Bab 5. Rey J. Patterson

1990 Words
“Berhenti! Sampai di sini saja!” seru Aurora, suaranya terdengar tegas meski sedikit bergetar karena jantungnya berdebar. Matthew, yang duduk di sampingnya dengan iPad di tangan, mengalihkan pandangannya dari layar ke wajah cantik istrinya. Alisnya terangkat tipis, menandakan rasa ingin tahu bercampur sedikit hiburan melihat Aurora marah. “Masih jauh, Aurora,” gumam Matthew santai, seolah mempermainkan situasi. Aurora menatapnya dengan mata berbinar, setengah marah, setengah panik. “Aku tidak ingin siapapun tahu bahwa kau adalah suamiku!” suaranya nyaris memecah keheningan mobil yang luas itu. Matthew mengerling pada supirnya, Kyle, dan menurunkan suara sedikit lebih serius. “Antar dia sampai kampusnya, Kyle.” Aurora langsung menegur cepat, “Tidak!” Kyle, yang selama ini tenang dan profesional, kini terlihat bingung di belakang kemudi. Ia mengalihkan pandangan ke Matthew, kemudian ke Aurora, tidak yakin harus memilih siapa yang akan ditaati. “Kyle!” seru Matthew dengan nada tegas, hampir seperti memerintahkan seorang jenderal di medan perang. “B-baik, Tuan,” sahut Kyle terbata-bata sambil menekan pedal gas pelan. Aurora menatap Matthew dengan sorot mata sinis yang hampir membakar kulitnya sendiri. “Awas kalau kau sampai keluar dari mobil ini! Aku tidak ingin seorang pun melihat wajahmu,” peringatnya. Matthew memutar bola matanya dengan ekspresi campuran geli dan kagum. “Kenapa? Kau takut anak kuliahan itu menyukaiku, dan kau akan cemburu?” Aurora mendecakkan lidahnya. “Ck! Bermimpilah yang tinggi, Tuan Emmanuel. Dan jangan salahkan aku kalau nanti kau jatuh dengan rasa sakit yang… tidak tertahankan.” Suaranya datar, tapi nada ketusnya penuh drama khas mahasiswa baru yang sedang panik. Matthew tersenyum sarkas. Ia kembali menunduk membaca berita headline tentang saham dan kekuasaan—sesuatu yang sudah menjadi rutinitasnya sejak bangun tidur. Ia memang tak pernah main-main, dan targetnya jelas: menjadi nomor satu di dunia bisnis agar tidak ada yang bisa menginjaknya. “Sudah sampai, Nyonya Em,” Kyle menyapa dengan hormat. Kata “Nyonya Em” membuat pipi Aurora merah merekah. Ia merasa sungguh tidak pantas menerima gelar itu. Aurora tertegun sejenak, matanya mencari jawaban dari Matthew, tapi justru Matthew yang tersenyum tipis. “Keluar, Kyle,” titah Matthew. Aurora bingung, seharusnya dia yang keluar dulu, tapi Kyle menurut dan menepi. Begitu pintu sebelah kiri terbuka, Matthew meletakkan iPad-nya dan meraih tangan Aurora. Dengan gerakan cepat namun lembut, ia menariknya mendekat. Aurora terkejut dan tangannya segera mencengkeram jas mahal yang dikenakan Matthew, seolah itu bisa menahan dunia yang tiba-tiba terasa guncang. Matthew menahan tengkuk Aurora dengan tangan lain yang berkilau karena jam tangan mewahnya, lalu dengan lembut mengecup bibir istrinya. Aroma parfum Aurora menyebar tipis, membuat Matthew menarik napas pelan—sebuah momen sederhana tapi penuh ketegangan yang membuat Aurora nyaris tersedak. “Sampai jumpa nanti. Aku akan pulang cepat, lalu kita bisa makan siang bersama,” ucap Matthew, suaranya lembut namun berwibawa. Aurora menggeleng pelan begitu ciuman itu berakhir. “Aku diajak temanku untuk menonton hari ini, jadi kau bisa makan sendiri,” jawabnya, berusaha terdengar biasa padahal jantungnya masih berdegup kencang. Matthew menyipitkan mata, ekspresi seriusnya muncul. “Teman? Laki-laki atau perempuan?” Aurora memutar bola matanya malas. “Perempuan!” sahutnya cepat, menambahkan sedikit nada protektif yang hampir lucu. Matthew tersenyum tipis, menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. “Baiklah kalau begitu. Take care, Love. Ada apa-apa, segera hubungi aku.” Aurora mengangguk, menahan senyum, dan memilih keluar dari mobil. Kyle sudah masuk kembali ke tempatnya, bersiap mengemudi. Matthew menoleh ke supirnya sekali lagi, suaranya tegas. “Ikuti istriku pulang kuliah nanti dan kabari aku apa yang dia lakukan,” titahnya. Kyle menatap Matthew sekejap, kemudian menunduk hormat. “Baik, Tuan.” Aurora melangkah ringan ke gerbang kampus, mencoba menenangkan degup jantungnya. Matanya menatap sekeliling—mahasiswa lain berjalan sambil ngobrol, beberapa membawa buku, beberapa lagi tersenyum riang. Dan di tengah semua itu, ia merasa seperti berada di dunia lain; dunia di mana ia harus menyembunyikan satu rahasia terbesar dalam hidupnya: bahwa ia sudah menikah dengan pria paling diincar di kampus ini. Aurora menarik napas dalam, menepuk pundak dirinya sendiri, dan bergumam lirih, “Baiklah, Aurora… kau bisa melakukannya. Jangan sampai wajahmu ketahuan panik, jangan sampai hatimu ketahuan… jangan sampai siapapun tahu kalau suamimu itu… Matthew Emmanuel.” Dan dengan satu langkah mantap, ia memasuki kampus, menyembunyikan semua emosi yang berkecamuk di dadanya, sambil mencoba tetap terlihat seperti mahasiswa biasa—meskipun jantungnya masih berdetak kencang memikirkan suaminya yang baru saja mengecup bibirnya. * “Ah, sebentar lagi kita akan magang,” gumam Gabby sambil merentangkan kedua tangannya, menarik napas panjang seakan merenggangkan otot-otot yang kaku setelah duduk berjam-jam mendengarkan kkuliah Aurora menatap teman barunya itu, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Dimana rencana kau magang, Gab?” tanyanya, meski dalam hati sudah tahu jawaban itu—tentu saja di Emmanuel Hospital, rumah sakit yang paling prestisius dan ternama di kota ini. Namun, Aurora merasa perlu menanyakan hal itu, sekadar untuk memulai percakapan ringan. Gabby menggeleng, menutup buku catatannya dengan cepat lalu memasukkan ke dalam tas ransel yang ia kenakan. “Tentu saja di Emmanuel Hospital. Kenapa kau bertanya lagi?” Nada suaranya ringan, sedikit menggoda. “Ayo, saatnya kita nonton. Aku janji ini akan seru.” Aurora mengangguk. Mereka memang masih memiliki waktu luang, jam sebelas pagi, dan tidak ada mata kuliah yang tersisa sebelum makan siang. “Hey guys, sorry, Mr. Joe tidak mengizinkan kami keluar lebih awal,” suara Nicole tiba-tiba terdengar, memecah obrolan ringan mereka. Aurora menoleh, melihat seorang gadis dengan ekspresi setengah panik namun sopan, diikuti seorang pemuda bernama Cedric, yang tampak santai tapi cukup sigap. “Ah, aku mengajak Cedric dan juga Nicole bersama kita. Tidak apa-apa, bukan?” tanya Gabby dengan nada ceria, menoleh pada Aurora sambil tersenyum lebar. Tanpa menunggu jawaban, Gabby melanjutkan sambil memperkenalkan Aurora. "Guys, ini Aurora, anak baru pindahan dari Paris yang kuceritakan,” ujar Gabby dengan penuh antusias. Aurora tersenyum kecil dan membalas salam mereka. Tangan mereka bersalaman hangat, dan sejenak rasa canggung hhilang “Kalian dari kedokteran gigi?” tanyanya, mencoba memulai percakapan sambil menatap seragam dan ID card yang tergantung di leher masing-masing. Gabby mengangguk, wajahnya berseri-seri. “Ya, mereka ambil dokter gigi. Tapi jangan khawatir, mereka orang baik. Ayo, kita berangkat sekarang,” serunya, menarik tangan Aurora sedikit lebih cepat agar mereka tidak ketinggalan waktu bersenang-senang. Keempatnya keluar dari ruang kuliah, melangkah di koridor kampus yang ramai dengan mahasiswa dari berbagai jurusan. Setiap langkah mereka seolah dipenuhi tawa, percakapan ringan, dan gestur lucu khas anak muda. Gabby terus bercerita tentang pengalaman kuliah dan rencana magang mereka, sementara Cedric dan Nicole menambahkan komentar-komentar jenaka yang membuat Aurora tersenyum. Namun, di balik keramaian dan tawa itu, Aurora tak bisa menahan rasa penasaran yang samar. Ada satu atau dua sosok yang tampak terlalu tertarik pada mereka, mengikuti dari kejauhan. Aurora tidak bisa memastikan, apakah itu kebetulan atau memang seseorang sengaja mengawasi. Perasaan waspada itu membuat langkahnya lebih ringan tapi matanya lebih tajam, selalu mengamati setiap sudut koridor. Tanpa mereka sadari, bayangan seorang pria tinggi dan berpakaian rapi mengikuti mereka dengan jarak yang cukup aman untuk tidak menarik perhatian. Aurora masih belum tahu bahwa langkahnya dan teman-temannya akan menjadi sedikit lebih rumit karena adanya sosok misterius yang memperhatikan mereka dari jauh. * “Tuan, Mr. Patterson ingin menemui Anda,” gumam Neina, sekretaris pribadi Matthew, dengan nada sedikit ragu. Matthew menatapnya dari balik dokumen yang tengah ditandatanganinya, satu alis terangkat penuh tanda tanya. Jarang sekali Patterson muncul begitu saja. Posisi Rey Jades Patterson sebagai nomor satu di dunia bisnis bukanlah rahasia, dan setiap kemunculannya selalu diiringi aura angkuh yang membuat banyak orang—bahkan Matthew sekalipun—merasa terintimidasi. Namun, kali ini ia benar-benar jengah. Ada apa gerangan hingga Rey sampai datang sendiri? “Katakan padanya aku sedang sibuk,” ucap Matthew singkat, tanpa menoleh. Neina menahan napasnya, membelalak. “T-tapi Tuan, dia nomor satu di dunia bisnis. Bagaimana mungkin—” “Cukup.” Matthew memberi kode mata tegas agar Neina keluar, dan wanita itu mengangguk pelan, menunduk sebelum meninggalkan ruangan. Pintu menutup dengan suara halus, meninggalkan Matthew sendirian dengan tamu yang datang tiba-tiba. Tak lama setelah itu, pintu terbuka kembali, namun kali ini Rey masuk tanpa permisi, tersenyum lebar dengan gaya santai yang seolah menganggap aturan hanyalah saran belaka. “Ah, kau terlalu lama meminta izinmu, Sweety,” gumam Rey, menoleh sekilas ke Neina yang baru saja keluar. “Aku tidak sabar menunggu di luar sendirian, jadi aku memutuskan menerobos. Tidak apa-apa, bukan, Matt?” Matthew tetap fokus pada dokumen di depannya, menandatangani beberapa lembar berkas sambil tidak mengangkat pandangan. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya datar. Rey tersenyum tipis, kemudian berjalan ke mesin kopi di sudut ruangan. Ia menekan beberapa tombol dan suara mesin mulai berdengung lembut, aroma kopi segar segera memenuhi ruangan. Dengan secangkir kopi panas di tangan, ia duduk santai di sofa, menatap Matthew dengan tatapan yang sulit dibaca. “Hanya mengunjungi teman lama,” sahut Rey, menyesap kopinya dengan tenang. Matanya yang biru itu menyipit sejenak, seakan menilai setiap sudut ruangan Matthew, sambil menunjukkan senyum tipis yang menantang. Matthew menutup dokumennya perlahan, mengangkat kepalanya untuk menatap Rey. Wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi, namun matanya yang tajam menyiratkan ketegangan. “Jangan terlalu lengah, Rey. Aku bisa kapan saja merebut gelar nomor satu milikmu,” ucapnya pelan namun tegas, kata-kata itu terasa seperti badai yang tersembunyi di balik ketenangan. “Hahaha~” Tawa Rey terdengar menggema di ruang kerja luas Matthew, ringan namun penuh sindiran. “Jangan berharap kau bisa merebut posisiku. Posisi ini bukan soal uang, Matt. Ini soal pengaruh, jaringan, dan strategi—dan kau masih jauh untuk memahaminya.” Matthew menutup berkas lainnya, menatap Rey dengan datar. “Jika kau kemari hanya untuk memprovokasiku, lebih baik kau keluar sekarang.” Suaranya dingin, menandakan bahwa kesabaran pria itu mulai menipis. Rey menepuk tangannya perlahan, pura-pura bersedih. “Sayang sekali, padahal aku banyak dicari oleh investor lain. Tapi kau, Matt, justru mengusirku begitu saja. Dan kau bahkan tidak mengundangku ke pesta pernikahanmu.” “Orang tuamu sudah datang,” jawab Matthew singkat, nada suara tetap dingin, seakan setiap kata-katanya diukur dengan presisi. Rey menunduk sejenak, lalu menatap sekeliling ruangan Matthew. Desainnya luas dan modern, hampir menyamai selera Rey sendiri, meski warnanya lebih minimalis dan elegan dibanding ruangannya sendiri. “Kudengar saudara iparmu akan kembali,” gumamnya dengan nada yang menyembunyikan ancaman. Mata Matthew memicing seketika. “Apakah sebegitu takutnya posisimu tergantikan olehku sehingga kau sampai memperhatikan keluargaku?” tanyanya, nada suaranya dingin namun berlapis amarah yang sulit ditutupi. “Apakah posisimu sekarang benar-benar terancam, Rey?” Rey tersenyum tipis, menegaskan bahwa ia tidak terguncang. “Aku tidak akan jatuh semudah itu,” ucapnya dengan tenang, namun nada suara dan tatapan matanya penuh tantangan, seolah menantang Matthew untuk mencoba. Matthew mengangguk pelan, seakan mengatakan bahwa percuma membuang waktu dengan orang sepertinya. “Kalau tidak ada yang ingin kau bicarakan, kau boleh pergi sekarang. Aku sangat sibuk.” Rey berdiri perlahan, mengangkat bahu, menyesap kopi terakhirnya. “Kalau begitu, baiklah,” gumamnya. Namun, tepat di depan pintu, ia menoleh sebentar. “Jangan berusaha terlalu keras, Matt,” kata Rey, suara rendah tapi menancap di telinga Matthew. Kemudian ia pergi, menutup pintu dengan langkah tenang tapi penuh maksud. Matthew menatap kepergian Rey dengan wajah datar, matanya memicing tipis, seolah menimbang setiap ancaman dan strategi yang mungkin timbul. Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Kyle mengirimkan foto terbaru Aurora—istri Matthew—bersama tiga temannya. Aurora terlihat ceria, tertawa, tanpa mengetahui bahwa matanya diawasi dari kejauhan. Matthew menatap gambar itu sebentar, menahan napas sejenak. Ia tidak membalas pesan itu, kembali menunduk pada berkas di depannya, tetapi ketegangan masih terasa—antara posisinya sebagai nomor dua yang selalu diincar, dan kehidupan pribadinya yang secara diam-diam kini terkait dengan Aurora, yang mungkin tanpa sengaja menempatkannya dalam risiko yang baru. Ruangan itu kembali hening, hanya suara mesin kopi dan jarum jam yang berdetak pelan. Matthew duduk tegak, tangannya menutup dokumen dengan rapi. Di balik ketenangan wajahnya, mata Matthew memancarkan kewaspadaan—sebuah tanda bahwa perang bisik-bisik dan persaingan diam-diam dengan Rey Jades Patterson baru saja dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD