya keluar sedikit kasar. Gadis itu… bahkan tidak mengatakan sepatah kata pun padanya. Padahal mereka sudah berkompromi—sudah sepakat mengenai pertemuan mereka di rumah orang tuanya. Hatinya mencengkram rasa jengkel sekaligus khawatir. Dasar keras kepala! Dengan langkah mantap, Matthew memasuki kamarnya. Ia meraih bathrobe favoritnya, yang lembut dan hangat, lalu menuju ke bathtub yang sudah diisi air hangat. Aroma wewangian kesukaannya ia nyalakan—lavender, vanila, dan sedikit aroma kayu manis—untuk menenangkan pikiran dan meredakan ketegangan yang menumpuk. Meski tubuhnya terendam hangat, pikirannya tetap tak bisa tenang. Ia membayangkan Aurora di sana, dikelilingi anak-anak yang lucu dan polos, tertawa ceria tanpa menyadari betapa ia meninggalkan suami yang menunggunya di rumah. Rasa kesal beradu dengan rasa sayang yang tak bisa ia ungkapkan. Matthew tahu, gadis itu keras kepala, namun hatinya yang lembut selalu menarik perhatian Matthew. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Baiklah… aku akan menunggu,” gumamnya pada diri sendiri, menatap air hangat yang beriak pelan. “Wanita itu… entah bagaimana, selalu berhasil membuatku gelisah.” * “Saya baru tadi mengenal Cecil, Bu,” Aurora mulai bercerita sambil tersenyum tipis. Ia menceritakan bagaimana ia dan Cecil mengobrol kecil—tentang permainan kesukaannya, tentang teman-temannya, bahkan tentang tingkah laku nakal beberapa anak di panti. Suasana hangat itu membuat Aurora merasa aneh sekaligus nyaman, sesuatu yang jarang ia rasakan di tengah kehidupan mewah dan sibuknya. Heather, ibu pengasuh panti, tersenyum lembut sambil menatap Aurora. “Cecil dititipkan di sini sejak masih bayi. Kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan, dan kakaknya memutuskan untuk membiarkan Cecil dibesarkan di sini. Kakaknya pergi untuk mencari kehidupan yang lebih layak bagi Cecil, tapi dia berjanji suatu saat akan kembali.” Aurora menatap Gabby sebentar, melihat wajah teman barunya yang juga memancarkan rasa iba dan simpati. “Kenapa mereka tidak tinggal bersama saja, Bu?” tanyanya, nada suaranya dipenuhi rasa penasaran dan sedikit heran. Heather menghela napas pelan. “Saat itu kakaknya Cecil masih SMA, Aurora. Dia tidak ingin Cecil ikut menderita bersamanya. Jadi dia memilih mengorbankan waktu mereka bersama demi masa depan Cecil. Tapi dia berjanji akan kembali, saat waktunya tepat.” Aurora merasa tersentuh. Ia bisa merasakan beban yang dipikul kakak Cecil, dan sekaligus rasa kehilangan yang pasti dirasakan Cecil. Hatinya tiba-tiba terasa hangat dan berat sekaligus. Ia menoleh ke jam tangannya, waktu sudah menunjukkan lewat tengah hari. “Bu, saya harus permisi sekarang,” ucap Aurora sambil berdiri. “Tapi saya berjanji akan sering ke sini, menemani Cecil dan teman-teman lainnya.” Gabby menatapnya dengan mata membulat, tidak percaya. “Kau mau? Benarkah, Aurora?” Aurora tersenyum kecil. “Tentu saja. Aku… aku memang menyukai anak-anak, Gab. Mereka lucu dan polos, dan ada sesuatu di panti ini yang membuatku merasa… hangat.” Heather tersenyum hangat, menatap keduanya dengan mata penuh kasih sayang. “Kalian berdua akan selalu diterima di sini. Anggap saja panti ini adalah rumah kedua kalian. Kalian boleh datang kapan pun.” Mendengar itu, Aurora merasa ada sesuatu yang menenangkan di dalam dadanya. Undangan itu membuatnya merasa dihargai dan diterima, sesuatu yang jarang ia rasakan dalam kehidupannya yang selalu diatur oleh kemewahan dan aturan-aturan orang dewasa. Aurora pun pamit dengan sopan. Gabby memilih tinggal lebih lama, membantu Heather menyiapkan makanan untuk anak-anak. Aurora mengerti—ia tidak bisa terlalu lama, apalagi ia belum izin pada Matthew untuk mengunjungi panti. Ia harus segera pulang sebelum suaminya curiga. Tak lama, mobil jemputannya tiba di halaman. Aurora melangkah masuk, merasa sedikit gugup. Ia menoleh ke dalam dan memastikan Gabby masih sibuk di dalam panti, belum menyadari keberangkatannya. “Kyle,” gumam Aurora begitu masuk ke mobil. “Apa dia… mencariku?” Kyle mengangguk, nada suaranya formal namun menegaskan sesuatu yang membuat Aurora tersentak. “Tuan Matthew sudah menelepon saya, Nyonya, menanyakan keberadaan Anda.” Ah, habislah sudah riwayatnya. -TBC-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD